로고

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2021 TENTANG PENYELENGGARAAN BIDANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

No.35, 2021 PERTAMBANGAN. Bidang ESDM. Penyelenggaraan. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6637)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 39, Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525); 3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5585); 5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN BIDANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 3. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu. 4. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. 5. Peningkatan Nilai Tambah Batubara adalah kegiatan pengembangan dan/atau pemanfaatan batubara untuk meningkatkan mutu batubara dengan atau tanpa mengubah sifat fisik atau kimia batubara asal. 6. Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disingkat IUPK adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus. 7. IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian adalah izin usaha yang diberikan sebagai perpanjangan setelah selesainya pelaksanaan kontrak karya atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara. 8. Panas Bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, serta batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi. 9. Pemanfaatan Tidak Langsung adalah kegiatan pengusahaan pemanfaatan Panas Bumi dengan melalui proses pengubahan dari energi panas dan/atau fluida menjadi energi listrik. 10. Pemanfaatan Langsung adalah kegiatan pengusahaan pemanfaatan Panas Bumi secara langsung tanpa melakukan proses pengubahan dari energi panas dan/atau fluida menjadi jenis energi lain untuk keperluan nonlistrik. 11. Wilayah Kerja Panas Bumi yang selanjutnya disebut Wilayah Kerja adalah wilayah dengan batas-batas koordinat tertentu digunakan untuk pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung. 12. Survei Pendahuluan adalah kegiatan yang meliputi pengumpulan, analisis, dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi, geofisika, dan geokimia, serta survei landaian suhu apabila diperlukan, untuk memperkirakan letak serta ada atau tidak adanya sumber daya Panas Bumi. 13. Eksplorasi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyelidikan geologi, geofisika, geokimia, pengeboran uji, dan pengeboran sumur eksplorasi yang bertujuan untuk memperoleh informasi kondisi geologi bawah permukaan guna menemukan dan mendapatkan perkiraan cadangan Panas Bumi. 14. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan pada Wilayah Kerja tertentu yang meliputi pengeboran sumur pengembangan dan sumur reinjeksi, pembangunan fasilitas lapangan dan penunjangnya, serta operasi produksi Panas Bumi. 15. Studi Kelayakan adalah kajian untuk memperoleh informasi secara terperinci terhadap seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan teknis, ekonomis, dan lingkungan atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan pemanfaatan Panas Bumi yang diusulkan. 16. Penugasan Survei Pendahuluan yang selanjutnya disingkat PSP adalah penugasan yang diberikan oleh Menteri untuk melaksanakan kegiatan Survei Pendahuluan. 17. Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi yang selanjutnya disingkat PSPE adalah penugasan yang diberikan oleh Menteri untuk melaksanakan kegiatan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi. 18. Data dan Informasi Panas Bumi adalah semua fakta, petunjuk, indikasi, dan informasi terkait Panas Bumi. 19. Pihak Lain adalah badan usaha, perguruan tinggi, atau lembaga penelitian yang memiliki keahlian dan kemampuan untuk melakukan Survei Pendahuluan atau Survei Pendahuluan dan Eksplorasi. 20. Pelelangan Wilayah Kerja yang selanjutnya disebut Pelelangan adalah metode penawaran Wilayah Kerja untuk mendapatkan pemenang lelang. 21. Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi yang selanjutnya disebut IPB adalah izin melakukan pengusahaan panas bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung pada Wilayah Kerja tertentu. 22. Ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha penunjang tenaga listrik. 23. Usaha Penyediaan Tenaga Listrik adalah pengadaan tenaga listrik meliputi pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan tenaga listrik kepada konsumen. 24. Pembangkitan Tenaga Listrik adalah kegiatan memproduksi tenaga listrik. 25. Transmisi Tenaga Listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari pembangkitan ke sistem distribusi atau ke konsumen, atau penyaluran tenaga listrik antarsistem. 26. Distribusi Tenaga Listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari sistem transmisi atau dari pembangkitan ke konsumen. 27. Konsumen adalah setiap orang atau badan yang membeli tenaga listrik dari pemegang izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik. 28. Rencana Umum Ketenagalistrikan adalah rencana pengembangan sistem penyediaan tenaga listrik yang meliputi bidang pembangkitan, transmisi, dan Distribusi Tenaga Listrik yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik. 29. Wilayah Usaha adalah wilayah yang ditetapkan Pemerintah Pusat sebagai tempat badan usaha melakukan usaha distribusi dan/atau penjualan tenaga listrik. 30. Ganti Rugi Hak atas Tanah adalah penggantian atas pelepasan atau penyerahan hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan/atau benda lain yang terdapat di atas tanah tersebut. 31. Kompensasi adalah pemberian sejumlah uang kepada pemegang hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan/atau benda lain yang terdapat di atas tanah tersebut karena tanah tersebut digunakan secara tidak langsung untuk pembangunan Ketenagalistrikan tanpa dilakukan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. 32. Instalasi Tenaga Listrik adalah bangunan-bangunan sipil dan elektromekanik, mesin-mesin peralatan, saluran-saluran dan perlengkapannya yang digunakan untuk pembangkitan, konversi, transformasi, penyaluran, distribusi, dan pemanfaatan tenaga listrik. 33. Klasifikasi adalah penetapan penggolongan usaha menurut bidang dan subbidang usaha tertentu. 34. Kualifikasi adalah penetapan penggolongan usaha menurut tingkat kemampuan usaha. 35. Sertifikasi Badan Usaha adalah proses penilaian untuk mendapatkan pengakuan formal terhadap Klasifikasi dan Kualifikasi atas kemampuan pelaku usaha di bidang usaha jasa penunjang tenaga listrik. 36. Instalasi Penyediaan Tenaga Listrik adalah Instalasi Tenaga Listrik yang digunakan untuk pengadaan tenaga listrik meliputi instalasi pembangkitan, instalasi transmisi, dan instalasi Distribusi Tenaga Listrik. 37. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik adalah Instalasi Tenaga Listrik yang digunakan untuk pemanfaatan tenaga listrik oleh Konsumen akhir. 38. Tenaga Teknik Ketenagalistrikan adalah perorangan yang berpendidikan di bidang teknik dan/atau memiliki pengalaman kerja di bidang Ketenagalistrikan. 39. Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik adalah proses penilaian untuk mendapatkan pengakuan formal terhadap Klasifikasi dan Kualifikasi atas kompetensi dan kemampuan tenaga teknik atau asesor di bidang Ketenagalistrikan. 40. Sertifikasi Instalasi Tenaga Listrik adalah serangkaian kegiatan pemeriksaan dan pengujian peralatan listrik dan instalasinya serta verifikasi Instalasi Tenaga Listrik untuk memastikan suatu Instalasi Tenaga Listrik dan peralatan telah berfungsi sebagaimana kesesuaian persyaratan yang ditentukan dan dinyatakan laik dioperasikan. 41. Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan yang selanjutnya disebut Kompetensi adalah kemampuan tenaga teknik untuk mengerjakan suatu tugas dan pekerjaan yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja. 42. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.

Pasal 2

Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai:

a. mineral dan batubara; b. Panas Bumi; dan c. Ketenagalistrikan.

BAB II MINERAL DAN BATUBARA

Pasal 3

(1) Pemegang izin usaha pertambangan operasi produksi, IUPK operasi produksi dan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk komoditas batubara yang melakukan kegiatan Peningkatan Nilai Tambah Batubara di dalam negeri dapat diberikan perlakuan tertentu berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen).

(2) Perlakuan tertentu berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan mempertimbangkan kemandirian energi dan pemenuhan kebutuhan bahan baku industri.

(3) Perlakuan tertentu berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan terhadap volume batubara yang digunakan dalam kegiatan Peningkatan Nilai Tambah Batubara.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan Peningkatan Nilai Tambah Batubara, besaran, persyaratan, dan tata cara pengenaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

(5) Besaran, persyaratan, dan tata cara pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus terlebih dahulu mendapat persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

BAB III PANAS BUMI

Pasal 4

Badan usaha yang melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung yang tidak memiliki IPB dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan dan denda sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 5

Badan usaha pemegang IPB yang melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung yang tidak menggunakan izin sesuai dengan peruntukannya dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan dan denda sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

Pasal 6

(1) Dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal IPB ditetapkan, pemegang IPB wajib memulai kegiatan sebagaimana yang tercantum dalam proposal pengembangan proyek yang disampaikan pada saat Pelelangan.

(2) Dalam hal pemegang IPB tidak memulai kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis oleh Menteri.

(3) Peringatan tertulis oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu peringatan masingmasing 1 (satu) bulan.

Pasal 7

(1) Menteri dapat menugasi badan layanan umum atau badan usaha milik negara yang berusaha di bidang Panas Bumi untuk melakukan Eksplorasi, Eksploitasi, dan/atau pemanfaatan pada Wilayah Kerja.

(2) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan terhadap Wilayah Kerja dengan kriteria:

a. telah dilakukan Eksplorasi oleh badan usaha milik negara atau Pemerintah Pusat; b. telah dioperasikan oleh badan usaha milik negara atau Pemerintah Pusat; c. Wilayah Kerja yang dikembalikan oleh badan usaha; dan/atau d. kriteria lain yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri.

(3) Penugasan kepada badan usaha milik negara yang berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku sebagai IPB.

(4) Badan usaha milik negara yang ditugaskan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus melaporkan penugasan yang berlaku sebagai IPB kepada lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal untuk mendapatkan nomor izin berusaha.

Pasal 8

(1) Pemegang IPB wajib melakukan Eksplorasi dalam jangka waktu tertentu pada Wilayah Kerjanya dalam hal pada Wilayah Kerja tersebut belum pernah dilakukan Eksplorasi.

(2) Dalam jangka waktu Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemegang IPB wajib melakukan Studi Kelayakan.

(3) Studi Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi:

a. studi penentuan cadangan pada Wilayah Kerja yang layak dieksploitasi; b. izin lingkungan; c. rencana pembangunan sumur pengembangan dan sumur reinjeksi; d. rancangan fasilitas lapangan uap; e. rencana kapasitas Pembangkitan Tenaga Listrik dan tahapan pembangkitannya; f. kelayakan keekonomian; g. rencana sistem Pembangkitan Tenaga Listrik dan Transmisi Tenaga Listrik; h. rencana pemeliharaan sumber daya Panas Bumi untuk kegiatan pengusahaan; i. rencana izin pemanfaatan jasa lingkungan Panas Bumi, jika terdapat rencana pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan hutan konservasi; j. rencana keselamatan dan kesehatan kerja; k. rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan l. rencana pasca pengusahaan Panas Bumi.

(4) Dalam hal pemegang IPB tidak melakukan Eksplorasi pada Wilayah Kerjanya yang belum pernah dilakukan Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau tidak melakukan Studi Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis oleh Menteri.

(5) Peringatan tertulis oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu peringatan masingmasing 1 (satu) bulan.

(6) Dalam hal pemegang IPB yang dikenai sanksi administratif peringatan tertulis setelah berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan.

(7) Sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dikenai untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.

(8) Sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) sewaktu-waktu dapat dicabut apabila pemegang IPB dalam masa pengenaan sanksi memenuhi kewajibannya.

(9) Dalam hal pemegang IPB yang mendapat sanksi berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak melaksanakan kewajibannya sampai dengan berakhirnya jangka waktu pengenaan sanksi penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Menteri mengenakan sanksi administratif berupa pencabutan IPB.

Pasal 9

(1) Dalam hal Wilayah Kerja sudah dilakukan Eksplorasi, pemegang IPB:

a. langsung melakukan Studi Kelayakan; atau b. dapat melakukan Eksplorasi tambahan dengan jangka waktu tertentu.

(2) Studi Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3).

(3) Dalam jangka waktu Eksplorasi tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, pemegang IPB wajib melakukan Studi Kelayakan.

(4) Dalam hal pemegang IPB tidak melakukan Studi Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis oleh Menteri.

(5) Peringatan tertulis oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu peringatan masingmasing 1 (satu) bulan.

(6) Dalam hal pemegang IPB tidak melaksanakan peringatan tertulis ketiga sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pemegang IPB dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan.

(7) Sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berlaku paling lama 3 (tiga) bulan.

(8) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (7) sewaktu-waktu dapat dicabut, apabila pemegang IPB dalam masa pengenaan sanksi memenuhi kewajibannya.

(9) Dalam hal pemegang IPB yang mendapat sanksi berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak melaksanakan kewajibannya sampai dengan berakhirnya jangka waktu pengenaan sanksi penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Menteri mengenakan sanksi administratif berupa pencabutan IPB.

Pasal 10

(1) Hasil Studi Kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 9 ayat (2) wajib disampaikan kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan.

(2) Dalam hal pemegang IPB tidak menyampaikan Studi Kelayakan kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis oleh Menteri.

(3) Peringatan tertulis oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu peringatan masingmasing 1 (satu) bulan.

Pasal 11

(1) Dalam hal hasil Studi Kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Wilayah Kerja tidak layak untuk Eksploitasi dan pemanfaatan, pemegang IPB wajib mengembalikan IPB kepada Menteri.

(2) Dalam hal Wilayah Kerja tidak layak untuk Eksploitasi dan pemanfaatan, pemegang IPB tidak mengembalikan IPB kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis oleh Menteri.

(3) Peringatan tertulis oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu peringatan masingmasing 1 (satu) bulan.

(4) Dalam hal pemegang IPB yang dikenai sanksi administratif peringatan tertulis setelah berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dikenai sanksi administratif berupa pencabutan IPB.

Pasal 12

(1) Pemegang IPB wajib melakukan Eksploitasi sesuai dengan Studi Kelayakan yang sudah mendapat persetujuan Menteri.

(2) Dalam hal terjadi perubahan kapasitas dan/atau teknologi Pembangkitan Tenaga Listrik pada jangka waktu Eksploitasi, pemegang IPB harus menyampaikan perubahan Studi Kelayakan untuk mendapat persetujuan Menteri.

(3) Dalam hal pemegang IPB tidak melakukan Eksploitasi sesuai dengan Studi Kelayakan yang sudah mendapat persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis oleh Menteri.

(4) Peringatan tertulis oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu peringatan masingmasing 1 (satu) bulan.

(5) Dalam hal pemegang IPB yang dikenai sanksi administratif peringatan tertulis setelah berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan.

(6) Sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.

(7) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (6) sewaktu-waktu dapat dicabut apabila pemegang IPB dalam masa pengenaan sanksi memenuhi kewajibannya.

(8) Dalam hal pemegang IPB yang mendapat sanksi berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak melaksanakan kewajibannya sampai dengan berakhirnya jangka waktu pengenaan sanksi penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Menteri mengenakan sanksi administratif berupa pencabutan IPB.

Pasal 13

Pemegang IPB dapat memanfaatkan tenaga listrik yang dihasilkan dari Wilayah Kerja dengan cara:

a. melakukan kerja sama dengan pemegang izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik terintegrasi setelah pemegang IPB memiliki Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik; b. menjual listrik yang dihasilkan dari Wilayah Kerja kepada badan usaha lain atau masyarakat setelah pemegang IPB memiliki Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik; dan/atau c. menggunakan tenaga listrik yang dihasilkan untuk keperluan sendiri atau menjual kelebihan tenaga listriknya setelah pemegang IPB memiliki Perizinan Berusaha, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Ketenagalistrikan.

Pasal 14

Pemegang IPB yang melakukan pengalihan IPB kepada badan usaha lain dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Pasal 15

Pemegang IPB yang melakukan pengalihan kepemilikan saham di Bursa Efek Indonesia sebelum Eksplorasi dan tanpa persetujuan Menteri dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Pasal 16

(1) Pemegang IPB sebelum mengembalikan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung, wajib melakukan kegiatan reklamasi dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.

(2) Pengembalian Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.

(3) Dalam hal pemegang IPB tidak melakukan kegiatan reklamasi dan pelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dari setiap sumur yang ada di Wilayah Kerja.

Pasal 17

(1) Dalam hal IPB berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung, pemegang IPB wajib:

a. melunasi dan menyelesaikan seluruh kewajiban finansial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. mengembalikan seluruh Wilayah Kerja dan melaksanakan semua ketentuan-ketentuan yang ditetapkan berkaitan dengan pengembalian seluruh Wilayah Kerja; c. menyerahkan semua Data dan Informasi Panas Bumi pada Wilayah Kerja, baik dalam bentuk analog maupun digital yang terkait dengan pelaksanaan pengusahaan Panas Bumi kepada Menteri; dan d. melakukan kewajiban pasca IPB berakhir.

(2) Pelunasan dan penyelesaian seluruh kewajiban finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

a. untuk IPB yang berakhir karena habis masa berlakunya, terhitung sampai dengan berakhirnya IPB; b. untuk IPB yang berakhir karena dikembalikan, terhitung sampai dengan penyampaian pengembalian IPB; atau c. untuk IPB yang berakhir karena dicabut terhitung sampai dengan tanggal pencabutan.

(3) Kewajiban pasca IPB berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit meliputi:

a. melakukan usaha pengamanan terhadap benda maupun bangunan dan keadaan tanah di sekitarnya yang dapat membahayakan keamanan umum; b. dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal IPB berakhir: 1. mengangkat benda, bangunan, dan peralatan miliknya yang berada di dalam bekas Wilayah Kerjanya, kecuali bangunan yang dapat digunakan untuk kepentingan umum; dan 2. menyerahkan aset hasil pengusahaan Panas Bumi kepada Menteri.

(4) Dalam hal IPB berakhir dan pemegang IPB tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah).

Pasal 18

(1) Pemegang IPB wajib:

a. memahami dan menaati ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan memenuhi standar yang berlaku; b. melakukan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi kegiatan pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan fungsi lingkungan hidup; c. melaksanakan Eksplorasi, Eksploitasi, dan pemanfaatan sesuai dengan kaidah teknis yang baik dan benar; d. mengutamakan pemanfaatan barang, jasa, teknologi serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri secara transparan dan bersaing; e. memberikan dukungan terhadap kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Panas Bumi; f. memberikan dukungan terhadap kegiatan penciptaan, pengembangan Kompetensi, dan pembinaan sumber daya manusia di bidang Panas Bumi; g. melaksanakan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; h. menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya; i. menyampaikan laporan tertulis pengusahaan Panas Bumi kepada Menteri secara berkala atas: 1. rencana kerja dan anggaran biaya; dan 2. realisasi pelaksanaan rencana kerja dan anggaran biaya; j. memenuhi kewajiban berupa pendapatan negara dan pendapatan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; k. menyampaikan rencana jangka panjang Eksplorasi, Eksploitasi, dan pemanfaatan kepada Menteri yang mencakup rencana kegiatan dan rencana anggaran serta menyampaikan besarnya cadangan; l. mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia; dan m. mendorong pengembangan Pemanfaatan Langsung Panas Bumi pada Wilayah Kerjanya.

(2) Dalam hal pemegang IPB tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis oleh Menteri.

(3) Peringatan tertulis oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu peringatan masingmasing 1 (satu) bulan.

(4) Dalam hal pemegang IPB yang dikenai sanksi administratif peringatan tertulis setelah berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan.

(5) Sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.

(6) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sewaktu-waktu dapat dicabut apabila pemegang IPB dalam masa pengenaan sanksi memenuhi kewajibannya.

(7) Dalam hal pemegang IPB yang telah dikenai sanksi berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak melaksanakan kewajibannya sampai dengan berakhirnya jangka waktu pengenaan sanksi penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Menteri mengenakan sanksi administratif berupa pencabutan IPB.

Pasal 19

(1) Pengiriman, penyerahan, dan/atau pemindahtanganan Data dan Informasi Panas Bumi yang diperoleh dari Survei Pendahuluan, Eksplorasi, dan/atau Eksploitasi wajib mendapat izin Menteri.

(2) Dalam hal setiap orang melakukan pengiriman, penyerahan, dan/atau pemindahtanganan Data dan Informasi Panas Bumi yang diperoleh dari Survei Pendahuluan, Eksplorasi, dan/atau Eksploitasi tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis oleh Menteri.

(3) Peringatan tertulis oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu peringatan masingmasing 1 (satu) bulan.

Pasal 20

(1) Pemegang IPB dan Pihak Lain yang diberikan PSP atau PSPE dapat mengelola dan memanfaatkan Data dan Informasi Panas Bumi hasil kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi Wilayah Kerja atau wilayah penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung selama jangka waktu berlakunya IPB atau penugasan PSP atau PSPE, kecuali pemusnahan data.

(2) Pemegang IPB dan Pihak Lain yang diberikan PSP atau PSPE wajib menyimpan Data dan Informasi Panas Bumi yang dipergunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di wilayah hukum Indonesia.

(3) Dalam hal pemegang IPB dan Pihak Lain yang diberikan PSP atau PSPE tidak melakukan penyimpanan Data dan Informasi Panas Bumi yang dipergunakan di wilayah hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis oleh Menteri.

(4) Peringatan tertulis oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu peringatan masingmasing 1 (satu) bulan.

(5) Dalam hal pemegang IPB dan Pihak Lain yang diberikan PSP atau PSPE yang dikenai sanksi administratif peringatan tertulis setelah berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan.

(6) Sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.

(7) Sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) sewaktu-waktu dapat dicabut apabila pemegang IPB dan Pihak Lain dalam masa pengenaan sanksi memenuhi kewajibannya.

(8) Dalam hal pemegang IPB dan Pihak Lain yang diberikan PSP atau PSPE yang mendapat sanksi berupa penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak melaksanakan kewajibannya sampai dengan berakhirnya jangka waktu pengenaan sanksi penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Menteri mengenakan sanksi administratif berupa pencabutan IPB, PSP, atau PSPE.

Pasal 21

(1) Apabila IPB berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung, pemegang IPB wajib menyerahkan seluruh Data dan Informasi Panas Bumi yang diperoleh dari hasil Eksplorasi dan Eksploitasi kepada Menteri.

(2) Dalam hal pemegang IPB tidak melakukan kewajiban IPB berakhir berupa penyerahan seluruh Data dan Informasi Panas Bumi yang diperoleh dari hasil Eksplorasi dan Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda oleh Menteri sebesar Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah).

BAB IV KETENAGALISTRIKAN

Pasal 22

(1) Dalam rangka mendukung pengembangan penyediaan tenaga listrik, Menteri dan gubernur menyediakan dana untuk:

a. kelompok masyarakat tidak mampu; b. pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik di daerah yang belum berkembang; c. pembangunan tenaga listrik di daerah terpencil dan perbatasan; dan d. pembangunan listrik perdesaan.

(2) Selain menyediakan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan pertimbangan tertentu, Menteri dan gubernur dapat menyediakan dana untuk kelompok yang menggerakkan perekonomian atau sosial, dan pengembangan Ketenagalistrikan.

(3) Penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dapat diberikan melalui masyarakat, Konsumen, dan/atau badan usaha Ketenagalistrikan.

(4) Penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), bersumber dari:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau c. bantuan badan usaha Ketenagalistrikan.

(5) Penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23

(1) Pelaksanaan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum harus sesuai dengan Rencana Umum Ketenagalistrikan nasional dan rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik.

(2) Rencana Umum Ketenagalistrikan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 24

(1) Rencana Umum Ketenagalistrikan nasional berfungsi sebagai rujukan dan pedoman dalam penyusunan dokumen:

a. Rencana Umum Ketenagalistrikan daerah; dan b. rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik.

(2) Rencana Umum Ketenagalistrikan nasional disusun dan ditetapkan oleh Menteri berdasarkan kebijakan energi nasional sesuai dengan periode perencanaan kebijakan energi nasional.

(3) Rencana Umum Ketenagalistrikan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan mengikutsertakan Pemerintah Daerah.

(4) Rencana Umum Ketenagalistrikan daerah disusun paling lambat 1 (satu) tahun setelah Rencana Umum Ketenagalistrikan nasional ditetapkan.

(5) Rencana Umum Ketenagalistrikan nasional dan Rencana Umum Ketenagalistrikan daerah dievaluasi setiap tahun dan dimutakhirkan setiap 5 (lima) tahun.

(6) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Rencana Umum Ketenagalistrikan nasional dan Rencana Umum Ketenagalistrikan daerah dapat dimutakhirkan sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun dalam hal terjadi:

a. perbedaan signifikan antara realisasi dengan proyeksi; b. perubahan signifikan pada asumsi dan/atau target; c. perubahan kebijakan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang berkaitan dengan sektor Ketenagalistrikan sesuai dengan kewenangannya; atau d. kondisi lainnya yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.

(7) Rencana Umum Ketenagalistrikan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan gubernur.

(8) Rencana Umum Ketenagalistrikan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi pertimbangan dalam pemutakhiran Rencana Umum Ketenagalistrikan nasional.

(9) Rencana Umum Ketenagalistrikan nasional dan Rencana Umum Ketenagalistrikan daerah, paling sedikit memuat:

a. latar belakang, pokok-pokok kebijakan energi nasional terkait Ketenagalistrikan, dan landasan hukum; b. kebijakan Ketenagalistrikan; c. kondisi penyediaan tenaga listrik; d. proyeksi kebutuhan dan penyediaan tenaga listrik; dan e. rencana pengembangan sistem penyediaan tenaga listrik.

(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan nasional dan Rencana Umum Ketenagalistrikan daerah diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 25

(1) Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik disusun berdasarkan Rencana Umum Ketenagalistrikan nasional.

(2) Pengesahan rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk pertama kali paling lama dilakukan bersamaan dengan pemberian Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.

(3) Setiap perubahan rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik harus mendapatkan pengesahan dari Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.

(4) Perubahan rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan berdasarkan:

a. hasil evaluasi rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik secara berkala oleh badan usaha pemegang Wilayah Usaha; atau b. perintah Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.

(5) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah terkait Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, Menteri atau gubernur sesuai kewenangannya dapat memasukkan kebijakan tersebut ke dalam rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 26

(1) Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum meliputi jenis usaha:

a. Pembangkitan Tenaga Listrik; b. Transmisi Tenaga Listrik; c. Distribusi Tenaga Listrik; dan/atau d. penjualan tenaga listrik.

(2) Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara terintegrasi.

(3) Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib mendapatkan izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum.

(4) Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum secara terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh 1 (satu) badan usaha dalam 1 (satu) Wilayah Usaha.

(5) Dalam hal usaha pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan dilakukan secara terintegrasi, usaha pembangkitan dan/atau transmisi dapat dilakukan di luar Wilayah Usahanya.

(6) Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum dengan jenis usaha Distribusi Tenaga Listrik dan/atau penjualan tenaga listrik dilakukan oleh 1 (satu) badan usaha dalam 1 (satu) Wilayah Usaha.

(7) Penetapan Wilayah Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (6) mempertimbangkan kriteria:

a. pemegang Wilayah Usaha yang sudah ada tidak mampu menyediakan tenaga listrik; b. pemegang Wilayah Usaha yang sudah ada tidak mampu memenuhi tingkat mutu dan keandalan; c. pemegang Wilayah Usaha yang sudah ada mengembalikan sebagian atau seluruh Wilayah Usahanya kepada Menteri; d. Wilayah Usaha yang diusulkan oleh Pelaku Usaha belum terjangkau oleh pemegang Wilayah Usaha yang sudah ada; dan/atau e. Wilayah Usaha yang diusulkan oleh Pelaku Usaha merupakan kawasan terpadu yang mengelola sumber daya energi secara terintegrasi sesuai pola kebutuhan listrik usahanya.

(8) Perubahan cakupan Wilayah Usaha dapat dilakukan dalam hal:

a. perluasan cakupan Wilayah Usaha jika pemegang Wilayah Usaha lain tidak mampu menyediakan tenaga listrik di Wilayah Usahanya; b. pengurangan cakupan Wilayah Usaha jika pemegang Wilayah Usaha tidak mampu menyediakan tenaga listrik pada sebagian Wilayah Usahanya; atau c. perubahan lainnya berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (7).

(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 27

(1) Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan sendiri dengan total kapasitas pembangkit tenaga listrik lebih dari 500 kW (lima ratus kilowatt) yang terhubung dalam 1 (satu) sistem Instalasi Tenaga Listrik wajib mendapatkan izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan sendiri.

(2) Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri atau gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Penerbitan izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui sistem pelayanan Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik di bidang Ketenagalistrikan.

(4) Kewajiban Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri dengan total kapasitas pembangkit tenaga listrik sampai dengan 500 kW (lima ratus kilowatt) yang terhubung dalam 1 (satu) sistem Instalasi Tenaga Listrik berupa penyampaian laporan sebanyak 1 (satu) kali kepada Menteri atau gubernur sebelum melakukan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan sendiri.

(5) Pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan sendiri dengan total kapasitas lebih dari 500 kW (lima ratus kilowatt) yang terhubung dalam 1 (satu) sistem Instalasi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki sertifikat laik operasi.

(6) Pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan sendiri dengan total kapasitas sampai dengan 500 kW (lima ratus kilowatt) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan spesifikasi teknis:

a. kontrol panel menjadi 1 (satu) bagian terpisahkan wajib memiliki sertifikat laik operasi; dan b. kontrol panel menjadi 1 (satu) bagian tidak terpisahkan dinyatakan telah memenuhi ketentuan wajib sertifikat laik operasi.

(7) Pembangkit tenaga listrik yang dinyatakan memenuhi ketentuan wajib sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b wajib dilengkapi dengan dokumen berupa:

a. sertifikat produk; atau b. surat pernyataan bertanggung jawab terhadap aspek keselamatan Ketenagalistrikan dari pemilik Instalasi Tenaga Listrik yang dilengkapi dengan dokumen: 1. garansi pabrikan yang masih berlaku; 2. hasil uji komisioning dari teknisi distributor; atau 3. dokumen pemeliharaan instalasi pembangkit tenaga listrik.

(8) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dievaluasi oleh Menteri atau gubernur dan wajib mendapatkan nomor registrasi dari Menteri.

(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 28

(1) Konsumen wajib:

a. melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin timbul akibat pemanfaatan tenaga listrik; b. menjaga keamanan Instalasi Tenaga Listrik milik Konsumen; c. memanfaatkan tenaga listrik sesuai dengan peruntukannya; d. membayar tagihan pemakaian tenaga listrik; dan e. menaati persyaratan teknis di bidang Ketenagalistrikan.

(2) Konsumen bertanggung jawab terhadap kerugian pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum jika tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Tanggung jawab Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:

a. membayar denda atas keterlambatan pembayaran pemakaian tenaga listrik; b. membayar tagihan susulan pemakaian tenaga listrik; c. membayar ganti kerugian atas kerusakan/kehilangan Instalasi Tenaga Listrik yang dimiliki oleh pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum; dan/atau d. tanggung jawab lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Dalam hal Konsumen berkeberatan dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan investigasi Ketenagalistrikan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai investigasi Ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 29

(1) Pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum dalam melaksanakan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) berhak untuk:

a. melintasi sungai atau danau, baik di atas maupun di bawah permukaan; b. melintasi laut, baik di atas maupun di bawah permukaan; c. melintasi jalan umum dan jalan kereta api; d. masuk ke tempat umum atau perseorangan dan menggunakannya untuk sementara waktu; e. menggunakan tanah dan melintas di atas atau di bawah tanah; f. melintas di atas atau di bawah bangunan yang dibangun di atas atau di bawah tanah; dan g. memotong dan/atau menebang tanaman yang menghalanginya.

(2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum berhak melintasi pipa gas dan infrastrukturnya serta kawasan hutan untuk menjaga keandalan penyediaan tenaga listrik.

(3) Dalam pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum harus melaksanakannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Dalam pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang merupakan barang milik negara/kekayaan negara/barang milik daerah/barang milik badan usaha milik negara/barang milik badan usaha milik daerah, pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum harus melaksanakannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara.

Pasal 30

(1) Penggunaan tanah oleh pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum dalam melaksanakan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dilakukan setelah memberikan Ganti Rugi Hak atas Tanah atau Kompensasi kepada pemegang hak atas tanah, bangunan, dan tanaman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk penggunaan tanah secara tidak langsung oleh pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum yang mengakibatkan berkurangnya nilai ekonomis atas tanah, bangunan, dan tanaman yang dilintasi jaringan Transmisi Tenaga Listrik.

(3) Kompensasi kepada pemegang hak atas tanah, bangunan, dan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan 1 (satu) kali untuk tanah, bangunan dan tanaman di bawah ruang bebas jaringan Transmisi Tenaga Listrik.

(4) Penghitungan besaran Kompensasi kepada pemegang hak atas tanah, bangunan, dan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh lembaga penilai independen yang ditunjuk oleh Menteri.

(5) Besaran Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berdasarkan formula perhitungan Kompensasi dikalikan dengan harga tanah, bangunan dan tanaman.

(6) Lembaga penilai independen menyampaikan rekomendasi besaran Kompensasi kepada Menteri untuk ditetapkan.

(7) Setelah Kompensasi diberikan, pemegang Perizinan Berusaha wajib melakukan pemeliharaan tanaman di bawah ruang bebas jaringan Transmisi Tenaga Listrik untuk pemenuhan keselamatan Ketenagalistrikan.

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perhitungan, kriteria dan pembayaran Kompensasi tanah, bangunan, dan tanaman diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 31

(1) Usaha jasa penunjang tenaga listrik meliputi:

a. konsultansi dalam bidang Instalasi Tenaga Listrik; b. pembangunan dan pemasangan Instalasi Tenaga Listrik; c. pemeriksaan dan pengujian Instalasi Tenaga Listrik; d. pengoperasian Instalasi Tenaga Listrik; e. pemeliharaan Instalasi Tenaga Listrik; f. penelitian dan pengembangan; g. pendidikan dan pelatihan; h. laboratorium pengujian peralatan dan pemanfaat tenaga listrik; i. sertifikasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik; j. Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan; k. Sertifikasi Badan Usaha jasa penunjang tenaga listrik; dan l. usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan penyediaan tenaga listrik.

(2) Usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l paling sedikit berupa:

a. pemeriksaan dan penilaian tingkat komponen dalam negeri di bidang Ketenagalistrikan; b. pemeriksaan dan penilaian penerapan sistem manajemen keselamatan Ketenagalistrikan; c. pengelolaan lingkungan Ketenagalistrikan; d. pengendalian emisi gas rumah kaca Ketenagalistrikan; dan e. pemeriksaan dan penilaian Kompensasi tanah, bangunan, dan/atau tanaman yang berada di bawah ruang bebas jaringan Transmisi Tenaga Listrik.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 32

(1) Usaha jasa penunjang tenaga listrik dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, badan layanan umum, dan koperasi yang berusaha di bidang usaha jasa penunjang tenaga listrik sesuai dengan Klasifikasi, Kualifikasi, dan/atau sertifikat badan usaha jasa penunjang tenaga listrik.

(2) Badan usaha swasta yang melaksanakan usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk:

a. badan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. bukan badan hukum yang telah didaftarkan pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia; atau c. kantor perwakilan asing yang dibentuk oleh badan usaha jasa penunjang tenaga listrik asing atau usaha perseorangan jasa penunjang tenaga listrik asing.

(3) Badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, badan layanan umum, dan koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan kegiatan usaha jasa penunjang tenaga listrik wajib mendapat Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha jasa penunjang tenaga listrik dan sertifikat badan usaha jasa penunjang tenaga listrik.

(4) Perizinan Berusaha jasa penunjang tenaga listrik untuk kantor perwakilan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diberikan untuk jenis usaha:

a. konsultansi dalam bidang Instalasi Tenaga Listrik; b. pembangunan dan pemasangan Instalasi Tenaga Listrik; dan c. pemeliharaan Instalasi Tenaga Listrik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf e.

(5) Permohonan Perizinan Berusaha jasa penunjang tenaga listrik untuk kantor perwakilan asing dikenai biaya administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.

(6) Kantor perwakilan asing hanya diizinkan mengerjakan pekerjaan jasa penunjang tenaga listrik yang berbiaya tinggi.

(7) Pekerjaan jasa penunjang tenaga listrik yang berbiaya tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa:

a. pekerjaan pembangunan dan pemasangan Instalasi Tenaga Listrik dengan nilai paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); dan b. pekerjaan konsultansi dalam bidang Instalasi Tenaga Listrik atau pemeliharaan Instalasi Tenaga Listrik paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 33

(1) Kantor perwakilan asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf c wajib:

a. memiliki Kualifikasi yang setara dengan Kualifikasi besar; b. membentuk kerja sama operasi dengan badan usaha jasa penunjang tenaga listrik dalam negeri; c. mempekerjakan lebih banyak tenaga kerja Indonesia daripada tenaga kerja asing; d. menempatkan warga negara Indonesia sebagai penanggung jawab badan usaha kantor perwakilan; e. mengutamakan penggunaan produk dalam negeri; f. memiliki teknologi tinggi, mutakhir, efisien, berwawasan lingkungan, serta memperhatikan kearifan lokal; g. melaksanakan proses alih teknologi; dan h. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Badan usaha jasa penunjang tenaga listrik dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus:

a. berbentuk perseroan terbatas; b. kepemilikan saham 100% (seratus persen) oleh perorangan warga negara Indonesia, Negara Republik Indonesia, Pemerintah Daerah, badan usaha swasta, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan/atau koperasi; c. memiliki sertifikat badan usaha dengan Kualifikasi usaha besar; dan d. memiliki Perizinan Berusaha jasa penunjang tenaga listrik.

Pasal 34

(1) Usaha jasa konsultansi dalam bidang Instalasi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a diklasifikasikan dalam bidang:

a. Pembangkitan Tenaga Listrik; b. Transmisi Tenaga Listrik; c. Distribusi Tenaga Listrik; d. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik; dan e. lainnya yang secara langsung berkaitan dengan Instalasi Tenaga Listrik.

(2) Usaha jasa konsultansi di bidang Pembangkitan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diklasifikasikan dalam subbidang:

a. pembangkit listrik tenaga uap; b. pembangkit listrik tenaga gas; c. pembangkit listrik tenaga gas-uap; d. pembangkit listrik tenaga Panas Bumi; e. pembangkit listrik tenaga air; f. pembangkit listrik tenaga air skala kecil dan menengah; g. pembangkit listrik tenaga diesel; h. pembangkit listrik tenaga mesin gas-uap; i. pembangkit listrik tenaga nuklir; j. pembangkit listrik tenaga surya; k. pembangkit listrik tenaga bayu; l. pembangkit listrik tenaga biomassa; m. pembangkit listrik tenaga biogas; n. pembangkit listrik tenaga sampah; o. battery energy storage system (BESS); dan p. pembangkit listrik tenaga energi baru lainnya dan tenaga energi terbarukan lainnya.

(3) Usaha jasa konsultansi di bidang Transmisi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Transmisi Tenaga Listrik tegangan tinggi, tegangan ekstra tinggi, dan/atau tegangan ultra tinggi; dan b. gardu induk.

(4) Usaha jasa konsultansi di bidang Distribusi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan menengah; dan b. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan rendah.

(5) Usaha jasa konsultansi di bidang Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diklasifikasikan dalam subbidang:

a. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan tinggi; b. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan menengah; dan c. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan rendah.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Usaha jasa konsultansi bidang lainnya yang secara langsung berkaitan dengan Instalasi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 35

(1) Usaha jasa pembangunan dan pemasangan Instalasi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b diklasifikasikan dalam bidang:

a. Pembangkitan Tenaga Listrik; b. Transmisi Tenaga Listrik; c. Distribusi Tenaga Listrik; d. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik; dan e. lainnya yang secara langsung berkaitan dengan Instalasi Tenaga Listrik.

(2) Usaha jasa pembangunan dan pemasangan di bidang Pembangkitan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diklasifikasikan dalam subbidang:

a. pembangkit listrik tenaga uap; b. pembangkit listrik tenaga gas; c. pembangkit listrik tenaga gas-uap; d. pembangkit listrik tenaga Panas Bumi; e. pembangkit listrik tenaga air; f. pembangkit listrik tenaga air skala kecil dan menengah; g. pembangkit listrik tenaga diesel; h. pembangkit listrik tenaga mesin gas-uap; i. pembangkit listrik tenaga nuklir; j. pembangkit listrik tenaga surya; k. pembangkit listrik tenaga bayu; l. pembangkit listrik tenaga biomassa; m. pembangkit listrik tenaga biogas; n. pembangkit listrik tenaga sampah; o. battery energy storage system (BESS); dan p. pembangkit listrik tenaga energi baru lainnya dan tenaga energi terbarukan lainnya.

(3) Usaha jasa pembangunan dan pemasangan di bidang Transmisi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Transmisi Tenaga Listrik tegangan tinggi, tegangan ekstra tinggi, dan/atau tegangan ultra tinggi; dan b. gardu induk.

(4) Usaha jasa pembangunan dan pemasangan di bidang Distribusi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan menengah; dan b. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan rendah.

(5) Usaha jasa pembangunan dan pemasangan di bidang Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diklasifikasikan dalam subbidang:

a. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan tinggi; b. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan menengah; dan c. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan rendah.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Usaha jasa pembangunan dan pemasangan di bidang lainnya yang secara langsung berkaitan dengan Instalasi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur dengan Peraturan Menteri.

(7) Klasifikasi, Kualifikasi, dan sertifikasi perencana, pelaksana, dan pengawas bangunan sipil dan gedung untuk Instalasi Tenaga Listrik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang jasa konstruksi.

Pasal 36

(1) Usaha jasa pemeriksaan dan pengujian Instalasi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf c diklasifikasikan dalam bidang:

a. Pembangkitan Tenaga Listrik; b. Transmisi Tenaga Listrik; c. Distribusi Tenaga Listrik; d. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik; dan e. lainnya yang secara langsung berkaitan dengan Instalasi Tenaga Listrik.

(2) Usaha jasa pemeriksaan dan pengujian di bidang Pembangkitan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diklasifikasikan dalam subbidang:

a. pembangkit listrik tenaga uap; b. pembangkit listrik tenaga gas; c. pembangkit listrik tenaga gas-uap; d. pembangkit listrik tenaga Panas Bumi; e. pembangkit listrik tenaga air; f. pembangkit listrik tenaga air skala kecil dan menengah; g. pembangkit listrik tenaga diesel; h. pembangkit listrik tenaga mesin gas-uap; i. pembangkit listrik tenaga nuklir; j. pembangkit listrik tenaga surya; k. pembangkit listrik tenaga bayu; l. pembangkit listrik tenaga biomassa; m. pembangkit listrik tenaga biogas; n. pembangkit listrik tenaga sampah; o. battery energy storage system (BESS); dan p. pembangkit listrik tenaga energi baru lainnya dan tenaga energi terbarukan lainnya.

(3) Usaha jasa pemeriksaan dan pengujian di bidang Transmisi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Transmisi Tenaga Listrik tegangan tinggi, tegangan ekstra tinggi, dan/atau tegangan ultra tinggi; dan b. gardu induk.

(4) Usaha jasa pemeriksaan dan pengujian di bidang Distribusi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan menengah; dan b. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan rendah.

(5) Usaha jasa pemeriksaan dan pengujian di bidang Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diklasifikasikan dalam subbidang:

a. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan tinggi; b. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan menengah; dan c. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan rendah.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha jasa pemeriksaan dan pengujian di bidang lainnya yang secara langsung berkaitan dengan Instalasi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 37

(1) Usaha jasa pengoperasian Instalasi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf d diklasifikasikan dalam bidang:

a. Pembangkitan Tenaga Listrik; b. Transmisi Tenaga Listrik; c. Distribusi Tenaga Listrik; d. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik; dan e. lainnya yang secara langsung berkaitan dengan Instalasi Tenaga Listrik.

(2) Usaha jasa pengoperasian di bidang Pembangkitan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diklasifikasikan dalam subbidang:

a. pembangkit listrik tenaga uap; b. pembangkit listrik tenaga gas; c. pembangkit listrik tenaga gas-uap; d. pembangkit listrik tenaga Panas Bumi; e. pembangkit listrik tenaga air; f. pembangkit listrik tenaga air skala kecil dan menengah; g. pembangkit listrik tenaga diesel; h. pembangkit listrik tenaga mesin gas-uap; i. pembangkit listrik tenaga nuklir; j. pembangkit listrik tenaga surya; k. pembangkit listrik tenaga bayu; l. pembangkit listrik tenaga biomassa; m. pembangkit listrik tenaga biogas; n. pembangkit listrik tenaga sampah; o. battery energy storage system (BESS); dan p. pembangkit listrik tenaga energi baru lainnya dan tenaga energi terbarukan lainnya.

(3) Usaha jasa pengoperasian di bidang Transmisi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Transmisi Tenaga Listrik tegangan tinggi, tegangan ekstra tinggi, dan/atau tegangan ultra tinggi; dan b. gardu induk.

(4) Usaha jasa pengoperasian di bidang Distribusi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan menengah; dan b. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan rendah.

(5) Usaha jasa pengoperasian di bidang Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diklasifikasikan dalam subbidang:

a. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan tinggi; b. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan menengah; dan c. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan rendah.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha jasa pengoperasian di bidang lainnya yang secara langsung berkaitan dengan Instalasi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 38

(1) Usaha jasa pemeliharaan Instalasi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf e diklasifikasikan dalam bidang:

a. Pembangkitan Tenaga Listrik; b. Transmisi Tenaga Listrik; c. Distribusi Tenaga Listrik; d. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik; dan e. lainnya yang secara langsung berkaitan dengan Instalasi Tenaga Listrik.

(2) Usaha jasa pemeliharaan di bidang Pembangkitan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diklasifikasikan dalam subbidang:

a. pembangkit listrik tenaga uap; b. pembangkit listrik tenaga gas; c. pembangkit listrik tenaga gas-uap; d. pembangkit listrik tenaga Panas Bumi; e. pembangkit listrik tenaga air; f. pembangkit listrik tenaga air skala kecil dan menengah; g. pembangkit listrik tenaga diesel; h. pembangkit listrik tenaga mesin gas-uap; i. pembangkit listrik tenaga nuklir; j. pembangkit listrik tenaga surya; k. pembangkit listrik tenaga bayu; l. pembangkit listrik tenaga biomassa; m. pembangkit listrik tenaga biogas; n. pembangkit listrik tenaga sampah; o. battery energy storage system (BESS); dan p. pembangkit listrik tenaga energi baru lainnya dan tenaga energi terbarukan lainnya.

(3) Usaha jasa pemeliharaan di bidang Transmisi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Transmisi Tenaga Listrik tegangan tinggi, tegangan ekstra tinggi, dan/atau tegangan ultra tinggi; dan b. gardu induk.

(4) Usaha jasa pemeliharaan di bidang Distribusi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan menengah; dan b. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan rendah.

(5) Usaha jasa pemeliharaan di bidang Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diklasifikasikan dalam subbidang:

a. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan tinggi; b. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan menengah; dan c. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan rendah.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha jasa pemeliharaan di bidang lainnya yang secara langsung berkaitan dengan Instalasi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 39

(1) Usaha jasa pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf g diklasifikasikan dalam bidang:

a. Pembangkitan Tenaga Listrik; b. Transmisi Tenaga Listrik; c. Distribusi Tenaga Listrik; d. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik; e. asesor Ketenagalistrikan; f. industri penunjang tenaga listrik; dan g. lainnya yang secara langsung berkaitan dengan Instalasi Tenaga Listrik.

(2) Usaha jasa pendidikan dan pelatihan di bidang Pembangkitan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diklasifikasikan dalam subbidang:

a. pembangkit listrik tenaga uap; b. pembangkit listrik tenaga gas; c. pembangkit listrik tenaga gas-uap; d. pembangkit listrik tenaga Panas Bumi; e. pembangkit listrik tenaga air; f. pembangkit listrik tenaga air skala kecil dan menengah; g. pembangkit listrik tenaga diesel; h. pembangkit listrik tenaga mesin gas-uap; i. pembangkit listrik tenaga nuklir; j. pembangkit listrik tenaga surya; k. pembangkit listrik tenaga bayu; l. pembangkit listrik tenaga biomassa; m. pembangkit listrik tenaga biogas; n. pembangkit listrik tenaga sampah; o. battery energy storage system (BESS); dan p. pembangkit listrik tenaga energi baru lainnya dan tenaga energi terbarukan lainnya.

(3) Usaha jasa pendidikan dan pelatihan di bidang Transmisi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Transmisi Tenaga Listrik tegangan tinggi, tegangan ekstra tinggi, dan/atau tegangan ultra tinggi; dan b. gardu induk.

(4) Usaha jasa pendidikan dan pelatihan di bidang Distribusi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diklasifikasikan dalam subbidang:

a. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan menengah; dan b. jaringan Distribusi Tenaga Listrik tegangan rendah.

(5) Usaha jasa pendidikan dan pelatihan di bidang Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diklasifikasikan dalam subbidang:

a. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan tinggi; b. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan menengah; dan c. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan rendah.

(6) Usaha jasa pendidikan dan pelatihan di bidang asesor Ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diklasifikasikan dalam subbidang:

a. Pembangkitan Tenaga Listrik; b. Transmisi Tenaga Listrik; c. Distribusi Tenaga Listrik; dan d. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik.

(7) Usaha jasa pendidikan dan pelatihan di bidang industri penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f diklasifikasikan dalam subbidang:

a. peralatan tenaga listrik; dan b. pemanfaat tenaga listrik.

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha jasa pendidikan dan pelatihan di bidang lainnya yang secara langsung berkaitan dengan Instalasi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 40

(1) Usaha jasa Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf j diklasifikasikan dalam bidang:

a. Pembangkitan Tenaga Listrik; b. Transmisi Tenaga Listrik; c. Distribusi Tenaga Listrik; d. penjualan tenaga listrik; e. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik; dan f. lainnya yang secara langsung berkaitan dengan Instalasi Tenaga Listrik.

(2) Usaha jasa Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan di bidang Pembangkitan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diklasifikasikan dalam subbidang:

a. konsultansi; b. pembangunan dan pemasangan; c. pemeriksaan dan pengujian; d. pengoperasian; e. pemeliharaan; f. penelitian dan pengembangan; g. pendidikan dan pelatihan; h. laboratorium pengujian; i. asesor Ketenagalistrikan; dan j. usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan Pembangkitan Tenaga Listrik.

(3) Usaha jasa Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan di bidang Transmisi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diklasifikasikan dalam subbidang:

a. konsultansi; b. pembangunan dan pemasangan; c. pemeriksaan dan pengujian; d. pengoperasian; e. pemeliharaan; f. penelitian dan pengembangan; g. pendidikan dan pelatihan; h. laboratorium pengujian; i. asesor Ketenagalistrikan; dan j. usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan Transmisi Tenaga Listrik.

(4) Usaha jasa Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan di bidang Distribusi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diklasifikasikan dalam subbidang:

a. konsultansi; b. pembangunan dan pemasangan; c. pemeriksaan dan pengujian; d. pengoperasian; e. pemeliharaan; f. penelitian dan pengembangan; g. pendidikan dan pelatihan; h. laboratorium pengujian; i. asesor Ketenagalistrikan; dan j. usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan Distribusi Tenaga Listrik.

(5) Usaha jasa Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan di bidang penjualan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diklasifikasikan dalam subbidang:

a. penjualan antar negara; b. penjualan antar penyedia listrik; c. penjualan langsung; d. aktivitas penunjang penjualan; e. asesor Ketenagalistrikan; dan f. usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan Penjualan Tenaga Listrik.

(6) Usaha jasa Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan di bidang Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diklasifikasikan dalam subbidang:

a. konsultansi; b. pembangunan dan pemasangan; c. pemeriksaan dan pengujian; d. pengoperasian; e. pemeliharaan; f. penelitian dan pengembangan; g. pendidikan dan pelatihan; h. laboratorium pengujian; i. asesor Ketenagalistrikan; dan j. usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha jasa Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan di bidang lainnya yang secara langsung berkaitan dengan Instalasi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 41

Usaha jasa Sertifikasi Badan Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf k diklasifikasikan dalam jenis usaha:

a. konsultansi dalam bidang Instalasi Tenaga Listrik; b. pembangunan dan pemasangan Instalasi Tenaga Listrik; c. pemeriksaan dan pengujian Instalasi Tenaga Listrik; d. pengoperasian Instalasi Tenaga Listrik; e. pemeliharaan Instalasi Tenaga Listrik; dan f. Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan.

Pasal 42

(1) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf f, huruf h, dan huruf i diklasifikasikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Klasifikasi usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf l diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 43

(1) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf g, huruf j, dan huruf k dikualifikasikan dalam:

a. Kualifikasi usaha besar; b. Kualifikasi usaha menengah; dan/atau c. Kualifikasi usaha kecil.

(2) Kualifikasi usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan:

a. tingkat kemampuan usaha; dan b. Kompetensi tenaga teknik.

(3) Kompetensi tenaga teknik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dibuktikan dengan sertifikat Kompetensi.

(4) Sertifikat Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan oleh Menteri atau lembaga sertifikasi Kompetensi yang diakreditasi oleh Menteri.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan Kualifikasi usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 44

(1) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf f, huruf h, dan huruf i dikualifikasikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kualifikasi usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf l diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 45

(1) Sertifikat badan usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) diperoleh melalui Sertifikasi Badan Usaha.

(2) Sertifikat badan usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf j diberikan oleh Menteri atau Lembaga Sertifikasi Badan Usaha yang diakreditasi oleh Menteri.

(3) Sertifikat badan usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf k, dan huruf l dapat digantikan dengan dokumen yang setara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Sertifikat badan usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diberikan oleh Menteri dapat dikenakan biaya administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.

(5) Sertifikat badan usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan nomor registrasi dari Menteri.

(6) Permohonan nomor registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dikenakan biaya administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Sertifikasi Badan Usaha diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 46

(1) Usaha jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf c, huruf j, dan huruf k yang telah mendapatkan Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha jasa penunjang tenaga listrik dan telah menjalankan usaha selama 3 (tiga) tahun wajib memenuhi persyaratan akreditasi.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk usaha jasa pemeriksaan dan pengujian Instalasi Tenaga Listrik bidang Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik subbidang instalasi pemanfaatan tenaga listrik tegangan rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5) huruf c.

(3) Untuk usaha jasa pemeriksaan dan pengujian Instalasi Tenaga Listrik bidang Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik subbidang instalasi pemanfaatan tenaga listrik tegangan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendapatkan akreditasi dan Perizinan Berusaha sebelum menjalankan usahanya.

(4) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diberikan oleh Menteri.

(5) Pelaksanaan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), Menteri dapat dibantu oleh panitia akreditasi Ketenagalistrikan.

(6) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenakan biaya administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara akreditasi usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf c, huruf j, dan huruf k diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 47

Akreditasi usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 48

(1) Setiap kegiatan usaha Ketenagalistrikan wajib memenuhi ketentuan keselamatan Ketenagalistrikan.

(2) Ketentuan keselamatan Ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mewujudkan kondisi:

a. andal dan aman bagi instalasi; b. aman dari bahaya bagi manusia dan mahluk hidup lainnya; dan c. ramah lingkungan.

(3) Ketentuan keselamatan Ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pemenuhan standardisasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik; b. pengamanan Instalasi Tenaga Listrik; dan c. pengamanan pemanfaat tenaga listrik.

(4) Pemenuhan keselamatan Ketenagalistrikan dapat dilaksanakan melalui penerapan sistem manajemen keselamatan Ketenagalistrikan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kegiatan usaha Ketenagalistrikan dan penerapan keselamatan Ketenagalistrikan diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 49

(1) Instalasi Tenaga Listrik terdiri atas Instalasi Penyediaan Tenaga Listrik dan Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik.

(2) Instalasi Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. instalasi Pembangkitan Tenaga Listrik; b. instalasi Transmisi Tenaga Listrik; dan c. instalasi Distribusi Tenaga Listrik.

(3) Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan tinggi; b. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan menengah; dan c. Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik tegangan rendah.

(4) Setiap Instalasi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang beroperasi wajib memiliki sertifikat laik operasi.

(5) Sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh melalui sertifikasi Instalasi Tenaga Listrik.

(6) Sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan oleh Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya atau lembaga inspeksi teknik yang diakreditasi oleh Menteri.

(7) Sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib mendapatkan nomor registrasi dari Menteri.

(8) Permohonan nomor registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikenakan biaya administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.

(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara sertifikasi Instalasi Tenaga Listrik diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 50

(1) Menteri memberlakukan standar wajib di bidang Ketenagalistrikan.

(2) Menteri menetapkan peralatan dan pemanfaat tenaga listrik yang wajib dibubuhi tanda standar nasional Indonesia dan/atau tanda keselamatan.

(3) Dalam memberlakukan standar wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menetapkan peralatan tenaga listrik dan pemanfaat tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri memperhatikan kesiapan sarana dan prasarana.

(4) Pembubuhan tanda standar nasional Indonesia dan/atau tanda keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan setelah mendapat surat persetujuan penggunaan tanda standar nasional Indonesia dan/atau tanda keselamatan dari Menteri.

(5) Surat persetujuan penggunaan tanda standar nasional Indonesia dan/atau tanda keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan melalui registrasi sertifikat produk.

(6) Lembaga sertifikasi produk wajib mendapatkan nomor registrasi yang dikeluarkan oleh Menteri pada sertifikat produk yang diterbitkan untuk produk peralatan dan pemanfaat tenaga listrik yang wajib dibubuhi tanda standar nasional Indonesia dan/atau tanda keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(7) Permohonan nomor registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dikenakan biaya administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai:

a. standardisasi di bidang Ketenagalistrikan; dan b. ketentuan dan tata cara pembubuhan tanda standar nasional Indonesia dan/atau tanda keselamatan, diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 51

(1) Badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, badan layanan umum, serta koperasi dalam Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dan usaha jasa penunjang tenaga listrik wajib mempekerjakan tenaga teknik yang memenuhi standar Kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikat Kompetensi sesuai dengan Klasifikasi dan Kualifikasi di bidang Ketenagalistrikan yang masih berlaku.

(2) Menteri menetapkan standar Kompetensi tenaga teknik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Sertifikat Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri atau lembaga sertifikasi Kompetensi yang diakreditasi oleh Menteri.

(4) Sertifikat Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan nomor registrasi dari Menteri.

(5) Permohonan nomor registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenakan biaya administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai standardisasi kompetensi tenaga teknik dan Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 52

(1) Jaringan tenaga listrik dapat dimanfaatkan untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan/atau informatika.

(2) Pemanfaatan jaringan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:

a. apabila tidak mengganggu kelangsungan penyediaan tenaga listrik; dan b. setelah memperoleh persetujuan pemilik jaringan.

(3) Pemanfaatan jaringan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemanfaatan:

a. penyangga dan/atau jalur sepanjang jaringan; b. serat optik pada jaringan; c. konduktor pada jaringan; dan/atau d. kabel pilot pada jaringan.

(4) Pemilik jaringan menyampaikan laporan kepada Menteri setelah memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b untuk pemanfaatan jaringan tenaga listrik dengan melampirkan dokumen paling sedikit berupa:

a. identitas pemilik jaringan; b. identitas pemanfaat jaringan; c. analisis kelaikan pemanfaatan jaringan; d. jenis dan ruang lingkup jaringan yang dimanfaatkan; e. jenis, spesifikasi, dan/atau kapasitas peralatan telekomunikasi, multimedia, dan/atau informatika yang dipasang di jaringan; dan f. perjanjian pemanfaatan jaringan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan/atau informatika diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 53

(1) Instansi Pemerintah Pusat, instansi Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, badan layanan umum, koperasi, perseorangan, swadaya masyarakat, dan lembaga/badan usaha lainnya dalam melakukan usaha Ketenagalistrikan wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.

(2) Pengutamaan produk dan potensi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. kewajiban penggunaan produk dalam negeri; b. pemenuhan tingkat komponen dalam negeri; dan c. pengadaan produk dalam negeri.

(3) Pengutamaan produk dan potensi dalam negeri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengutamaan produk dan potensi dalam negeri usaha penyediaan tenaga listrik diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 54

(1) Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap:

a. penyediaan dan pemanfaatan sumber energi untuk pembangkit tenaga listrik; b. pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika; c. pemenuhan kecukupan pasokan tenaga listrik; d. pemenuhan persyaratan keteknikan; e. pemenuhan aspek pelindungan lingkungan Ketenagalistrikan; f. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri; g. penggunaan tenaga kerja asing; h. pemenuhan tingkat mutu dan keandalan penyediaan tenaga listrik; i. pemenuhan persyaratan Perizinan Berusaha; j. penerapan tarif tenaga listrik; dan k. pemenuhan mutu jasa yang diberikan oleh usaha jasa penunjang tenaga listrik.

(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya dapat:

a. melakukan inspeksi pengawasan di lapangan; b. meminta laporan pelaksanaan usaha di bidang Ketenagalistrikan; c. melakukan penelitian dan evaluasi atas laporan pelaksanaan usaha di bidang Ketenagalistrikan; dan d. memberikan sanksi administratif terhadap pelanggaran ketentuan Perizinan Berusaha.

(3) Dalam melaksanakan pengawasan keteknikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya dibantu oleh inspektur Ketenagalistrikan dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

(4) Menteri melakukan pengawasan teknis terhadap penyelenggaraan usaha Ketenagalistrikan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

Pasal 55

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), Pasal 28 ayat (1), Pasal 32 ayat (3), Pasal 33 ayat (1), Pasal 48 ayat (1), Pasal 49 ayat (4), Pasal 51 ayat (1), Pasal 53 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa:

a. teguran tertulis; b. pembekuan kegiatan sementara; c. denda; dan/atau d. pencabutan Perizinan Berusaha.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.

(3) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu:

a. teguran kesatu, paling lama 2 (dua) bulan; b. teguran kedua, paling lama 1 (satu) bulan; dan c. teguran ketiga, paling lama 2 (dua) minggu.

(4) Setiap orang yang tidak melaksanakan kewajibannya setelah berakhirnya jangka waktu teguran ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif berupa pembekuan kegiatan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan.

(5) Setiap orang yang tidak melaksanakan kewajibannya setelah berakhirnya jangka waktu sanksi pembekuan kegiatan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan, dengan tidak menggugurkan pemenuhan kewajibannya.

(6) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sewaktu-waktu dapat dicabut apabila setiap orang dalam masa pengenaan sanksi memenuhi kewajibannya.

(7) Setiap orang yang tidak melaksanakan kewajibannya setelah berakhirnya jangka waktu sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d.

Pasal 56

Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap:

a. keselamatan; b. kesehatan; c. lingkungan; dan d. pemanfaatan sumber daya, Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya dapat mengenakan sanksi administratif berupa pembekuan kegiatan sementara atau pencabutan Perizinan Berusaha dengan tidak menggugurkan pemenuhan kewajibannya.

Pasal 57

(1) Besaran denda yang dikenai untuk:

a. Setiap orang yang melakukan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) tanpa izin dikenai denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). b. Setiap orang yang melakukan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) tanpa izin dikenai denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). c. Setiap orang yang melakukan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik yang tidak memenuhi kewajiban melaporkan kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) dikenai denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(2) Besaran denda yang dikenai untuk:

a. Setiap orang yang tidak memenuhi keselamatan Ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) sehingga mempengaruhi kelangsungan penyediaan tenaga listrik dikenai denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). b. Setiap orang yang mengoperasikan Instalasi Tenaga Listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (4) dikenai denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). c. Setiap orang yang mengoperasikan Instalasi Tenaga Listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (4) yang mengakibatkan timbulnya korban dikenai denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). d. Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a mengakibatkan terputusnya aliran listrik sehingga merugikan masyarakat, dikenai denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap orang yang mendirikan bangunan atau membiarkan bangunan dan/atau menanam kembali tanaman yang telah diberi ganti rugi dan/atau Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), dikenai denda:

a. untuk objek tanaman, dikenakan denda sebesar 4 (empat) kali dari nilai pasar tanaman tersebut pada tahun berjalan; dan b. untuk objek bangunan, dikenakan denda sebesar nilai jual objek pajak bangunan tersebut pada tahun berjalan.

(4) Setiap orang yang mendirikan bangunan atau membiarkan bangunan dan/atau menanam kembali tanaman yang berpotensi masuk ke ruang bebas atau jarak bebas minimum jaringan Transmisi Tenaga Listrik, dikenai denda:

a. untuk objek tanaman, dikenakan denda sebesar 4 (empat) kali dari nilai pasar tanaman tersebut pada tahun berjalan; dan b. untuk objek bangunan, dikenakan denda sebesar nilai jual objek pajak bangunan tersebut pada tahun berjalan.

(5) Setiap orang yang mendirikan bangunan atau membiarkan bangunan dan/atau menanam kembali tanaman yang berpotensi membahayakan keselamatan dan/atau mengganggu keandalan penyediaan tenaga listrik, dikenai denda:

a. untuk objek tanaman, dikenakan denda sebesar 4 (empat) kali dari nilai pasar tanaman tersebut pada tahun berjalan; dan b. untuk objek bangunan, dikenakan denda sebesar nilai jual objek pajak bangunan tersebut pada tahun berjalan.

(6) Selain denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan pembongkaran bangunan dan/atau pemangkasan tanaman.

(7) Besaran denda yang dikenai untuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3), untuk:

a. Setiap badan usaha yang melaksanakan kegiatan usaha jasa penunjang tenaga listrik yang tidak memiliki Perizinan Berusaha bidang usaha jasa penunjang tenaga listrik dikenai denda sebesar 10% (sepuluh persen) dari semua nilai kontrak. b. Setiap kantor perwakilan asing yang melaksanakan kegiatan usaha jasa penunjang tenaga listrik yang tidak memiliki Perizinan Berusaha bidang usaha jasa penunjang tenaga listrik dikenai denda sebesar 20% (dua puluh persen) dari semua nilai kontrak. c. Setiap badan usaha jasa konsultansi dalam bidang Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa pembangunan dan pemasangan Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa pemeriksaan dan pengujian Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa pengoperasian Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa pemeliharaan Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan, usaha jasa Sertifikasi Badan Usaha jasa penunjang tenaga listrik yang melaksanakan usahanya tidak memiliki sertifikat badan usaha atau tidak memelihara masa berlaku sertifikat badan usaha sesuai dengan ruang lingkup Perizinan Berusaha, dikenai denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per subbidang untuk Pelaku Usaha dengan Kualifikasi kecil. d. Setiap badan usaha jasa konsultansi dalam bidang Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa pembangunan dan pemasangan Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa pemeriksaan dan pengujian Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa pengoperasian Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa pemeliharaan Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan, usaha jasa Sertifikasi Badan Usaha jasa penunjang tenaga listrik yang melaksanakan usahanya tidak memiliki sertifikat badan usaha atau tidak memelihara masa berlaku sertifikat badan usaha sesuai dengan ruang lingkup Perizinan Berusaha, dikenai denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per subbidang untuk Pelaku Usaha dengan Kualifikasi menengah. e. setiap badan usaha jasa konsultansi dalam bidang Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa pembangunan dan pemasangan Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa pemeriksaan dan pengujian Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa pengoperasian Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa pemeliharaan Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan, usaha jasa Sertifikasi Badan Usaha jasa penunjang tenaga listrik yang melaksanakan usahanya tidak memiliki sertifikat badan usaha atau tidak memelihara masa berlaku sertifikat badan usaha sesuai dengan ruang lingkup Perizinan Berusaha, dikenai denda sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) per subbidang untuk Pelaku Usaha dengan Kualifikasi besar.

(8) Besaran denda yang dikenai untuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), untuk:

a. badan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik: 1. Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) untuk setiap tenaga teknik jenjang Kualifikasi pelaksana/operator; 2. Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) untuk setiap tenaga teknik jenjang Kualifikasi analis/teknisi; 3. Rp45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah) untuk setiap tenaga teknik jenjang Kualifikasi ahli; dan 4. Rp90.000.000,00 (sembilan puluh juta rupiah) untuk setiap tenaga teknik jika merupakan warga negara asing. b. badan usaha jasa penunjang tenaga listrik: 1. Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) untuk setiap tenaga teknik jenjang Kualifikasi pelaksana/operator; 2. Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk setiap tenaga teknik jenjang Kualifikasi analis/teknisi; 3. Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) untuk setiap tenaga teknik jenjang Kualifikasi ahli; dan 4. Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) untuk setiap tenaga teknik jika merupakan warga negara asing.

(9) Lembaga sertifikasi produk yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (6), dikenai denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Pasal 58

(1) Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) menerbitkan surat pemberitahuan pembayaran untuk pengenaan sanksi administratif berupa denda yang memuat besaran sanksi denda yang dikenakan dan tanggal jatuh tempo pembayaran.

(2) Tanggal jatuh tempo yang tercantum pada surat pemberitahuan pembayaran untuk pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu 3 (tiga) bulan sejak surat pemberitahuan dimaksud diterima oleh pelanggar ketentuan.

(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan negara bukan pajak atau penerimaan daerah.

BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 59

(1) Pemerintah Pusat melakukan evaluasi atas pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini dengan memperhatikan perkembangan dan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha dalam rangka percepatan cipta kerja.

(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri yang dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.

Pasal 60

Dalam hal Peraturan Pemerintah ini memberikan pilihan tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan, Menteri dapat melakukan diskresi untuk mengatasi persoalan konkret dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.

BAB VI KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 61

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:

1. Perizinan Berusaha yang telah efektif sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini tetap berlaku sampai dengan berakhirnya Perizinan Berusaha. 2. Permohonan Perizinan Berusaha yang telah diajukan Pelaku Usaha melalui sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, namun belum diterbitkan perizinan berusahanya, diproses melalui sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik dengan pengaturan Perizinan Berusaha sesuai Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 62

Ketentuan pelaksanaan Perizinan Berusaha yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini tidak berlaku bagi Pelaku Usaha/pihak yang telah mendapatkan Perizinan Berusaha sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, kecuali ketentuan tersebut lebih menguntungkan bagi pemegang Perizinan Berusaha dimaksud.

BAB VII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 63

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:

a. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5281) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5530); b. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2012 tentang Usaha Jasa Penunjang Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5326); c. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2016 tentang Besaran dan Tata Cara Pemberian Bonus Produksi Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5900); dan d. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6023), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 64

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku ketentuan Pasal 65, Pasal 67, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal 75, Pasal 84, Pasal 87, Pasal 89, Pasal 109, Pasal 110, Pasal 111, dan Pasal 119 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6023), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 65

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2021 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2021 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY