BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud
dengan:
1. Laut adalah ruang perairan di muka bumi yang
menghubungkan daratan dengan daratan dan
bentuk-bentuk alamiah lainnya, yang merupakan
kesatuan geografis dan ekologis beserta segenap
unsur terkait, dan yang batas dan sistemnya
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan
dan hukum internasional.
2. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil
atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer
persegi) beserta kesatuan ekosistemnya.
3. Perikanan adalah semua kegiatan yang
berhubungan dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya ikan dan
lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,
pengolahan sampai dengan pemasaran, yang
dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis
perikanan.
4. Pembudi Daya Ikan Kecil adalah pembudi daya
ikan yang melakukan pembudidayaan ikan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
5. Konsultasi Publik adalah proses penggalian
masukan yang dapat dilakukan melalui rapat,
musyawarah, dan/atau bentuk pertemuan lainnya
yang melibatkan berbagai unsur pemangku
kepentingan utama.
6. Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah yang
selanjutnya disingkat RZ KAW adalah rencana
yang disusun untuk menentukan arahan
pemanfaatan ruang laut di kawasan antarwilayah.
7. Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional
Tertentu yang selanjutnya disingkat RZ KSNT
adalah rencana yang disusun untuk menentukan
arahan pemanfaatan ruang di kawasan strategis
nasional tertentu.
8. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang selanjutnya disingkat RZWP-3-K adalah
rencana yang menentukan arah penggunaan
sumber daya yang disertai dengan penetapan
alokasi ruang pada kawasan perencanaan yang
memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak
boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat
dilakukan setelah memperoleh izin.
9. Kawasan Konservasi adalah kawasan yang
mempunyai ciri khas tertentu sebagai satu
kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan,
dan/atau dimanfaatkan secara berkelanjutan.
10. Zona Inti adalah bagian dari Kawasan Konservasi
di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang
dilindungi, yang ditujukan untuk pelindungan
habitat dan populasi sumber daya pesisir dan
pulau-pulau kecil serta pemanfaatannya hanya
terbatas untuk penelitian.
11. Bangunan dan Instalasi di Laut adalah setiap
konstruksi, baik yang berada di atas dan/atau di
bawah permukaan Laut baik yang menempel pada
daratan maupun yang tidak menempel pada
daratan serta didirikan di wilayah perairan dan
wilayah yurisdiksi.
12. Pipa Bawah Laut adalah tabung berongga dengan
diameter dan panjang bervariasi yang terletak di
atau tertanam di bagian bawah Laut.
13. Pantai adalah daerah antara muka air surut
terendah dengan muka air pasang tertinggi.
14. Sumber Daya Kelautan adalah sumber daya Laut,
baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak
dapat diperbarui yang memiliki keunggulan
komparatif dan kompetitif serta dapat
dipertahankan dalam jangka panjang.
15. Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat
BMN adalah semua barang yang dibeli atau
diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan
belanja negara atau berasal dari perolehan lainnya
yang sah.
16. Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang
yang secara turun-temurun bermukim di wilayah
geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik
Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul
leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah,
wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata
pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di
wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
17. Masyarakat Lokal adalah kelompok masyarakat
yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari
berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima
sebagai nilai-nilai yang berlaku umum, tetapi tidak
sepenuhnya bergantung pada sumber daya pesisir
dan pulau-pulau kecil tertentu.
18. Masyarakat Tradisional adalah masyarakat
perikanan tradisional yang masih diakui hak
tradisionalnya dalam melakukan kegiatan
penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah
di daerah tertentu yang berada dalam perairan
kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut
internasional.
19. Pemrakarsa adalah kementerian/lembaga,
Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, badan usaha swasta,
atau perseorangan yang bertanggung jawab atas
suatu usaha dan/atau kegiatan yang akan
dilaksanakan.
20. Standar Laik Operasi Kapal Perikanan yang
selanjutnya disebut SLO adalah surat keterangan
yang menyatakan bahwa kapal perikanan telah
memenuhi persyaratan administrasi dan
kelayakan teknis untuk melakukan kegiatan
Perikanan.
21. Pengawas Perikanan adalah pegawai negeri sipil
yang mempunyai tugas mengawasi tertib
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang Perikanan.
22. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan
kepada pelaku usaha untuk memulai dan
menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
23. Berita Acara Hasil Pemeriksaan Kapal yang
selanjutnya disingkat BA-HPK adalah formulir
yang memuat hasil pemeriksaan persyaratan
administrasi dan kelayakan teknis kapal
perikanan sebagai dasar penerbitan SLO.
24. Kapal Perikanan adalah kapal, perahu, atau alat
apung lain yang dipergunakan untuk melakukan
penangkapan ikan, mendukung operasi
penangkapan ikan, pembudidayaan ikan,
pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan
perikanan, dan penelitian/eksplorasi perikanan.
25. Kapal Penangkap Ikan adalah kapal yang
digunakan untuk menangkap ikan, termasuk
menampung, menyimpan, mendinginkan,
dan/atau mengawetkan ikan.
26. Kapal Pengangkut Ikan adalah kapal yang
memiliki palka dan/atau secara khusus
digunakan untuk mengangkut, memuat,
menampung, mengumpulkan, menyimpan,
mendinginkan, dan/atau mengawetkan ikan.
27. Pelabuhan Perikanan adalah tempat yang terdiri
atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan
batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan
pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis
perikanan yang dipergunakan sebagai tempat
Kapal Perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau
bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan
fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan
penunjang Perikanan.
28. Pelabuhan Pangkalan adalah Pelabuhan Perikanan
atau pelabuhan umum sebagai tempat Kapal
Perikanan bersandar, berlabuh, bongkar muat
ikan, dan/atau mengisi perbekalan yang
dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran
dan kegiatan penunjang Perikanan.
29. Pelabuhan Muat adalah Pelabuhan Perikanan atau
pelabuhan umum sebagai tempat Kapal Perikanan
untuk memuat ikan dan mengisi perbekalan atau
keperluan operasional lainnya.
30. Nelayan Kecil adalah orang yang mata
pencahariannya melakukan penangkapan ikan
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,
baik yang menggunakan Kapal Penangkap Ikan
maupun yang tidak menggunakan Kapal
Penangkap Ikan.
31. Sistem Pemantauan Kapal Perikanan yang
selanjutnya disingkat SPKP adalah salah satu
sistem pengawasan Kapal Perikanan dengan
menggunakan peralatan yang telah ditentukan
untuk mengetahui pergerakan dan aktivitas Kapal
Perikanan.
32. Transmiter SPKP adalah alat yang dipasang dan
diaktifkan pada Kapal Perikanan tertentu yang
berfungsi untuk mengirimkan data posisi kapal
dan data lainnya dari Kapal Perikanan secara
langsung kepada pusat pemantauan Kapal
Perikanan dengan bantuan jaringan satelit dalam
rangka penyelenggaraan SPKP.
33. Surat Keterangan Aktivasi Transmiter yang
selanjutnya disingkat SKAT adalah dokumen
tertulis yang menyatakan bahwa Transmiter SPKP
online pada Kapal Perikanan tertentu telah
dipasang, diaktifkan, dan dapat dipantau pada
pusat pemantauan Kapal Perikanan.
34. Penyedia SPKP adalah badan hukum penyedia
Transmiter SPKP dan jasa komunikasi satelit yang
memberikan layanan komunikasi data
pemantauan Kapal Perikanan.
35. Pengguna SPKP adalah orang perseorangan,
perusahaan perikanan, Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, atau perguruan tinggi yang
memiliki atau mengoperasikan Kapal Perikanan
yang menggunakan Transmiter SPKP.
36. Potensi Lahan Pembudidayaan Ikan adalah
seluruh lahan yang dapat dimanfaatkan untuk
kegiatan pembudidayaan ikan sesuai rencana tata
ruang dan/atau rencana zonasi.
37. Alokasi Lahan Pembudidayaan Ikan adalah
seluruh lahan untuk melakukan kegiatan
pembudidayaan ikan berdasarkan rencana detail
tata ruang atau keputusan
menteri/gubernur/bupati/wali kota sesuai
kewenangannya.
38. Wabah Penyakit Ikan adalah kejadian luar biasa
serangan penyakit ikan dalam suatu populasi pada
waktu dan daerah tertentu yang menimbulkan
kerugian fisik, sosial, dan ekonomi.
39. Standar adalah persyaratan teknis atau sesuatu
yang dibakukan, termasuk tata cara dan metode
yang disusun berdasarkan konsensus semua
pihak/pemerintah/keputusan internasional yang
terkait dengan memperhatikan syarat
keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan
hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, pengalaman, dan perkembangan masa
kini dan masa depan untuk memperoleh manfaat
yang sebesar-besarnya.
40. Standardisasi adalah proses merencanakan,
merumuskan, menetapkan, menerapkan,
memberlakukan, memelihara, dan mengawasi
Standar yang dilaksanakan secara tertib dan
bekerja sama dengan semua pemangku
kepentingan.
41. Hasil Perikanan adalah ikan yang ditangani,
diolah, dan/atau dijadikan produk akhir yang
berupa ikan hidup, ikan segar, ikan beku, dan
olahan lainnya.
42. Unit Pengolahan Ikan yang selanjutnya disingkat
UPI adalah tempat dan fasilitas untuk melakukan
aktivitas penanganan dan/atau pengolahan ikan.
43. Bahan Baku adalah ikan termasuk bagian-
bagiannya yang berasal dari hasil tangkapan
maupun budi daya yang dapat dimanfaatkan
sebagai faktor produksi dalam pengolahan Hasil
Perikanan.
44. Bahan Penolong adalah bahan, tidak termasuk
peralatan, yang lazimnya tidak dikonsumsi sebagai
pangan, digunakan dalam proses pengolahan Hasil
Perikanan untuk memenuhi tujuan teknologi
tertentu dan tidak meninggalkan residu pada
produk akhir, tetapi apabila tidak mungkin
dihindari maka residu dan/atau turunannya
dalam produk akhir tidak menimbulkan risiko
terhadap kesehatan serta tidak mempunyai fungsi
teknologi.
45. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh
atau sebagian dari siklus hidupnya berada di
dalam lingkungan perairan.
46. Penanganan Ikan adalah suatu rangkaian kegiatan
dan/atau perlakuan terhadap Ikan tanpa
mengubah bentuk dasar.
47. Pengolahan Ikan adalah rangkaian kegiatan
dan/atau perlakuan dari Bahan Baku Ikan sampai
menjadi produk akhir.
48. Mutu adalah nilai yang ditentukan atas dasar
kriteria keamanan dan kandungan gizi.
49. Gizi adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam
Ikan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak,
vitamin, mineral, serat, air, dan komponen lain
yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan
manusia.
50. Sistem Ketertelusuran adalah sistem untuk
menjamin kemampuan menelusuri riwayat,
aplikasi atau lokasi dari suatu produk atau
kegiatan untuk mendapatkan kembali data dan
informasi melalui suatu identifikasi terhadap
dokumen yang terkait.
51. Standar Nasional Indonesia yang selanjutnya
disingkat SNI adalah standar yang ditetapkan oleh
Badan Standardisasi Nasional dan berlaku di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
52. Perusahaan Perikanan adalah perusahaan yang
melakukan usaha di bidang Perikanan baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum.
53. Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik
Indonesia yang selanjutnya disingkat WPPNRI
adalah wilayah pengelolaan perikanan untuk
penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan yang
meliputi perairan Indonesia, zona ekonomi
eksklusif Indonesia, sungai, danau, waduk, rawa,
dan genangan air lainnya yang potensial untuk
diusahakan di wilayah Negara Republik Indonesia.
54. Laut Lepas adalah bagian dari Laut yang tidak
termasuk dalam zona ekonomi eksklusif Indonesia,
Laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan
Indonesia, dan perairan pedalaman Indonesia.
55. Pengelolaan Perikanan adalah semua upaya,
termasuk proses yang terintegrasi dalam
pengumpulan informasi, analisis, perencanaan,
konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber
daya ikan, dan implementasi serta penegakan
hukum dari peraturan perundang-undangan di
bidang Perikanan, yang dilakukan oleh Pemerintah
atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai
kelangsungan produktivitas sumber daya hayati
perairan dan tujuan yang telah disepakati.
56. Sistem Ketertelusuran dan Logistik Ikan Nasional
adalah sistem untuk memastikan ketertelusuran
Ikan, rantai pasok dan produk Perikanan secara
elektronik dengan mengintegrasikan sistem
informasi mulai dari penangkapan,
pembudidayaan, distribusi, pengolahan, dan
pemasaran.
57. Sertifikat Keahlian Awak Kapal Perikanan adalah
pengakuan terhadap keahlian untuk melakukan
pekerjaan sebagai Awak Kapal Perikanan setelah
lulus ujian kompetensi yang diselenggarakan oleh
Dewan Penguji Keahlian Awak Kapal Perikanan
untuk semua jenjang pendidikan dan pelatihan
Awak Kapal Perikanan.
58. Sertifikat Keterampilan Awak Kapal Perikanan
adalah pengakuan terhadap keterampilan untuk
melakukan pekerjaan tertentu di Kapal Perikanan
setelah lulus ujian keterampilan yang
diselenggarakan oleh lembaga pelaksana
pendidikan dan pelatihan awak kapal perikanan
yang telah mendapatkan Pengesahan (approval).
59. Pengukuhan adalah pemberian kewenangan
jabatan di atas Kapal Perikanan sesuai dengan
jenis dan tingkat sertifikat dan ukuran Kapal
Perikanan.
60. Pendidikan dan Pelatihan Awak Kapal Perikanan
adalah pendidikan dan/atau pelatihan untuk
mencapai tingkat keahlian dan/atau keterampilan
tertentu sesuai dengan jenjang, kompetensi, dan
jabatan untuk awak Kapal Perikanan.
61. Kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik
yang dimiliki oleh seseorang berupa seperangkat
pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang
harus dihayati dan dikuasai untuk melaksanakan
tugas keprofesionalannya.
62. Sertifikat Pengukuhan adalah sertifikat yang
menyatakan kewenangan jabatan kepada pemilik
sertifikat keahlian awak Kapal Perikanan untuk
melaksanakan tugas dan fungsi sesuai dengan
tingkat tanggung jawabnya.
63. Pengesahan adalah pengakuan program
pendidikan dan pelatihan, simulator,
laboratorium, bengkel kerja, pengalaman di Kapal
Perikanan latih, masa layar, rumah sakit, dan
bentuk pengakuan lainnya.
64. Pengesahan Program Pendidikan dan Pelatihan
adalah pengakuan program pendidikan dan
pelatihan dilaksanakan setelah dilakukan audit
oleh komite pengesahan dan disahkan oleh
Menteri.
65. Perjanjian Kerja Laut yang selanjutnya disingkat
PKL adalah kesepakatan tertulis antara awak
Kapal Perikanan dengan pemilik Kapal Perikanan
atau operator Kapal Perikanan atau Nakhoda atau
agen awak Kapal Perikanan.
66. Awak Kapal Perikanan adalah orang yang bekerja
atau dipekerjakan di atas Kapal Perikanan oleh
pemilik atau operator Kapal Perikanan untuk
melakukan tugas di atas Kapal Perikanan sesuai
dengan jabatannya yang tercantum dalam buku
sijil.
67. Anak Buah Kapal adalah Awak Kapal Perikanan
selain Nakhoda dan Ahli Penangkapan Ikan
(Fishing Master).
68. Nakhoda Kapal Perikanan yang selanjutnya
disebut Nakhoda adalah seorang dari awak kapal
yang menjadi pemimpin tertinggi di Kapal
Perikanan dalam pelayaran dan operasi
penangkapan Ikan.
69. Perwira adalah Awak Kapal Perikanan yang
ditunjuk berdasarkan hukum nasional atau
peraturan perundang-undangan.
70. Ahli Penangkapan Ikan (Fishing Master) adalah
Awak Kapal Perikanan yang memiliki Kompetensi
dalam mengenali wilayah penangkapan Ikan dan
perencanaan operasi penangkapan Ikan yang
bertanggung jawab serta melaporkan kegiatan
penangkapan Ikan.
71. Serang (Senior Deckhand) adalah Anak Buah Kapal
yang bertanggung jawab terhadap pengoperasian
alat penangkapan Ikan dan/atau penanganan
Ikan/ penyimpanan hasil tangkapan.
72. Kelasi (Deckhand) adalah Anak Buah Kapal yang
melakukan operasi penangkapan Ikan dan/atau
penanganan Ikan.
73. Operator Mesin Pendingin adalah Anak Buah
Kapal yang mengoperasikan mesin pendingin
untuk penyimpanan Ikan dan/atau bahan
makanan di Kapal Perikanan.
74. Juru Minyak adalah Anak Buah Kapal yang
membantu masinis dalam melakukan pelumasan,
pemeliharaan, dan perawatan mesin Kapal
Perikanan.
75. Kepelabuhanan Perikanan adalah segala sesuatu
yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi
Pelabuhan Perikanan dalam menunjang
kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu
lintas Kapal Perikanan, keamanan dan
keselamatan operasional Kapal Perikanan, serta
merupakan pusat pertumbuhan perekonomian
nasional dan daerah yang terkait dengan kegiatan
Perikanan dengan tetap mempertimbangkan tata
ruang wilayah.
76. Penyelenggara Pelabuhan Perikanan adalah
menteri, gubernur, atau pemilik Pelabuhan
Perikanan yang tidak dibangun pemerintah.
77. Rencana Induk Pelabuhan Perikanan Nasional
yang selanjutnya disingkat RIPPN adalah
pengaturan ruang Pelabuhan Perikanan yang
memuat tentang kebijakan Pelabuhan Perikanan,
pelabuhan yang sudah ada dan rencana lokasi
Pelabuhan Perikanan yang merupakan pedoman
dalam penetapan lokasi, perencanaan,
pembangunan, dan pengembangan Pelabuhan
Perikanan secara nasional.
78. Rencana Induk Pelabuhan Perikanan Daerah yang
selanjutnya disebut RIPPD adalah pengaturan
ruang Pelabuhan Perikanan yang memuat tentang
kebijakan Pelabuhan Perikanan, pelabuhan yang
sudah ada dan rencana lokasi Pelabuhan
Perikanan yang merupakan pedoman dalam
penetapan lokasi, perencanaan, pembangunan,
dan pengembangan Pelabuhan Perikanan di
wilayah masing-masing pemerintah daerah
provinsi.
79. Rencana Induk Pelabuhan Perikanan adalah
pengaturan ruang Pelabuhan Perikanan berupa
peruntukan rencana tata guna tanah dan perairan
di setiap Pelabuhan Perikanan.
80. Pelabuhan Perikanan yang Tidak Dibangun
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah
Pelabuhan Perikanan yang biaya pembangunan
fasilitas dan pengusahaannya berasal dari
perseorangan atau korporasi.
81. Wilayah Kerja dan Pengoperasian Pelabuhan
Perikanan yang selanjutnya disebut WKOPP
adalah suatu tempat yang merupakan bagian
daratan dan perairan yang menjadi wilayah kerja
dan pengoperasian Pelabuhan Perikanan.
82. Kolam Pelabuhan adalah perairan di depan
dermaga yang digunakan untuk kepentingan
operasional sandar dan olah gerak Kapal
Perikanan.
83. Kesyahbandaran di Pelabuhan Perikanan adalah
pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan di
Pelabuhan Perikanan untuk menjamin keamanan
dan keselamatan operasional Kapal Perikanan dan
membantu pengendalian sumber daya ikan.
84. Syahbandar di Pelabuhan Perikanan adalah
pejabat pemerintah yang ditempatkan secara
khusus di Pelabuhan Perikanan untuk
pengurusan administratif dan menjalankan fungsi
menjaga keselamatan pelayaran.
85. Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan Kapal
Perikanan yang selanjutnya disebut STBLKK
adalah surat yang menyatakan bahwa Kapal
Perikanan telah tiba di Pelabuhan Perikanan.
86. Persetujuan Berlayar adalah dokumen negara yang
dikeluarkan oleh Syahbandar di Pelabuhan
Perikanan kepada setiap Kapal Perikanan yang
akan berlayar meninggalkan Pelabuhan Perikanan
dan pelabuhan lain yang ditunjuk setelah Kapal
Perikanan telah memenuhi persyaratan
kelaiklautan kapal, kelaiktangkapan, dan
kelaiksimpanan.
87. Keselamatan Operasional Kapal Perikanan adalah
rangkaian tindakan pemeriksaan terhadap
kelaiklautan Kapal Perikanan, kelaiktangkapan,
dan kelaiksimpanan yang dinyatakan dengan
dokumen Kapal Perikanan.
88. Garam adalah senyawa kimia yang komponen
utamanya berupa natrium klorida dan dapat
mengandung unsur lain, seperti magnesium,
kalsium, besi, dan kalium dengan bahan
tambahan atau tanpa bahan tambahan iodium.
89. Petambak Garam adalah setiap orang yang
melakukan kegiatan usaha pergaraman.
90. Petambak Garam Kecil adalah Petambak Garam
yang melakukan usaha pergaraman pada
lahannya sendiri dengan luas lahan paling luas 5
(lima) hektare dan perebus Garam.
91. Komoditas Pergaraman adalah hasil dari usaha
pergaraman yang dapat diperdagangkan,
disimpan, dan/atau dipertukarkan.
92. Importir Garam adalah korporasi yang melakukan
kegiatan impor Komoditas Pergaraman untuk
kebutuhan usahanya.
93. Lahan Pembudidayaan Ikan adalah tempat
melakukan kegiatan pembudidayaan Ikan.
94. Perairan Darat adalah perairan yang bukan milik
perorangan dan/atau korporasi, yang diukur
mulai dari garis pasang surut terendah air Laut ke
daratan.
95. Pembudidayaan Ikan adalah kegiatan untuk
memelihara, membesarkan, dan/atau
membiakkan Ikan serta memanen hasilnya dalam
lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan
yang menggunakan kapal untuk memuat,
mengangkut, menyimpan, mendinginkan,
menangani, mengolah, dan/atau
mengawetkannya.
96. Jenis Ikan Baru yang Akan Dibudidayakan adalah
Ikan yang berasal dari hasil domestikasi,
introduksi, pemuliaan, dan produk rekayasa
genetik.
97. Penangkapan Ikan Berbasis Budi Daya adalah
penangkapan sumber daya ikan yang berkembang
biak dari hasil penebaran kembali.
98. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut
adalah kesesuaian antara rencana kegiatan
pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang.
99. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau
korporasi, baik yang berbentuk badan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum.
100. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau
badan usaha yang melakukan usaha dan/atau
kegiatan pada bidang tertentu.
101. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia yang
dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
102. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang
memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.
103. Kementerian adalah kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kelautan dan perikanan.
104. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan Pemerintahan di bidang kelautan dan
perikanan.
Bagian Kedua
Ruang Lingkup
Pasal 2
Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini meliputi:
a. perubahan status Zona Inti;
b. kriteria dan persyaratan pendirian, penempatan,
dan/atau pembongkaran Bangunan dan Instalasi
di Laut;
c. pengelolaan sumber daya ikan;
d. Standar Mutu Hasil Perikanan;
e. penangkapan Ikan dan/atau Pembudidayaan Ikan
di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik
Indonesia bukan untuk tujuan komersial;
f. Kapal Perikanan;
g. Kepelabuhanan Perikanan;
h. SLO; dan
i. pengendalian impor komoditas Perikanan dan
impor Komoditas Pergaraman.
BAB II
PERUBAHAN STATUS ZONA INTI
Pasal 3
(1) Perubahan status Zona Inti pada Kawasan
Konservasi untuk kegiatan pemanfaatan hanya
dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan
kebijakan nasional yang diatur dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Kebijakan nasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa penetapan proyek strategis
nasional.
Pasal 4
(1) Berdasarkan kebijakan nasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, Menteri membentuk tim
untuk melakukan penelitian terpadu.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
beranggotakan kementerian/lembaga terkait.
Pasal 5
(1) Penelitian terpadu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) meliputi kajian perubahan:
a. status Zona Inti; dan/atau
b. kategori Kawasan Konservasi.
(2) Untuk mendukung penelitian terpadu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim
melaksanakan Konsultasi Publik.
(3) Penelitian terpadu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menghasilkan rekomendasi perubahan
status Zona Inti dan/atau kategori Kawasan Konservasi.
(4) Perubahan status Zona Inti dan/atau kategori
Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak mengubah alokasi ruang untuk
Kawasan Konservasi dalam RZWP-3-K, RZ KAW,
RZ KSNT, atau pola ruang dalam rencana tata
ruang laut/rencana tata ruang wilayah nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penelitian
terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 6
(1) Perubahan status Zona Inti dan/atau kategori
Kawasan Konservasi yang tidak mengubah alokasi
ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(4) ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan status
Zona Inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 7
(1) Perubahan status Zona Inti sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) sebagai dasar
dalam perubahan rencana zonasi Kawasan
Konservasi.
(2) Perubahan rencana zonasi Kawasan Konservasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Menteri.
BAB III
KRITERIA DAN PERSYARATAN PENDIRIAN, PENEMPATAN,
DAN/ATAU PEMBONGKARAN BANGUNAN DAN INSTALASI
DI LAUT
Bagian Kesatu
Kriteria
Pasal 8
(1) Kriteria Bangunan dan Instalasi di Laut meliputi:
a. wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi;
b. berada di atas dan/atau di bawah permukaan
Laut secara menetap;
c. menempel atau tidak menempel pada daratan;
dan
d. memiliki fungsi tertentu.
(2) Kriteria wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
berupa struktur keras atau struktur lunak.
(3) Kriteria berada di atas dan/atau di bawah
permukaan Laut secara menetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa:
a. mengapung di permukaan Laut;
b. berada di kolom air; dan/atau
c. berada di dasar Laut.
(4) Kriteria menempel atau tidak menempel pada
daratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c berupa:
a. bangunan yang menempel pada Pantai;
dan/atau
b. bangunan yang tidak menempel pada Pantai
tetapi menempel pada dasar Laut atau dasar
Laut dan tanah di bawahnya.
(5) Kriteria memiliki fungsi tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa:
a. hunian, keagamaan, sosial, dan budaya;
b. Perikanan;
c. pergaraman;
d. wisata bahari;
e. pelayaran;
f. perhubungan darat;
g. telekomunikasi;
h. pengamanan Pantai;
i. kegiatan usaha minyak dan gas bumi;
j. kegiatan usaha pertambangan mineral dan
batubara;
k. instalasi ketenagalistrikan;
l. pengumpulan data dan penelitian;
m. pertahanan dan keamanan;
n. penyediaan sumber daya air; dan
o. pemanfaatan air Laut selain energi.
Pasal 9
(1) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk fungsi
hunian, keagamaan, sosial, dan budaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5)
huruf a berupa:
a. bangunan hunian;
b. bangunan keagamaan; dan
c. bangunan sosial dan budaya.
(2) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk fungsi
Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (5) huruf b berupa:
a. Pelabuhan Perikanan;
b. alat penangkapan Ikan yang bersifat statis
dan/atau alat bantu penangkapan Ikan;
c. alat Pengolahan Ikan secara terapung;
d. karamba jaring apung;
e. struktur budi daya Laut;
f. instalasi pengambilan air Laut untuk budi
daya Ikan; dan
g. terumbu buatan.
(3) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk fungsi
pergaraman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (5) huruf c berupa instalasi pengambilan air
Laut untuk produksi Garam.
(4) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk fungsi
wisata bahari sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (5) huruf d berupa:
a. akomodasi;
b. jalan pelantar;
c. ponton wisata;
d. pelabuhan wisata;
e. titik labuh;
f. bangunan untuk kuliner; dan
g. taman bawah air.
(5) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk fungsi
pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (5) huruf e ditetapkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang pelayaran.
(6) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk fungsi
perhubungan darat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (5) huruf f berupa:
a. terowongan bawah Laut; dan
b. jembatan.
(7) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk fungsi
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (5) huruf g berupa kabel
telekomunikasi bawah air.
(8) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk fungsi
pengamanan Pantai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (5) huruf h berupa:
a. krib (groin);
b. pengarah arus aliran sungai dan arus pasang
surut;
c. revetmen;
d. tanggul Laut (sea dike);
e. tembok Laut (sea wall); dan
f. pemecah gelombang (breakwater).
(9) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk
kegiatan usaha minyak dan gas bumi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) huruf i berupa:
a. anjungan lepas Pantai;
b. anjungan apung;
c. anjungan bawah Laut;
d. Pipa Bawah Laut minyak dan gas bumi
dan/atau instalasi minyak dan gas bumi; dan
e. fasilitas penunjang kegiatan usaha minyak
dan gas bumi.
(10) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk
kegiatan usaha pertambangan mineral dan
batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (5) huruf j berupa:
a. bangunan untuk tempat penampungan
sementara mineral dan batubara;
b. fasilitas penunjang kegiatan usaha
pertambangan mineral dan batubara; dan
c. pipa fluida lainnya.
(11) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk
instalasi ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (5) huruf k berupa:
a. pembangkit listrik energi gelombang;
b. pembangkit listrik tenaga bayu;
c. pembangkit listrik tenaga surya terapung;
d. pembangit listrik tenaga konversi energi panas
Laut (ocean thermal energy conversion);
e. pembangkit listrik energi pasang surut;
f. pembangkit listrik energi arus Laut;
g. kapal pembangkit listrik (mobile power plant);
h. bangunan penyangga kabel saluran udara;
i. kabel saluran udara;
j. kabel listrik bawah air;
k. fasilitas penunjang instalasi ketenagalistrikan;
dan
l. instalasi ketenagalistrikan di Laut lainnya.
(12) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk fungsi
pengumpulan data dan penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) huruf l berupa:
a. alat pengumpulan data oseanografi;
b. bangunan penelitian sumber daya ikan; dan
c. bangunan penelitian kelautan.
(13) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk fungsi
pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (5) huruf m berupa instalasi
militer di Laut.
(14) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk fungsi
penyediaan sumber daya air sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) huruf n berupa
instalasi penyediaan air bersih.
(15) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk fungsi
pemanfaatan air Laut selain energi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) huruf o berupa
instalasi pengolahan air Laut untuk air minum.
Bagian Kedua
Persyaratan Pendirian dan/atau Penempatan
Pasal 10
(1) Pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan
Instalasi di Laut harus memperhatikan:
a. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
Laut;
b. pelindungan dan kelestarian Sumber Daya
Kelautan;
c. keamanan terhadap bencana di Laut;
d. keselamatan pelayaran;
e. pelindungan lingkungan;
f. pelindungan masyarakat; dan
g. wilayah pertahanan negara.
(2) Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
ditentukan berdasarkan kesesuaian alokasi ruang
di Laut untuk pendirian dan/atau penempatan
Bangunan dan Instalasi di Laut berdasarkan
rencana zonasi dan/atau rencana tata ruang.
(3) Pelindungan dan kelestarian Sumber Daya
Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilakukan dengan memperhatikan:
a. hasil analisis daya dukung dan daya tampung
lingkungan;
b. wilayah penangkapan Ikan;
c. wilayah budi daya Perikanan;
d. kawasan pengolahan terapung;
e. keberadaan alur migrasi biota Laut;
f. keberadaan Kawasan Konservasi;
g. keberadaan spesies sedenter; dan/atau
h. keberadaan ekosistem pesisir dan pulau-
pulau kecil.
(4) Keamanan terhadap bencana di Laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan
memperhatikan:
a. riwayat atau sejarah kejadian gempa di Laut;
b. keberadaan zona penunjaman dan tumbukan;
c. keberadaan sesar di dasar Laut;
d. keberadaan gunung api dasar Laut; dan/atau
e. risiko bencana dan pencemaran.
(5) Keselamatan pelayaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d dan pelindungan lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
dilakukan dengan memperhatikan keberadaan:
a. alur pelayaran;
b. ruang bebas;
c. koridor pemasangan kabel Laut dan Pipa
Bawah Laut;
d. jalur penangkapan Ikan dan alur migrasi biota
Laut;
e. perairan wajib pandu;
f. sarana bantu navigasi pelayaran dan fasilitas
telekomunikasi pelayaran; dan/atau
g. sisa bangunan di Laut.
(6) Pelindungan masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf f dilakukan dengan
memperhatikan:
a. keberadaan Masyarakat Hukum Adat,
Masyarakat Lokal, dan Masyarakat
Tradisional;
b. ruang penghidupan dan akses kepada
Nelayan Kecil, Pembudi Daya Ikan Kecil, dan
Petambak Garam Kecil; dan/atau
c. akses masyarakat menuju dan ke Laut.
(7) Wilayah pertahanan negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf g dilakukan dengan
memperhatikan pelarangan penempatan Bangunan
dan Instalasi di Laut pada wilayah pertahanan
berupa:
a. daerah latihan militer;
b. daerah uji coba peralatan dan persenjataan
militer;
c. daerah penyimpanan barang eksplosif dan
peralatan pertahanan berbahaya lainnya;
d. daerah disposal amunisi dan peralatan
pertahanan berbahaya lainnya; dan/atau
e. daerah ranjau Laut.
Pasal 11
Ketentuan mengenai pendirian dan/atau penempatan
Bangunan dan Instalasi di Laut di kawasan pelabuhan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pelayaran.
Pasal 12
(1) Pemrakarsa yang akan mendirikan dan/atau
menempatkan Bangunan dan Instalasi di Laut
harus mengajukan permohonan Kesesuaian
Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut kepada Menteri.
(2) Permohonan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan
Ruang Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 13
Selain dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), permohonan
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut harus
memenuhi persyaratan teknis.
Pasal 14
(1) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 untuk pendirian dan/atau penempatan
Bangunan dan Instalasi di Laut dengan fungsi
hunian, keagamaan, sosial, dan budaya meliputi:
a. untuk bangunan hunian, harus:
1. memiliki sistem sanitasi;
2. memiliki sistem pengolahan limbah
rumah tangga;
3. memiliki jalan pelantar; dan
4. memenuhi persyaratan teknis lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang bangunan gedung.
b. untuk bangunan keagamaan, sosial, dan
budaya, harus:
1. memiliki rencana pendirian dan/atau
penempatan Bangunan dan Instalasi di
Laut;
2. menyusun studi kelayakan teknis;
3. memiliki rencana detail yang
memperhatikan ancaman bencana di
Laut;
4. menggunakan material yang sesuai
dengan kondisi salinitas;
5. menggunakan bahan pelapis antiteritip
yang ramah lingkungan;
6. memiliki sistem sanitasi;
7. memiliki sistem pengolahan limbah
rumah tangga;
8. memiliki jalan pelantar; dan
9. memenuhi persyaratan teknis lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang bangunan gedung.
(2) Pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan
Instalasi di Laut dengan fungsi hunian,
keagamaan, sosial, dan budaya oleh Masyarakat
Hukum Adat dilakukan dengan memperhatikan
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang mengatur mengenai sanitasi,
pengelolaan limbah, dan memiliki jalan pelantar.
Pasal 15
(1) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 untuk pendirian dan/atau penempatan
Bangunan dan Instalasi di Laut dengan fungsi
Perikanan dan pergaraman meliputi:
a. memiliki rencana pendirian dan/atau
penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut;
b. menyusun studi kelayakan teknis;
c. memiliki rencana detail yang memperhatikan
ancaman bencana di Laut;
d. menggunakan material yang ramah
lingkungan; dan
e. memenuhi persyaratan teknis lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikecualikan untuk Nelayan Kecil,
Pembudi Daya Ikan Kecil, dan Petambak Garam
Kecil.
Pasal 16
(1) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), untuk pendirian
dan/atau penempatan Pelabuhan Perikanan
harus:
a. menggunakan bahan pelapis antiteritip yang
ramah lingkungan pada fasilitas Pelabuhan
Perikanan yang memerlukan;
b. mempertimbangkan arah gerak dan volume
sedimen Pantai; dan
c. melaksanakan penilaian risiko.
(2) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), untuk pendirian
dan/atau penempatan alat penangkapan Ikan dan
alat bantu penangkapan Ikan yang bersifat statis,
alat Pengolahan Ikan secara terapung, karamba
jaring apung, dan struktur budi daya Laut, harus
berdasarkan hasil analisis daya dukung dan daya
tampung kawasan terhadap aktivitas Perikanan.
Pasal 17
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 untuk pendirian dan/atau penempatan Bangunan
dan Instalasi di Laut dengan fungsi wisata bahari
harus:
a. memiliki rencana pendirian dan/atau penempatan
Bangunan dan Instalasi di Laut, yang paling
sedikit memuat:
1. letak geografis;
2. data hidrografi dan oseanografi; dan
3. geomorfologi dan geologi Laut.
b. menyusun studi kelayakan teknis; dan
c. memiliki rencana detail yang memperhatikan
ancaman bencana di Laut.
Pasal 18
(1) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17, untuk pendirian
akomodasi harus:
a. dilaksanakan berdasarkan hasil analisis daya
dukung dan daya tampung lingkungan;
b. memiliki sistem sanitasi;
c. memiliki sistem pengolahan limbah;
d. didirikan dan/atau ditempatkan tidak di atas
terumbu karang;
e. memenuhi persyaratan teknis lain yang
ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang bangunan
gedung.
(2) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17, untuk pendirian jalan
pelantar harus:
a. berdasarkan hasil analisis daya dukung dan
daya tampung lingkungan;
b. menggunakan material yang sesuai dengan
kondisi salinitas; dan
c. menggunakan cat pelapis anti teritip yang
ramah lingkungan.
(3) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17, untuk penempatan
ponton wisata harus:
a. dilaksanakan berdasarkan hasil analisis daya
dukung dan daya tampung lingkungan;
b. memiliki sistem sanitasi;
c. memiliki sistem pengolahan limbah;
d. didirikan dan/atau ditempatkan tidak di atas
terumbu karang;
e. memperhitungkan penempatan tali tambat
agar tidak mengakibatkan kerusakan
ekosistem Laut;
f. memperhatikan tegangan tali tambat dengan
interval pasang surut; dan
g. memenuhi persyaratan teknis lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang pelayaran.
(4) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17, untuk pendirian
pelabuhan wisata harus:
a. memiliki dokumen perencanaan
pembangunan pelabuhan pariwisata berupa:
1. studi kelayakan; dan
2. desain rinci.
b. menggunakan bahan pelapis antiteritip yang
ramah lingkungan;
c. mempertimbangkan arah gerak dan volume
sedimen Pantai; dan
d. memenuhi persyaratan teknis lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang pelayaran.
(5) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17, untuk penempatan titik
labuh harus:
a. memperhitungkan penempatan tali tambat agar
tidak mengakibatkan kerusakan ekosistem
Laut;
b. memperhatikan tegangan tali tambat dengan
interval pasang surut; dan
c. memenuhi persyaratan teknis lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang pelayaran.
(6) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17, untuk pendirian
bangunan untuk kuliner harus:
a. dilaksanakan berdasarkan hasil analisis daya
dukung dan daya tampung lingkungan;
b. memiliki sistem sanitasi;
c. memiliki sistem pengolahan limbah;
d. didirikan dan/atau ditempatkan tidak di atas
terumbu karang;
e. memenuhi persyaratan teknis lain yang
ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang bangunan
gedung.
(7) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17, untuk penempatan
taman bawah air harus:
a. menggunakan material yang ramah
lingkungan;
b. memasang penanda keberadaan taman bawah
air dengan sarana bantu navigasi pelayaran;
dan
c. tidak menimbulkan kerusakan ekosistem.
Pasal 19
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 untuk pendirian dan/atau penempatan Bangunan
dan Instalasi di Laut untuk fungsi pelayaran
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pelayaran.
Pasal 20
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 untuk pendirian dan/atau penempatan Bangunan
dan Instalasi di Laut dengan fungsi perhubungan darat
harus:
a. memiliki rencana pendirian dan/atau penempatan
Bangunan dan Instalasi di Laut;
b. menyusun studi kelayakan teknis; dan
c. memiliki rencana detail yang memperhatikan
ancaman bencana di Laut.
Pasal 21
Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20, untuk pendirian terowongan
bawah Laut dan jembatan harus:
a. melaksanakan studi kelayakan teknis dan studi
kelayakan sosial ekonomi;
b. melaksanakan penilaian risiko;
c. memiliki rencana kontinjensi;
d. melakukan analisis terhadap data konduktivitas,
temperatur, dan kedalaman;
e. berdasarkan hasil survei kondisi tanah atau
geoteknik yang meliputi sifat fisis dan mekanis
lapisan tanah;
f. melakukan analisis profil dasar Laut;
g. memenuhi persyaratan ruang aman terhadap
keselamatan pelayaran berupa:
1. ruang bebas (clearance) untuk pendirian
jembatan; atau
2. sarat kapal (draught) dan ruang bebas (under
keel clearance) untuk terowongan bawah Laut;
dan
h. memenuhi persyaratan teknis lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang pelayaran, di bidang kelautan dan
perikanan, serta di bidang pekerjaan umum.
Pasal 22
(1) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 untuk pendirian dan/atau penempatan
Bangunan dan Instalasi di Laut dengan fungsi
telekomunikasi harus:
a. memiliki rencana pendirian dan/atau
penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut;
b. memiliki rencana detail yang memperhatikan
ancaman bencana di Laut;
c. menyusun studi kelayakan teknis; dan
d. mempertimbangkan keberadaan sumber daya
Laut dan alur migrasi biota Laut dalam
penentuan titik pendaratan (landing points).
(2) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pendirian dan/atau
penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut
dengan fungsi telekomunikasi juga memenuhi
persyaratan teknis lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang
pelayaran.
Pasal 23
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 untuk pendirian dan/atau penempatan Bangunan
dan Instalasi di Laut dengan fungsi pengamanan Pantai
harus:
a. memiliki rencana pendirian dan/atau penempatan
Bangunan dan Instalasi di Laut;
b. menyusun studi kelayakan teknis berupa tata
letak;
c. memiliki pradesain;
d. memiliki rencana detail desain yang
memperhatikan ancaman bencana di Laut;
e. memiliki hasil survei kondisi tanah atau geoteknik
yang meliputi sifat fisis dan mekanis lapisan
tanah; dan
f. memenuhi persyaratan teknis lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang pekerjaan umum.
Pasal 24
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 untuk pendirian dan/atau penempatan Bangunan
dan Instalasi di Laut dengan fungsi kegiatan usaha
minyak dan gas bumi dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
minyak dan gas bumi.
Pasal 25
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 untuk pendirian dan/atau penempatan Bangunan
dan Instalasi di Laut dengan fungsi kegiatan usaha
pertambangan mineral dan batubara harus:
a. memiliki rencana pendirian dan/atau penempatan
Bangunan dan Instalasi di Laut, yang paling
sedikit memuat:
1. letak geografis;
2. data hidrografi dan oseanografi; dan/atau
3. geomorfologi dan geologi Laut;
b. menyusun studi kelayakan teknis;
c. memiliki rencana detail yang memperhatikan
ancaman bencana di Laut; dan
d. memenuhi persyaratan teknis lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang energi dan sumber daya mineral serta di
bidang pelayaran.
Pasal 26
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 untuk pendirian dan/atau penempatan Bangunan
dan Instalasi di Laut dengan fungsi instalasi
ketenagalistrikan harus:
a. memiliki rencana pendirian dan/atau penempatan
Bangunan dan Instalasi di Laut;
b. menyusun studi kelayakan teknis;
c. memiliki rencana detail yang memperhatikan
ancaman bencana di Laut; dan
d. memenuhi persyaratan teknis lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang energi dan sumber daya mineral, di bidang
pelayaran, di bidang kelautan dan perikanan, di
bidang pekerjaan umum, dan di bidang
ketenagalistrikan.
Pasal 27
(1) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26, untuk pendirian
dan/atau penempatan bangunan pembangkit
listrik energi gelombang harus:
a. mempertimbangkan akses ke jaringan
ketenagalistrikan;
b. melakukan analisis kekuatan dan arah datang
gelombang;
c. menentukan desain pembangkit listrik energi
gelombang yang sesuai;
d. mempertimbangkan respon hidro elastik dari
struktur apung yang sangat besar terhadap
gelombang;
e. mempertimbangkan integrasi
ketenagalistrikan dasar Laut dengan jaringan
ketenagalistrikan di darat;
f. didirikan dan/atau ditempatkan tidak di atas
terumbu karang;
g. melaksanakan penilaian risiko; dan
h. memperhatikan keberadaan sumber daya
Laut dan alur migrasi biota Laut.
(2) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26, untuk pendirian
dan/atau penempatan bangunan pembangkit
listrik tenaga bayu dan pembangkit listrik tenaga
surya terapung harus:
a. berdasarkan hasil analisis daya dukung dan
daya tampung lingkungan;
b. didirikan dan/atau ditempatkan tidak di atas
terumbu karang;
c. memperhitungkan penempatan tali tambat
agar tidak mengakibatkan kerusakan
ekosistem Laut;
d. memperhatikan tegangan tali tambat dengan
interval pasang surut;
e. melakukan analisis durasi paparan sinar
matahari dalam periode tertentu;
f. melakukan analisis kecepatan, arah, dan
kekuatan angin;
g. mempertimbangkan akses ke jaringan
ketenagalistrikan;
h. mempertimbangkan integrasi transmisi
ketenagalistrikan dasar Laut dengan jaringan
ketenagalistrikan di darat;
i. melaksanakan penilaian risiko; dan
j. memperhatikan keberadaan sumber daya
Laut dan alur migrasi biota Laut.
(3) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26, untuk pendirian
dan/atau penempatan bangunan pembangkit
listrik tenaga konversi energi panas Laut harus:
a. menentukan desain sistem pembangkit listrik
tenaga konversi energi panas Laut yang
digunakan;
b. melakukan survei dan analisis data primer
dan/atau data sekunder untuk penentuan
lokasi pengambilan air Laut hangat pada
permukaan air Laut dan air Laut dingin pada
kedalaman 1.000 (seribu) meter atau pada
kedalaman tertentu dengan interval suhu
yang sesuai untuk pembangkit listrik tenaga
konversi energi panas Laut;
c. melakukan analisis terhadap akses instalasi
pembangkit listrik tenaga konversi energi
panas Laut ke air dari perairan dasar Laut
yang bersuhu dingin;
d. melakukan analisis pemanfaatan ekstraksi air
dari perairan dasar Laut yang bersuhu dingin
untuk pemanfaatan ekonomis lain;
e. mempertimbangkan akses ke jaringan
ketenagalistrikan;
f. mempertimbangkan integrasi transmisi
ketenagalistrikan dasar Laut dengan jaringan
ketenagalistrikan di darat;
g. melaksanakan penilaian risiko; dan
h. memperhatikan keberadaan sumber daya
Laut dan alur migrasi biota Laut.
(4) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26, untuk pendirian
dan/atau penempatan bangunan pembangkit
listrik energi pasang surut harus:
a. memiliki rentang pasang surut paling sedikit 4
(empat) meter;
b. memiliki kedalaman paling sedikit 15 (lima
belas) meter pada saat surut terendah;
c. mempertimbangkan jarak terdekat ke Pantai;
d. mempertimbangkan akses ke jaringan
ketenagalistrikan;
e. mempertimbangkan integrasi transmisi
ketenagalistrikan dasar Laut dengan jaringan
ketenagalistrikan di darat;
f. melaksanakan penilaian risiko; dan
g. memperhatikan keberadaan sumber daya
Laut dan alur migrasi biota Laut.
(5) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26, untuk pendirian
dan/atau penempatan bangunan pembangkit
listrik energi arus Laut harus:
a. menentukan desain instalasi pembangkit
listrik energi arus Laut yang akan digunakan;
b. mempertimbangkan akses ke jaringan
ketenagalistrikan;
c. mempertimbangkan integrasi transmisi
ketenagalistrikan dasar Laut dengan jaringan
ketenagalistrikan di darat;
d. melaksanakan penilaian risiko; dan
e. memperhatikan keberadaan sumber daya
Laut dan alur migrasi biota Laut.
(6) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26, untuk pendirian
dan/atau penempatan bangunan kapal
pembangkit listrik harus:
a. didirikan dan/atau ditempatkan tidak di atas
terumbu karang;
b. mempertimbangkan akses ke jaringan
ketenagalistrikan;
c. mempertimbangkan integrasi transmisi
ketenagalistrikan dasar Laut dengan jaringan
ketenagalistrikan di darat;
d. melaksanakan penilaian risiko; dan
e. memperhatikan keberadaan sumber daya
Laut dan alur migrasi biota Laut.
(7) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26, untuk pendirian
dan/atau penempatan bangunan penyangga kabel
saluran udara dan kabel saluran udara harus:
a. memiliki rencana kontinjensi;
b. melakukan analisis terhadap data
konduktivitas, temperatur, dan kedalaman;
c. berdasarkan hasil survei kondisi tanah atau
geoteknik yang meliputi sifat fisis dan
mekanis Iapisan tanah;
d. tidak mengganggu alur pelayaran dan alur
Laut kepulauan Indonesia;
e. memenuhi persyaratan ruang bebas vertikal
(vertical clearance) untuk penempatan kabel
saluran udara terhadap keselamatan
pelayaran dan keselamatan penerbangan;
f. memenuhi persyaratan ruang bebas dan jarak
bebas minimum;
g. mempertimbangkan kajian teknis terkait
dampak elektromagnetis dari kabel saluran
udara;
h. melaksanakan penentuan titik koordinat awal
dan akhir;
i. melaksanakan penilaian risiko;
j. melaksanakan studi kelayakan teknis dan
studi kelayakan sosial ekonomi; dan
k. memperhatikan keberadaan sumber daya
Laut dan alur migrasi biota Laut.
Pasal 28
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 untuk pendirian dan/atau penempatan Bangunan
dan Instalasi di Laut dengan fungsi pengumpulan data
dan penelitian, pertahanan dan keamanan, penyediaan
sumber daya air, dan pemanfaatan air Laut selain
energi harus:
a. memiliki rencana pendirian dan/atau penempatan
Bangunan dan Instalasi di Laut;
b. menyusun studi kelayakan teknis; dan
c. memiliki rencana detail yang memperhatikan
ancaman bencana di Laut.
Pasal 29
Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28, untuk pendirian dan/atau
penempatan bangunan pertahanan dan keamanan
harus:
a. tidak mengubah titik dasar dan titik referensi
dalam hal lokasi pembangunan berada di kawasan
pulau-pulau kecil terluar; dan
b. memenuhi persyaratan teknis lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang pertahanan dan keamanan.
Pasal 30
(1) Dalam pendirian dan/atau penempatan Bangunan
dan Instalasi di Laut, Pemrakarsa harus mengacu
pada Peta Laut Indonesia.
(2) Dalam pendirian dan/atau penempatan Bangunan
dan Instalasi di Laut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pemrakarsa melaporkan pendirian
dan/atau penempatan Bangunan dan Instalasi di
Laut kepada instansi yang membidangi hidrografi
dan oseanografi, dengan melampirkan:
a. desain rinci Bangunan dan Instalasi di Laut;
b. lokasi pendirian beserta daftar titik koordinat
pembangunan dan/atau penempatan
Bangunan dan Instalasi di Laut; dan
c. posisi, kedalaman, dan dimensi Bangunan
dan Instalasi di Laut.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
selanjutnya dipublikasikan dalam:
a. maklumat pelayaran yang diterbitkan oleh
menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perhubungan; dan
b. berita pelaut Indonesia yang diterbitkan oleh
instansi yang membidangi hidrografi dan
oseanografi.
(4) Instansi yang membidangi hidrografi dan
oseanografi selanjutnya menggambarkan hasil
publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dalam peta Laut Indonesia.
Pasal 31
(1) Dalam pelaksanaan pendirian dan/atau
penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut,
untuk menjamin keselamatan pelayaran dan
keamanan di sekeliling Bangunan dan Instalasi di
Laut, menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pelayaran menetapkan
zona keamanan dan keselamatan Bangunan dan
Instalasi di Laut.
(2) Zona keamanan dan keselamatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berfungsi:
a. sebagai batas pengaman Bangunan dan
Instalasi di Laut;
b. melindungi Bangunan dan Instalasi di Laut
dari gangguan sarana lain; dan
c. melindungi pelaksanaan kegiatan konstruksi,
operasi, perawatan berkala, dan
pembongkaran Bangunan dan Instalasi di
Laut.
(3) Zona keamanan dan keselamatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. zona terlarang pada area paling jauh 500 (lima
ratus) meter dihitung dari sisi terluar
Bangunan dan Instalasi di Laut; dan
b. zona terbatas pada area 1.250 (seribu dua
ratus lima puluh) meter dihitung dari sisi
terluar zona terlarang atau 1.750 (seribu
tujuh ratus lima puluh) meter dari titik terluar
Bangunan dan Instalasi di Laut.
(4) Dalam hal zona keamanan dan keselamatan antar-
Bangunan dan Instalasi di Laut berdekatan atau
kurang dari lebar zona terbatas sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b, penentuan jarak
zona keamanan dan keselamatan tersebut
dikoordinasikan antar-Pemrakarsa.
(5) Pada zona terlarang sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf a dilarang membangun Bangunan
dan Instalasi di Laut lainnya.
(6) Pada zona terbatas sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf b dapat dilakukan pendirian
dan/atau penempatan Bangunan dan Instalasi di
Laut lainnya dengan ketentuan tidak mengganggu
fungsi dan sistem sarana bantu navigasi
pelayaran.
(7) Pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan
Instalasi di Laut lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) dilakukan setelah mendapat
persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pelayaran.
(8) Zona keamanan dan keselamatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dipublikasikan dalam:
a. maklumat pelayaran yang diterbitkan oleh
menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pelayaran;
b. berita pelaut Indonesia yang diterbitkan oleh
instansi yang membidangi hidrografi dan
oseanografi; dan
c. peta Laut Indonesia dan buku petunjuk
pelayaran.
Bagian Ketiga
Pembongkaran Bangunan dan Instalasi di Laut
Pasal 32
Pembongkaran Bangunan dan Instalasi di Laut
meliputi:
a. pemotongan sebagian;
b. pemotongan keseluruhan instalasi;
c. pemindahan hasil pembongkaran ke lokasi yang
telah ditentukan; atau
d. pengalihfungsian untuk kepentingan lain.
Pasal 33
(1) Pembongkaran Bangunan dan Instalasi di Laut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
dilaksanakan dalam hal:
a. persetujuan Kesesuaian Kegiatan
Pemanfaatan Ruang Laut dan/atau Perizinan
Berusaha terkait pemanfaatan di Laut dicabut
atau habis masa berlakunya dan tidak
diperpanjang;
b. dinyatakan tidak dipergunakan lagi oleh
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya;
c. terdapat perubahan kebijakan nasional;
d. kepentingan pertahanan dan keamanan;
dan/atau
e. terdapat usulan dari Pemrakarsa.
(2) Pembongkaran Bangunan dan Instalasi di Laut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Pemrakarsa.
(3) Kriteria tidak dipergunakan lagi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa tidak
terdapat aktivitas usaha dan/atau kegiatan selama
2 (dua) tahun sejak pembangunan dan/atau
penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut
selesai dilaksanakan.
(4) Pembongkaran Bangunan dan Instalasi di Laut
harus memperhatikan:
a. keberlangsungan kegiatan Perikanan di
WPPNRI;
b. keselamatan pelayaran;
c. pelindungan lingkungan Laut;
d. hak dan kewajiban negara lain di wilayah
perairan dan wilayah yurisdiksi; dan/atau
e. kepentingan pertahanan dan keamanan.
(5) Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus:
a. menggunakan teknologi yang sesuai dengan
standar nasional, standar regional, atau
standar/praktik internasional yang berlaku;
dan
b. dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal Bangunan dan Instalasi di Laut
merupakan BMN, pembongkaran dilaksanakan
setelah mendapatkan persetujuan penghapusan
BMN dari menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan.
(7) Mekanisme penghapusan BMN sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai pengelolaan BMN.
Pasal 34
(1) Bangunan dan Instalasi di Laut dapat
dialihfungsikan untuk kepentingan lain.
(2) Pengalihfungsian untuk kepentingan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
setelah dilakukan kajian oleh Kementerian,
kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pelayaran, dan
kementerian/lembaga terkait.
(3) Dalam hal hasil kajian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) menyatakan dapat dialihfungsikan,
pengalihfungsian Bangunan dan Instalasi di Laut
dilaksanakan secara mutatis mutandis dengan
persyaratan pendirian dan/atau penempatan
Bangunan dan Instalasi di Laut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 31.
(4) Dalam hal pengalihfungsian Bangunan dan
Instalasi di Laut sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) merupakan BMN, pengalihfungsian Bangunan
dan Instalasi di Laut dilaksanakan setelah
mendapatkan persetujuan pengelolaan BMN dari
menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan.
(5) Mekanisme pengelolaan BMN sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai pengelolaan BMN.
(6) Dalam hal hasil kajian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) menyatakan Bangunan dan Instalasi
di Laut tidak dapat dialihfungsikan, dilakukan
pembongkaran berdasarkan mekanisme
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
Pasal 35
Pembongkaran Bangunan dan Instalasi di Laut
dilaporkan oleh Pemrakarsa kepada:
a. Menteri untuk dilakukan pencatatan,
pengadministrasian, dan pemutakhiran data
pemanfaatan ruang Laut;
b. menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pelayaran untuk disiarkan
melalui stasiun radio Pantai dan maklumat
pelayaran; dan
c. kepala instansi yang membidangi hidrografi dan
oseanografi untuk:
1. disiarkan dalam berita pelaut Indonesia;
2. dicantumkan dalam peta Laut Indonesia dan
buku petunjuk Pelayaran; dan/atau
3. dihapuskan dari peta Laut Indonesia.
Bagian Keempat
Koordinasi, Monitoring, dan Evaluasi
Pasal 36
Dalam pelaksanaan pendirian, penempatan, dan/atau
pembongkaran Bangunan dan Instalasi di Laut dengan
fungsi telekomunikasi, fungsi perhubungan darat,
kegiatan usaha minyak dan gas bumi, kegiatan usaha
mineral dan batubara, serta fungsi instalasi
ketenagalistrikan yang melintasi wilayah perairan
dan/atau wilayah yurisdiksi, menteri yang terkait
dengan fungsi Bangunan dan Instalasi di Laut tersebut
harus berkoordinasi dengan Menteri dan melaporkan
kedalam sistem online single submission bagi Bangunan
dan Instalasi di Laut yang memiliki Perizinan Berusaha.
Pasal 37
(1) Monitoring terhadap Bangunan dan Instalasi di
Laut dilakukan oleh:
a. Menteri;
b. menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertahanan;
c. menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pekerjaan umum;
d. menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pelayaran;
e. menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang energi dan sumber
daya mineral;
f. Panglima Tentara Nasional Indonesia;
g. kepala lembaga yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang ilmu
pengetahuan, pengkajian dan penerapan
teknologi, informasi geospasial, dan
meteorologi, klimatologi, dan geofisika;
dan/atau
h. gubernur,
sesuai dengan kewenangannya.
(2) Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pada tahap operasional Bangunan dan
Instalasi di Laut.
(3) Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang:
a. Bangunan dan Instalasi di Laut dan
fungsinya; dan
b. pengaruh Bangunan dan Instalasi di Laut
terhadap ekosistem Laut.
(4) Monitoring dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun dan/atau sewaktu-waktu jika
diperlukan.
(5) Hasil monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) merupakan bahan evaluasi:
a. Menteri;
b. menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertahanan;
c. menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pekerjaan umum;
d. menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pelayaran;
e. menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang energi dan sumber
daya mineral;
f. Panglima Tentara Nasional Indonesia;
g. kepala lembaga yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang ilmu
pengetahuan, pengkajian dan penerapan
teknologi, informasi geospasial, dan
meteorologi, klimatologi, dan geofisika;
dan/atau
h. gubernur,
sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 38
(1) Dalam hal hasil monitoring dan evaluasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 terdapat
kerusakan ekosistem Laut, Pemrakarsa melakukan
rehabilitasi.
(2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB IV
PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN
Bagian Kesatu
Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia
Pasal 39
(1) Dalam rangka optimalisasi pengelolaan sumber
daya ikan yang berkelanjutan di seluruh wilayah
perairan Indonesia, Pemerintah Pusat menetapkan
WPPNRI.
(2) WPPNRI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. WPPNRI di perairan Laut; dan
b. WPPNRI di Perairan Darat.
(3) Pemerintah Pusat mendelegasikan kewenangan
kepada Menteri untuk menetapkan WPPNRI
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Ketentuan mengenai WPPNRI sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 40
(1) Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan
sumber daya ikan yang berkelanjutan berbasis
WPPNRI, Pemerintah menetapkan estimasi potensi
sumber daya ikan, jumlah tangkapan Ikan yang
diperbolehkan, tingkat pemanfaatan sumber daya
ikan, dan alokasi sumber daya ikan di setiap
WPPNRI.
(2) Pemerintah mendelegasikan kewenangan kepada
Menteri untuk menetapkan estimasi potensi
sumber daya ikan, jumlah tangkapan Ikan yang
diperbolehkan, tingkat pemanfaatan sumber daya
ikan, dan alokasi sumber daya ikan di setiap
WPPNRI.
(3) Dalam menetapkan estimasi potensi sumber daya
ikan, jumlah tangkapan Ikan yang diperbolehkan,
tingkat pemanfaatan sumber daya ikan, di setiap
WPPNRI sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Menteri membentuk komisi nasional pengkajian
sumber daya ikan.
(4) Komisi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) bertugas memberikan masukan dan/atau
rekomendasi kepada Menteri mengenai estimasi
potensi sumber daya ikan, jumlah tangkapan Ikan
yang diperbolehkan, dan tingkat pemanfaatan
sumber daya ikan.
(5) Komisi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) berasal dari unsur Kementerian,
kementerian/lembaga, perguruan tinggi, dan
pakar.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai komisi nasional
pengkajian sumber daya ikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 41
(1) Dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan yang
berkelanjutan, Pemerintah menetapkan rencana
Pengelolaan Perikanan.
(2) Rencana Pengelolaan Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan
WPPNRI dan/atau jenis Ikan.
(3) Untuk melaksanakan rencana Pengelolaan
Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pemerintah menetapkan Lembaga Pengelola
Perikanan di WPPNRI.
(4) Pemerintah mendelegasikan kewenangan kepada
Menteri untuk menetapkan rencana Pengelolaan
Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan Lembaga Pengelola Perikanan di WPPNRI
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Ketentuan mengenai rencana Pengelolaan
Perikanan dan Lembaga Pengelola Perikanan di
WPPNRI diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 42
(1) Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan
sumber daya ikan yang berkelanjutan, Pemerintah
menetapkan ukuran atau berat minimum jenis
Ikan yang boleh ditangkap.
(2) Ukuran atau berat minimum jenis Ikan yang boleh
ditangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan berdasarkan kajian yang dilakukan
oleh lembaga riset pemerintah dan/atau perguruan
tinggi yang melakukan penelitian dan pengkajian
di bidang perikanan.
(3) Pemerintah mendelegasikan kewenangan kepada
Menteri untuk menetapkan ukuran atau berat
minimum jenis Ikan yang boleh ditangkap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Ketentuan mengenai ukuran atau berat minimum
jenis Ikan yang boleh ditangkap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 43
(1) Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan
sumber daya ikan yang berkelanjutan, Pemerintah
menetapkan pencegahan pencemaran dan
kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya.
(2) Pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber
daya ikan serta lingkungannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam norma,
standar, prosedur, dan kriteria.
(3) Pemerintah mendelegasikan kewenangan kepada
Menteri untuk menyusun dan menetapkan norma,
standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Norma, standar, prosedur, dan kriteria
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi
pedoman bagi Menteri, gubernur, bupati/wali kota,
dan Setiap Orang dalam melakukan pencegahan
pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan
serta lingkungannya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan
pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan
serta lingkungannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 44
(1) Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan
sumber daya ikan yang berkelanjutan, Pemerintah
menetapkan rehabilitasi dan peningkatan sumber
daya ikan serta lingkungannya.
(2) Rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan
serta lingkungannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dituangkan dalam norma, standar,
prosedur, dan kriteria.
(3) Pemerintah mendelegasikan kewenangan kepada
Menteri untuk menyusun dan menetapkan norma,
standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Norma, standar, prosedur, dan kriteria
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi
pedoman bagi Menteri, gubernur, bupati/wali kota,
dan Setiap Orang dalam melakukan rehabilitasi
dan peningkatan sumber daya ikan serta
lingkungannya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai rehabilitasi dan
peningkatan sumber daya ikan serta
lingkungannya diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 45
(1) Dalam rangka pemanfaatan sumber daya ikan dan
lingkungannya secara bertanggung jawab,
Pemerintah Pusat mengatur jenis alat bantu
penangkapan Ikan di WPPNRI.
(2) Jenis alat bantu penangkapan Ikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. rumpon; dan
b. lampu.
(3) Pemerintah Pusat mendelegasikan kewenangan
kepada Menteri untuk mengatur jenis alat bantu
penangkapan Ikan di WPPNRI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis alat bantu
penangkapan Ikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 46
(1) Dalam rangka meningkatkan pengelolaan sumber
daya ikan secara tertib dan bertanggung jawab
serta meminimalisasi potensi konflik, Pemerintah
melakukan penataan andon penangkapan Ikan.
(2) Penataan andon penangkapan Ikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam norma,
standar, prosedur, dan kriteria.
(3) Pemerintah mendelegasikan kewenangan kepada
Menteri untuk menyusun dan menetapkan norma,
standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Andon Penangkapan Ikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan:
a. Kapal Penangkap Ikan berukuran paling besar
30 (tiga puluh) gross tonnage; dan
b. berdasarkan kesepakatan bersama
antargubernur dan ditindaklanjuti dengan
penyusunan perjanjian kerja sama
penangkapan Ikan oleh kepala dinas atau
pejabat yang ditunjuk.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan andon
penangkapan Ikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 47
(1) Dalam rangka memenuhi kebutuhan data dan
informasi dalam pengelolaan sumber daya ikan,
Pemerintah melakukan pengumpulan data melalui
log book penangkapan Ikan.
(2) Log book penangkapan Ikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam norma,
standar, prosedur, dan kriteria.
(3) Pemerintah mendelegasikan kewenangan kepada
Menteri untuk menyusun dan menetapkan norma,
standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Log book penangkapan Ikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diisi oleh Nakhoda secara
manual atau elektronik.
Pasal 48
(1) Dalam rangka memenuhi penetapan kebijakan
pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan,
perlu didukung data yang objektif dan akurat
terhadap kegiatan penangkapan Ikan dan
pemindahan Ikan.
(2) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperoleh secara langsung di atas Kapal Penangkap
Ikan dan Kapal Pengangkut Ikan melalui kegiatan
pemantauan di atas Kapal Penangkap Ikan dan
Kapal Pengangkut Ikan.
(3) Pemantauan di atas Kapal Penangkap Ikan dan
Kapal Pengangkut Ikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dituangkan dalam norma, standar,
prosedur, dan kriteria.
(4) Pemerintah memberikan kewenangan kepada
Menteri untuk menyusun dan menetapkan norma,
standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(5) Pemantauan di atas Kapal Penangkap Ikan dan
Kapal Pengangkut Ikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan oleh pemantau
penangkapan Ikan dan pengangkutan Ikan untuk
mendapatkan data yang objektif dan akurat
mengenai:
a. Ikan hasil tangkapan;
b. daerah penangkapan Ikan;
c. waktu penangkapan Ikan;
d. jenis alat penangkapan Ikan dan alat bantu
penangkapan Ikan; dan
e. kegiatan pemindahan Ikan hasil tangkapan
dari Kapal Penangkap Ikan ke Kapal
Penangkap Ikan dan/atau ke Kapal
Pengangkut Ikan yang diperbolehkan.
Bagian Kedua
Sistem Pemantauan Kapal Perikanan
Pasal 49
(1) SPKP digunakan untuk mengetahui pergerakan
dan aktivitas Kapal Perikanan yang memperoleh
Perizinan Berusaha atau persetujuan dari Menteri.
(2) Kapal Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib memasang Transmiter SPKP sebelum
melakukan kegiatan Perikanan atau kegiatan
pengangkutan Ikan hidup.
(3) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikecualikan bagi kapal latih perikanan
dan kapal penelitian/eskplorasi perikanan.
(4) Kapal latih perikanan dan kapal
penelitian/eksplorasi perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) harus mendapatkan
persetujuan dari Menteri.
Pasal 50
SPKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1)
terdiri atas:
a. pengelola SPKP;
b. Penyedia SPKP;
c. Pengguna SPKP;
d. prasarana SPKP; dan
e. sarana SPKP.
Pasal 51
(1) Dalam melaksanakan SPKP, Menteri bertindak
selaku Pengelola SPKP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 huruf a.
(2) Pengelola SPKP sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bertugas:
a. menyediakan dan mengoperasikan SPKP;
b. menyusun tata laksana penyelenggaraan
SPKP;
c. menetapkan Penyedia SPKP;
d. melakukan pemantauan terhadap Kapal
Perikanan;
e. menyediakan layanan akses pemantauan
Kapal Perikanan melalui laman SPKP
dan/atau melalui pesan singkat (short
message services gateway); dan
f. melakukan analisis data SPKP.
Pasal 52
(1) Menteri menetapkan Penyedia SPKP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 huruf b melalui surat
persetujuan Penyedia SPKP.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan apabila memenuhi persyaratan teknis
dan persyaratan administrasi.
(3) Surat persetujuan Penyedia SPKP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 5
(lima) tahun sejak diterbitkan.
(4) Penyedia SPKP sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib memberikan pelayanan berupa:
a. menyediakan Transmiter SPKP dengan nomor
identitas (ID) yang unik; dan
b. mengirim data posisi Kapal Perikanan secara
terus menerus kepada Pengelola SPKP.
Pasal 53
(1) Kapal Perikanan selaku Pengguna SPKP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf c
harus memasang dan mengaktifkan Transmiter
SPKP.
(2) Kapal Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang telah terpantau di pusat pemantauan
Kapal Perikanan diterbitkan SKAT dalam bentuk
kartu elektronik.
(3) SKAT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku
untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun
dan dapat dilakukan perpanjangan maupun
perubahan.
(4) Pengguna SPKP sebagaimana dimaksud pada ayat
(1):
a. wajib mengaktifkan Transmiter SPKP secara
terus menerus;
b. wajib membawa bukti kepemilikan SKAT pada
saat Kapal Perikanan melakukan kegiatan
perikanan; dan
c. dilarang memindahkan Transmiter SPKP.
(5) Kewajiban mengaktifkan Transmiter SPKP secara
terus menerus sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf a dikecualikan dalam hal:
a. Transmiter SPKP rusak;
b. kapal dalam perbaikan (docking);
c. kapal tidak beroperasi; dan
d. keadaan kahar (force majeure).
Pasal 54
(1) Prasarana SPKP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 huruf d berupa Pusat Pemantauan Kapal
Perikanan.
(2) Pusat Pemantauan Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. ruangan yang memadai untuk meletakkan
seluruh peralatan dan aktivitas petugas
operator SPKP;
b. perangkat server untuk aplikasi dan basis
data;
c. perangkat pemantauan dan analisis data
SPKP; dan
d. jaringan koneksi komunikasi data yang aktif
selama 24 (dua puluh empat) jam setiap hari.
Pasal 55
(1) Sarana SPKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50 huruf e berupa Transmiter SPKP.
(2) Transmiter SPKP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. kompatibel/terintegrasi dengan sistem di
Pusat Pemantauan Kapal Perikanan;
b. memiliki cakupan satelit global;
c. memiliki nomor identitas Transmiter SPKP;
d. dapat mengirim data posisi kapal paling
sedikit setiap 1 (satu) jam sekali secara terus
menerus;
e. dilengkapi dengan pengaman berupa segel;
dan
f. memiliki sertifikat alat Transmiter SPKP.
Pasal 56
(1) Penyedia SPKP yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan surat persetujuan Penyedia SPKP;
c. pencabutan surat persetujuan Penyedia SPKP;
dan/atau
d. denda administratif.
(2) Pengguna SPKP yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
ayat (4) huruf a dan huruf b dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan SKAT;
c. pencabutan SKAT; dan/atau
d. denda administratif.
(3) Pengguna SPKP yang melanggar ketentuan Pasal
53 ayat (4) huruf c dikenai sanksi pidana sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Terhadap Penyedia SPKP yang telah dikenai sanksi
administratif berupa pencabutan surat persetujuan
sebagai Penyedia SPKP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, wajib melakukan pengalihan
pelayanan SPKP ke Penyedia SPKP lain yang telah
mendapat persetujuan.
(5) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d dan ayat (2) huruf d merupakan
penerimaan negara bukan pajak.
Pasal 57
Ketentuan lebih lanjut mengenai SPKP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 55 dan
tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 diatur dalam Peraturan
Menteri.
Bagian Ketiga
Jenis Ikan Baru yang Akan Dibudidayakan
Pasal 58
(1) Jenis Ikan Baru yang Akan Dibudidayakan berasal
dari:
a. Ikan hasil domestikasi;
b. Ikan hasil introduksi;
c. Ikan hasil pemuliaan; dan
d. Ikan produk rekayasa genetik.
(2) Jenis Ikan Baru yang Akan Dibudidayakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. benih; dan
b. calon induk dan/atau induk Ikan.
(3) Benih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a terdiri atas:
a. benih sebar; dan
b. benih bina.
(4) Calon induk dan/atau induk Ikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas:
a. calon induk dan/atau induk penjenis;
b. calon induk dan/atau induk dasar; dan/atau
c. calon induk dan/atau induk pokok.
Pasal 59
Jenis Ikan Baru yang Akan Dibudidayakan yang berasal
dari Ikan produk rekayasa genetik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf d dilaksanakan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai rekayasa genetik.
Pasal 60
(1) Setiap Orang, instansi Pemerintah, atau
Pemerintah Daerah yang akan mengadakan Jenis
Ikan Baru yang Akan Dibudidayakan harus
melakukan pengujian.
(2) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. uji fisik;
b. uji fisiologi;
c. uji genetik; dan
d. uji ketahanan penyakit.
Pasal 61
(1) Uji fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
ayat (2) huruf a meliputi panjang total, bobot total
badan, panjang lingkar badan, perbandingan
panjang kepala dengan panjang badan, bobot
tanpa kepala, dan warna.
(2) Uji fisiologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
ayat (2) huruf b meliputi karakteristik
pertumbuhan, toleransi lingkungan, dan analisis
proksimat atau kualitas daging.
(3) Uji genetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
ayat (2) huruf c meliputi karakteristik
Deoxyribonucleic Acid (DNA) mengikuti metode
Standar dengan parameter keragaman genetik dan
heterosigositas.
(4) Uji ketahanan penyakit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60 ayat (2) huruf d meliputi
ketahanan terhadap penyakit yang diakibatkan
oleh jamur, parasit, bakteri, dan virus.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 62
(1) Setiap Jenis Ikan Baru yang Akan Dibudidayakan
harus mendapatkan penetapan pelepasan dari
Menteri.
(2) Untuk mendapatkan penetapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Setiap Orang, instansi
Pemerintah, atau Pemerintah Daerah harus
menyampaikan permohonan secara tertulis kepada
Menteri disertai dengan persyaratan paling sedikit:
a. naskah akademik; dan
b. usulan nama Jenis Ikan Baru yang Akan
Dibudidayakan.
(3) Naskah akademik sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a memuat:
a. hasil pengujian, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60 ayat (2);
b. penjelasan tentang kesesuaian, keunggulan,
dan manfaat yang terdiri atas aspek teknologi,
sosial ekonomi, dan lingkungan calon Jenis
Ikan Baru yang Akan Dibudidayakan; dan
c. kebenaran silsilah deskripsi dan metode
domestikasi, introduksi, atau pemuliaan.
(4) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Menteri melakukan penilaian dalam
jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima)
hari kerja sejak permohonan diterima secara
lengkap.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata
cara penyusunan naskah akademik sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 63
(1) Menteri setelah melakukan penilaian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 62 ayat (4) menetapkan
pelepasan Jenis Ikan Baru yang Akan
Dibudidayakan.
(2) Penetapan pelepasan Jenis Ikan Baru yang Akan
Dibudidayakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling sedikit memuat:
a. nama Jenis Ikan Baru yang Akan
Dibudidayakan;
b. deskripsi, yang terdiri atas:
1. taksonomi;
2. keunggulan fenotip dan genotip;
3. karakter reproduksi;
4. status kesehatan Ikan;
5. toleransi terhadap lingkungan; dan
6. sediaan induk.
c. foto Ikan berwarna.
(3) Masa berlaku penetapan pelepasan Jenis Ikan
Baru yang Akan Dibudidayakan disesuaikan
dengan karakteristik jenis Ikan.
Pasal 64
(1) Penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62
ayat (4) meliputi:
a. keunggulan;
b. kelaikan edar;
c. kesesuaian jenis Ikan; dan
d. manfaat.
(2) Penilaian keunggulan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a paling sedikit terdiri atas:
a. kecepatan pertumbuhan;
b. daya tahan terhadap penyakit Ikan;
c. daya tahan terhadap toleransi atau perubahan
lingkungan perairan;
d. kecepatan berproduksi; dan
e. keseragaman ukuran.
(3) Penilaian kelaikan edar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b paling sedikit terdiri atas:
a. bebas dari hama dan penyakit Ikan tertentu
dan/atau hama dan penyakit Ikan karantina;
b. tidak merusak lingkungan;
c. tidak membahayakan kelestarian sumber
daya ikan; dan
d. tidak membahayakan kesehatan manusia.
(4) Penilaian kesesuaian jenis Ikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit
terdiri atas:
a. kebenaran silsilah;
b. kebenaran deskripsi; dan
c. kebenaran metode domestikasi, introduksi,
atau pemuliaan.
(5) Penilaian manfaat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d paling sedikit terdiri atas:
a. aspek teknologi; dan
b. aspek ekonomi.
Pasal 65
Pemberian nama Jenis Ikan Baru yang Akan
Dibudidayakan harus memenuhi ketentuan:
a. mencerminkan identitas jenis dan/atau varietas
bersangkutan;
b. tidak menimbulkan kerancuan karakteristik, nilai,
atau identitas suatu jenis dan/atau varietas;
c. tidak menggunakan nama jenis dan/atau varietas
yang sudah ada;
d. tidak menggunakan nama lambang Negara;
e. dapat menggunakan nama daerah, balai, unit
pemuliaan, perusahaan, atau perorangan dengan
singkatan;
f. tidak lebih dari 30 (tiga puluh) huruf;
g. bukan merupakan merek dagang;
h. tidak menggunakan bahasa asing;
i. tidak ditafsirkan sebagai memperbesar nilai
sesungguhnya dari varietas tersebut;
j. tidak menggunakan tanda baca; dan
k. tidak menggunakan nama jenis, spesies, atau
nama latin untuk penggunaan kata tunggal.
Pasal 66
(1) Menteri melakukan monitoring dan evaluasi
terhadap Jenis Ikan Baru yang Akan
Dibudidayakan yang telah mendapatkan
keputusan pelepasan.
(2) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. ketersediaan dan distribusi;
b. konsistensi deskripsi, yang meliputi:
1. keunggulan fenotip dan genotip;
2. karakter reproduksi;
3. status kesehatan Ikan; dan
4. toleransi terhadap lingkungan.
(3) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan setiap 6 (enam) bulan
sekali.
(4) Dalam hal monitoring dan evaluasi yang dilakukan
diketahui bahwa Jenis Ikan Baru yang Akan
Dibudidayakan tidak sesuai dengan deskripsi pada
keputusan pelepasan, Menteri melakukan
penarikan Jenis Ikan Baru yang Akan
Dibudidayakan yang telah mendapatkan
keputusan pelepasan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
monitoring dan evaluasi Jenis Ikan Baru yang
Akan Dibudidayakan diatur dengan Peraturan
Menteri.
Bagian Keempat
Jenis Ikan dan Wilayah Penebaran Kembali
Serta Penangkapan Ikan Berbasis Budi Daya
Paragraf 1
Jenis Ikan yang Akan Ditebar Kembali
Pasal 67
(1) Jenis Ikan yang akan ditebar kembali terdiri atas:
a. jenis Ikan asli; dan
b. jenis Ikan bukan berasal dari alam Indonesia.
(2) Jenis Ikan asli yang ditebar kembali sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan kriteria:
a. populasinya mulai menurun dan hampir
punah walaupun teknologi pembenihannya
sudah dikuasai;
b. tidak mengancam keanekaragaman hayati;
c. mempunyai pertumbuhan cepat;
d. disukai masyarakat setempat;
e. mempunyai harga jual yang baik; dan
f. mempunyai manfaat bagi lingkungan sumber
daya ikan.
(3) Jenis Ikan bukan berasal dari alam Indonesia yang
ditebar kembali sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dengan kriteria:
a. telah dilakukan pelepasan berdasarkan
teknologi pembenihan yang sudah dikuasai
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. tidak mengancam keanekaragaman hayati,
mematikan plasma nutfah asli, atau
mengurangi mutu genetik plasma nutfah asli;
c. mempunyai pertumbuhan cepat;
d. disukai masyarakat setempat;
e. mempunyai harga jual yang baik; dan
f. mempunyai manfaat bagi lingkungan sumber
daya ikan.
(4) Jenis Ikan yang ditebar kembali berupa benih dan
calon induk yang merupakan hasil Pembudidayaan
Ikan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis Ikan yang
akan ditebar kembali diatur dengan Peraturan
Menteri.
Paragraf 2
Wilayah Penebaran Kembali
Pasal 68
Wilayah penebaran kembali terhadap jenis Ikan asli
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf a
meliputi:
a. perairan Indonesia;
b. sungai;
c. danau;
d. waduk;
e. rawa; dan
f. genangan air lainnya yang dapat diusahakan.
Pasal 69
(1) Wilayah penebaran kembali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 68 harus memenuhi kriteria
umum sebagai berikut:
a. dalam lingkungan terkontrol;
b. populasi sumber daya ikan menurun;
c. kondisi perairannya mendukung kehidupan
Ikan yang akan ditebar;
d. terdapat kelompok masyarakat pengelola
perairan;
e. tersedianya akses transportasi yang memadai;
dan
f. terhindar dari potensi terjadi pencemaran.
(2) Perairan Indonesia yang akan dilakukan
penebaran kembali sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 68 huruf a merupakan Laut teritorial
dan/atau perairan pedalaman dengan kriteria
khusus:
a. terlindungi; dan
b. berbentuk teluk dan relung.
(3) Sungai yang akan dilakukan penebaran kembali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf b
dengan kriteria khusus:
a. aliran air yang dapat dimanfaatkan dan
berlangsung sepanjang tahun; dan
b. kedalaman pada saat musim kemarau paling
sedikit 60 (enam puluh) sentimeter.
(4) Danau yang akan dilakukan penebaran kembali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf c
dengan kriteria khusus:
a. tingkat kesuburan perairan tinggi
(eutrofikasi);
b. mempunyai aliran air pemasukan dan
pengeluaran;
c. untuk danau yang mempunyai spesies Ikan
endemik, jenis Ikan lainnya tidak boleh
ditebar; dan
d. kedalaman air pada saat musim kemarau
paling sedikit 1 (satu) meter.
(5) Waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68
huruf d dan rawa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 68 huruf e yang akan dilakukan penebaran
kembali dengan kriteria khusus:
a. tingkat kesuburan perairan tinggi
(eutrofikasi); dan
b. kedalaman air pada saat musim kemarau
paling sedikit 1 (satu) meter.
(6) Genangan air lainnya yang akan dilakukan
penebaran kembali sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 68 huruf f dengan kriteria khusus:
a. tingkat kesuburan perairan tinggi
(eutrofikasi);
b. tidak mengandung unsur yang berbahaya bagi
Ikan maupun untuk dikonsumsi; dan
c. kedalaman air pada saat musim kemarau
paling sedikit 1 (satu) meter.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria wilayah
penebaran kembali sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Paragraf 3
Mekanisme Penebaran Kembali
Pasal 70
(1) Mekanisme penebaran kembali jenis Ikan
dilakukan melalui:
a. identifikasi sumber daya perairan dilakukan
pada tahap awal untuk menentukan jumlah
dan jenis Ikan yang terdapat di perairan
tersebut;
b. penetapan jumlah yang ditebar disesuaikan
dengan kondisi perairan hasil identifikasi
sumber daya perairan;
c. penentuan jenis Ikan yang ditebar memenuhi
standar nasional dan/atau berasal dari hasil
pembenihan yang bersertifikat dan telah
melalui proses aklimatisasi; dan
d. penebaran yang baik dilakukan pada saat
intensitas cahaya rendah dan pada waktu
permukaan air tinggi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme
penebaran kembali jenis Ikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Paragraf 4
Penangkapan Ikan Berbasis Budi Daya
Pasal 71
(1) Penangkapan Ikan Berbasis Budi Daya dilakukan
dengan memperhatikan:
a. umur Ikan konsumsi;
b. metode penangkapan; dan
c. kearifan lokal.
(2) Umur Ikan konsumsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a berumur minimal 3 (tiga) bulan.
(3) Metode penangkapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b harus memenuhi kriteria:
a. tidak merusak lingkungan;
b. tidak menimbulkan pencemaran; dan
c. tidak memutus siklus reproduksi Ikan.
(4) Kearifan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c merupakan bentuk pelindungan
terhadap sumber daya ikan suatu wilayah yang
secara turun-temurun diwariskan berupa aturan
adat istiadat penduduk sesuai dengan potensi yang
dimiliki oleh masing-masing wilayah.
(5) Teknis pelaksanaan terhadap Penangkapan Ikan
Berbasis Budi Daya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 72
(1) Penangkapan Ikan Berbasis Budi Daya dilakukan
dengan menggunakan alat penangkapan Ikan yang
ramah lingkungan.
(2) Penggunaan alat penangkapan Ikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Paragraf 5
Monitoring dan Evaluasi
Pasal 73
(1) Monitoring dan evaluasi terhadap jenis Ikan dan
wilayah penebaran kembali serta Penangkapan
Ikan Berbasis Budi Daya dilakukan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat melibatkan nelayan.
(3) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan terhadap perkembangan
dan/atau jumlah hasil tangkapan.
Bagian Kelima
Wabah dan Wilayah Wabah Penyakit Ikan
Paragraf 1
Umum
Pasal 74
Penetapan wabah dan wilayah wabah meliputi:
a. penetapan jenis-jenis penyakit Ikan yang
berpotensi menjadi Wabah Penyakit Ikan;
b. tata cara penetapan Wabah Penyakit Ikan dan
wilayah Wabah Penyakit Ikan; dan
c. penanganan Wabah Penyakit Ikan dan
pengendalian penyakit Ikan.
Paragraf 2
Penetapan Jenis Penyakit Ikan yang
Berpotensi Menjadi Wabah Penyakit Ikan
Pasal 75
(1) Penetapan jenis penyakit Ikan yang berpotensi
menjadi Wabah Penyakit Ikan didasarkan pada
pertimbangan tingkat keganasan atau patogenitas
penyakit Ikan.
(2) Jenis penyakit Ikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa:
a. penyakit Ikan penting; atau
b. penyakit Ikan tertentu.
(3) Penyakit Ikan penting sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a memiliki kriteria:
a. mempunyai daya patogenitas yang tinggi;
b. penyebarannya cepat;
c. menyebabkan kematian massal; dan
d. telah diketahui patogen penyebab, metode
diagnosa, dan transmisi/pola penyebaran.
(4) Penyakit Ikan tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b memiliki kriteria:
a. mempunyai daya patogenitas yang tinggi;
b. penyebarannya cepat;
c. menyebabkan kematian massal; dan
d. belum diketahui patogen penyebab, metode
diagnosa, dan transmisi/pola penyebaran.
(5) Jenis penyakit Ikan yang berpotensi menjadi
Wabah Penyakit Ikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Paragraf 3
Tata Cara Penetapan Wabah Penyakit Ikan
dan Wilayah Wabah Penyakit Ikan
Pasal 76
(1) Penetapan Wabah Penyakit Ikan serta wilayah
Wabah Penyakit Ikan bertujuan untuk pencegahan
dan penanganan penyakit Ikan.
(2) Penetapan Wabah Penyakit Ikan serta wilayah
Wabah Penyakit Ikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh:
a. Menteri, untuk wilayah Wabah Penyakit Ikan
lebih dari 1 (satu) provinsi berdasarkan
laporan gubernur; dan
b. gubernur, untuk wilayah Wabah Penyakit
Ikan berada dalam 1 (satu) provinsi
berdasarkan laporan bupati/wali kota.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a dan huruf b paling sedikit memuat:
a. lokasi terinfeksi; dan
b. lokasi bebas Wabah Penyakit Ikan.
(4) Lokasi terinfeksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf a merupakan wilayah yang ditemukan
kasus Wabah Penyakit Ikan.
(5) Lokasi bebas Wabah Penyakit Ikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b terdiri atas:
a. lokasi bebas secara historis; dan
b. lokasi bebas setelah dilakukan berbagai upaya
pengendalian.
(6) Lokasi bebas secara historis sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) huruf a merupakan
wilayah yang tidak pernah ditemukan kasus atau
agen penyebab Wabah Penyakit Ikan.
(7) Lokasi bebas setelah dilakukan berbagai upaya
pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
huruf b merupakan wilayah yang pernah
ditemukan kasus atau agen penyebab Wabah
Penyakit Ikan, kemudian berdasarkan hasil
surveilan dan monitoring sudah tidak ditemukan
lagi.
Paragraf 4
Penanganan Wabah Penyakit Ikan dan Pengendalian
Penyakit Ikan
Pasal 77
(1) Penanganan Wabah Penyakit Ikan dilakukan oleh
gugus tugas tanggap darurat penyakit Ikan melalui
tindakan tanggap darurat.
(2) Tindakan tanggap darurat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. perencanaan tanggap darurat;
b. pelaksanaan tanggap darurat; dan
c. evaluasi tanggap darurat.
Pasal 78
(1) Perencanaan tanggap darurat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) huruf a disusun
setiap tahun dan dituangkan dalam dokumen
perencanaan yang meliputi:
a. susunan organisasi gugus tugas;
b. sistem peringatan dini;
c. sistem deteksi dini;
d. sistem respon dini; dan
e. standar operasional prosedur.
(2) Susunan organisasi gugus tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. gugus tugas nasional;
b. gugus tugas provinsi; dan
c. gugus tugas kabupaten/kota.
(3) Sistem peringatan dini sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dilakukan untuk
pengambilan tindakan cepat dan tepat dalam
rangka mengurangi risiko terjadinya Wabah
Penyakit Ikan.
(4) Sistem deteksi dini sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c dilakukan untuk mengetahui
diagnosa suatu penyakit secara cepat dan tepat.
(5) Sistem respon dini sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d dilakukan untuk meminimalisasi
dampak Wabah Penyakit Ikan secara cepat dan
tepat.
(6) Standar operasional prosedur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan
dokumen yang berisikan prosedur yang harus
dilakukan secara berurutan untuk tanggap
darurat.
Pasal 79
(1) Pelaksanaan tanggap darurat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) huruf b meliputi:
a. membentuk organisasi gugus tugas;
b. tindakan peringatan dini;
c. tindakan deteksi dini; dan
d. tindakan respon dini.
(2) Pembentukan organisasi gugus tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh:
a. Menteri untuk gugus tugas nasional;
b. gubernur untuk gugus tugas provinsi; dan
c. bupati/wali kota untuk gugus tugas
kabupaten/kota.
(3) Tindakan peringatan dini sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan
menyediakan dan menyebarluaskan informasi
gejala penyakit Ikan.
(4) Tindakan deteksi dini sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c dilakukan dengan:
a. investigasi lapangan;
b. pengambilan sampel;
c. pengujian sampel; dan
d. pelaporan hasil investigasi dan hasil
pengujian.
(5) Tindakan respon dini sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d dilakukan melalui:
a. pelaksanaan kebijakan tanggap darurat;
b. penanganan penyakit Ikan; dan
c. penyampaian laporan hasil pelaksanaan
respon dini.
Pasal 80
Evaluasi tanggap darurat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77 ayat (2) huruf c dilakukan oleh gugus tugas
berdasarkan hasil pelaksanaan tanggap darurat.
Pasal 81
Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan tanggap
darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2)
diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 82
(1) Berdasarkan hasil penanganan Wabah Penyakit
Ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan
agar tidak meluas, dilakukan pengendalian
penyakit Ikan melalui:
a. surveilan dan/atau monitoring oleh gugus
tugas tanggap darurat penyakit Ikan;
b. analisis risiko oleh gugus tugas tanggap
darurat penyakit Ikan; dan
c. penanganan penyakit Ikan oleh pembudi daya
ikan.
(2) Surveilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a merupakan pengumpulan data penyakit
berdasarkan pengambilan sampel atau spesimen di
lapangan dalam rangka mengamati penyebaran
atau perluasan dan keganasan penyakit.
(3) Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a merupakan pengumpulan data dan
informasi secara sistematis dan berkelanjutan yang
ditujukan untuk mengetahui keragaman dan
penyebaran penyakit Ikan dalam suatu populasi
dan lingkungan di suatu wilayah.
(4) Analisis risiko sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dilakukan terhadap:
a. penyakit Ikan; dan
b. sifat bahaya Ikan.
(5) Penanganan penyakit Ikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c dilakukan:
a. oleh pembudi daya Ikan terhadap Ikan sakit
atau terduga sakit;
b. sesuai dengan jenis Ikan serta jenis dan sifat
penyakit Ikan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian
penyakit Ikan diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Potensi dan Alokasi Lahan Pembudidayaan Ikan
Pasal 83
(1) Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan
sumber daya ikan, Pemerintah menetapkan potensi
dan Alokasi Lahan Pembudidayaan Ikan di
WPPNRI.
(2) Pemerintah mendelegasikan kewenangan kepada
Menteri/gubernur/bupati/wali kota sesuai
kewenangannya untuk menetapkan potensi dan
Alokasi Lahan Pembudidayaan Ikan di WPPNRI.
(3) Menteri/gubernur/bupati/wali kota sesuai
kewenangannya menetapkan Potensi Lahan
Pembudidayaan Ikan berdasarkan rencana tata
ruang, RZ KSNT, dan/atau RZ KAW.
(4) Menteri/gubernur/bupati/wali kota sesuai
kewenangannya menetapkan Alokasi Lahan
Pembudidayaan Ikan berdasarkan rencana detail
tata ruang, RZ KSNT, dan/atau RZ KAW.
(5) Dalam hal RZWP-3-K belum diintegrasikan dengan
rencana tata ruang wilayah provinsi, gubernur
menetapkan potensi/Alokasi Lahan
Pembudidayaan Ikan berdasarkan RZWP-3-K.
(6) Dalam hal RZ KSNT untuk pulau-pulau kecil
terluar belum diintegrasikan dengan rencana tata
ruang kawasan strategis nasional kawasan
perbatasan negara, Menteri menetapkan
potensi/Alokasi Lahan Pembudidayaan Ikan
berdasarkan RZ KSNT di pulau-pulau kecil terluar.
Pasal 84
(1) Berdasarkan penetapan potensi dan Alokasi Lahan
Pembudidayaan Ikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 83, Pemerintah mengatur dan
membina tata pemanfaatan air dan Lahan
Pembudidayaan Ikan.
(2) Pengaturan dan pembinaan tata pemanfaatan air
dan Lahan Pembudidayaan Ikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka
menjamin kuantitas dan kualitas air untuk
kepentingan pembudidayaan.
(3) Pengaturan dan pembinaan tata pemanfaatan air
dan Lahan Pembudidayaan Ikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan:
a. fisiografi;
b. air sumber;
c. luas lahan dan perairan;
d. ketersediaan infrastruktur;
e. teknologi budi daya;
f. komoditas yang dibudidayakan; dan
g. kondisi sosial dan lingkungan.
BAB V
STANDAR MUTU HASIL PERIKANAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 85
(1) Pelaku Usaha dalam melaksanakan bisnis
Perikanan harus memenuhi Standar Mutu Hasil
Perikanan.
(2) Standar Mutu Hasil Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dicapai melalui penerapan
sistem jaminan Mutu dan keamanan Hasil
Perikanan.
(3) Standar Mutu Hasil Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Standar Bahan Baku;
b. Standar higienis, teknik penanganan, teknik
pengolahan, teknik pengemasan dan
pelabelan, teknik penyimpanan, dan teknik
distribusi dan pemasaran;
c. Standar produk;
d. Standar prasarana, sarana, dan fasilitas;
e. Standar metode pengujian; dan
f. Standar kemasan dan label.
Pasal 86
(1) Standar Mutu Hasil Perikanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 85 mengacu pada:
a. SNI;
b. Standar internasional; atau
c. Standar lainnya yang dipersyaratkan
perdagangan dalam negeri atau luar negeri
sesuai ketentuan yang berlaku.
(2) SNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilaksanakan penerapannya secara sukarela atau
diberlakukan secara wajib sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penerapan SNI sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dibuktikan melalui pemilikan sertifikat tanda
SNI dan/atau tanda kesesuaian.
(4) Standar internasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b khusus Hasil Perikanan untuk
pangan mengacu pada Codex Alimentarius
Commission.
Bagian Kedua
Standar Bahan Baku
Pasal 87
(1) Ikan hasil penangkapan dan/atau pembudidayaan
yang digunakan sebagai Bahan Baku harus
memenuhi Standar Mutu Bahan Baku Hasil
Perikanan.
(2) Standar Bahan Baku sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 85 ayat (3) huruf a paling sedikit
terdiri atas:
a. Bahan Baku dari unit Pembudidayaan Ikan
yang menerapkan cara budi daya Ikan yang
baik dan unit penangkapan Ikan yang
menerapkan cara Penanganan Ikan yang baik;
b. Bahan Baku bermutu segar;
c. tidak berasal dari perairan yang tercemar
yang dibuktikan dengan hasil pengujian;
d. tidak melebihi ambang batas cemaran kimia,
cemaran biologis, cemaran fisik, racun hayati,
dan residu antibiotik sehingga kadar cemaran
yang terdapat dalam Bahan Baku tersebut
tidak mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia;
e. terjamin ketertelusurannya dengan dilengkapi
catatan atau informasi yang terkait dengan
asal dan jenis Bahan Baku, nama
pemasok/supplier, asal kolam/tambak budi
daya, lokasi penangkapan Ikan, alat
penangkapan Ikan, nama Kapal Penangkap
Ikan dan/atau Kapal Pengangkut Ikan,
termonitor, dan terdokumentasikan; dan
f. memenuhi persyaratan lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal Bahan Baku sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berasal dari impor, paling sedikit
memenuhi ketentuan:
a. persyaratan kesehatan Ikan, Mutu dan
keamanan Hasil Perikanan, diberi label, dan
dibuktikan dengan sertifikat kesehatan dari
otoritas yang berwenang dari negara asal;
b. terjamin ketertelusurannya dengan dilengkapi
catatan atau informasi yang terkait dengan
asal dan jenis Bahan Baku;
c. tidak berasal dari kegiatan Perikanan yang
melanggar hukum, tidak dilaporkan, dan
tidak diatur; dan
d. harus berasal dari eksportir terdaftar dari
otoritas yang berwenang di negara asal.
(4) Persyaratan ambang batas residu antibiotik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d
memenuhi persyaratan SNI, Standar internasional,
atau ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Standar Higienis, Teknik Penanganan, Teknik Pengolahan,
Teknik Pengemasan dan Pelabelan, Teknik Penyimpanan,
dan Teknik Distribusi dan Pemasaran
Pasal 88
Standar higienis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
85 ayat (3) huruf b paling sedikit terdiri atas:
a. menggunakan peralatan yang bebas dari
kontaminasi bakteri atau jasad renik patogen,
bahaya fisik, dan kimia;
b. melakukan pengolahan pada ruangan pengolahan
dan lingkungan yang higienis;
c. sumber daya manusia yang melakukan proses
pengolahan tidak sedang dalam kondisi sakit yang
dapat mengontaminasi Hasil Perikanan; dan
d. menyediakan panduan penerapan higienis yang
terdokumentasikan.
Pasal 89
(1) Standar teknik penanganan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 85 ayat (3) huruf b paling
sedikit harus menerapkan cara Penanganan Ikan
yang baik.
(2) Cara Penanganan Ikan yang baik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), paling sedikit terdiri atas:
a. mencegah terjadinya kontaminasi;
b. menggunakan Bahan Penolong yang tidak
mengubah komposisi dan sifat khas Ikan;
c. mempertahankan suhu sesuai dengan
karakteristik Hasil Perikanan;
d. sumber daya manusia yang melakukan
penanganan tidak sedang dalam kondisi sakit
yang dapat mengontaminasi Hasil Perikanan,
dan kesehatannya dimonitor secara berkala;
e. menerapkan prinsip Penanganan Ikan
mencakup menangani dengan hati-hati dan
tidak membuat Bahan Baku rusak, dalam
kondisi dingin, menangani dengan cepat, dan
menghindari peningkatan suhu; dan
f. menyediakan panduan penerapan teknik
penanganan yang terdokumentasikan.
Pasal 90
Standar teknik pengolahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 85 ayat (3) huruf b harus menerapkan cara
Pengolahan Ikan yang baik dan prosedur operasi
Standar sanitasi paling sedikit terdiri atas:
a. mencegah terjadinya kontaminasi;
b. menggunakan Bahan Penolong yang tidak
mengubah komposisi dan sifat khas Ikan dan
berasal dari sumber yang tidak tercemar;
c. menggunakan bahan tambahan pangan yang
diizinkan sesuai dengan tujuan penggunaan dan
tidak melebihi batas maksimum penggunaan yang
diizinkan;
d. mempertahankan suhu sesuai dengan
karakteristik produk Hasil Perikanan;
e. sumber daya manusia yang melakukan
pengolahan tidak sedang dalam kondisi sakit yang
dapat mengontaminasi produk Pengolahan Ikan,
dan kesehatannya dimonitor secara berkala;
f. memperhatikan waktu, kecepatan, dan suhu pada
saat melakukan pengolahan;
g. menggunakan teknologi sesuai dengan prinsip
Pengolahan Ikan yang baik;
h. memperhatikan jenis produk dan peruntukannya
serta sesuai spesifikasi produk yang
dipersyaratkan;
i. melakukan pengolahan pada bangunan UPI yang
memiliki prasarana, sarana, dan fasilitas sesuai
persyaratan; dan
j. menyediakan panduan penerapan teknik
pengolahan yang terdokumentasikan.
Pasal 91
Standar teknik pengemasan dan pelabelan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 85 ayat (3) huruf b harus
menerapkan cara pengemasan dan pelabelan yang baik
paling sedikit terdiri atas:
a. proses pengemasan dan pelabelan dilakukan
dengan cepat dan saniter;
b. harus dilakukan dalam kondisi yang dapat
mencegah terjadinya kontaminasi dan penurunan
Mutu;
c. cara/metode pengemasan dan pelabelan yang
digunakan sesuai dengan spesifikasi Hasil
Perikanan; dan
d. menerapkan prinsip kehati-hatian untuk
menghindari terjadinya kesalahan.
Pasal 92
Standar teknik penyimpanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 85 ayat (3) huruf b harus menerapkan cara
penyimpanan Ikan yang baik paling sedikit terdiri atas:
a. suhu dan kondisi penyimpanan dipertahankan
sesuai dengan karakteristik produk Perikanan,
meliputi:
1. suhu penyimpanan produk segar, produk
mentah, dan produk masak yang didinginkan
dipertahankan pada suhu mendekati titik
leleh es;
2. suhu penyimpanan produk beku yang mampu
mempertahankan suhu pusat produk -180C
(minus delapan belas derajat celcius) atau
lebih rendah dan dilengkapi alat pencatat
suhu yang mudah dibaca;
3. suhu penyimpanan produk pasteurisasi
disimpan pada suhu antara 0-50C (nol sampai
dengan lima derajat celcius);
4. suhu penyimpanan produk sterilisasi
disimpan pada suhu ruang;
5. suhu penyimpanan Ikan hidup disimpan pada
suhu yang tidak berpengaruh buruk terhadap
kelangsungan hidupnya atau tidak
mempengaruhi keamanan produk; dan
6. suhu penyimpanan produk lainnya disimpan
pada suhu yang tidak berpengaruh buruk
terhadap keamanan produk.
b. produk akhir disimpan secara terpisah atau tidak
boleh disatukan dengan penyimpanan Bahan
Baku untuk mencegah terjadinya kontaminasi;
c. tempat penyimpanan harus saniter, terlindungi
dari kontaminasi binatang pengganggu, dan
dilakukan monitoring secara berkala;
d. penyimpanan produk akhir harus dilengkapi
dengan tanda/kode penyimpanan;
e. penyimpanan produk akhir harus dilengkapi
dengan label yang dipersyaratkan;
f. menerapkan sistem first in first out untuk
mengatur siklus penyimpanan;
g. penyimpanan menggunakan Sistem
Ketertelusuran dengan mendokumentasikan jenis
produk dan kode produksi; dan
h. pemeliharaan tempat penyimpanan harus
dilakukan secara berkelanjutan.
Pasal 93
(1) Standar teknik distribusi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 85 ayat (3) huruf b harus menerapkan
cara distribusi yang baik paling sedikit terdiri atas:
a. suhu selama distribusi harus sesuai dengan
jenis produk akhir, mampu mempertahankan
suhu sesuai dengan karakteristik Hasil
Perikanan, dan dilakukan monitoring suhu
secara berkala;
b. kondisi penyimpanan produk selama
distribusi harus mampu mempertahankan
Mutu dan keamanan produk;
c. sarana pengangkutan untuk distribusi Hasil
Perikanan harus bersih dan dapat melindungi
produk baik fisik maupun Mutu sampai ke
tempat tujuan;
d. harus dapat melindungi Hasil Perikanan dari
risiko penurunan Mutu dan keamanan Hasil
Perikanan;
e. sarana distribusi harus mempunyai fasilitas
penyimpanan yang sesuai karakteristik
produk meliputi:
1. suhu penyimpanan produk segar, produk
mentah, dan produk masak yang
didinginkan dipertahankan pada suhu
mendekati titik leleh es 00C (nol derajat
celcius);
2. suhu penyimpanan produk beku yang
mampu mempertahankan suhu pusat
produk -180C (minus delapan belas
derajat celcius) atau lebih rendah dan
dilengkapi alat pencatat suhu yang
mudah dibaca;
3. penyimpanan Ikan dalam keadaan hidup
harus mampu mempertahankan kondisi
Ikan dan mutunya;
4. penyimpanan kering harus mampu
mempertahankan produk pada suhu
ruang;
5. didesain sedemikian rupa sehingga tidak
merusak produk dengan permukaan yang
rata, dan mudah dibersihkan;
6. dalam hal menggunakan es sebagai
pendingin, harus dilengkapi saluran
pembuangan untuk menjamin lelehan es
tidak menggenangi produk; dan
7. dilengkapi peralatan untuk menjaga
suhu tetap terjaga selama pengangkutan.
f. pengangkutan tidak boleh dicampur dengan
produk lain yang dapat mengontaminasi atau
memengaruhi higienis, kecuali produk
dikemas yang dapat melindungi produk.
(2) Standar teknik pemasaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 85 ayat (3) huruf b harus menerapkan
cara pemasaran yang baik paling sedikit terdiri
atas:
a. dilakukan pada tempat yang higienis untuk
menghindari kontaminasi pada Hasil
Perikanan;
b. suhu selama pemasaran harus sesuai dengan
jenis produk akhir, mampu mempertahankan
suhu sesuai dengan karakteristik Hasil
Perikanan, dan dilakukan monitoring suhu
secara berkala;
c. kondisi penyimpanan produk selama
pemasaran harus mampu mempertahankan
Mutu dan keamanan produk;
d. sarana pemasaran Hasil Perikanan harus
bersih dan dapat melindungi baik fisik
maupun Mutu sampai ke tempat tujuan;
e. harus dapat melindungi Hasil Perikanan dari
risiko penurunan Mutu dan keamanan Hasil
Perikanan;
f. sarana pemasaran harus mempunyai fasilitas
penyimpanan yang sesuai karakteristik
produk meliputi:
1. suhu penyimpanan produk segar, produk
mentah, dan produk masak yang
didinginkan dipertahankan pada suhu
mendekati titik leleh es 00C (nol derajat
celcius);
2. suhu penyimpanan produk beku yang
mampu mempertahankan suhu pusat
produk -180C (minus delapan belas
derajat celcius) atau lebih rendah dan
dilengkapi alat pencatat suhu yang
mudah dibaca;
3. penyimpanan Ikan dalam keadaan hidup
harus mampu mempertahankan kondisi
dan Mutu; dan
4. penyimpanan kering harus mampu
mempertahankan produk pada suhu
ruang.
g. pemasaran tidak boleh dicampur dengan
produk lain yang dapat mengontaminasi atau
memengaruhi higienis; dan
h. dilengkapi dengan catatan atau informasi
yang terkait dengan penelusuran dan
monitoring.
Pasal 94
(1) Standar produk sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 85 ayat (3) huruf c terdiri atas:
a. Standar produk Hasil Perikanan; dan
b. Standar produk Hasil Perikanan nonpangan.
(2) Standar produk Hasil Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a diperdagangkan
untuk konsumsi manusia.
(3) Standar produk Hasil Perikanan nonpangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
diperdagangkan untuk suplemen kesehatan,
bahan baku farmasi, kosmetika, bahan fortifikasi,
atau bahan yang memiliki fungsi tertentu.
(4) Standar produk Hasil Perikanan nonpangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan
bagi produk yang tidak dikonsumsi berupa ikan
hias, tanaman air, mutiara, dan produk lainnya.
(5) Ketentuan mengenai Standar produk Hasil
Perikanan nonpangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 95
(1) Standar produk sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 94 paling sedikit terdiri atas:
a. memenuhi kriteria keamanan Hasil Perikanan;
b. memiliki kandungan Gizi yang baik;
c. tidak melebihi ambang batas cemaran kimia,
cemaran biologis, cemaran fisik, racun hayati,
dan residu antibiotik sehingga kadar cemaran
yang terdapat dalam produk tersebut tidak
mengganggu, merugikan, dan membahayakan
kesehatan manusia;
d. memenuhi SNI atau standar perdagangan
nasional untuk produk Hasil Perikanan yang
beredar di dalam negeri;
e. bahan lainnya yang ditambahkan pada Hasil
Perikanan harus tara pangan atau sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
f. memenuhi Standar negara tujuan ekspor atau
Standar internasional untuk produk Hasil
Perikanan yang akan diekspor;
g. bahan tambahan pangan pada produk Hasil
Perikanan harus sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
h. terjamin ketertelusurannya yang dilengkapi
dengan catatan atau informasi asal dan jenis
produk.
(2) Dalam hal tidak tersedia SNI atau Standar
perdagangan nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d dapat menggunakan Standar
Mutu produk internasional.
(3) Ketentuan Standar produk atau SNI dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Bagian Keempat
Standar Prasarana, Sarana, dan Fasilitas
Pasal 96
(1) Standar prasarana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 85 ayat (3) huruf d paling sedikit terdiri atas:
a. lokasi bangunan berada di lingkungan yang
tidak tercemar dan mudah diakses;
b. bangunan harus dirancang dan ditata dengan
konstruksi yang memenuhi persyaratan
higienis, mencegah masuknya sumber
kontaminasi;
c. bangunan harus dibersihkan dan dipelihara
secara higienis;
d. konstruksi UPI harus mampu mencegah
masuknya binatang pengganggu agar
melindungi produk dari kontaminasi binatang
pengganggu dan potensi kontaminasi lainnya;
e. tersedia ruang khusus untuk proses
pengolahan Hasil Perikanan yang sesuai
dengan peruntukannya;
f. tata letak UPI harus memisahkan secara jelas
antara ruang penanganan, ruang pengolahan,
ruang pengemasan, dan ruang penyimpanan
Bahan Baku dan produk akhir untuk
mencegah kontaminasi khususnya produk
akhir dengan Bahan Baku;
g. kondisi setiap ruang proses harus bersih dan
saniter dan menggunakan bahan yang tidak
beracun serta tidak berpori; dan
h. mempunyai ruang kerja yang cukup untuk
melakukan kegiatan sesuai dengan kapasitas
produksinya dengan kondisi yang higienis.
(2) Standar sarana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 85 ayat (3) huruf d paling sedikit terdiri atas:
a. menggunakan peralatan yang terbuat dari
bahan antikarat, tidak menyerap air, mudah
dibersihkan, dan tidak menyebabkan
kontaminasi;
b. menggunakan peralatan yang terawat, bersih
dan higienis;
c. ketersediaan peralatan pengolahan harus
memadai sesuai kebutuhan;
d. harus dilakukan prosedur pembersihan dan
sanitasi peralatan sebelum, selama, dan
sesudah proses produksi secara berkala dan
ada prosedurnya yang terdokumentasikan;
e. peralatan dan perlengkapan diberi tanda
untuk setiap area kerja yang berbeda yang
berpotensi menimbulkan kontaminasi silang;
f. peralatan dan perlengkapan harus ditata pada
setiap tahapan proses untuk menjamin
kelancaran pengolahan;
g. peralatan dan perlengkapan yang digunakan
untuk menangani limbah yang dapat
menyebabkan kontaminasi, harus diberi
tanda dan dipisahkan dengan jelas supaya
tidak dipergunakan untuk menangani Ikan,
serta produk akhir; dan
h. kondisi dan kebersihan peralatan dan
perlengkapan yang kontak dengan Ikan harus
dimonitor secara berkala.
(3) Standar fasilitas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 85 ayat (3) huruf d paling sedikit terdiri atas:
a. fasilitas pencuci tangan yang tersedia dalam
jumlah yang memadai dan memenuhi
persyaratan;
b. fasilitas toilet tersedia dalam jumlah yang
memadai dan memenuhi persyaratan;
c. fasilitas instalasi pengelolaan air limbah harus
memadai dan dapat mencegah terjadinya
pencemaran terhadap lingkungan;
d. fasilitas pasokan air minum dan air bersih
yang memadai sesuai persyaratan; dan
e. fasilitas karyawan seperti loker harus tersedia
dan memadai.
Pasal 97
(1) Standar metode pengujian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 85 ayat (3) huruf e paling sedikit
terdiri atas:
a. jenis alat, bahan atau media, dan reagensia
yang akan digunakan;
b. teknik dan prosedur pelaksanaan pengujian;
dan
c. analisis data dan penyajian hasil pengujian.
(2) Standar metode pengujian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mencakup metode uji
organoleptik/sensori, metode uji mikrobiologi,
metode uji kimia, metode uji fisik, dan cara deteksi
Hasil Perikanan.
(3) Standar metode pengujian dilaksanakan oleh
laboratorium pengujian yang terakreditasi oleh
komite akreditasi nasional.
Pasal 98
Standar kemasan dan label sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 85 ayat (3) huruf f paling sedikit terdiri
atas:
a. bahan kemasan yang digunakan harus dapat
melindungi, mempertahankan Mutu dari pengaruh
luar, tidak menjadi sumber kontaminasi, dan tidak
mempengaruhi karakteristik produk;
b. tidak digunakan ulang;
c. sesuai dengan tara pangan (food grade) atau aman
digunakan untuk pangan;
d. bersih dan saniter atau steril tidak membahayakan
konsumen;
e. kemasan diberi label atau keterangan yang
menunjukkan ringkasan atau deskripsi produk,
jenis produk, tahun, bulan, tanggal produksi, dan
nama UPI atau pelabelan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
f. kemasan harus disimpan dalam gudang tersendiri,
terlindung dari debu dan kontaminasi, serta
gudang dalam kondisi kering.
Bagian Kelima
Pengembangan Standar Mutu Hasil Perikanan
Pasal 99
(1) Standar Mutu Hasil Perikanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 85 ayat (3) dapat
dikembangkan sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, Standardisasi
internasional, dan kepentingan pelindungan
konsumen.
(2) Pengembangan Standar Mutu Hasil Perikanan
dilakukan dengan proses perumusan Standar yang
dilakukan secara tertib dan bekerja sama dengan
pemangku kepentingan.
(3) Dalam hal pengembangan SNI apabila terdapat
Standar internasional, SNI dirumuskan harmonis
dengan Standar internasional dengan
mempertimbangkan kepentingan nasional untuk
menghadapi perdagangan global atau disesuaikan
dengan perbedaan iklim, lingkungan, geologi,
geografis, kemampuan teknologi, dan kondisi
spesifik lainnya.
(4) Pengembangan Standar Mutu Hasil Perikanan
ditetapkan berdasarkan analisis risiko yang
dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat
bahaya yang dapat ditimbulkan terhadap
kesehatan manusia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan
Standar Mutu Hasil Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 100
(1) Penerapan sistem jaminan Mutu dan keamanan
Hasil Perikanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 85 ayat (2) membutuhkan ketertelusuran.
(2) Ketertelusuran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diterapkan di seluruh rantai pasok mulai dari
praproduksi, produksi, distribusi, pengolahan, dan
pemasaran.
(3) Ketertelusuran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dalam rangka mengidentifikasi
produk yang berkaitan dengan catatan riwayat asal
usul dan data pada:
a. Bahan Baku dan bagian-bagiannya;
b. bahan tambahan lainnya;
c. sejarah pengolahan;
d. pengemasan;
e. distribusi; dan
f. lokasi produk setelah dikirim.
(4) Sistem Ketertelusuran meliputi:
a. ketertelusuran internal; dan
b. ketertelusuran eksternal.
(5) Ketertelusuran internal sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) huruf a meliputi keseluruhan input
dan proses dalam kegiatan penanganan dan/atau
Pengolahan Ikan.
(6) Ketertelusuran eksternal sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) huruf b meliputi:
a. ketertelusuran terhadap sumber/asal Bahan
Baku harus mampu mengidentifikasi asal
Bahan Baku; dan
b. ketertelusuran terhadap pemasaran/distribusi
produk harus mampu mengidentifikasi
kepada siapa produknya dikirim.
(7) Dalam rangka menjamin ketertelusuran, setiap
produk Pengolahan Ikan yang akan dipasarkan
harus dilengkapi label/identifikasi yang memadai.
Pasal 101
(1) Dalam rangka menjamin ketertelusuran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100, Menteri
mengembangkan Sistem Ketertelusuran dan
Logistik Ikan Nasional dengan mengintegrasikan
sistem di lingkungan Kementerian.
(2) Ketentuan mengenai Sistem Ketertelusuran dan
Logistik Ikan Nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Pembinaan
Pasal 102
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya melakukan pembinaan
pemenuhan Standar Mutu kepada Pelaku Usaha
dalam rangka jaminan Mutu dan keamanan Hasil
Perikanan.
(2) Dalam rangka penerapan Standar Mutu Hasil
Perikanan di laboratorium pengujian Hasil
Perikanan, Menteri melakukan pembinaan,
fasilitasi, dan pengawasan.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilakukan secara berkala melalui:
a. sosialisasi;
b. bimbingan teknis;
c. penyuluhan;
d. fasilitasi;
e. pemeriksaan lapangan; dan/atau
f. peningkatan peran serta masyarakat.
(4) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya dalam melakukan
pembinaan Standar Mutu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) melibatkan pembina mutu.
Bagian Ketujuh
Pengawasan
Pasal 103
(1) Pengawasan terhadap Standar Mutu produk yang
memberlakukan SNI secara wajib dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Pengawasan terhadap Standar Mutu produk yang
memiliki sertifikat tanda kesesuaian
dikoordinasikan dengan Badan Standardisasi
Nasional atau lembaga sertifikasi produk.
(3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya melakukan pengawasan
terhadap konsistensi pemenuhan Standar Mutu
kepada Pelaku Usaha melalui pemeriksaan
lapangan terhadap UPI yang telah menerapkan
cara Penanganan Ikan yang baik dan/atau cara
Pengolahan Ikan yang baik dan prosedur
operasional Standar sanitasi melalui sertifikat
kelayakan pengolahan.
Bagian Kedelapan
Prasarana dan Sarana Usaha Pengolahan dan
Pemasaran Ikan
Pasal 104
Menteri, gubernur, bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya memfasilitasi penyediaan prasarana
dan sarana usaha pengolahan dan pemasaran Ikan
untuk meningkatkan daya saing produk kelautan dan
perikanan dalam kerangka sistem jaminan Mutu dan
keamanan Hasil Perikanan.
Bagian Kesembilan
Pemberdayaan Usaha Kelautan dan Perikanan
Pasal 105
(1) Menteri, gubernur, bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya memfasilitasi kegiatan
pemberdayaan usaha kelautan dan perikanan yang
bertujuan:
a. mendorong keberlanjutan usaha dan
peningkatan investasi;
b. meningkatkan kemampuan dan kapasitas
usaha;
c. fasilitasi akses pembiayaan usaha; dan
d. memberikan kemudahan bagi Pelaku Usaha
dalam memperoleh prasarana dan sarana
usaha kelautan dan perikanan.
(2) Pemberdayaan usaha kelautan dan perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
dilakukan dalam satu kawasan dan/atau di luar
kawasan yang terintegrasi secara sistem bisnis
Perikanan meliputi praproduksi, produksi,
pengolahan, dan pemasaran.
Pasal 106
Menteri, gubernur, bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya mendorong keberlanjutan usaha dan
peningkatan investasi, paling sedikit melalui:
a. penguatan daya saing produk kelautan dan
perikanan melalui pengembangan kawasan
dan/atau fasilitasi kemitraaan usaha;
b. membangkitkan industri kelautan dan perikanan
melalui fasilitasi pemenuhan kebutuhan Bahan
Baku industri, peningkatan kualitas Mutu produk
dan nilai tambah untuk peningkatan investasi dan
ekspor hasil kelautan dan perikanan;
c. penguatan basis produksi dan pengolahan
komoditas unggulan di daerah yang tersebar pada
sentra produksi kelautan dan perikanan;
d. penguatan jaminan usaha yang berkelanjutan
dengan manajemen pengelolaan yang terintegrasi
dan modern;
e. perbaikan, penataan, dan penyederhanaan
Perizinan Berusaha di pusat dan daerah, termasuk
sinergi dengan instansi lain yang terkait; dan
f. pengaturan akses terhadap pengelolaan sumber
daya, kemudahan fasilitasi usaha dan investasi,
dan pengembangan kelautan dan perikanan
berbasis digital.
Pasal 107
(1) Menteri, gubernur, bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya meningkatkan kemampuan dan
kapasitas usaha kelautan dan perikanan.
(2) Peningkatan kemampuan dan kapasitas usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
kemudahan dalam akses ilmu pengetahuan,
teknologi, hasil rekayasa, dan informasi.
(3) Peningkatan kemampuan dan kapasitas usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
paling sedikit melalui:
a. pembinaan kelompok usaha bersama,
korporasi dan kelembagaan nelayan, pembudi
daya Ikan, dan pengolah, serta pemasar yang
sudah terbentuk;
b. penguatan kelompok usaha bersama melalui
pembentukan korporasi dan kelembagaan
nelayan, pembudi daya Ikan, dan pengolah,
serta pemasar;
c. pemberian stimulus dan fasilitasi kemudahan
Pelaku Usaha dengan didukung regulasi yang
kondusif; dan
d. perbaikan kualitas, kapasitas, dan
produktivitas usaha.
(4) Menteri, gubernur, bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya dapat bekerja sama dengan
Pelaku Usaha meningkatkan kemampuan dan
kapasitas usaha kelautan dan perikanan.
Pasal 108
(1) Menteri, gubernur, bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya berkewajiban melakukan fasilitasi
akses pembiayaan bagi Pelaku Usaha kelautan dan
perikanan untuk menjamin keberlanjutan usaha.
(2) Fasilitasi akses pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilakukan
melalui:
a. penyusunan skema pembiayaan usaha
kelautan dan perikanan;
b. penumbuhkembangan kelembagaan dan
klaster pembiayaan berbasis sentra produksi
kelautan dan perikanan; dan
c. pembinaan, pemantauan, dan evaluasi
penyaluran kredit.
Pasal 109
(1) Penyusunan skema pembiayaan usaha kelautan
dan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
108 ayat (2) huruf a dilakukan dengan melibatkan
Pelaku Usaha, lembaga keuangan, dan/atau badan
usaha milik negara atau swasta.
(2) Penyusunan skema pembiayaan usaha kelautan
dan perikanan sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui skema pembiayaan
khusus sesuai dengan kebutuhan karakteristik
usaha kelautan dan perikanan.
Pasal 110
(1) Menumbuhkembangkan kelembagaan dan klaster
pembiayaan berbasis sentra produksi kelautan dan
perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108
ayat (2) huruf b dilakukan dengan membangun
kerja sama antara Pelaku Usaha dengan lembaga
keuangan, penyedia Bahan Baku, dan pelaku
pemasaran.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara terintegrasi meliputi praproduksi,
produksi, pengolahan, dan pemasaran berbasis
komoditas dan/atau sentra produksi kelautan dan
perikanan.
Pasal 111
(1) Dalam meningkatkan akses pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108, Menteri,
gubernur, bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya melakukan pembinaan,
pemantauan, dan evaluasi penyaluran kredit
kepada Pelaku Usaha.
(2) Pembinaan, pemantauan, dan evaluasi penyaluran
kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:
a. sosialisasi dan edukasi inklusi keuangan;
b. peningkatan kualitas manajemen usaha;
c. fasilitasi dan kerja sama dengan lembaga
keuangan (bank dan nonbank);
d. penjaringan debitur potensial;
e. pemantauan dan evaluasi penyaluran
pembiayaan bagi Pelaku Usaha; dan
f. pelaporan realisasi kredit secara berkala dan
berjenjang dari daerah ke pusat.
Pasal 112
(1) Menteri, gubernur, bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya memfasilitasi kemudahan
memperoleh prasarana dan sarana usaha bidang
kelautan dan perikanan untuk meningkatkan daya
saing produk kelautan dan perikanan serta
jaminan Mutu dan keamanan hasil kelautan dan
perikanan.
(2) Prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi prasarana dan sarana pada
usaha:
a. penangkapan Ikan;
b. Pembudidayaan Ikan;
c. pengolahan Hasil Perikanan; dan
d. pemasaran Hasil Perikanan.
Bagian Kesepuluh
Pembinaan Pelaku Usaha Pemasaran
Pasal 113
(1) Pelaku Usaha pemasaran harus memenuhi
persyaratan Mutu dan jaminan keamanan pangan.
(2) Dalam usaha memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan
Pemerintah Daerah melakukan:
a. fasilitasi pemasaran; dan
b. pembinaan,
kepada Pelaku Usaha pemasaran.
(3) Fasilitasi pemasaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a dilakukan melalui kegiatan:
a. fasilitasi promosi;
b. peningkatan akses pasar; dan
c. bantuan prasarana dan sarana pemasaran.
(4) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dilakukan melalui kegiatan:
a. bimbingan teknis;
b. pelatihan; dan
c. pendampingan.
BAB VI
PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PEMBUDIDAYAAN IKAN
DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA BUKAN UNTUK TUJUAN
KOMERSIAL
Pasal 114
(1) Penangkapan Ikan dan/atau Pembudidayaan Ikan
yang bukan untuk tujuan komersial meliputi
kegiatan dalam rangka pendidikan, penyuluhan,
penelitian atau kegiatan ilmiah lainnya,
kesenangan dan wisata.
(2) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Setiap
Orang yang melakukan penangkapan Ikan
dan/atau Pembudidayaan Ikan yang bukan untuk
tujuan komersial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus mendapat persetujuan dari
Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya.
(3) Pemerintah Pusat mendelegasikan kewenangan
penerbitan persetujuan kepada Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penangkapan
Ikan dan/atau Pembudidayaan Ikan di WPPNRI
yang bukan untuk tujuan komersial diatur dengan
Peraturan Menteri.
BAB VII
KAPAL PERIKANAN
Bagian Kesatu
Jenis dan Fungsi Kapal Perikanan
Pasal 115
Jenis Kapal Perikanan meliputi:
a. Kapal Penangkap Ikan;
b. Kapal Pengangkut Ikan;
c. kapal pengolah Ikan;
d. kapal latih Perikanan;
e. kapal penelitian/eksplorasi Perikanan; dan
f. kapal pendukung operasi penangkapan Ikan
dan/atau kapal pendukung operasi
Pembudidayaan Ikan.
Pasal 116
(1) Kapal Penangkap Ikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 115 huruf a berfungsi sebagai sarana
penangkapan Ikan yang bergerak dari Pelabuhan
Pangkalan ke daerah penangkapan Ikan untuk
melakukan kegiatan penangkapan Ikan dan
kembali ke Pelabuhan Pangkalan untuk
mendaratkan Ikan hasil tangkapan.
(2) Kapal Penangkap Ikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. kapal jaring lingkar;
b. kapal jaring tarik;
c. kapal jaring hela;
d. kapal penggaruk;
e. kapal jaring angkat;
f. kapal yang menggunakan alat yang
dijatuhkan atau ditebarkan;
g. kapal jaring insang;
h. kapal perangkap;
i. kapal pancing; dan
j. kapal yang menggunakan alat penangkapan
Ikan lainnya.
(3) Kapal jaring lingkar sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a merupakan Kapal Penangkap Ikan
yang dilengkapi dengan alat penangkapan Ikan
berupa jaring lingkar.
(4) Kapal jaring tarik sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b merupakan Kapal Penangkap Ikan
yang dilengkapi dengan alat penangkapan Ikan
berupa jaring tarik.
(5) Kapal jaring hela sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c merupakan Kapal Penangkap Ikan yang
dilengkapi dengan alat penangkapan Ikan berupa
jaring hela.
(6) Kapal penggaruk sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf d merupakan Kapal Penangkap Ikan yang
dilengkapi dengan alat penangkapan Ikan berupa
penggaruk.
(7) Kapal jaring angkat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf e merupakan Kapal Penangkap Ikan
yang dilengkapi dengan alat penangkapan Ikan
berupa jaring angkat.
(8) Kapal yang menggunakan alat yang dijatuhkan
atau ditebarkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf f merupakan Kapal Penangkap Ikan yang
dilengkapi dengan alat penangkapan Ikan berupa
alat yang dijatuhkan atau ditebarkan.
(9) Kapal jaring insang sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf g merupakan Kapal Penangkap Ikan
yang dilengkapi dengan alat penangkapan Ikan
berupa jaring insang.
(10) Kapal perangkap sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf h merupakan Kapal Penangkap Ikan yang
dilengkapi dengan alat penangkapan Ikan berupa
perangkap.
(11) Kapal pancing sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf i merupakan Kapal Penangkap Ikan yang
dilengkapi dengan alat penangkapan Ikan berupa
pancing.
(12) Kapal yang menggunakan alat penangkapan Ikan
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
j merupakan Kapal Penangkap Ikan yang
dilengkapi dengan alat penangkapan Ikan lainnya.
Pasal 117
(1) Pengoperasian Kapal Penangkap Ikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) menggunakan
alat penangkapan Ikan berdasarkan:
a. jenis alat penangkapan Ikan;
b. sifat alat penangkapan Ikan;
c. selektivitas alat penangkapan Ikan;
d. kapasitas alat penangkapan Ikan;
e. alat bantu penangkapan Ikan;
f. jalur penangkapan Ikan; dan
g. daerah penangkapan Ikan.
(2) Ketentuan mengenai jenis alat penangkapan Ikan,
sifat alat penangkapan Ikan, selektivitas alat
penangkapan Ikan, kapasitas alat penangkapan
Ikan, alat bantu penangkapan Ikan, jalur
penangkapan Ikan, dan daerah penangkapan Ikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 118
(1) Kapal Pengangkut Ikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 115 huruf b berfungsi sebagai sarana
untuk mengangkut dan menampung Ikan dari:
a. daerah penangkapan Ikan di WPPNRI ke
Pelabuhan Pangkalan;
b. daerah penangkapan Ikan di Laut Lepas ke
Pelabuhan Pangkalan atau pelabuhan negara
tujuan;
c. Pelabuhan Pangkalan atau Pelabuhan Muat
ke Pelabuhan Pangkalan;
d. Pelabuhan Pangkalan ke pelabuhan negara
tujuan;
e. kawasan budi daya ke Pelabuhan Muat;
f. Pelabuhan Muat ke pelabuhan negara tujuan;
dan/atau
g. Sentra Nelayan ke Pelabuhan Muat dan/atau
Pelabuhan Pangkalan.
(2) Kapal Pengangkut Ikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. Kapal Pengangkut Ikan hidup; dan
b. Kapal Pengangkut Ikan segar dan beku.
Pasal 119
Kapal pengolah Ikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 115 huruf c berfungsi sebagai kapal atau alat
apung lainya yang bersifat statis dan secara khusus
dipergunakan untuk melakukan Pengolahan Ikan
dengan menggunakan Bahan Baku dari hasil
tangkapan dan/atau hasil budi daya menjadi produk
antara dan/atau produk akhir.
Pasal 120
(1) Kapal latih perikanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 115 huruf d berfungsi sebagai sarana
melakukan pendidikan dan pelatihan bagi peserta
pendidikan dan pelatihan.
(2) Kapal latih perikanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan Kapal Penangkap Ikan dengan
jenis multifungsi yang menggunakan satu atau
lebih alat penangkapan Ikan yang digunakan
sepenuhnya untuk kegiatan pelatihan Perikanan.
Pasal 121
(1) Kapal penelitian/eksplorasi perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 huruf e
berfungsi sebagai sarana untuk melakukan survei,
penelitian, uji terap teknologi, dan/atau eksplorasi
di bidang Perikanan.
(2) Kapal penelitian/eksplorasi Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
Kapal Penangkap Ikan dengan jenis multifungsi
yang menggunakan satu atau lebih alat
penangkapan Ikan yang digunakan sepenuhnya
untuk kegiatan penelitian/eksplorasi Perikanan.
Pasal 122
Kapal pendukung operasi penangkapan Ikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 huruf f
berfungsi untuk membantu operasional penangkapan
Ikan.
Pasal 123
Kapal pendukung operasi Pembudidayaan Ikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 huruf f
berfungsi untuk membantu operasional pembudi daya
Ikan.
Bagian Kedua
Pembangunan, Modifikasi, dan Impor Kapal Perikanan
Pasal 124
(1) Setiap Orang yang membangun, memodifikasi,
atau mengimpor Kapal Perikanan wajib terlebih
dahulu memperoleh persetujuan pengadaan Kapal
Perikanan dari Menteri atau gubernur sesuai
dengan kewenangannya.
(2) Pengajuan persetujuan pengadaan Kapal
Perikanan harus mencantumkan usulan nama
Kapal Perikanan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk pembangunan atau modifikasi Kapal
Perikanan diberikan berdasarkan ketersediaan
sumber daya ikan dan WPPNRI.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk impor Kapal Perikanan diberikan
berdasarkan:
a. ketersedian sumber daya ikan;
b. WPPNRI;
c. usia Kapal Perikanan;
d. ukuran Kapal Perikanan; dan
e. tidak tercantum dalam daftar kapal yang
melakukan penangkapan dan/atau
pengangkutan Ikan yang melanggar hukum,
tidak dilaporkan, dan tidak diatur.
(5) Persyaratan dan tata cara pemberian persetujuan
pengadaan Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha
berbasis risiko.
Pasal 125
(1) Pembangunan atau modifikasi Kapal Perikanan
dapat dilakukan di dalam negeri maupun di luar
negeri.
(2) Pembangunan atau modifikasi Kapal Perikanan di
luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilakukan jika industri galangan
kapal dalam negeri belum memadai.
Pasal 126
(1) Setiap Orang yang mengimpor Kapal Perikanan ke
dalam wilayah Negara Republik Indonesia wajib
memiliki persetujuan impor Kapal Perikanan dari
menteri yang menyelenggarakan urusan
Pemerintahan di bidang perdagangan setelah
mendapatkan persetujuan pengadaan Kapal
Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124
ayat (1).
(2) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara
pemberian persetujuan impor Kapal Perikanan ke
dalam wilayah Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 127
Perawatan dan perbaikan Kapal Perikanan berbendera
Indonesia harus dilakukan di galangan kapal dalam
negeri.
Pasal 128
(1) Pelaksanaan pembangunan dan/atau modifikasi
Kapal Perikanan harus dilakukan inspeksi.
(2) Inspeksi terhadap pelaksanaan pembangunan
dan/atau modifikasi Kapal Perikanan
dilaksanakan secara berkala sejak Kapal Perikanan
dirancang bangun sampai dengan Kapal Perikanan
selesai dibangun dan/atau dimodifikasi.
(3) Inspeksi terhadap pelaksanaan pembangunan
dan/atau modifikasi Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh petugas
pemeriksa kelaikan Kapal Perikanan yang ditunjuk
oleh Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Inspeksi
terhadap pelaksanaan pembangunan dan/atau
modifikasi Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 129
(1) Pengawasan kelaikan Kapal Perikanan dilakukan
terhadap:
a. kelaiklautan Kapal Perikanan;
b. kelaiktangkapan Kapal Perikanan; dan
c. kelaiksimpanan Kapal Perikanan.
(2) Pengawasan terhadap kelaiklautan Kapal
Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilaksanakan secara terus-menerus sejak
Kapal Perikanan dirancang-bangun sampai dengan
Kapal Perikanan selesai dibangun dan/atau tidak
digunakan lagi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pelayaran.
(3) Pengawasan terhadap kelaiktangkapan Kapal
Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilakukan terhadap:
a. kesesuaian fisik kapal dan perlengkapan
penangkapan Ikan; dan
b. kesesuaian jenis dan ukuran alat
penangkapan Ikan dan alat bantu
penangkapan Ikan.
(4) Pengawasan terhadap kelaiksimpanan Kapal
Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dilakukan terhadap:
a. kesesuaian desain konstruksi tempat
penyimpanan Ikan;
b. sistem pembuangan cairan es, air Ikan, dan
air kotoran lain;
c. bahan media pendingin;
d. sistem aerasi; dan
e. pencatatan suhu ruang penyimpanan Ikan.
Pasal 130
(1) Setiap Kapal Perikanan yang telah selesai
dibangun atau dimodifikasi harus dilakukan
pengujian yang meliputi:
a. uji kemiringan;
b. uji coba berlayar;
c. uji coba penangkapan Ikan; dan
d. uji coba ruang penyimpanan Ikan.
(2) Uji kemiringan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dilakukan untuk mengetahui berat
kosong kapal dan titik berat kapal.
(3) Uji coba berlayar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dilakukan untuk mengetahui unjuk
kerja kapal saat bernavigasi, fungsi navigasi, dan
radio elektronika.
(4) Uji coba Penangkapan Ikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan untuk
mengetahui fungsi kerja Kapal Penangkap Ikan
dalam pengoperasian alat penangkapan Ikan dan
perlengkapan Penangkapan Ikan.
(5) Uji coba ruang penyimpanan Ikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan untuk
mengetahui fungsi ruang penyimpanan Ikan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengujian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 131
Pemilik Kapal Perikanan, operator, Nakhoda, atau
pemimpin Kapal Perikanan harus membantu dan
menyediakan fasilitas yang dibutuhkan untuk
pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130.
Bagian Ketiga
Pengukuran Kapal Perikanan
Pasal 132
(1) Setiap Kapal Perikanan yang telah selesai
dibangun harus dilakukan pengukuran.
(2) Pengukuran Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Ahli
Ukur Kapal Perikanan yang ditunjuk oleh Menteri.
(3) Ahli Ukur Kapal Perikanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) memiliki kompetensi ahli ukur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang pelayaran.
(4) Dalam hal Ahli Ukur Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) belum tersedia di lokasi
keberadaan Kapal Perikanan yang akan dilakukan
pengukuran, pengukuran Kapal Perikanan dapat
dilakukan oleh unit pelaksana teknis kementerian
yang membidangi pelayaran.
(5) Pengukuran Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang pelayaran.
Pasal 133
(1) Kapal Perikanan yang telah diukur diberikan Surat
Ukur Kapal Perikanan.
(2) Surat Ukur Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat informasi
mengenai:
a. ukuran Kapal Perikanan (gross tonnage);
b. dimensi Kapal Perikanan; dan
c. volume ruang Kapal Perikanan.
(3) Persyaratan dan tata cara pengukuran Kapal
Perikanan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai
penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis
risiko.
Bagian Keempat
Kelaikan Kapal Perikanan
Pasal 134
(1) Setiap Kapal Perikanan yang akan beroperasi
harus memenuhi persyaratan kelaikan Kapal
Perikanan.
(2) Persyaratan kelaikan Kapal Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kelaiklautan Kapal Perikanan;
b. kelaiktangkapan Kapal Perikanan; dan
c. kelaiksimpanan Kapal Perikanan.
(3) Pemeriksaan terhadap persyaratan kelaikan Kapal
Perikanan sebagai dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh petugas pemeriksa kelaikan
Kapal Perikanan yang ditunjuk oleh Menteri.
(4) Kapal Perikanan yang memenuhi persyaratan
kelaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan Sertifikat Kelaikan Kapal Perikanan.
(5) Persyaratan dan tata cara penerbitan sertifikat
kelaikan Kapal Perikanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha
berbasis risiko.
(6) Kelaiklautan Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dipenuhi
dengan persyaratan memiliki:
a. sertifikat kelaikan dan pengawakan Kapal
Penangkap Ikan, untuk Kapal Penangkap
Ikan; atau
b. sertifikat keselamatan kapal barang untuk
Kapal Pengangkut Ikan,
yang diterbitkan berdasarkan ketentuan
perundang-undangan di bidang pelayaran.
(7) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
huruf a dan huruf b berlaku sampai dengan 31
Desember 2021.
(8) Dalam hal petugas pemeriksa kelaikan Kapal
Perikanan belum tersedia, pemeriksaan
pemenuhan kelaiklautan Kapal Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat
melibatkan badan klasifikasi nasional yang
ditunjuk oleh Menteri.
Pasal 135
(1) Kelaiklautan Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 134 ayat (2) huruf a
meliputi:
a. keselamatan kapal;
b. pencegahan pencemaran dari kapal;
c. pengawakan kapal;
d. garis muat kapal dan pemuatan;
e. kesejahteraan dan kesehatan awak kapal; dan
f. manajemen keselamatan dan pencegahan
pencemaran dari kapal.
(2) Kelaiklautan Kapal Perikanan yang beroperasi di
Laut Lepas dan/atau perairan yurisdiksi negara
lain yang memenuhi persyaratan konvensi harus
mengikuti ketentuan internasional.
(3) Kelaiklautan Kapal Perikanan yang beroperasi di
Laut Lepas dan/atau perairan yurisdiksi negara
lain yang tidak memenuhi persyaratan konvensi
harus mengikuti standar kapal nonkonvensi
berbendera Indonesia.
(4) Kelaiklautan Kapal Perikanan yang beroperasi di
WPPNRI harus mengikuti standar kapal
nonkonvensi berbendera Indonesia.
Pasal 136
(1) Kelaiktangkapan Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 134 ayat (2) huruf b
meliputi:
a. kesesuaian antara ukuran kapal, alat
penangkapan Ikan, dan daerah penangkapan
Ikan;
b. kesesuaian antara daya mesin kapal dengan
ukuran kapal dan jenis alat penangkapan
Ikan;
c. kesesuaian alat penangkapan Ikan dengan
jalur dan daerah penangkapan Ikan;
d. kesesuaian perlengkapan penangkapan Ikan
dengan alat penangkapan Ikan;
e. tata cara pengoperasian alat penangkapan
Ikan; dan
f. pencegahan terjadinya jaring tanpa pemilik.
(2) Kelaiktangkapan Kapal Perikanan tidak berlaku
untuk Kapal Pengangkut Ikan dan kapal
pendukung operasi Penangkapan Ikan dan/atau
Pembudidayaan Ikan.
Pasal 137
(1) Kelaiksimpanan Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 134 ayat (2) huruf c
meliputi:
a. tata susunan ruang kapal;
b. konstruksi ruang penyimpanan Ikan;
c. bahan dinding ruang penyimpanan; dan
d. peralatan dan perlengkapan Penanganan
Ikan.
(2) Kelaiksimpanan Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk ikan beku dan segar
harus dilengkapi dengan sistem pendingin.
(3) Kelaiksimpanan Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk Ikan tidak berlaku
untuk kapal lampu.
Bagian Kelima
Pendaftaran Kapal Perikanan
Pasal 138
(1) Kapal Perikanan milik orang Indonesia yang
dioperasikan di WPPNRI dan/atau Laut Lepas
wajib didaftarkan terlebih dahulu sebagai Kapal
Perikanan Indonesia.
(2) Pendaftaran Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Setiap
Orang kepada Menteri atau gubernur sesuai
dengan kewenangannya.
(3) Pendaftaran Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan
dokumen yang berupa:
a. dokumen yang memuat alokasi usaha;
b. bukti kepemilikan;
c. identitas pemilik;
d. surat ukur Kapal Perikanan; dan
e. sertifikat kelaikan Kapal Perikanan.
(4) Kapal Perikanan yang telah didaftar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan buku Kapal
Perikanan dan nomor register Kapal Perikanan.
(5) Buku Kapal Perikanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) memuat informasi tentang:
a. identitas Kapal Perikanan;
b. identitas pemilik Kapal Perikanan; dan
c. perubahan yang terjadi meliputi pemilik Kapal
Perikanan dan identitas Kapal Perikanan.
(6) Nomor register Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) berfungsi sebagai Unique
Vessel Identifier (UVI) bagi Kapal Perikanan
Indonesia.
(7) Persyaratan dan tata cara pendaftaran Kapal
Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai penyelenggaraan
perizinan berusaha berbasis risiko.
Bagian Keenam
Penandaan Kapal Perikanan
Pasal 139
(1) Setiap Kapal Perikanan harus diberi tanda
pengenal Kapal Perikanan.
(2) Tanda pengenal Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat informasi
mengenai:
a. kewenangan pendaftaran Kapal Perikanan;
b. tanda daerah penangkapan Ikan;
c. tanda alat penangkapan Ikan;
d. nomor register Kapal Perikanan; dan
e. ukuran Kapal Perikanan (gross tonnage).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanda pengenal
Kapal Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 140
Kapal Perikanan Indonesia yang beroperasi di wilayah
organisasi Pengelolaan Perikanan regional selain diberi
tanda pengenal Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 139 dapat diberi tanda khusus
sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh
organisasi Pengelolaan Perikanan regional.
Bagian Ketujuh
Tata Kelola Pengawakan Kapal Perikanan
Paragraf 1
Persyaratan Kerja di Kapal Perikanan
Pasal 141
Setiap Awak Kapal Perikanan yang akan bekerja harus
memenuhi persyaratan:
a. berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun
dan harus memiliki kartu identitas diri;
b. memiliki buku pelaut Awak Kapal Perikanan;
c. memiliki Kompetensi;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. terdaftar sebagai peserta jaminan sosial;
f. memiliki PKL; dan
g. disijil.
Pasal 142
PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf f
berlaku bagi Awak Kapal Perikanan yang bekerja pada
pemilik Kapal Perikanan, operator Kapal Perikanan,
Nakhoda, atau agen Awak Kapal Perikanan.
Paragraf 2
Jabatan dan Kompetensi Awak Kapal Perikanan
Pasal 143
(1) Susunan Awak Kapal Perikanan yang melakukan
operasi penangkapan Ikan terdiri atas:
a. Nakhoda;
b. Ahli Penangkapan Ikan (Fishing Master);
c. Perwira; dan
d. Anak Buah Kapal.
(2) Anak Buah Kapal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d terdiri atas:
a. Serang (Senior Deckhand);
b. Kelasi (deckhand);
c. Operator Mesin Pendingin;
d. Juru Minyak; dan
e. Perwira selain Nakhoda dan Ahli Penangkapan
Ikan (Fishing Master).
Pasal 144
(1) Nakhoda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143
ayat (1) huruf a, Ahli Penangkapan Ikan (Fishing
Master) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143
ayat (1) huruf b, dan Perwira sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 143 ayat (1) huruf c, harus
memiliki Kompetensi teknis dan nautis paling
sedikit meliputi:
a. layak laut;
b. layak tangkap; dan
c. layak simpan.
(2) Serang (Senior Deckhand) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a dan Kelasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2)
huruf b harus memiliki Kompetensi:
a. layak laut;
b. layak tangkap; dan
c. layak simpan.
(3) Operator Mesin Pendingin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 143 ayat (2) huruf c dan Juru Minyak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2)
huruf d harus memiliki Kompetensi:
a. layak laut; dan
b. layak simpan.
Pasal 145
(1) Kompetensi layak Laut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 144 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a,
dan ayat (3) huruf a merupakan
keahlian/keterampilan, pengetahuan, dan perilaku
kerja yang harus dimiliki Awak Kapal Perikanan
dalam menjamin keselamatan:
a. pelayaran dari Pelabuhan Pangkalan ke
daerah penangkapan Ikan dan kembali ke
Pelabuhan Pangkalan;
b. muatan umpan beku/hidup;
c. muatan Ikan hasil tangkapan;
d. jiwa Awak Kapal Perikanan serta seluruh
harta bendanya; dan
e. Awak Kapal Perikanan akibat risiko
pengoperasian alat penangkapan Ikan.
(2) Kompetensi layak Laut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditentukan berdasarkan:
a. daerah operasi Kapal Perikanan;
b. ukuran panjang dan/atau tonase Kapal
Perikanan; dan
c. daya dorong mesin Kapal Perikanan.
Pasal 146
(1) Kompetensi layak tangkap sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 144 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf
b merupakan keterampilan, pengetahuan, dan
perilaku kerja yang harus dimiliki oleh Awak Kapal
Perikanan dalam:
a. mengenali wilayah penangkapan Ikan;
b. perencanaan operasi penangkapan Ikan;
c. memastikan penggunaan alat penangkapan
Ikan yang ramah lingkungan;
d. menjamin keberhasilan operasi penangkapan
Ikan;
e. melaporkan kegiatan penangkapan Ikan
melalui instrumen pelaporan yang
diamanatkan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan dan ketentuan
organisasi Pengelolaan Perikanan regional dan
internasional; dan
f. pengenalan dan penanganan spesies Ikan dan
biota Laut lainnya yang dilindungi.
(2) Kompetensi layak tangkap sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditentukan berdasarkan:
a. sifat pengoperasian alat penangkapan Ikan;
b. jenis alat penangkapan Ikan; dan
c. metode pengoperasian alat penangkapan Ikan.
Pasal 147
(1) Kompetensi layak simpan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 144 ayat (1) huruf c, ayat (2) huruf c,
dan ayat (3) huruf b merupakan keterampilan,
pengetahuan, dan perilaku kerja yang harus
dimiliki oleh Awak Kapal Perikanan dalam
menjamin:
a. keamanan pangan dan jaminan Mutu hasil
penangkapan Ikan selama proses
penanganan, pengolahan, penyimpanan
sesuai dengan kaidah keamanan pangan;
b. pengoperasian mesin refrigerasi di Kapal
Perikanan; dan
c. pengoperasian palka umpan Ikan hidup dan
aerator.
(2) Kompetensi layak simpan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditentukan berdasarkan:
a. teknis Penanganan Ikan hasil tangkapan;
b. jenis dan metode penyimpanan Ikan;
c. lamanya waktu operasi penangkapan Ikan;
dan
d. refrigerasi penyimpanan Ikan.
Paragraf 3
Daerah Operasi Kapal Perikanan
Pasal 148
(1) Daerah operasi Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 145 ayat (2) huruf a terdiri
atas:
a. perairan terbatas; dan
b. perairan tidak terbatas.
(2) Perairan terbatas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a mencakup seluruh WPPNRI.
(3) Perairan tidak terbatas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b merupakan perairan Laut
Lepas.
Paragraf 4
Kualifikasi Awak Kapal Perikanan
Pasal 149
Standar kualifikasi Awak Kapal Perikanan terdiri atas:
a. bagian dek; dan
b. bagian mesin.
Pasal 150
(1) Standar kualifikasi Awak Kapal Perikanan untuk
bagian dek sebagaimana dimaksud dalam Pasal
149 huruf a ditentukan berdasarkan ukuran
panjang dan/atau gross tonnage Kapal Perikanan
serta daerah operasi Kapal Perikanan, susunan
jabatan, serta sertifikat yang diperlukan.
(2) Standar kualifikasi Awak Kapal Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
harus memenuhi kualifikasi:
a. keahlian nautika Kapal Perikanan;
b. keahlian alat dan operasi penangkapan Ikan;
c. keterampilan radio;
d. keterampilan keselamatan dasar Awak Kapal
Perikanan;
e. keterampilan operasional penangkapan Ikan;
dan
f. keterampilan penanganan dan penyimpanan
Ikan.
Pasal 151
(1) Standar kualifikasi Awak Kapal Perikanan untuk
bagian mesin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
149 huruf b ditentukan berdasarkan daya dorong
mesin Kapal Perikanan, susunan jabatan, serta
sertifikat yang diperlukan.
(2) Standar kualifikasi Awak Kapal Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
harus memenuhi kualifikasi:
a. keahlian teknika Kapal Perikanan;
b. keterampilan keselamatan dasar Awak Kapal
Perikanan;
c. keterampilan perawatan mesin Kapal
Perikanan; dan
d. keterampilan refrigerasi mesin pendingin
Kapal Perikanan.
Paragraf 5
Sertifikat Awak Kapal Perikanan
Pasal 152
(1) Kompetensi teknis dan nautis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 144 dibuktikan dengan
sertifikat Awak Kapal Perikanan.
(2) Sertifikat Awak Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Sertifikat Keahlian Awak Kapal Perikanan;
dan
b. Sertifikat Keterampilan Awak Kapal
Perikanan.
Pasal 153
(1) Sertifikat keahlian Awak Kapal Perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (2)
huruf a terdiri atas sertifikat:
a. ahli nautika Kapal Perikanan;
b. ahli teknika Kapal Perikanan;
c. ahli penangkapan Ikan; dan
d. rating kapal perikanan.
(2) Sertifikat keahlian Awak Kapal Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
oleh Menteri.
Pasal 154
(1) Sertifikat Keterampilan Awak Kapal Perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (2)
huruf b terdiri atas sertifikat:
a. Basic Safety Training Fisheries (BST-F);
b. operasional penangkapan Ikan;
c. keterampilan penanganan Ikan;
d. refrigerasi penyimpanan Ikan;
e. perawatan mesin Kapal Perikanan; dan
f. operator radio.
(2) Sertifikat Keterampilan Awak Kapal Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf e diterbitkan oleh Menteri.
(3) Sertifikat Keterampilan Awak Kapal Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f
diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan
informatika.
Pasal 155
Menteri menyediakan basis data dan informasi tentang
sertifikat Awak Kapal Perikanan yang dapat digunakan
untuk keperluan negara lain dan perusahaan dalam
memverifikasi keabsahan dan masa berlaku.
Paragraf 6
Pendidikan dan Pelatihan Awak Kapal Perikanan
Pasal 156
Jenis Pendidikan dan Pelatihan Awak Kapal Perikanan
terdiri atas:
a. pendidikan dan pelatihan profesional Awak Kapal
Perikanan;
b. pendidikan dan pelatihan fungsional Awak Kapal
Perikanan; dan
c. pendidikan dan pelatihan keterampilan Awak
Kapal Perikanan.
Pasal 157
(1) Pendidikan dan pelatihan profesional Awak Kapal
Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156
huruf a merupakan pendidikan dan pelatihan
formal untuk mendapatkan Sertifikat Keahlian
Awak Kapal Perikanan.
(2) Pendidikan dan pelatihan profesional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. pendidikan dan pelatihan ahli nautika Kapal
Perikanan; dan
b. pendidikan dan pelatihan ahli teknika Kapal
Perikanan.
Pasal 158
Pendidikan dan pelatihan fungsional Awak Kapal
Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156
huruf b merupakan pendidikan dan pelatihan
nonformal peningkatan jenjang profesi Awak Kapal
Perikanan yang terdiri atas:
a. pendidikan dan pelatihan ahli nautika Kapal
Perikanan;
b. pendidikan dan pelatihan ahli teknika Kapal
Perikanan;
c. pendidikan dan pelatihan ahli penangkapan Ikan;
dan
d. pendidikan dan pelatihan rating Awak Kapal
Perikanan.
Pasal 159
(1) Pendidikan dan pelatihan keterampilan Awak
Kapal Perikanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 156 huruf c merupakan pendidikan dan
pelatihan guna mendapatkan keterampilan untuk
melakukan tugas dan/atau fungsi tertentu di
Kapal Perikanan.
(2) Pendidikan dan pelatihan keterampilan Awak
Kapal Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling sedikit terdiri atas:
a. pendidikan dan pelatihan BST-F;
b. pendidikan dan pelatihan operasional
penangkapan Ikan;
c. pendidikan dan pelatihan penanganan Ikan;
d. pendidikan dan pelatihan refrigerasi
penyimpanan Ikan;
e. pendidikan dan pelatihan perawatan mesin
Kapal Perikanan;
f. pendidikan dan pelatihan kecakapan nelayan;
g. pendidikan dan pelatihan operator radio; dan
h. pendidikan dan pelatihan kelistrikan.
Paragraf 7
Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Awak Kapal
Perikanan
Pasal 160
(1) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
pengawakan Kapal Perikanan berpedoman kepada:
a. standar nasional pendidikan; dan
b. ketentuan yang diatur dalam Konvensi
Internasional tentang Standar Pelatihan,
Sertifikasi, dan Dinas Jaga bagi Awak Kapal
Penangkap Ikan, 1995, beserta
amandemennya.
(2) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
pengawakan Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pendidikan dan pelatihan keahlian Awak
Kapal Perikanan yang diselenggarakan melalui
jalur formal dan nonformal; dan
b. pendidikan dan pelatihan keterampilan Awak
Kapal Perikanan yang diselenggarakan melalui
jalur nonformal.
Pasal 161
(1) Pendidikan dan pelatihan pengawakan Kapal
Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160
ayat (2) dapat diselenggarakan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, badan usaha swasta
atau masyarakat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Pendidikan dan pelatihan pengawakan Kapal
Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk Nelayan Kecil atas biaya Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.
(3) Setiap program pendidikan dan pelatihan
pengawakan Kapal Perikanan yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan
pelatihan harus mendapatkan Pengesahan dari
Menteri berdasarkan hasil audit.
(4) Pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat diterbitkan setelah memenuhi standar:
a. isi;
b. proses;
c. Kompetensi kelulusan;
d. pendidik dan tenaga kependidikan;
e. prasarana dan sarana;
f. pengelolaan;
g. penilaian pendidikan; dan
h. pembiayaan.
Pasal 162
(1) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
pengawakan Kapal Perikanan harus memenuhi
sistem standar mutu pendidikan dan pelatihan
pengawakan Kapal Perikanan Indonesia yang
mengacu kepada Konvensi Internasional tentang
Standar Pelatihan, Sertifikasi, dan Dinas Jaga bagi
Awak Kapal Penangkap Ikan, 1995, beserta
amandemennya.
(2) Dalam rangka penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan Awak Kapal Perikanan dilakukan
verifikasi dan evaluasi secara berkala paling sedikit
1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun oleh Menteri
guna menjamin pemenuhan standar mutu
pendidikan dan pelatihan pengawakan Kapal
Perikanan.
Pasal 163
(1) Pengesahan Program Pendidikan dan Pelatihan
kepada setiap lembaga pendidikan dan pelatihan
pengawakan Kapal Perikanan dibatalkan apabila
tidak sesuai dengan sistem standar mutu setelah
dilakukan audit.
(2) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan setelah melalui proses:
a. peringatan secara tertulis sebanyak 3 (tiga)
kali dengan jangka waktu masing-masing
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja; dan
b. pembatalan dilaksanakan setelah jangka
waktu peringatan ketiga berakhir dan hasil
audit membuktikan penyelenggara tidak
melakukan perbaikan secara signifikan.
(3) Terhadap program pendidikan dan pelatihan yang
pengesahannya telah dibatalkan, Pemerintah
memindahkan peserta didiknya pada lembaga
pendidikan dan pelatihan kepengawakan Kapal
Perikanan yang telah mendapatkan Pengesahan
atas seizin Menteri untuk melanjutkan pendidikan
dan pelatihan.
(4) Terhadap program pendidikan dan pelatihan yang
pengesahannya telah dibatalkan tidak
diperkenankan menerima peserta didik pendidikan
dan pelatihan baru.
Paragraf 8
Pengujian dan Pengukuhan
Pasal 164
(1) Penyelenggaraan dan pengawasan ujian keahlian
Awak Kapal Perikanan dilaksanakan oleh Dewan
Penguji Keahlian Awak Kapal Perikanan.
(2) Dewan Penguji Keahlian Awak Kapal Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh
seorang Ketua yang harus memiliki Sertifikat
Keahlian Awak Kapal Perikanan paling sedikit ahli
nautika Kapal Perikanan tingkat I atau ahli teknika
Kapal Perikanan tingkat I.
(3) Dewan Penguji Keahlian Awak Kapal Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh
Menteri.
Pasal 165
(1) Sertifikat Keahlian Awak Kapal Perikanan yang
telah diterbitkan wajib dilakukan Pengukuhan
dalam bentuk Sertifikat Pengukuhan.
(2) Sertifikat Pengukuhan diterbitkan oleh Menteri.
Paragraf 9
Pengakuan
Pasal 166
(1) Menteri mengakui Sertifikat Keahlian Awak Kapal
Perikanan dan Sertifikat Keterampilan Awak Kapal
Perikanan yang diterbitkan oleh negara lain yang
telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang
Standar Pelatihan, Sertifikasi, dan Dinas Jaga bagi
Awak Kapal Penangkap Ikan, 1995, beserta
amandemennya.
(2) Pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui proses pengakuan kedua
belah pihak.
Paragraf 10
Sistem Standar Mutu Awak Kapal Perikanan
Pasal 167
(1) Sistem standar mutu pengawakan Kapal Perikanan
meliputi:
a. pendidikan dan pelatihan;
b. pengujian Kompetensi;
c. penerbitan sertifikat;
d. pengukuhan; dan
e. revalidasi.
(2) Setiap lembaga yang melakukan pendidikan dan
pelatihan keahlian dan/atau keterampilan Awak
Kapal Perikanan, pengujian keahlian Awak Kapal
Perikanan, dan penerbitan sertifikat pengawakan
Kapal Perikanan mengacu pada sistem standar
mutu pengawakan Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Sistem standar mutu pengawakan Kapal Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
pemantauan secara berkala oleh Menteri.
Paragraf 11
Dokumen Awak Kapal Perikanan
Pasal 168
Awak Kapal Perikanan untuk bekerja di Kapal
Perikanan berbendera Indonesia dan/atau berbendera
asing harus memiliki kelengkapan dokumen yang sah
dan masih berlaku.
Pasal 169
(1) Awak Kapal Perikanan yang bekerja di Kapal
Perikanan berbendera Indonesia yang beroperasi di
WPPNRI harus memiliki dokumen:
a. PKL;
b. buku pelaut Awak Kapal Perikanan;
c. Kompetensi;
d. surat keterangan kesehatan; dan
e. bukti kepesertaan Sistem Jaminan Sosial
Nasional.
(2) Awak Kapal Perikanan yang bekerja di Kapal
Perikanan berbendera Indonesia yang beroperasi di
Laut Lepas dan/atau wilayah yurisdiksi negara
lain harus memiliki dokumen:
a. PKL;
b. buku pelaut Awak Kapal Perikanan;
c. Kompetensi;
d. surat keterangan kesehatan;
e. bukti kepesertaan Sistem Jaminan Sosial
Nasional; dan
f. perjalanan (paspor).
(3) Awak Kapal Perikanan yang bekerja di Kapal
Perikanan berbendera asing harus memiliki
dokumen:
a. PKL;
b. buku pelaut Awak Kapal Perikanan;
c. Kompetensi;
d. surat keterangan kesehatan;
e. bukti kepesertaan Sistem Jaminan Sosial
Nasional;
f. asuransi;
g. perjalanan (paspor); dan
h. ketenagakerjaan (visa kerja).
(4) Selain dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), Awak Kapal Perikanan yang bekerja di Kapal
Perikanan berbendera asing harus memenuhi
dokumen yang dipersyaratkan oleh negara bendera
kapal.
Paragraf 12
Buku Pelaut Awak Kapal Perikanan
Pasal 170
(1) Buku pelaut Awak Kapal Perikanan diterbitkan
oleh Menteri.
(2) Buku pelaut Awak Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Awak
Kapal Perikanan yang telah memiliki Kompetensi.
(3) Untuk memperoleh buku pelaut Awak Kapal
Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Awak Kapal Perikanan mengajukan permohonan
kepada Menteri.
Paragraf 13
Perjanjian Kerja Laut
Pasal 171
PKL merupakan kesepakatan antara Awak Kapal
Perikanan dengan pemilik Kapal Perikanan atau
operator Kapal Perikanan atau Nakhoda atau dengan
agen Awak Kapal Perikanan yang memuat:
a. persyaratan kerja;
b. jaminan kelayakan kerja;
c. jaminan upah;
d. jaminan kesehatan;
e. jaminan kecelakaan kerja;
f. jaminan keamanan dan keselamatan kerja;
g. jaminan hari tua;
h. jaminan kehilangan pekerjaan;
i. jaminan kematian; dan
j. jaminan hukum yang mengacu pada ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 172
(1) Wilayah hukum PKL bagi Awak Kapal Perikanan
meliputi:
a. WPPNRI;
b. Laut lepas; dan
c. wilayah yurisdiksi negara lain.
(2) PKL bagi Awak Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 171 dilaksanakan untuk
Awak Kapal Perikanan yang bekerja di Kapal
Perikanan berbendera Indonesia berukuran di atas
5 (lima) gross tonnage yang beroperasi di WPPNRI
dan/atau Laut Lepas.
(3) PKL bagi Awak Kapal Perikanan yang bekerja di
Kapal Perikanan berbendera asing yang beroperasi
di perairan negara bendera kapal dan Laut Lepas
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) PKL bagi Awak Kapal Perikanan yang bekerja di
Kapal Perikanan berbendera asing yang beroperasi
di wilayah yurisdiksi negara lain dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(5) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk
Awak Kapal Perikanan yang bekerja di Kapal
Perikanan berukuran 5 (lima) sampai dengan 30
(tiga puluh) gross tonnage mulai berlaku 3 (tiga)
tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 173
(1) PKL bagi Awak Kapal Perikanan terdiri atas:
a. PKL untuk jangka waktu terbatas;
b. PKL untuk jangka waktu satu kali operasi
Kapal Perikanan; dan
c. PKL untuk jangka waktu tidak terbatas.
(2) PKL untuk jangka waktu terbatas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a pelaksanaannya
berakhir setelah melampaui tanggal masa berlaku
PKL.
(3) PKL untuk jangka waktu satu kali operasi Kapal
Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b pelaksanaannya berakhir setelah tiba dan
selesai bongkar Ikan di pelabuhan yang ditunjuk.
(4) PKL untuk jangka waktu tidak terbatas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
pelaksanaannya berakhir berdasarkan
kesepakatan pemilik Kapal Perikanan atau
operator Kapal Perikanan atau agen Awak Kapal
Perikanan atau Nakhoda dengan Awak Kapal
Perikanan.
Pasal 174
(1) PKL ditandatangani di atas meterai bernilai cukup
oleh pemilik Kapal Perikanan, operator Kapal
Perikanan, agen Awak Kapal Perikanan, atau
Nakhoda dengan Awak Kapal Perikanan.
(2) PKL berlaku sejak disahkan oleh syahbandar atau
Syahbandar di Pelabuhan Perikanan.
(3) Syahbandar atau Syahbandar di Pelabuhan
Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus memastikan bahwa Awak Kapal Perikanan
yang akan membuat PKL sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) telah memenuhi persyaratan bekerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf a,
huruf c, huruf d, dan huruf e.
(4) Pemilik Kapal Perikanan, operator Kapal
Perikanan, agen Awak Kapal Perikanan, Nakhoda,
dan Awak Kapal Perikanan bertanggung jawab atas
keabsahan seluruh dokumen dan segala risiko
hukum jika dokumen tidak benar atau tidak sah.
(5) Syahbandar atau Syahbandar di Pelabuhan
Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus memastikan pemenuhan muatan isi PKL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171.
Paragraf 14
Sijil Awak Kapal Perikanan
Pasal 175
(1) Sijil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf
g dilakukan oleh Syahbandar di Pelabuhan
Perikanan.
(2) Setiap Awak Kapal Perikanan yang akan dilakukan
sijil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 141 huruf a, huruf c, huruf d, huruf e,
dan huruf f.
(2) Setiap Awak Kapal Perikanan yang akan dilakukan
sijil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 141 huruf a, huruf c, huruf d, huruf e,
dan huruf f.
Pasal 176
(1) Pemilik Kapal Perikanan, operator Kapal
Perikanan, agen Awak Kapal Perikanan, atau
Nakhoda harus memberi jaminan sosial yang
terdiri atas:
a. jaminan kesehatan;
b. jaminan kecelakaan kerja;
c. jaminan kematian;
d. jaminan hari tua; dan
e. jaminan kehilangan pekerjaan.
(2) Jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan jaminan kecelakaan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dimaksudkan untuk menanggung biaya perawatan
dan pengobatan bagi Awak Kapal Perikanan yang
sakit atau cedera selama berada di atas Kapal
Perikanan.
(3) Jaminan kematian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c dimaksudkan untuk memberikan
jaminan kehidupan bagi ahli waris dan keluarga
Awak Kapal Perikanan yang meninggal dunia.
(4) Jaminan hari tua sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d dimaksudkan untuk memberikan
jaminan penghidupan kepada Awak Kapal
Perikanan dan keluarganya apabila terjadi
pemutusan hubungan kerja dan/atau sudah tidak
mampu bekerja.
(5) Jaminan kehilangan pekerjaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e dimaksudkan
untuk memberikan jaminan mempertahankan
derajat kehidupan yang layak pada saat Awak
Kapal Perikanan kehilangan pekerjaan.
(6) Terhadap Awak Kapal Perikanan yang sakit atau
cedera akibat kecelakaan sehingga tidak dapat
bekerja atau harus dirawat, pemilik Kapal
Perikanan, operator Kapal Perikanan, agen Awak
Kapal Perikanan, Nakhoda selain memberikan
asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
juga membayar gaji penuh jika Awak Kapal
Perikanan tetap berada atau dirawat di Kapal
Perikanan.
(7) Jika Awak Kapal Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) harus diturunkan dari
Kapal Perikanan untuk perawatan di darat, pemilik
Kapal Perikanan atau operator Kapal Perikanan
atau agen Awak Kapal Perikanan atau Nakhoda
wajib harus:
a. memberikan jaminan sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b;
b. membayar sebesar 100% (seratus persen) dari
gaji minimumnya untuk bulan pertama dan
sebesar 80% (delapan puluh persen) dari gaji
minimumnya setiap bulan pada bulan
berikutnya, sampai yang bersangkutan
sembuh sesuai surat keterangan petugas
medis, dengan ketentuan tidak lebih dari 6
(enam) bulan untuk yang sakit dan tidak lebih
dari 12 (dua belas) bulan untuk yang cedera
akibat kecelakaan.
(8) Jaminan sosial terhadap Nelayan Kecil
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 177
(1) Besarnya ganti rugi atas kehilangan barang-barang
milik Awak Kapal Perikanan akibat tenggelam atau
terbakarnya Kapal Perikanan, dihitung sesuai
dengan nilai barang-barang yang wajar dimilikinya
yang hilang atau terbakar.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibebankan kepada pemilik Kapal Perikanan atau
operator Kapal Perikanan atau agen Awak Kapal
Perikanan atau Nakhoda.
Paragraf 16
Santunan
Pasal 178
Jika Awak Kapal Perikanan setelah dirawat akibat
kecelakaan kerja, menderita cacat tetap yang
mempengaruhi kemampuan kerja, besarnya santunan
ditentukan:
a. cacat tetap yang mengakibatkan kemampuan kerja
hilang 100% (seratus persen), besarnya santunan
minimal Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah);
b. cacat tetap yang mengakibatkan kemampuan kerja
berkurang, besarnya santunan ditetapkan sebesar
persentase dari jumlah sebagaimana ditetapkan
dalam huruf a, dengan ketentuan kehilangan:
1. satu lengan: 40% (empat puluh persen);
2. kedua lengan: 100% (seratus persen);
3. satu telapak tangan: 30% (tiga puluh persen);
4. kedua telapak tangan: 80% (delapan puluh
persen);
5. satu kaki dari paha: 40% (empat puluh persen);
6. kedua kaki dari paha: 100% (seratus persen);
7. satu telapak kaki: 30% (tiga puluh persen);
8. kedua telapak kaki: 80% (delapan puluh
persen);
9. satu mata: 30% (tiga puluh persen);
10. kedua mata: 100% (seratus persen);
11. pendengaran satu telinga: 15% (lima belas
persen);
12. pendengaran kedua telinga: 40% (empat puluh
persen);
13. satu jari tangan: 10% (sepuluh persen); dan
14. satu jari kaki: 5% (lima persen);
c. jika Awak Kapal Perikanan kehilangan beberapa
anggota badan sekaligus sebagaimana dimaksud
pada huruf b, besarnya santunan ditentukan
dengan menjumlahkan besarnya persentase,
dengan ketentuan tidak melebihi jumlah
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Pasal 179
(1) Jika Awak Kapal Perikanan meninggal dunia di
atas Kapal Perikanan, pemilik Kapal Perikanan
harus menanggung biaya pemulangan dan
penguburan jenazahnya ke tempat yang
dikehendaki oleh keluarga yang bersangkutan
sepanjang keadaan memungkinkan.
(2) Dalam hal Awak Kapal Perikanan meninggal dunia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemilik
Kapal Perikanan wajib membayar santunan:
a. minimal sebesar Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) untuk meninggal karena sakit;
atau
b. minimal Rp150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah) untuk meninggal akibat
kecelakaan kerja.
(3) Santunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
diberikan kepada ahli warisnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 180
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola
pengawakan Kapal Perikanan diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 181
Dalam rangka pemenuhan kepatuhan terhadap
Konvensi Internasional tentang Standar Pelatihan,
Sertifikasi, dan Dinas Jaga bagi Awak Kapal Penangkap
Ikan, 1995, beserta amandemennya, Menteri
melaporkan implementasi pelaksanaan konvensi
kepada Sekretariat International Maritime Organization
melalui kementerian yang bertanggung jawab dalam
pelaksanaan kegiatan dan administrasi pemerintah
pada International Maritime Organization.
Paragraf 17
Penukaran dan Penyetaraan Sertifikat Awak Kapal
Perikanan
Pasal 182
(1) Sertifikat Keahlian dan Keterampilan Awak Kapal
Perikanan yang diterbitkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang
pelayaran dapat ditukar dengan Sertifikat Keahlian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 dan
Sertifikat Keterampilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 154 dengan mengajukan permohonan
kepada Menteri paling lambat sampai dengan 31
Desember 2023.
(2) Awak Kapal Perikanan yang memiliki Sertifikat
Keahlian ahli nautika Kapal Perikanan dan/atau
ahli teknika Kapal Perikanan, dapat melakukan
penyetaraan menjadi sertifikat keahlian pelaut
niaga.
(3) Ketentuan penyetaraan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mengikuti ketentuan dari menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pelayaran.
BAB VIII
KEPELABUHANAN PERIKANAN
Bagian Kesatu
Tatanan Kepelabuhanan Perikanan Nasional
Pasal 183
(1) Tatanan kepelabuhanan Perikanan nasional
diwujudkan dalam rangka penyelenggaraan
Pelabuhan Perikanan yang andal dan
berkemampuan tinggi, menjamin efisiensi, dan
mempunyai daya saing global untuk menunjang
pembangunan Perikanan di WPPNRI.
(2) Tatanan Kepelabuhanan Perikanan nasional
merupakan sistem Kepelabuhanan Perikanan
secara nasional yang mencerminkan perencanaan
Kepelabuhanan Perikanan berdasarkan kawasan
ekonomi, geografis, dan keunggulan komparatif
wilayah, serta kondisi alam.
(3) Tatanan Kepelabuhanan Perikanan nasional
memuat:
a. fungsi Pelabuhan Perikanan;
b. fasilitas Pelabuhan Perikanan;
c. klasifikasi Pelabuhan Perikanan; dan
d. RIPPN.
Paragraf 1
Fungsi Pelabuhan Perikanan
Pasal 184
(1) Pelabuhan Perikanan mempunyai fungsi
pemerintahan dan pengusahaan guna mendukung
kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya ikan dan
lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,
pengolahan sampai dengan pemasaran.
(2) Fungsi pemerintahan pada Pelabuhan Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
fungsi untuk melaksanakan pengaturan,
pembinaan, pengendalian, pengawasan, serta
keamanan dan Keselamatan Operasional Kapal
Perikanan di Pelabuhan Perikanan.
(3) Fungsi pemerintahan pada Pelabuhan Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(4) Fungsi pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), dapat berupa:
a. pelayanan tambat dan labuh Kapal Perikanan;
b. pelayanan pembinaan dan pengendalian Mutu
pada kegiatan penangkapan Ikan;
c. pengumpulan data tangkapan dan Hasil
Perikanan;
d. pelaksanaan kegiatan operasional Kapal
Perikanan, yang meliputi pengaturan
keberangkatan, kedatangan, dan kegiatan
Kapal Perikanan di Pelabuhan Perikanan;
e. pelaksanaan keselamatan dan keamanan
operasional Kapal Perikanan dan membantu
pengendalian sumber daya ikan;
f. pelaksanaan pengendalian lingkungan di
Pelabuhan Perikanan, yang meliputi
kebersihan, keamanan, ketertiban,
keindahan, dan keselamatan kerja;
g. pelaksanaan publikasi operasional Pelabuhan
Perikanan, hasil pelayanan sandar dan labuh
Kapal Perikanan dan kapal pengawas
perikanan;
h. pelaksanaan pemantauan wilayah pesisir dan
wisata bahari;
i. fasilitasi tempat pelaksanaan pengawasan dan
pengendalian sumber daya ikan;
j. fasilitasi tempat pelaksanaan penyuluhan dan
pengembangan masyarakat nelayan;
k. fasilitasi tempat pelaksanaan fungsi karantina
Ikan;
l. fasilitasi tempat publikasi hasil riset kelautan
dan perikanan;
m. fasilitasi tempat pelaksanaan fungsi
kesehatan;
n. fasilitasi tempat pelaksanaan fungsi
kepabeanan; dan/atau
o. fasilitasi tempat pelaksanaan fungsi
keimigrasian.
(5) Selain memiliki fungsi pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Pelabuhan Perikanan
dapat melaksanakan fungsi pemerintahan lainnya
yang terkait dengan Pengelolaan Perikanan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(6) Fungsi pengusahaan pada Pelabuhan Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
fungsi untuk melaksanakan pengusahaan berupa
penyediaan dan/atau pelayanan jasa Kapal
Perikanan dan jasa terkait di Pelabuhan
Perikanan.
(7) Fungsi pengusahaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) meliputi:
a. pelayanan bongkar muat Ikan;
b. pelayanan pengolahan Hasil Perikanan;
c. pemasaran dan distribusi Ikan;
d. penggunaan dan pemanfaatan fasilitas di
Pelabuhan Perikanan;
e. pelayanan docking dan galangan Kapal
Perikanan;
f. pelayanan logistik dan perbekalan Awak Kapal
Perikanan dan Kapal Perikanan;
g. penyelenggaraan wisata bahari;
h. fasilitasi tempat pelayanan lembaga
keuangan; dan/atau
i. penyediaan dan/atau pelayanan jasa lainnya
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Paragraf 2
Fasilitas Pelabuhan Perikanan
Pasal 185
(1) Dalam rangka menunjang fungsi Pelabuhan
Perikanan, setiap Pelabuhan Perikanan memiliki
fasilitas yang terdiri atas:
a. fasilitas pokok;
b. fasilitas fungsional; dan
c. fasilitas penunjang.
(2) Fasilitas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dapat terdiri atas:
a. tanah;
b. dermaga termasuk cause way/trestle, jetty,
wharf, quaywall atau dolphin;
c. Kolam Pelabuhan;
d. sarana bantu navigasi pelayaran;
e. pemecah gelombang (breakwater);
f. revetmen;
g. groin;
h. drainase; dan
i. jalan.
(3) Fasilitas fungsional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dapat terdiri atas:
a. tempat pemasaran Ikan;
b. menara pengawas aktifitas Pelabuhan
Perikanan;
c. fasilitas komunikasi antara lain telepon,
internet, radio komunikasi, dan fasilitas
informasi lainnya;
d. fasilitas pemadam kebakaran;
e. fasilitas air bersih, Bahan Bakar Minyak
(BBM), es, dan listrik;
f. tempat pemeliharaan kapal, antara lain
dock/slipway dan bengkel;
g. tempat pemeliharaan alat penangkapan Ikan;
h. tempat penanganan dan pengolahan Hasil
Perikanan, antara lain cold storage, integrated
cold storage, transit sheed, dan laboratorium
pembinaan Mutu;
i. perkantoran, antara lain kantor administrasi
pelabuhan, pos pelayanan terpadu dan
perbankan;
j. transportasi, antara lain alat pengangkutan
Ikan; dan
k. kebersihan dan pengolahan limbah, antara
lain instalasi pengolahan air limbah dan
tempat pembuangan sementara.
(4) Fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c, dapat terdiri atas:
a. balai pertemuan nelayan;
b. mess operator;
c. wisma nelayan;
d. fasilitas sosial dan umum, antara lain tempat
peribadatan dan mandi cuci kakus;
e. tempat istirahat/shelter nelayan;
f. pertokoan/kios nelayan;
g. fasilitas pengamanan kawasan, antara lain
pos jaga, pagar dan closed circuit television;
dan
h. pasar Ikan.
(5) Fasilitas yang harus ada pada Pelabuhan
Perikanan paling sedikit meliputi:
a. fasilitas pokok terdiri atas tanah, dermaga,
Kolam Pelabuhan, dan jalan;
b. fasilitas fungsional terdiri atas kantor
administrasi pelabuhan, tempat pemasaran
Ikan, air bersih, dan listrik; dan
c. fasilitas penunjang yaitu mandi cuci kakus.
Paragraf 3
Penyelenggaraan Tempat Pelelangan Ikan
Pasal 186
(1) Tempat pelelangan Ikan merupakan salah satu
fasilitas fungsional di Pelabuhan Perikanan dan
dimiliki oleh Penyelenggara Pelabuhan Perikanan.
(2) Tempat pelelangan Ikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berfungsi sebagai tempat pemasaran
Ikan melalui mekanisme lelang.
(3) Mekanisme lelang sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) merupakan kegiatan pemasaran pertama
kali saat hasil tangkapan Kapal Perikanan
didaratkan di Pelabuhan Perikanan.
(4) Mekanisme lelang sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan melalui penawaran secara bebas
dan meningkat dengan penawaran tertinggi sebagai
pemenang lelang.
(5) Mekanisme lelang harus memenuhi beberapa
unsur yang terdiri atas:
a. Ikan yang akan dilelang;
b. pemilik Ikan;
c. juru lelang; dan
d. peserta lelang yang sudah terdaftar sebagai
peserta lelang.
Pasal 187
(1) Pengelolaan dan penyelenggaraaan tempat
pelelangan Ikan dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah kabupaten/kota.
(2) Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat
dengan pertimbangan efisiensi, efektivitas
pelayanan publik serta saling menguntungkan,
Pemerintah Daerah kabupaten/kota melakukan
kerja sama pengelolaan dan penyelenggaraan
tempat pelelangan Ikan dengan penyelenggara
Pelabuhan Perikanan.
(3) Dalam melaksanakan kerja sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) Pemerintah Daerah
kabupaten/kota memberikan kontribusi kepada
Penyelenggara Pelabuhan Perikanan.
(4) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
termasuk kerja sama pemanfaatan BMN atau
barang milik daerah bangunan tempat pelelangan
Ikan.
(5) Kerja sama pengelolaan dan penyelenggaraan
tempat pelelangan Ikan pada Pelabuhan Perikanan
yang Tidak Dibangun oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dilakukan berdasarkan
kesepakatan antara Pemerintah Daerah
kabupaten/kota dengan pemilik Pelabuhan
Perikanan.
(6) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 188
(1) Dalam penyelenggaraan tempat pelelangan Ikan,
Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat
melakukan kerja sama daerah dengan pihak
ketiga.
(2) Kerja sama daerah dengan pihak ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
penunjukan koperasi yang bergerak di bidang
Perikanan.
Pasal 189
Tempat pelelangan Ikan dipimpin oleh seorang kepala
sebagai penanggung jawab dalam pelaksanaan
operasional tempat pelelangan Ikan.
Pasal 190
(1) Pembinaan dan pengawasan pengelolaan dan
penyelenggaraan tempat pelelangan Ikan
dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui fasilitasi, konsultasi,
pendidikan, pelatihan, penelitian, dan
pengembangan.
(3) Dalam menyelenggarakan tempat pemasaran Ikan,
penyelengara tempat pelelangan Ikan harus
berkoordinasi dan menyampaikan laporan kegiatan
setiap hari kepada kepala Pelabuhan Perikanan:
a. data atau informasi Ikan yang masuk ke
tempat pelelangan Ikan berupa jenis Ikan dan
produksi beserta nama Kapal Penangkap Ikan
dan/atau Kapal Pengangkut Ikannya; dan
b. nilai Ikan yang ditransaksikan di tempat
pelelangan Ikan.
a. data atau informasi Ikan yang masuk ke
tempat pelelangan Ikan berupa jenis Ikan dan
produksi beserta nama Kapal Penangkap Ikan
dan/atau Kapal Pengangkut Ikannya; dan
b. nilai Ikan yang ditransaksikan di tempat
pelelangan Ikan.
Pasal 191
Berdasarkan kriteria teknis dan operasional, Pelabuhan
Perikanan diklasifikasikan dalam 4 (empat) kelas, yaitu:
a. Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS);
b. Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN);
c. Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP); dan
d. Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI).
Pasal 192
PPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 huruf a
ditetapkan berdasarkan kriteria teknis dan operasional
yang meliputi:
a. kriteria teknis terdiri atas:
1. mampu melayani Kapal Perikanan yang
melakukan kegiatan Perikanan di perairan
Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia,
dan Laut Lepas;
2. memiliki fasilitas untuk kegiatan tambat
labuh Kapal Perikanan yang berukuran paling
kecil 60 (enam puluh) gross tonnage;
3. memiliki dan/atau memanfaatkan dermaga
paling pendek 300 (tiga ratus) meter dengan
kedalaman kolam paling dangkal minus 3
(tiga) meter;
4. mampu menampung Kapal Perikanan paling
sedikit 100 (seratus) unit atau jumlah
keseluruhan paling sedikit 6.000 (enam ribu)
gross tonnage; dan
5. memiliki dan/atau memanfaatkan tanah
paling sedikit 20 (dua puluh) hektare.
b. kriteria operasional terdiri atas:
1. Ikan yang didaratkan sebagian untuk tujuan
ekspor;
2. terdapat aktivitas bongkar muat Ikan dan
pemasaran Hasil Perikanan rata-rata 50 (lima
puluh) ton per hari; dan
3. terdapat industri Pengolahan Ikan dan
industri penunjang lainnya.
Pasal 193
PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 huruf b
ditetapkan berdasarkan kriteria teknis dan operasional,
yang meliputi:
a. kriteria teknis terdiri atas:
1. mampu melayani Kapal Perikanan yang
melakukan kegiatan Perikanan di perairan
Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia,
dan Laut Lepas;
2. memiliki fasilitas untuk kegiatan tambat
labuh untuk Kapal Perikanan berukuran
paling kecil 30 (tiga puluh) gross tonnage;
3. memiliki dan/atau memanfaatkan dermaga
paling pendek 150 (seratus lima puluh) meter
dengan kedalaman kolam paling dangkal
minus 3 (tiga) meter;
4. mampu menampung Kapal Perikanan paling
sedikit 75 (tujuh puluh lima) unit atau jumlah
keseluruhan paling sedikit 2.250 (dua ribu
dua ratus lima puluh) gross tonnage; dan
5. memiliki dan/atau memanfaatkan tanah
paling sedikit 10 (sepuluh) hektare.
b. kriteria operasional terdiri atas:
1. terdapat aktivitas bongkar muat Ikan dan
pemasaran Hasil Perikanan rata-rata 15 (lima
belas) ton per hari; dan
2. terdapat industri Pengolahan Ikan dan
industri penunjang lainnya.
Pasal 194
PPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 huruf c
ditetapkan berdasarkan kriteria teknis dan operasional
yang meliputi:
a. kriteria teknis terdiri atas:
1. mampu melayani Kapal Perikanan yang
melakukan kegiatan Perikanan di perairan
Indonesia dan zona ekonomi eksklusif
Indonesia;
2. memiliki fasilitas untuk kegiatan tambat
labuh Kapal Perikanan yang berukuran paling
kecil 10 (sepuluh) gross tonnage;
3. memiliki dan/atau memanfaatkan dermaga
paling pendek 100 (seratus) meter dengan
kedalaman kolam paling dangkal minus 2
(dua) meter;
4. mampu menampung Kapal Perikanan
sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) unit atau
jumlah keseluruhan paling sedikit 300 (tiga
ratus) gross tonnage; dan
5. memiliki dan/atau memanfaatkan tanah
paling sedikit 5 (lima) hektare.
b. kriteria operasional terdiri atas:
1. terdapat aktivitas bongkar muat Ikan dan
pemasaran Hasil Perikanan rata-rata 5 (lima)
ton per hari; dan
2. terdapat industri Pengolahan Ikan dan/atau
industri penunjang lainnya.
Pasal 195
(1) PPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 huruf
d ditetapkan berdasarkan kriteria teknis dan
operasional yang meliputi:
a. kriteria teknis terdiri atas:
1. mampu melayani Kapal Perikanan yang
melakukan kegiatan Perikanan di
perairan Indonesia dan zona ekonomi
eksklusif Indonesia;
2. memiliki fasilitas untuk kegiatan tambat
labuh Kapal Perikanan yang berukuran
10 (sepuluh) gross tonnage;
3. memiliki dan/atau memanfaatkan
dermaga paling pendek 13 (tiga belas)
meter dengan kedalaman kolam paling
dangkal minus 1 (satu) meter;
4. mampu menampung Kapal Perikanan
sekurang-kurangnya 15 (lima belas) unit
atau jumlah keseluruhan paling sedikit
75 (tujuh puluh lima) gross tonnage; dan
5. memiliki dan/atau memanfaatkan tanah
paling sedikit 1 (satu) hektare.
c. kriteria operasional yaitu terdapat aktivitas
bongkar muat Ikan dan pemasaran Hasil
Perikanan rata-rata 0,5 (nol koma lima) ton
per hari.
(2) Lokasi pendaratan Ikan yang belum memenuhi
kriteria Pelabuhan Perikanan dikategorikan
sebagai sentra nelayan.
Pasal 196
(1) Pelabuhan Perikanan berdasarkan kewenangannya
dibedakan menjadi:
a. Pelabuhan Perikanan milik Pemerintah; dan
b. Pelabuhan Perikanan milik Pemerintah
Daerah provinsi.
(2) Pelabuhan Perikanan milik Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdiri atas:
a. Pelabuhan Perikanan internasional; dan
b. Pelabuhan Perikanan nasional.
(3) Pelabuhan Perikanan internasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a memiliki kriteria:
a. dapat melayani kedatangan, keberangkatan,
dan kegiatan Kapal Perikanan berbendera
asing; dan
b. ditetapkan sebagai pelabuhan tempat
pelaksanaan ketentuan negara pelabuhan
untuk mencegah, menghalangi, dan
memberantas penangkapan Ikan secara ilegal,
tidak dilaporkan, dan tidak diatur.
(4) Pelabuhan Perikanan nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan
Pelabuhan Perikanan yang tidak ditetapkan
sebagai pelabuhan tempat pelaksanaan ketentuan
negara pelabuhan untuk mencegah, menghalangi,
dan memberantas penangkapan Ikan secara ilegal,
tidak dilaporkan, dan tidak diatur melayani
kegiatan ekspor Hasil Perikanan.
(5) Pelabuhan Perikanan provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 huruf (b) dengan kriteria:
a. Pelabuhan Perikanan yang dimiliki oleh
Pemerintah Daerah provinsi; dan
b. melayani kegiatan ekspor Hasil Perikanan.
Paragraf 5
Rencana Induk Pelabuhan Perikanan Nasional
Pasal 197
(1) Dalam rangka pengaturan tatanan Kepelabuhanan
Perikanan nasional, Kementerian menyusun
RIPPN.
(2) RIPPN memuat:
a. kebijakan Pelabuhan Perikanan nasional; dan
b. rencana lokasi Pelabuhan Perikanan.
(3) Kebijakan Pelabuhan Perikanan nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
merupakan arah pembangunan Pelabuhan
Perikanan, dan pengembangan Pelabuhan
Perikanan agar penyelenggaraan Pelabuhan
Perikanan dapat saling mendukung antara satu
dan lainnya.
(4) Rencana lokasi Pelabuhan Perikanan nasional,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
mempertimbangkan:
a. rencana tata ruang, RZ KSNT, dan/atau RZ
KAW;
b. potensi sumber daya ikan;
c. WPPNRI;
d. ketersediaan prasarana wilayah;
e. geografis daerah dan kondisi perairan; dan
f. sosial ekonomi masyarakat.
(5) Rencana lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) terdiri atas rencana pembangunan Pelabuhan
Perikanan baru dan pengembangan Pelabuhan
Perikanan yang sudah ada.
(6) RIPPN ditetapkan untuk jangka waktu 20 (dua
puluh) tahun.
(7) RIPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat
ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(8) Dalam hal terjadi perubahan kondisi lingkungan
atau bencana, maka RIPPN sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) dapat ditinjau kembali lebih dari 1
(satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(9) RIPPN ditetapkan oleh Menteri.
Paragraf 6
Rencana Induk Pelabuhan Perikanan Daerah
Pasal 198
(1) Dalam rangka pengaturan tatanan Kepelabuhanan
Perikanan daerah, Pemerintah Daerah provinsi
menyusun RIPPD.
(2) RIPPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merujuk pada RIPPN sebagaimana dimuat dalam
Pasal 197.
(3) Ketentuan mengenai penyusunan RIPPN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (3)
sampai dengan ayat (8) berlaku secara mutatis
mutandis terhadap Penyusunan RIPPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) RIPPD ditetapkan oleh gubernur.
Bagian Kedua
Perencanaan, Pembangunan, dan Pengoperasian Pelabuhan
Perikanan
Paragraf 1
Perencanaan Pelabuhan Perikanan
Pasal 199
(1) Perencanaan pembangunan Pelabuhan Perikanan
disusun oleh Penyelenggara Pelabuhan Perikanan
dengan mengacu pada RIPPN.
(2) Perencanaan pembangunan Pelabuhan Perikanan
terdiri atas:
a. studi kelayakan;
b. penetapan lokasi pembangunan Pelabuhan
Perikanan;
c. Rencana Induk Pelabuhan Perikanan; dan
d. desain rinci.
Pasal 200
(1) Studi kelayakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 199 ayat (2) huruf a disusun dan dituangkan
dalam dokumen yang memuat:
a. kesesuaian rencana tata ruang, RZ KSNT,
dan/atau RZ KAW;
b. informasi potensi sumber daya ikan di
WPPNRI;
c. ketersediaan sumber daya manusia;
d. keterkaitan dengan kegiatan lain di lokasi
Pelabuhan Perikanan;
e. ketersediaan prasarana wilayah;
f. geografis daerah dan kondisi perairan;
g. sosial ekonomi masyarakat; dan
h. lingkungan.
Pasal 201
(1) Penetapan lokasi pembangunan Pelabuhan
Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199
ayat (2) huruf b dilakukan oleh:
a. Menteri untuk Pelabuhan Perikanan yang
dibangun oleh Kementerian dan Pelabuhan
Perikanan yang tidak dibangun Pemerintah
Pusat; atau
b. gubernur untuk Pelabuhan Perikanan yang
dibangun oleh Pemerintah Daerah provinsi.
(2) Penetapan lokasi pembangunan Pelabuhan
Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan hasil studi kelayakan dan
setelah mendapat persetujuan kesesuaian kegiatan
pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 202
(1) Rencana Induk Pelabuhan Perikanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 199 ayat (2) huruf c
disusun berdasarkan studi kelayakan.
(2) Rencana Induk Pelabuhan Perikanan berisi
rencana tata guna tanah dan perairan yang
meliputi rencana peruntukan wilayah kerja dan
wilayah pengoperasian Pelabuhan Perikanan.
(3) Rencana Induk Pelabuhan Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dicantumkan dalam
bentuk dokumen yang memuat:
a. latar belakang;
b. gambaran umum kondisi lokasi;
c. kerangka kebijakan strategi pembangunan
Pelabuhan Perikanan;
d. tahapan dan jangka waktu pelaksanaan
pembangunan Pelabuhan Perikanan;
e. rencana wilayah kerja dan wilayah
pengoperasian Pelabuhan Perikanan;
f. rencana fasilitas yang akan dibangun;
g. perkiraan kebutuhan anggaran;
h. rencana pengelolaan Pelabuhan Perikanan;
i. gambar tata letak;
j. bukti kepemilikan/penguasaan tanah: dan
k. rencana pengelolaan lingkungan hidup.
(4) Rencana Induk Pelabuhan Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Penyelenggara Pelabuhan Perikanan sesuai dengan
kewenangannya.
(5) Rencana Induk Pelabuhan Perikanan dapat
ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
(6) Dalam hal terjadi perubahan kondisi operasional
Pelabuhan Perikanan, Rencana Induk Pelabuhan
Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali
dalam 5 (lima) tahun.
Pasal 203
(1) Desain rinci sebagaimana dimaksud dalam Pasal
199 ayat (2) huruf d disusun berdasarkan Rencana
Induk Pelabuhan Perikanan.
(2) Desain rinci dituangkan dalam bentuk dokumen
yang memuat:
a. kondisi mekanika tanah;
b. kondisi hidro-oseanografi;
c. kondisi topografi dan batimetri;
d. struktur dan model konstruksi yang
direncanakan;
e. gambar desain;
f. rincian anggaran biaya; dan
g. spesifikasi teknis fasilitas yang akan
dibangun.
Pasal 204
Gubernur dan Penyelenggara Pelabuhan Perikanan
yang tidak dibangun Pemerintah dalam menyusun
perencanaan pembangunan Pelabuhan Perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (2) dapat
berkonsultasi dengan Menteri.
Paragraf 2
Pembangunan Pelabuhan Perikanan
Pasal 205
(1) Pembangunan Pelabuhan Perikanan dilaksanakan
setelah adanya penetapan lokasi pembangunan
Pelabuhan Perikanan.
(2) Pembangunan Pelabuhan Perikanan mengacu pada
perencanaan pembangunan Pelabuhan Perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (2).
Pasal 206
Pembangunan fasilitas Pelabuhan Perikanan dilakukan
setelah memperoleh Perizinan Berusaha sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 3
Pengoperasian Pelabuhan Perikanan
Pasal 207
(1) Penyelenggara Pelabuhan Perikanan dapat
mengoperasikan Pelabuhan Perikanan setelah
memenuhi persyaratan:
a. memiliki fasilitas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 185 ayat (5); dan
b. menyampaikan pernyataan tertulis yang berisi
kesiapan beroperasinya Pelabuhan Perikanan
kepada Menteri.
(2) Pernyataan kesiapan beroperasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan
melampirkan:
a. data fasilitas yang dimiliki beserta foto;
b. data sumber daya manusia yang dimiliki; dan
c. data ketersediaan anggaran operasional.
Pasal 208
Dalam pengoperasian Pelabuhan Perikanan,
Penyelenggara Pelabuhan Perikanan harus:
a. bertanggung jawab sepenuhnya atas operasional
Pelabuhan Perikanan yang bersangkutan; dan
b. menaati ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Bagian Ketiga
Lembaga Pengelola Pelabuhan Perikanan
Pasal 209
(1) Pelabuhan Perikanan yang telah beroperasi harus
membentuk lembaga pengelola Pelabuhan
Perikanan.
(2) Lembaga pengelola Pelabuhan Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa:
a. unit pelaksana teknis Kementerian;
b. unit pelaksana teknis daerah; atau
c. unit pengelola Pelabuhan Perikanan.
(3) Lembaga pengelola Pelabuhan Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai
tugas melaksanakan dan fasilitasi pelaksanaan
fungsi pemerintahan dan fungsi pengusahaan.
(4) Pelaksanaan fungsi pemerintahan pada Pelabuhan
Perikanan yang Tidak Dibangun Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah dilakukan oleh Pemerintah
Pusat.
(5) Unit pengelola Pelabuhan Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c pada Pelabuhan
Perikanan yang dibangun oleh Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah provinsi ditetapkan oleh
Menteri atau gubernur sesuai kewenangannya.
(6) Lembaga pengelola Pelabuhan Perikanan yang
Tidak Dibangun oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah provinsi ditetapkan oleh
pemilik Pelabuhan Perikanan yang bersangkutan.
(7) Dalam hal pelaksanaan fungsi pemerintahan di
Pelabuhan Perikanan yang Tidak Dibangun oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah provinsi,
dibentuk satuan kerja penugasan Pelabuhan
Perikanan yang merupakan bagian wilayah kerja
dari Pelabuhan Perikanan.
(8) Dalam pembentukan lembaga pengelola Pelabuhan
Perikanan harus terdapat unsur, yaitu:
a. tata operasional Pelabuhan Perikanan; dan
b. Kesyahbandaran di Pelabuhan Perikanan.
Pasal 210
(1) Lembaga pengelola Pelabuhan Perikanan untuk
Pelabuhan Perikanan yang dibangun oleh
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah
provinsi dipimpin oleh kepala Pelabuhan Perikanan
yang ditetapkan oleh Menteri atau gubernur sesuai
dengan kewenangannya.
(2) Lembaga pengelola Pelabuhan Perikanan untuk
Pelabuhan Perikanan yang Tidak Dibangun oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dipimpin oleh kepala Pelabuhan Perikanan yang
ditetapkan oleh pemilik Pelabuhan Perikanan dan
disampaikan kepada Menteri.
Bagian Keempat
Penetapan, Evaluasi dan Peningkatan Kelas Pelabuhan
Perikanan
Paragraf 1
Penetapan Kelas Pelabuhan Perikanan
Pasal 211
(1) Pelabuhan Perikanan yang telah beroperasi dan
telah memiliki lembaga pengelola Pelabuhan
Perikanan dapat ditetapkan kelasnya
berdasarkan kriteria teknis dan operasional.
(2) Permohonan penetapan kelas Pelabuhan
Perikanan milik Pemerintah Daerah provinsi
diajukan oleh Penyelenggara Pelabuhan
Perikanan kepada Menteri.
(3) Permohonan penetapan kelas Pelabuhan
Perikanan milik Kementerian diajukan oleh
lembaga pengelola kepada Menteri.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) dilengkapi dengan persyaratan:
a. fotokopi pernyataan kesiapan beroperasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat
(1) huruf b;
b. fotokopi penetapan lembaga pengelola
Pelabuhan Perikanan;
c. data pemenuhan kriteria teknis dan
operasional; dan
d. laporan operasional Pelabuhan Perikanan
selama 1 (satu) tahun terakhir.
(5) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan verifikasi
oleh Menteri paling lama 15 (lima belas) hari kerja
sejak diterimanya permohonan secara lengkap.
(6) Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) Menteri menetapkan
kelas Pelabuhan Perikanan paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja.
Pasal 212
Penetapan kelas Pelabuhan Perikanan sebagai salah
satu persyaratan untuk mendapatkan prioritas dalam
pengembangan fasilitas Pelabuhan Perikanan.
Paragraf 2
Evaluasi Penetapan Kelas Pelabuhan Perikanan
Pasal 213
(1) Menteri melakukan evaluasi terhadap penetapan
kelas Pelabuhan Perikanan.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan setiap 5 (lima) tahun.
(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan sebagai pertimbangan dalam
penyesuaian kelas Pelabuhan Perikanan.
(4) Pelabuhan Perikanan yang telah ditetapkan
kelasnya, apabila berdasarkan evaluasi tidak
sesuai dengan peruntukannya dapat dicabut
penetapan kelasnya oleh Menteri dan dilarang
beroperasi sebagai Pelabuhan Perikanan.
Paragraf 3
Peningkatan Kelas Pelabuhan Perikanan
Pasal 214
(1) Pelabuhan Perikanan yang telah ditetapkan
kelasnya dapat mengajukan permohonan
peningkatan kelas berdasarkan kriteria teknis dan
operasional.
(2) Permohonan peningkatan kelas Pelabuhan
Perikanan milik Pemerintah Daerah provinsi
diajukan oleh Penyelenggara Pelabuhan Perikanan
kepada Menteri.
(3) Permohonan peningkatan kelas Pelabuhan
Perikanan milik Kementerian diajukan oleh
lembaga pengelola Pelabuhan Perikanan kepada
Menteri.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan (3) dilengkapi dengan persyaratan:
a. data pemenuhan kriteria teknis dan
operasional; dan
b. laporan operasional Pelabuhan Perikanan
selama 1 (satu) tahun terakhir.
(5) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan verifikasi oleh
Menteri paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak
diterimanya permohonan secara lengkap.
(6) Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) Menteri menetapkan
peningkatan kelas Pelabuhan Perikanan paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
Bagian Kelima
Wilayah Kerja dan Pengoperasian Pelabuhan Perikanan
Paragraf 1
Umum
Pasal 215
(1) Untuk kepentingan penyelenggaraan Pelabuhan
Perikanan harus memiliki WKOPP dengan batas-
batas koordinat.
(2) Wilayah kerja Pelabuhan Perikanan merupakan
tempat yang terdiri atas bagian daratan dan
perairan yang dipergunakan secara langsung
untuk kegiatan Kepelabuhanan Perikanan.
(3) Wilayah pengoperasian Pelabuhan Perikanan
merupakan tempat yang terdiri atas bagian
daratan dan perairan yang berpengaruh langsung
terhadap operasional Kepelabuhanan Perikanan.
(4) Batas-batas koordinat WKOPP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
koordinat geografis untuk menjamin kegiatan
Kepelabuhanan Perikanan.
(5) Penyusunan WKOPP mengacu kepada:
a. RIPPN;
b. rencana tata ruang wilayah; dan
c. RZWP-3-K.
Pasal 216
(1) Wilayah kerja Pelabuhan Perikanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 215 ayat (2) terdiri atas
wilayah kerja daratan dan wilayah kerja perairan.
(2) Wilayah kerja daratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan wilayah daratan yang
dipergunakan untuk kegiatan pembangunan dan
operasional:
a. fasilitas pokok;
b. fasilitas fungsional; dan
c. fasilitas penunjang, yang antara lain
digunakan untuk:
1. kegiatan bongkar Ikan;
2. pelelangan;
3. pengepakan;
4. kawasan industri;
5. kawasan pelayanan;
6. perbekalan;
7. perbaikan Kapal Perikanan; dan
8. fasilitas umum lainnya di kawasan
Pelabuhan Perikanan.
(3) Wilayah kerja perairan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan wilayah perairan yang
dipergunakan untuk:
a. Kolam Pelabuhan;
b. pemecah gelombang;
c. turap;
d. pengendali sedimentasi;
e. dermaga;
f. kegiatan alur pelayaran;
g. penempatan rambu-rambu navigasi;
h. tempat tambat labuh;
i. tempat kapal bongkar muat antar Kapal
Perikanan di pelabuhan;
j. tempat olah gerak Kapal Perikanan; dan
k. perbaikan Kapal Perikanan.
(4) Wilayah pengoperasian Pelabuhan Perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (3)
terdiri atas:
a. wilayah pengoperasian daratan; dan
b. wilayah pengoperasian perairan.
(5) Wilayah pengoperasian daratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf a antara lain
dipergunakan sebagai akses jalan dari dan ke
Pelabuhan Perikanan, permukiman nelayan, pasar
Ikan, dan lainnya yang berpengaruh langsung
terhadap operasional Pelabuhan Perikanan.
(6) Wilayah pengoperasian perairan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf b antara lain
dipergunakan sebagai alur pelayaran dari dan ke
Pelabuhan Perikanan yang ditandai dengan alat
bantu navigasi, keperluan keadaan darurat,
kegiatan pemanduan, uji coba kapal, penempatan
kapal mati, dan kapal yang ditarik ke pelabuhan.
Paragraf 2
Persyaratan Wilayah Kerja dan Wilayah Pengoperasian
Pelabuhan Perikanan
Pasal 217
(1) Penyusunan WKOPP dilaksanakan oleh Tim yang
ditetapkan oleh Penyelenggara Pelabuhan
Perikanan.
(2) Penyusunan WKOPP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memenuhi persyaratan administrasi
dan teknis.
(3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meliputi:
a. rencana induk pelabuhan perikanan;
b. informasi geospasial yang digunakan dan
diterbitkan oleh instansi yang berwenang
dalam pemetaan;
c. fotokopi sertipikat tanah Pelabuhan Perikanan
atau bukti tertulis penguasaan tanah;
d. hasil kesepakatan dengan instansi maupun
pihak-pihak yang terkait dengan penetapan
WKOPP; dan
e. rekomendasi dari gubernur atau bupati/wali
kota sesuai dengan kewenangannya.
(4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) meliputi:
a. informasi geospasial dasar yang dapat
digunakan adalah informasi geospasial
dengan skala 1:5000, 1:10.000, 1:25.000,
1:50.000, atau citra tegak satelit resolusi
tinggi yang disesuaikan dengan kondisi
wilayah Pelabuhan Perikanan yang
bersangkutan;
b. pengambilan dan pengolahan foto udara dan
titik koordinat menggunakan peralatan
navigasi yang sesuai;
c. mencantumkan titik koordinat segmen batas
luar wilayah kerja dan wilayah pengoperasian
dengan koordinat bujur dan lintang
menggunakan format derajat menit detik atau
format desimal;
d. peta wilayah kerja digambarkan dengan
mengacu pada informasi geospasial dasar
pada skala paling kecil 1:10.000;
e. peta wilayah pengoperasian digambarkan
dengan mengacu pada informasi geospasial
dasar pada skala paling kecil 1:25.000;
f. peta wilayah kerja ditandai dengan warna dan
pola arsiran yaitu:
1. wilayah kerja daratan ditandai dengan
warna merah dengan pola arsiran
tertentu; dan
2. wilayah kerja perairan ditandai dengan
warna kuning dengan pola arsiran
tertentu;
g. peta wilayah pengoperasian daratan ditandai
dengan warna hijau dengan pola arsiran
tertentu, dan wilayah pengoperasian perairan
ditandai dengan warna biru dengan pola
arsiran tertentu;
h. pada titik-titik koordinat peta WKOPP diberi
kode sebagai berikut:
1. wilayah kerja daratan dengan kode KD;
2. wilayah kerja perairan dengan kode KP;
3. wilayah pengoperasian daratan dengan
kode OD; dan
4. wilayah pengoperasian perairan dengan
kode OP.
i. peta disajikan sesuai dengan kaidah penyajian
peta yang telah ditentukan; dan
j. peta WKOPP merupakan lampiran
rekomendasi dan ditandatangani oleh
gubernur atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya.
Paragraf 3
Penyusunan Wilayah Kerja dan Wilayah Pengoperasian
Pelabuhan Perikanan
Pasal 218
(1) Tahapan penyusunan WKOPP meliputi:
a. sosialisasi;
b. pembentukan tim;
c. pengukuran lapangan;
d. pengolahan data;
e. penyusunan kajian;
f. pembahasan; dan
g. rekomendasi.
(2) Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilakukan dalam rangka penyamaan
persepsi dan pemahaman dalam rangka
penyusunan WKOPP.
(3) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
terdiri atas instansi yang berkepentingan terhadap
keberadaan WKOPP dan bertugas membahas
penyusunan WKOPP.
(4) Pengukuran lapangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c dilakukan untuk
menentukan batas-batas WKOPP berupa titik
koordinat.
(5) Pengolahan data sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d dilakukan dengan memasukan titik
koordinat hasil pengukuran lapangan ke dalam
peta dasar untuk memperoleh gambar tata letak
peta WKOPP.
(6) Penyusunan kajian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e merupakan dokumen pendukung
dalam penetapan WKOPP yang memuat:
a. latar belakang penyusunan;
b. metode pengukuran lapangan;
c. titik koordinat;
d. luas wilayah WKOPP;
e. gambar peta WKOPP; dan
f. resume hasil pembahasan oleh tim.
(7) Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf f dilakukan bersama instansi yang
berkepentingan dalam penyusunan WKOPP untuk
membahas hasil pengolahan data berupa layout
peta WKOPP.
(8) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf g diberikan oleh gubernur atau bupati/wali
kota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 219
(1) Penyusunan batas WKOPP meliputi:
a. penentuan titik koordinat geografis; dan
b. penentuan titik koordinat luas wilayah.
(2) Penyusunan batas WKOPP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu pada:
a. aspek teknis penyusunan informasi
geospasial;
b. kepentingan operasional Pelabuhan
Perikanan;
c. batas geografis lokasi dan fasilitas Pelabuhan
Perikanan;
d. kepemilikan tanah Pelabuhan Perikanan; dan
e. hasil koordinasi dengan pihak yang terkait
secara langsung dan tidak langsung dengan
penggunaan WKOPP.
Pasal 220
(1) Batas wilayah kerja Pelabuhan Perikanan dibagi
atas:
a. wilayah kerja daratan; dan
b. wilayah kerja perairan.
(2) Batas wilayah kerja Pelabuhan Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mencantumkan titik koordinat segmen batas luar
wilayah kerja dengan koordinat bujur dan lintang
menggunakan format derajat menit detik atau
format desimal.
(3) Penyusunan batas wilayah kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
Pelabuhan Perikanan berkoordinasi dengan
Pemerintah Daerah setempat dan instansi terkait
di bidang pertanahan.
(4) Wilayah kerja daratan dan wilayah kerja perairan
yang telah ditentukan titik koordinat dan luasnya,
diinformasikan kepada Pemerintah Daerah
setempat untuk mendapat rekomendasi dan
Pengesahan dari gubernur atau bupati/wali kota
sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 221
(1) Penyusunan batas wilayah kerja daratan
Pelabuhan Perikanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 220 ayat (1) huruf a memenuhi
ketentuan:
a. pengelola Pelabuhan Perikanan melakukan
penentuan titik koordinat daratan sesuai
dengan sertipikat tanah Pelabuhan Perikanan
atau bukti penguasaan tanah yang dimiliki
oleh Pelabuhan Perikanan;
b. titik koordinat yang telah ditentukan
dituangkan dalam koordinat bujur dan lintang
menggunakan format derajat menit detik atau
format desimal;
c. titik koordinat yang telah ditentukan
selanjutnya saling dihubungkan dan
digambarkan dalam peta lokasi daratan yang
selanjutnya ditentukan luasnya;
d. luas wilayah kerja daratan harus sesuai
dengan bukti sertipikat dan/atau bukti
penguasaan tanah yang dimiliki; dan
e. titik koordinat sebagaimana dimaksud pada
huruf c dan luas wilayah sebagaimana
dimaksud pada huruf d ditetapkan sebagai
wilayah kerja daratan Pelabuhan Perikanan.
(2) Penyusunan batas wilayah kerja perairan
Pelabuhan Perikanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 220 ayat (1) huruf b dilaksanakan
dengan mempertimbangkan:
a. ukuran Kapal Perikanan pada Pelabuhan
Perikanan;
b. jumlah kapal yang melakukan aktivitas
meliputi tambat/labuh, bongkar muat, dan
perbaikan (docking);
c. frekuensi kedatangan dan keberangkatan
Kapal Perikanan;
d. tata letak yang berhadapan dengan wilayah
kerja daratan dan wilayah pengoperasian
daratan Pelabuhan Perikanan; dan
e. hasil pengukuran dari garis Pantai yang
diukur dari surut terendah sampai dengan
kedalaman maksimum perairan untuk ukuran
Kapal Perikanan terbesar yang melakukan
kegiatan di Pelabuhan Perikanan.
(3) Penyusunan batas wilayah kerja perairan
Pelabuhan Perikanan harus memenuhi ketentuan:
a. pengelola Pelabuhan Perikanan harus
berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dan
instansi terkait lainnya yang berkaitan dengan
penggunaan wilayah perairan Pelabuhan
Perikanan;
b. pengelola Pelabuhan Perikanan melakukan
pengukuran titik koordinat perairan sesuai
dengan hasil koordinasi dengan Pemerintah
Daerah dan instansi terkait lainnya;
c. mencantumkan titik koordinat segmen batas
luar wilayah kerja dan pengoperasian dengan
koordinat bujur dan lintang menggunakan
format derajat menit detik atau format
desimal;
d. titik koordinat yang telah ditentukan
dihubungkan dan digambarkan dalam peta
lokasi perairan yang selanjutnya ditentukan
luasnya; dan
e. titik koordinat perairan dan luas wilayah
sebagaimana dimaksud pada huruf d
ditetapkan sebagai wilayah kerja perairan
Pelabuhan Perikanan.
Pasal 222
(1) Batas wilayah pengoperasian Pelabuhan Perikanan
dibagi atas:
a. wilayah pengoperasian daratan; dan
b. wilayah pengoperasian perairan.
(2) Batas wilayah pengoperasian Pelabuhan Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan
dengan titik koordinat geografis.
(3) Penyusunan batas wilayah pengoperasian
Pelabuhan Perikanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan setelah Pelabuhan Perikanan
berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dan
instansi terkait.
(4) Wilayah pengoperasian daratan dan wilayah
pengoperasian perairan tidak harus merupakan
hak milik Pelabuhan Perikanan, namun
mempunyai peran dalam mendukung operasional
Pelabuhan Perikanan.
(5) Wilayah pengoperasian daratan dan wilayah
pengoperasian perairan yang telah ditentukan titik
koordinatnya, diinformasikan kepada Pemerintah
Daerah setempat untuk mendapat rekomendasi
dan pengesahan dari gubernur atau bupati/wali
kota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 223
(1) Penyusunan batas wilayah pengoperasian daratan
Pelabuhan Perikanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 222 ayat (1) huruf a dilakukan dengan
mempertimbangkan:
a. letak kegiatan usaha masyarakat yang
berkaitan dengan keberadaan Pelabuhan
Perikanan;
b. akses transportasi umum yang berhubungan
dengan Pelabuhan Perikanan;
c. letak pemukiman masyarakat dan fasilitas
umum/fasilitas sosial lainnya yang berkaitan
dengan Pelabuhan Perikanan;
d. keberadaan instansi lain;
e. lahan sekitar Pelabuhan Perikanan yang
memungkinkan sebagai wilayah
pengembangan Pelabuhan Perikanan; dan
f. kebijakan pengembangan wilayah.
(2) Penyusunan batas wilayah pengoperasian daratan
Pelabuhan Perikanan memenuhi ketentuan:
a. berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dan
instansi terkait lainnya yang berkaitan dengan
penggunaan wilayah pengoperasian daratan;
b. melakukan pengukuran titik koordinat
wilayah pengoperasian daratan sesuai dengan
hasil koordinasi dengan Pemerintah Daerah
dan instansi terkait lainnya;
c. mencantumkan titik koordinat segmen batas
luar wilayah kerja dan pengoperasian dengan
koordinat bujur dan lintang menggunakan
format derajat menit detik atau format
desimal;
d. titik koordinat yang telah ditentukan
dihubungkan dan digambarkan dalam peta
lokasi daratan yang selanjutnya ditentukan
luasnya; dan
e. titik koordinat dan luas wilayah sebagaimana
dimaksud pada huruf d ditetapkan sebagai
wilayah pengoperasian daratan Pelabuhan
Perikanan.
Pasal 224
(1) Penyusunan batas wilayah pengoperasian perairan
Pelabuhan Perikanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 222 ayat (1) huruf b dilakukan dengan
mempertimbangkan:
a. alur pelayaran dari dan menuju Pelabuhan
Perikanan, keperluan darurat, uji coba
pelayaran kapal, penempatan kapal tidak
aktif/operasional dan pengembangan
Pelabuhan Perikanan dalam jangka panjang;
dan
b. luas wilayah pengoperasian perairan
Pelabuhan Perikanan yang ditetapkan
berdasarkan kebutuhan.
(2) Penyusunan batas wilayah pengoperasian perairan
Pelabuhan Perikanan memenuhi ketentuan:
a. berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dan
instansi terkait yang berkaitan dengan
penggunaan wilayah pengoperasian perairan;
b. melakukan pengukuran titik koordinat
pengoperasian perairan sesuai dengan hasil
koordinasi dengan Pemerintah Daerah dan
instansi terkait lainnya;
c. mencantumkan titik koordinat segmen batas
luar wilayah kerja dan pengoperasian dengan
koordinat bujur dan lintang menggunakan
format derajat menit detik atau format
desimal;
d. titik koordinat yang telah ditentukan
dihubungkan dan digambarkan dalam peta
lokasi perairan yang selanjutnya ditentukan
luasnya; dan
e. titik koordinat dan luas wilayah sebagaimana
dimaksud pada huruf d ditetapkan sebagai
wilayah pengoperasian perairan Pelabuhan
Perikanan.
Pasal 225
(1) Batas wilayah kerja daratan dan wilayah kerja
perairan serta wilayah pengoperasian daratan dan
wilayah pengoperasian perairan yang telah
ditentukan, dicantumkan dalam peta dan
merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dalam
penetapan WKOPP.
(2) Peta WKOPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. peta wilayah kerja daratan;
b. peta wilayah kerja perairan;
c. peta wilayah pengoperasian daratan;
d. peta wilayah pengoperasian perairan; dan
e. peta gabungan wilayah kerja daratan, wilayah
kerja perairan, wilayah pengoperasian daratan
dan wilayah pengoperasian perairan.
(3) Peta WKOPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditandatangani oleh gubernur atau bupati/wali
kota sesuai dengan kewenangannya.
Paragraf 4
Penetapan Wilayah Kerja dan Wilayah Pengoperasian
Pelabuhan Perikanan
Pasal 226
(1) Setiap Pelabuhan Perikanan harus memiliki
WKOPP.
(2) WKOPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri.
(3) Dalam rangka penetapan WKOPP sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara Pelabuhan
Perikanan mengajukan permohonan kepada
Menteri dengan melampirkan persyaratan:
a. surat rekomendasi dari gubernur atau
bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya yang menyatakan
persetujuan atas penetapan WKOPP yang
berada di wilayahnya;
b. hasil kajian WKOPP yang dilengkapi dengan
peta WKOPP yang telah ditandatangani oleh
gubernur atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya; dan
c. fotokopi sertipikat tanah pelabuhan atau
bukti tertulis penguasaan tanah yang
diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.
(4) Permohonan yang telah dilengkapi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) selanjutnya
dilakukan pembahasan oleh Kementerian dengan
melibatkan penyelenggara Pelabuhan Perikanan.
(5) Hasil pembahasan permohonan WKOPP yang telah
disetujui oleh Kementerian diajukan penetapannya
kepada Menteri.
Pasal 227
(1) Pelabuhan Perikanan yang telah memiliki WKOPP
dan telah ditetapkan dapat melakukan perubahan
dalam hal terdapat pengembangan wilayah
Pelabuhan Perikanan.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara
penyusunan, dan penetapan WKOPP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 217 sampai dengan Pasal
226 berlaku secara mutatis mutandis terhadap
persyaratan, tata cara perubahan, dan penetapan
WKOPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 228
(1) Terhadap WKOPP yang telah ditetapkan sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan
tetap berlaku.
(2) Permohonan penetapan WKOPP yang telah
disampaikan dan dinyatakan lengkap sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah ini diproses
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Bagian Keenam
Kesyahbandaran di Pelabuhan Perikanan
Paragraf 1
Tugas dan Wewenang Syahbandar di Pelabuhan Perikanan
Pasal 229
(1) Dalam rangka keamanan dan keselamatan
operasional Kapal Perikanan, ditunjuk Syahbandar
di Pelabuhan Perikanan.
(2) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan
wewenang:
a. menerbitkan Persetujuan Berlayar;
b. mengatur kedatangan dan keberangkatan
Kapal Perikanan;
c. memeriksa ulang kelengkapan dokumen
Kapal Perikanan;
d. memeriksa teknis dan nautis Kapal Perikanan
dan memeriksa alat penangkapan Ikan, dan
alat bantu penangkapan Ikan;
e. memeriksa dan mengesahkan PKL;
f. memeriksa log book penangkapan dan
pengangkutan Ikan;
g. mengatur olah gerak dan lalu lintas Kapal
Perikanan di Pelabuhan Perikanan;
h. mengawasi pemanduan;
i. mengawasi pengisian bahan bakar;
j. mengawasi kegiatan pembangunan fasilitas
Pelabuhan Perikanan;
k. melaksanakan bantuan pencarian dan
penyelamatan;
l. memimpin penanggulangan pencemaran dan
pemadaman kebakaran di Pelabuhan
Perikanan;
m. mengawasi pelaksanaan pelindungan
lingkungan maritim;
n. memeriksa pemenuhan persyaratan
pengawakan Kapal Perikanan;
o. menerbitkan STBLKK; dan
p. memeriksa sertifikat Ikan hasil tangkapan.
(3) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi
dengan:
a. seragam dan atribut; dan
b. dukungan prasarana dan sarana.
Paragraf 2
Pengangkatan Syahbandar di Pelabuhan Perikanan
Pasal 230
(1) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan diangkat
setelah memiliki surat keterangan tanda lulus
pendidikan dan pelatihan kesyahbandaran dan
telah dinyatakan kompeten di bidang
kesyahbandaran.
(2) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pelayaran atas usulan Menteri.
(3) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan ditempatkan
dan ditugaskan di Pelabuhan Perikanan atas
usulan Menteri atau gubernur sesuai dengan
kewenangannya.
(4) Pengusulan penempatan dan penugasan
Syahbandar di Pelabuhan Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), didasarkan atas
pertimbangan:
a. kebutuhan akan pelayanan Kesyahbandaran
di Pelabuhan Perikanan; dan
b. dukungan ketersediaan prasarana dan
sarana.
(5) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan ditempatkan
dan ditugaskan oleh Menteri.
(6) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dilengkapi
dengan identitas.
(7) Dalam rangka pembinaan dan monitoring
kesyahbandaran, Menteri menyampaikan jumlah
dan penetapan lokasi Syahbandar di Pelabuhan
Perikanan kepada menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pelayaran.
(8) Pembinaan dan monitoring Syahbandar di
Pelabuhan Perikanan dilaksanakan bersama
antara Kementerian dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pelayaran.
(9) Tugas dan wewenang Syahbandar di Pelabuhan
Perikanan berakhir, apabila:
a. telah memasuki masa purna tugas
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
b. meninggal dunia; dan
c. diberhentikan secara hormat atau dengan
secara tidak hormat berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Paragraf 3
Penerbitan Persetujuan Berlayar
Pasal 231
Setiap Kapal Perikanan yang akan berlayar dari
Pelabuhan Perikanan wajib memiliki Persetujuan
Berlayar yang diterbitkan oleh Syahbandar di
Pelabuhan Perikanan.
Pasal 232
(1) Nakhoda atau pemilik Kapal
Perikanan/penanggung jawab perusahaan untuk
memperoleh Persetujuan Berlayar mengajukan
permohonan kepada Syahbandar di Pelabuhan
Perikanan.
(2) Untuk mendapatkan persetujuan berlayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Nakhoda
atau pemilik Kapal Perikanan/penanggung jawab
perusahaan mengajukan permohonan kepada
Syahbandar di Pelabuhan Perikanan dengan
melampirkan persyaratan:
a. surat pernyataan kesiapan Kapal Perikanan
berangkat dari Nakhoda (Master Sailing
Declaration);
b. bukti pembayaran pemenuhan penerimaan
negara bukan pajak atau retribusi daerah;
c. bukti pemenuhan pembayaran pajak
pertambahan nilai, bagi Kapal Perikanan yang
menggunakan bahan bakar minyak
nonsubsidi;
d. Perizinan Berusaha subsektor penangkapan
Ikan atau Perizinan Berusaha subsektor
pengangkutan Ikan;
e. SLO, bagi Kapal Perikanan berukuran di atas
5 (lima) gross tonnage;
f. surat tanda bukti lapor kedatangan kapal;
dan
g. PKL.
Pasal 233
(1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 232 ayat (1), Syahbandar di
Pelabuhan Perikanan melakukan pemeriksaan
kelengkapan surat dan validitas dokumen Kapal
Perikanan.
(2) Dalam hal Syahbandar di Pelabuhan Perikanan
mendapat laporan dan/atau mengetahui bahwa
Kapal Perikanan yang akan berlayar tidak
memenuhi persyaratan keamanan dan
keselamatan operasional Kapal Perikanan,
Syahbandar di Pelabuhan Perikanan berwenang
melakukan pemeriksaan Kapal Perikanan.
(3) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Syahbandar
di Pelabuhan Perikanan menerbitkan Persetujuan
Berlayar.
Pasal 234
(1) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan dapat
menunda keberangkatan Kapal Perikanan setelah
Persetujuan Berlayar diterbitkan apabila terjadi
cuaca buruk.
(2) Apabila dalam keadaan tertentu Kapal Perikanan
tidak dapat meninggalkan Pelabuhan Perikanan,
Nakhoda atau pemilik Kapal
Perikanan/penanggung jawab perusahaan harus
mengajukan permohonan penundaan
keberangkatan kepada Syahbandar di Pelabuhan
Perikanan.
(3) Apabila penundaan keberangkatan Kapal
Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
melebihi 24 (dua puluh empat) jam dari waktu
tolak yang telah ditetapkan, Nakhoda atau pemilik
Kapal Perikanan/penanggung jawab perusahaan
harus mengajukan permohonan ulang penerbitan
Persetujuan Berlayar.
Pasal 235
(1) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan dapat
memberikan pembebasan Persetujuan Berlayar
bagi Kapal Perikanan apabila:
a. berlayar keluar Pelabuhan Perikanan untuk
memberikan pertolongan kepada kapal yang
dalam bahaya; dan/atau
b. melakukan percobaan berlayar, uji coba
mesin, dan/atau uji coba penangkapan Ikan.
(2) Pembebasan penerbitan Persetujuan Berlayar
Kapal Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan berdasarkan permohonan dari
Nakhoda atau pemilik Kapal
Perikanan/penanggung jawab perusahaan.
Pasal 236
(1) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan dapat
mencabut Persetujuan Berlayar Kapal Perikanan
yang telah diterbitkan, apabila:
a. Kapal Perikanan tidak berlayar meninggalkan
Pelabuhan Perikanan setelah 24 (dua puluh
empat) jam sejak Persetujuan Berlayar
diterbitkan dan Nakhoda atau pemilik Kapal
Perikanan/penanggung jawab perusahaan
tidak mengajukan penundaan keberangkatan
Kapal Perikanan;
b. Kapal Perikanan melakukan kegiatan di
Pelabuhan Perikanan yang mengganggu
kelancaran lalu lintas kapal, membahayakan
keselamatan pelayaran, serta pelindungan
maritim; dan/atau
c. perintah tertulis dari pengadilan.
(2) Persetujuan Berlayar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dicabut oleh Syahbandar di Pelabuhan
Perikanan dengan menerbitkan surat pencabutan
Persetujuan Berlayar.
Paragraf 4
Pengaturan Kedatangan dan Keberangkatan Kapal
Perikanan
Pasal 237
(1) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan mengatur
kedatangan Kapal Perikanan berdasarkan
pemberitahuan rencana kedatangan dari Nakhoda
atau pemilik Kapal Perikanan/penanggung jawab
perusahaan.
(2) Pemberitahuan rencana kedatangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan sebelum
Kapal Perikanan masuk ke Pelabuhan Perikanan.
(3) Berdasarkan pemberitahuan rencana kedatangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Syahbandar
di Pelabuhan Perikanan menyiapkan tempat
tambat labuh di dermaga maupun Kolam
Pelabuhan dalam WKOPP.
(4) Nakhoda setelah bersandar/tiba di Pelabuhan
Perikanan, menyerahkan dokumen Kapal
Perikanan kepada Syahbandar di Pelabuhan
Perikanan dan selanjutnya disimpan, yang
meliputi:
a. Persetujuan Berlayar asal;
b. Perizinan Berusaha; dan
c. log book penangkapan Ikan.
(5) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan mengatur
keberangkatan Kapal Perikanan berdasarkan
pemberitahuan rencana keberangkatan Kapal
Perikanan dari Nakhoda atau pemilik Kapal
Perikanan/penanggung jawab perusahaan.
(6) Nakhoda atau pemilik Kapal
Perikanan/penanggung jawab perusahaan
memberitahukan rencana keberangkatan Kapal
Perikanan kepada Syahbandar di Pelabuhan
Perikanan.
Paragraf 5
Pemeriksaan Ulang Kelengkapan Dokumen Kapal
Perikanan
Pasal 238
(1) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan memeriksa
ulang kelengkapan dokumen Kapal Perikanan pada
saat Kapal Perikanan akan mengajukan penerbitan
Persetujuan Berlayar.
(2) Pemeriksaan ulang kelengkapan dokumen Kapal
Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk melihat kelengkapan dan
kesesuaian dokumen Kapal Perikanan.
Paragraf 5
Pemeriksaan Teknis dan Nautis Kapal Perikanan dan Alat
Penangkapan Ikan, dan Alat Bantu Penangkapan Ikan
Pasal 239
(1) Dalam rangka penerbitan Persetujuan Berlayar,
Syahbandar di Pelabuhan Perikanan memeriksa
teknis dan nautis Kapal Perikanan dan alat
penangkapan Ikan, dan alat bantu penangkapan
Ikan.
(2) Pemeriksaan teknis dan nautis Kapal Perikanan
dan alat penangkapan Ikan, dan alat bantu
penangkapan Ikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit terdiri atas:
a. kelaiklautan Kapal Perikanan;
b. kesesuaian alat penangkapan Ikan dan/atau
alat bantu penangkapan Ikan dengan
Perizinan Berusaha Kapal Perikanan;
c. palka Ikan dan jenis pendinginnya;
d. alat komunikasi dan navigasi;
e. alat keselamatan; dan
f. alat pemadam kebakaran.
Paragraf 6
Pemeriksaan dan Pengesahan Perjanjian Kerja Laut
Pasal 240
(1) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan memeriksa
PKL antara pemilik Kapal Perikanan atau operator
Kapal Perikanan atau agen Awak Kapal Perikanan
atau Nakhoda dengan Awak Kapal Perikanan.
(2) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan mengesahkan
PKL setelah ditandatangani oleh pemilik Kapal
Perikanan atau operator Kapal Perikanan atau
agen Awak Kapal Perikanan atau Nakhoda dengan
Awak Kapal Perikanan.
Paragraf 6
Pemeriksaan Log Book Penangkapan
Pasal 241
(1) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan memeriksa
log book penangkapan Ikan pada saat kedatangan
Kapal Perikanan di Pelabuhan Perikanan.
(2) Pemeriksaan log book penangkapan Ikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
terdiri atas:
a. kesesuaian antara alat penangkapan Ikan
yang digunakan dengan jenis Ikan hasil
tangkapan; dan
b. kesesuaian daerah penangkapan Ikan dengan
Perizinan Berusaha Kapal Perikanan.
Paragraf 7
Pengaturan Olah Gerak dan Lalu Lintas Kapal Perikanan di
Pelabuhan Perikanan
Pasal 242
(1) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan mengatur
olah gerak dan lalu lintas Kapal Perikanan di
Pelabuhan Perikanan berdasarkan permohonan
dari Nakhoda atau pemilik Kapal
Perikanan/penanggung jawab perusahaan.
(2) Setiap Kapal Perikanan yang berada di Pelabuhan
Perikanan harus mematuhi peraturan dan
melaksanakan petunjuk serta perintah
Syahbandar di Pelabuhan Perikanan.
Paragraf 8
Pengawasan Pemanduan
Pasal 243
(1) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan mengawasi
pemanduan terhadap Kapal Perikanan yang akan
masuk dan keluar Pelabuhan Perikanan.
(2) Pengawasan pemanduan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. pelaksanaan pemanduan di perairan yang
dilakukan pemanduan; dan
b. pengawasan keselamatan pemanduan dan
penertiban pelayanan pemanduan dengan
mengupayakan penanggulangan hambatan
operasional.
Paragraf 9
Pengawasan Pengisian Bahan Bakar
Pasal 244
(1) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan mengawasi
pengisian bahan bakar terhadap Kapal Perikanan
yang berpangkalan dan singgah di Pelabuhan
Perikanan.
(2) Pengawasan pengisian bahan bakar dilakukan
dengan:
a. memastikan bahwa pengisian bahan bakar
telah memenuhi aspek pencegahan
pencemaran dan keselamatan; dan
b. memastikan terpenuhinya pajak pertambahan
nilai bagi Kapal Perikanan yang menggunakan
bahan bakar nonsubsidi/industri.
Paragraf 10
Pengawasan Kegiatan Pembangunan Fasilitas Pelabuhan
Perikanan
Pasal 245
Syahbandar di Pelabuhan Perikanan mengawasi
kegiatan pembangunan fasilitas di Pelabuhan
Perikanan yang berkaitan dengan keselamatan
operasional Kapal Perikanan.
Paragraf 11
Pelaksanaan Bantuan Pencarian dan Penyelamatan
Pasal 246
(1) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan
melaksanakan bantuan pencarian dan
penyelamatan sebagai tindakan awal operasi
pencarian dan penyelamatan terhadap kecelakaan
pelayaran di Laut dan kecelakaan kerja di
Pelabuhan Perikanan.
(2) Dalam melaksanakan bantuan pencarian dan
penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Syahbandar di Pelabuhan Perikanan
melakukan:
a. bantuan pencarian dan penyelamatan;
b. koordinasi dalam penanggulangan kecelakaan
pelayaran di Laut dan kecelakaan kerja di
Pelabuhan Perikanan; dan/atau
c. pemeliharaan dan penyiapan prasarana dan
sarana untuk mendukung pemberian bantuan
pencarian dan penyelamatan.
(3) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan yang
melaksanakan bantuan pencarian dan
penyelamatan meminta keterangan kronologis
kejadian kepada pihak terkait dan menyampaikan
laporan kepada pejabat berwenang.
Paragraf 12
Penanggulangan Pencemaran dan Pemadaman Kebakaran
di Pelabuhan Perikanan
Pasal 247
(1) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan memimpin
penanggulangan pencemaran dan pemadaman
kebakaran di Pelabuhan Perikanan, dengan cara
meminimalkan risiko pencemaran dan kebakaran.
(2) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan dalam
pelaksanaan penanggulangan pencemaran dan
pemadaman kebakaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memanfaatkan fasilitas prasarana
dan sarana yang ada di Pelabuhan Perikanan.
(3) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan dalam
pelaksanaan penanggulangan pencemaran dan
pemadaman kebakaran berkoordinasi dengan
instansi terkait.
(4) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan dalam
pelaksanaan penanggulangan pencemaran dan
pemadaman kebakaran di Pelabuhan Perikanan
menyusun berita acara yang dilaporkan kepada
kepala Pelabuhan Perikanan.
Paragraf 13
Pengawasan Pelaksanaan Pelindungan Lingkungan Maritim
Pasal 248
(1) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan mengawasi
pelaksanaan pelindungan lingkungan maritim
sebagai upaya mencegah dan menanggulangi
pencemaran lingkungan perairan yang bersumber
dari kegiatan yang terkait pengoperasian Kapal
Perikanan dan kegiatan kepelabuhanan.
(2) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan dalam
mengawasi pelaksanaan pelindungan lingkungan
maritim berkoordinasi dengan instansi terkait.
(3) Hasil pengawasan pelaksanaan pelindungan
lingkungan maritim sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaporkan kepada kepala Pelabuhan
Perikanan.
Paragraf 14
Pemeriksaan Pemenuhan Persyaratan Pengawakan Kapal
Perikanan
Pasal 249
(1) Kapal Perikanan yang akan meninggalkan
Pelabuhan Perikanan, terlebih dahulu memenuhi
persyaratan pengawakan Kapal Perikanan.
(2) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan memeriksa
kesesuaian persyaratan pengawakan Kapal
Perikanan.
Paragraf 15
Penerbitan Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan dan
Keberangkatan Kapal Perikanan
Pasal 250
(1) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan menerbitkan
STBLKK setelah Kapal Perikanan bersandar/tiba di
Pelabuhan Perikanan dan Nakhoda menyerahkan
dokumen Kapal Perikanan.
(2) STBLKK untuk Kapal Perikanan yang dimiliki oleh
Nelayan Kecil yang melakukan aktivitas
penangkapan harian (one day fishing) diterbitkan
oleh Syahbandar di Pelabuhan Perikanan dengan
masa berlaku paling lama 10 (sepuluh) hari.
(3) Nelayan Kecil yang melakukan aktivitas
penangkapan harian (one day fishing) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) melaporkan hasil
produksinya setiap hari kepada Pelabuhan
Perikanan.
Paragraf 16
Pemeriksaan Sertifikat Ikan Hasil Tangkapan
Pasal 251
(1) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan memeriksa
sertifikat ikan hasil tangkapan setelah Kapal
Perikanan melakukan pendaratan Ikan hasil
tangkapan.
(2) Terhadap Ikan hasil tangkapan yang didaratkan di
Pelabuhan Perikanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), selanjutnya diterbitkan lembar awal oleh
kepala Pelabuhan Perikanan dengan
memperhatikan hasil pemeriksaan Kapal
Perikanan dari Pengawas Perikanan.
(3) Sertifikat ikan hasil tangkapan merupakan surat
yang menyatakan ketelusuran Ikan dari kepala
Pelabuhan Perikanan/otoritas kompeten lokal.
(4) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan memeriksa
sertifikat ikan hasil tangkapan dalam rangka
memenuhi persyaratan negara tujuan ekspor.
(5) Pemeriksaan sertifikat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilakukan dengan cara melihat
keaslian dan keabsahan sertifikat ikan hasil
tangkapan dengan dokumen yang dinotifikasi ke
negara tujuan.
Pasal 252
Syahbandar di Pelabuhan Perikanan dalam rangka
melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 231 sampai dengan Pasal 251
dapat dibantu oleh petugas kesyahbandaran.
Pasal 253
Dalam hal Kapal Perikanan berada dan/atau
berpangkalan di luar Pelabuhan Perikanan, Persetujuan
Berlayar diterbitkan oleh syahbandar setempat setelah
memenuhi SLO dari Pengawas Perikanan yang
ditugaskan pada pelabuhan setempat.
Bagian Ketujuh
Tata Hubungan Kerja di Pelabuhan Perikanan
Pasal 254
(1) Lembaga pengelola Pelabuhan Perikanan dalam
menjalankan fungsi Pelabuhan Perikanan dapat
didukung oleh instansi/unit kerja terkait sesuai
dengan kewenangannya.
(2) Instansi/unit kerja terkait di Pelabuhan Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Pemerintah Daerah provinsi dan
kabupaten/kota;
b. Tentara Nasional Indonesia;
c. Kepolisian Negara Republik Indonesia;
d. instansi yang membidangi keimigrasian;
e. instansi yang membidangi bea dan cukai;
f. instansi yang membidangi kesehatan
pelabuhan;
g. instansi yang berwenang menerbitkan
dokumen Kapal Perikanan;
h. unit kerja yang menangani pengawasan
Sumber Daya Kelautan dan perikanan;
i. unit kerja yang menangani pemasaran dan
distribusi Hasil Perikanan;
j. unit kerja yang menangani penelitian dan
pengembangan kelautan dan perikanan;
k. unit kerja yang menangani pengembangan
riset dan sumber daya manusia kelautan dan
perikanan;
l. unit kerja yang menangani karantina ikan;
m. badan usaha milik negara;
n. badan usaha milik daerah; dan/atau
o. instansi terkait lainnya.
(3) Instansi terkait sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di
Pelabuhan Perikanan harus berkoordinasi dengan
pejabat berwenang.
Pasal 255
(1) Fasilitas Pelabuhan Perikanan yang dimiliki oleh
lembaga pengelola Pelabuhan Perikanan pada
wilayah kerja Pelabuhan Perikanan menjadi
tanggung jawab pejabat berwenang.
(2) Fasilitas Pelabuhan Perikanan yang dimiliki oleh
instansi terkait pada wilayah kerja Pelabuhan
Perikanan menjadi tanggung jawab instansi yang
bersangkutan.
(3) Terhadap fasilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) lembaga pengelola Pelabuhan Perikanan
berwenang:
a. melaksanakan penataan dan pengendalian
Pelabuhan Perikanan sesuai dengan Rencana
Induk Pelabuhan Perikanan; dan
b. memberikan persetujuan penggunaan tanah
atau fasilitas sesuai dengan Rencana Induk
Pelabuhan Perikanan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Terhadap fasilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) instansi terkait pemilik fasilitas
bertanggung jawab untuk:
a. menggunakan tanah atau fasilitas setelah
memperoleh persetujuan dari lembaga
pengelola Pelabuhan Perikanan; dan
b. memelihara fasilitas dan lingkungan yang
dikelola.
Bagian Kedelapan
Pengembangan Pelabuhan Perikanan
Pasal 256
(1) Pelabuhan Perikanan yang telah beroperasi dan
telah ditetapkan kelasnya dapat dilakukan
pengembangan sesuai dengan kebutuhannya.
(2) Pengembangan Pelabuhan Perikanan dapat
dilaksanakan apabila:
a. terjadi perubahan Rencana Induk Pelabuhan
Perikanan; dan
b. fasilitas yang ada dalam Rencana Induk
Pelabuhan Perikanan telah terpenuhi.
(3) Ketentuan mengenai mekanisme perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan Pelabuhan Perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 sampai
dengan Pasal 206 berlaku secara mutatis mutandis
terhadap mekanisme pengembangan Pelabuhan
Perikanan.
Bagian Kesembilan
Pembinaan dan Pelaporan Pelabuhan Perikanan
Paragraf 1
Pembinaan Pelabuhan Perikanan
Pasal 257
(1) Menteri melaksanakan pembinaan teknis
perencanaan, pembangunan, dan operasional
Pelabuhan Perikanan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui sosialisasi, rapat koordinasi,
bimbingan teknis, dan supervisi.
Paragraf 2
Pelaporan Pelabuhan Perikanan
Pasal 258
(1) Lembaga pengelola Pelabuhan Perikanan harus
menyampaikan laporan kegiatan Pelabuhan
Perikanan setiap bulan.
(2) Laporan kegiatan Pelabuhan Perikanan meliputi:
a. tahapan pembangunan Pelabuhan Perikanan;
dan/atau
b. operasional Pelabuhan Perikanan antara lain:
1. frekuensi dan jumlah kapal;
2. data alat penangkap Ikan;
3. produksi dan nilai produksi;
4. distribusi Ikan;
5. pelayanan kebutuhan logistik;
6. penyerapan tenaga kerja;
7. pengusahaan di pelabuhan;
8. pendapatan dan pelaksanaan
kesyahbandaran dan sertifikasi hasil
tangkapan Ikan serta jumlah uang
beredar; dan
9. pelaksanaan cara Penanganan Ikan yang
baik dan permasalahan serta tindak
lanjutnya.
(3) Laporan kegiatan Pelabuhan Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
oleh:
a. unit pelaksana teknis dan unit pengelola
Pelabuhan Perikanan Kementerian kepada
Menteri;
b. unit pelaksana teknis daerah dan unit
pengelola Pelabuhan Perikanan provinsi
kepada gubernur dengan tembusan kepada
Menteri; dan
c. unit pengelola Pelabuhan Perikanan untuk
Pelabuhan Perikanan yang tidak dibangun
oleh Pemerintah kepada Menteri dengan
tembusan kepada gubernur.
(4) Laporan kegiatan Pelabuhan Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan
sebagai bahan evaluasi kinerja terhadap kelas
Pelabuhan Perikanan dan penyusunan kebijakan
pembangunan, pengembangan, dan pengelolaan
Pelabuhan Perikanan.
(5) Dalam melakukan evaluasi kinerja Pelabuhan
Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dapat dilakukan pemantauan oleh Menteri dan
gubernur sesuai kewenangannya.
Bagian Kesepuluh
Sistem Informasi Kepelabuhanan Perikanan
Pasal 259
(1) Kementerian membangun dan mengelola sistem
informasi Kepelabuhanan Perikanan.
(2) Sistem informasi Kepelabuhanan Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
aplikasi pusat informasi Pelabuhan Perikanan dan
aplikasi lain yang mendukung tugas dan fungsi
Pelabuhan Perikanan yang saling terintegrasi.
(3) Sistem informasi Kepelabuhanan Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipergunakan untuk:
a. mendukung operasional Pelabuhan
Perikanan;
b. meningkatkan pelayanan informasi kepada
masyarakat; dan
c. mendukung perumusan kebijakan di bidang
Pelabuhan Perikanan.
(4) Setiap Pelabuhan Perikanan harus menerapkan
sistem informasi Kepelabuhanan Perikanan.
BAB IX
STANDAR LAIK OPERASI
Bagian Kesatu
Penerbitan Standar Laik Operasi
Pasal 260
(1) Setiap Kapal Perikanan yang akan melakukan
kegiatan Perikanan wajib memiliki SLO.
(2) Kewajiban memiliki SLO sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikecualikan untuk:
a. Kapal Penangkap Ikan dan Kapal Pengangkut
Ikan yang dioperasikan oleh Nelayan Kecil;
dan
b. kapal pendukung operasi Pembudidayaan
Ikan yang dioperasikan oleh Pembudi Daya
Ikan Kecil,
dengan ketentuan hanya memiliki 1 (satu) unit
atau lebih Kapal Perikanan dengan ukuran
kumulatif paling besar sampai dengan 5 (lima)
gross tonnage.
(3) SLO sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan oleh Pengawas Perikanan.
Bagian Kedua
Persyaratan Penerbitan Standar Laik Operasi
Pasal 261
SLO diterbitkan setelah Kapal Perikanan memenuhi:
a. persyaratan administrasi; dan
b. kelayakan teknis.
Pasal 262
(1) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 261 huruf a untuk Kapal Penangkap
Ikan terdiri atas:
a. dokumen Perizinan Berusaha;
b. bukti kepemilikan SKAT, untuk Kapal
Penangkap Ikan yang memperoleh Perizinan
Berusaha dari Menteri;
c. SLO asal dan HPK Kedatangan, untuk Kapal
Penangkap Ikan yang telah melakukan
kegiatan penangkapan Ikan; dan
d. kesesuaian Pelabuhan Pangkalan dan
Pelabuhan Muat dengan Perizinan Berusaha.
(2) Kelayakan teknis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 261 huruf b untuk Kapal Penangkap Ikan
terdiri atas:
a. kesesuaian fisik Kapal Penangkap Ikan
dengan Perizinan Berusaha yang meliputi
bahan kapal, merek dan nomor seri mesin
utama, tanda selar, dan nama panggilan/call
sign;
b. kesesuaian jenis dan ukuran alat
penangkapan Ikan dengan Perizinan
Berusaha; dan
c. keberadaan dan keaktifan Transmiter SPKP,
untuk Kapal Penangkap Ikan yang
memperoleh Perizinan Berusaha dari Menteri.
Pasal 263
(1) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 261 huruf a untuk Kapal Pengangkut
Ikan terdiri atas:
a. dokumen Perizinan Berusaha;
b. bukti kepemilikan SKAT, untuk Kapal
Pengangkut Ikan yang memperoleh Perizinan
Berusaha dari Menteri;
c. SLO asal dan HPK Kedatangan, untuk Kapal
Pengangkut Ikan yang telah melakukan
kegiatan;
d. surat keterangan lalu lintas ikan dan produk
perikanan atau sertifikat kesehatan ikan dan
produk perikanan domestik untuk Kapal
Pengangkut Ikan antardaerah;
e. kesesuaian jumlah dan jenis Ikan yang
diangkut dengan surat keterangan asal ikan
untuk antardaerah atau surat pemberitahuan
ekspor barang untuk Kapal Pengangkut Ikan
dengan tujuan ekspor;
f. sertifikat kesehatan ikan dan produk
perikanan untuk Kapal Pengangkut Ikan
tujuan ekspor;
g. kesesuaian Pelabuhan Pangkalan dan
Pelabuhan Muat dengan dokumen Perizinan
Berusaha;
h. surat keterangan asal ikan hidup untuk Kapal
Pengangkut Ikan hidup; dan
i. kesesuaian Pelabuhan Pangkalan dan
Pelabuhan Muat untuk Kapal Pengangkut
Ikan hidup, termasuk pelabuhan pengeluaran
dan pelabuhan tujuan dengan Perizinan
Berusaha.
(2) Kelayakan teknis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 261 huruf b untuk Kapal Pengangkut Ikan
terdiri atas:
a. kesesuaian fisik Kapal Pengangkut Ikan
dengan dokumen Perizinan Berusaha yang
meliputi bahan kapal, merek dan nomor seri
mesin utama, tanda selar, dan nama
panggilan/call sign;
b. kesesuaian jumlah Ikan yang diangkut
dengan kapasitas ruang penyimpanan ikan;
c. keberadaan dan keaktifan Transmiter SPKP
untuk Kapal Pengangkut Ikan dan Kapal
Pengangkut Ikan hidup yang memperoleh
Perizinan Berusaha dari Menteri;
d. keberadaan dan keaktifan kamera elektronik
pemantau untuk Kapal Pengangkut Ikan
hidup yang memperoleh Perizinan Berusaha
dari Menteri dan beroperasi lintas provinsi
atau tujuan ekspor; dan
e. keberadaan dan keaktifan kamera elektronik
pemantau untuk Kapal Pengangkut Ikan yang
memperoleh Perizinan Berusaha dari Menteri
dan melakukan alih muatan Ikan untuk Kapal
Pengangkut Ikan.
Pasal 264
(1) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 261 huruf a untuk kapal latih
Perikanan terdiri atas:
a. persetujuan kegiatan penangkapan Ikan dari
Menteri;
b. bukti kepemilikan SKAT;
c. sertifikat klasifikasi kapal dan/atau fotokopi
grosse akta kapal;
d. surat penugasan pelatihan dari instansi
terkait;
e. SLO asal dan HPK Kedatangan, untuk kapal
latih Perikanan yang telah melakukan
kegiatan; dan
f. kesesuaian Pelabuhan Pangkalan dengan
persetujuan kegiatan penangkapan Ikan dari
Menteri.
(2) Kelayakan teknis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 261 huruf b untuk kapal latih Perikanan
yang terdiri atas kesesuaian fisik kapal
penelitian/eksplorasi yang meliputi nama kapal,
tanda selar, dan merek mesin utama dengan
sertifikat klasifikasi kapal dan/atau fotokopi grosse
akta kapal.
Pasal 265
(1) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 261 huruf a untuk kapal
penelitian/eksplorasi Perikanan terdiri atas:
a. persetujuan kegiatan penangkapan Ikan dari
Menteri;
b. bukti kepemilikan SKAT;
c. sertifikat klasifikasi kapal dan/atau fotokopi
grosse akta kapal;
d. Surat izin penelitian/eksplorasi Perikanan;
e. SLO asal dan HPK Kedatangan, untuk kapal
penelitian/eksplorasi Perikanan yang telah
melakukan kegiatan; dan
f. kesesuaian Pelabuhan Pangkalan dengan
persetujuan kegiatan penangkapan Ikan dari
Menteri.
(2) Kelayakan teknis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 261 huruf b untuk kapal
penelitian/eksplorasi Perikanan yang terdiri atas
kesesuaian fisik kapal penelitian/eksplorasi yang
meliputi nama kapal, tanda selar, dan merek
mesin utama dengan sertifikat klasifikasi kapal
dan/atau fotokopi grosse akta kapal.
Pasal 266
(1) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 261 huruf a untuk kapal pendukung
operasi Pembudidayaan Ikan, terdiri atas:
a. dokumen Perizinan Berusaha;
b. bukti kepemilikan SKAT, untuk kapal
pendukung operasi Pembudidayaan Ikan
dengan ukuran di atas 30 (tiga puluh) gross
tonnage;
c. SLO asal dan HPK Kedatangan untuk kapal
pendukung operasi Pembudidayaan Ikan yang
telah melakukan kegiatan mendukung operasi
Pembudidayaan Ikan; dan
d. kesesuaian Pelabuhan Pangkalan, Pelabuhan
Muat, pelabuhan pengeluaran, dan pelabuhan
tujuan dengan dokumen Perizinan Berusaha.
(2) Kelayakan teknis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 261 huruf b untuk kapal pendukung operasi
Pembudidayaan Ikan, terdiri atas:
a. kesesuaian fisik kapal pendukung operasi
Pembudidayaan Ikan dengan Dokumen
Perizinan Berusaha, meliputi bahan kapal,
merek dan nomor seri mesin utama, tanda
selar, dan nama panggilan/call sign;
b. kesesuaian jumlah Ikan yang diangkut
dengan kapasitas ruang penyimpanan Ikan;
dan
c. keberadaan dan keaktifan Transmiter SPKP
untuk kapal pendukung operasi
Pembudidayaan Ikan dengan ukuran di atas
30 (tiga puluh) gross tonnage.
Bagian Ketiga
Prosedur Penerbitan Standar Laik Operasi
Pasal 267
(1) Nakhoda, pemilik Kapal Perikanan, operator Kapal
Perikanan, atau penanggung jawab Perusahaan
Perikanan yang akan melakukan kegiatan
Perikanan harus melaporkan rencana
keberangkatan kepada Pengawas Perikanan.
(2) Laporan rencana keberangkatan kapal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
paling lambat 1 (satu) hari sebelum keberangkatan
Kapal Perikanan.
Pasal 268
(1) Pengawas Perikanan berdasarkan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 ayat (1)
melakukan pemeriksaan persyaratan administrasi
dan kelayakan teknis Kapal Perikanan.
(2) Hasil pemeriksaan persyaratan administrasi dan
kelayakan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dituangkan dalam BA-HPK.
(3) BA-HPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditandatangani oleh Pengawas Perikanan dan
Nakhoda, pemilik Kapal Perikanan, operator Kapal
Perikanan, atau penanggung jawab Perusahaan
Perikanan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai BA-HPK
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 269
(1) Berdasarkan BA-HPK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 268 ayat (2), apabila Kapal Perikanan
telah memenuhi persyaratan administrasi dan
kelayakan teknis, Pengawas Perikanan
menerbitkan SLO.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai SLO sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 270
SLO yang diterbitkan oleh Pengawas Perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 269 ayat (1) tidak
dikenai biaya.
Pasal 271
Pengawas Perikanan tidak menerbitkan SLO apabila
Kapal Perikanan dalam proses hukum dan/atau
diberikan sanksi administratif pembekuan atau
pencabutan dokumen Perizinan Berusaha terkait
pelanggaran di bidang Perikanan.
Bagian Keempat
Lokasi Penerbitan Standar Laik Operasi
Pasal 272
(1) SLO untuk Kapal Penangkap Ikan, Kapal
Pengangkut Ikan, dan kapal pendukung operasi
Pembudidayaan Ikan diterbitkan oleh Pengawas
Perikanan di Pelabuhan Pangkalan, Pelabuhan
Muat, atau pelabuhan pengeluaran sesuai dengan
dokumen Perizinan Berusaha.
(2) SLO untuk kapal latih Perikanan dan kapal
penelitian/eksplorasi Perikanan diterbitkan oleh
Pengawas Perikanan di unit pelaksana teknis atau
satuan pengawasan Sumber Daya Kelautan dan
perikanan terdekat di mana kapal bersandar.
Pasal 273
SLO dapat diterbitkan oleh Pengawas Perikanan di luar
Pelabuhan Pangkalan dan Pelabuhan Muat yang tertera
dalam dokumen Perizinan Berusaha dalam hal Kapal
Perikanan selesai melakukan docking yang dibuktikan
dengan surat keterangan selesai docking.
Bagian Kelima
Masa Berlaku
Pasal 274
(1) SLO digunakan hanya untuk 1 (satu) kali
operasional kegiatan Perikanan.
(2) SLO sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
selama 2 x 24 jam sejak tanggal diterbitkan.
(3) Dalam hal Kapal Perikanan tidak mengurus
Persetujuan Berlayar dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), SLO
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 275
(1) Kewajiban memiliki SLO sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 259 ayat (1) dikecualikan bagi Kapal
Perikanan yang tidak akan melakukan kegiatan
Perikanan yaitu:
a. Kapal Perikanan yang baru dibeli;
b. Kapal Perikanan yang selesai dibangun atau
dilakukan modifikasi;
c. Kapal Perikanan yang akan melakukan
docking;
d. Kapal Perikanan yang berlayar dalam batas
WKOPP;
e. Kapal Perikanan yang berlayar untuk
memberikan pertolongan kepada kapal dalam
bahaya;
f. Kapal Perikanan yang akan melakukan
percobaan berlayar; dan/atau
g. Kapal Perikanan yang mengalami keadaan
darurat meliputi kapal rusak, cuaca buruk,
dan Awak Kapal Perikanan sakit atau
meninggal.
(2) Kewajiban memiliki SLO diganti dengan surat
keterangan pengganti SLO yang diterbitkan oleh
Pengawas Perikanan.
(3) Surat keterangan pengganti SLO sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diterbitkan berdasarkan
permohonan secara tertulis dari Nakhoda.
(4) Selain surat permohonan secara tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), untuk Kapal
Perikanan yang baru dibeli sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan Kapal Perikanan yang
selesai dibangun atau dilakukan modifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
ditambah persyaratan berupa:
a. fotokopi akta jual beli Kapal Perikanan untuk
Kapal Perikanan yang baru dibeli; dan
b. fotokopi surat keterangan dari galangan untuk
Kapal Perikanan yang selesai dibangun atau
dilakukan modifikasi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat keterangan
pengganti SLO sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB X
PENGENDALIAN IMPOR KOMODITAS PERIKANAN DAN
IMPOR KOMODITAS PERGARAMAN
Bagian Kesatu
Impor Komoditas Perikanan
Pasal 276
(1) Penerbitan persetujuan impor komoditas
Perikanan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perdagangan
dilakukan berdasarkan neraca komoditas
Perikanan.
(2) Neraca komoditas Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan:
a. ketersediaan komoditas Perikanan yang
dihitung berdasarkan data produksi
Perikanan tangkap, Perikanan budi daya, dan
stok Ikan tahun sebelumnya;
b. kebutuhan komoditas Perikanan yang
dihitung berdasarkan kebutuhan Ikan dalam
negeri dan kebutuhan Ikan untuk ekspor; dan
c. kebutuhan impor komoditas Perikanan
sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong
industri, dan kebutuhan impor komoditas
perikanan selain sebagai Bahan Baku dan
Bahan Penolong industri.
(3) Penyusunan neraca komoditas Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempertimbangkan data dan informasi rencana
usaha yang disampaikan Pelaku Usaha untuk
periode 1 (satu) tahun.
(4) Rencana usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) terdiri atas:
a. data umum perusahaan mencakup kapasitas
produksi dan/atau kapasitas gudang, jumlah
karyawan, dan kapasitas kendaraan
pengangkut yang dimiliki;
b. kebutuhan komoditas Perikanan;
c. tujuan pemasaran; dan
d. rencana distribusi Ikan impor.
(5) Pelaku Usaha menyampaikan rencana usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada
Kementerian untuk 1 (satu) tahun berikutnya
setiap akhir tahun secara elektronik.
(6) Menteri melakukan verifikasi terhadap rencana
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan
neraca komoditas Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan verifikasi rencana
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 277
(1) Menteri menyusun usulan neraca komoditas
Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276
ayat (2) untuk disampaikan kepada menteri yang
menyelenggarakan koordinasi urusan
pemerintahan di bidang perekonomian.
(2) Usulan neraca komoditas Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibahas setiap akhir tahun
dalam rapat koordinasi lintas
kementerian/lembaga guna mendapat keputusan
mengenai alokasi impor komoditas Perikanan
untuk tahun berikutnya.
(3) Hasil rapat koordinasi lintas kementerian/lembaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi
dasar Kementerian untuk menyusun usulan
distribusi alokasi impor komoditas Perikanan yang
mencakup:
a. tempat pemasukan;
b. jenis Hasil Perikanan;
c. volume dan waktu pemasukan;
d. standar Mutu wajib; dan
e. peruntukan.
(4) Kementerian mengunggah usulan distribusi
alokasi impor komoditas Perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ke dalam sistem yang
terintegrasi secara elektronik dengan kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang perdagangan untuk diterbitkan persetujuan
impor.
(5) Neraca komoditas Perikanan dan data persetujuan
impor diunggah dalam sistem yang terintegrasi
secara elektronik.
Pasal 278
(1) Tempat pemasukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 277 ayat (3) huruf a dilakukan melalui:
a. seluruh pelabuhan udara internasional;
dan/atau
b. pelabuhan laut.
(2) Tempat pemasukan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 279
(1) Jenis Hasil Perikanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 277 ayat (3) huruf b dibatasi untuk
jenis Hasil Perikanan tertentu.
(2) Jenis Hasil Perikanan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 280
(1) Volume dan waktu pemasukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 277 ayat (3) huruf c
ditetapkan berdasarkan hasil rapat koordinasi
yang diselenggarakan oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
koordinasi perekonomian.
(2) Penetapan volume kebutuhan impor dan waktu
pemasukan Perikanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memperhatikan kebutuhan dan
ketersediaan Ikan dalam negeri baik dari hasil
tangkapan maupun hasil budi daya serta musim
tangkap untuk Perikanan tangkap dan/atau
musim panen untuk Perikanan budi daya.
Pasal 281
(1) Standar Mutu wajib sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 277 ayat (3) huruf d harus di penuhi oleh
Pelaku Usaha dalam melaksanakan impor
komoditas Perikanan.
(2) Dalam hal Standar Mutu wajib telah diberlakukan,
pemasukan Hasil Perikanan harus memenuhi SNI yang ditetapkan.
Pasal 282
Peruntukan impor komoditas perikanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 277 ayat (3) huruf e digunakan
untuk:
a. Bahan Baku pemindangan;
b. umpan;
c. konsumsi hotel, restoran, dan katering;
d. pasar modern;
e. bahan pengayaan makanan;
f. Bahan Baku produk olahan berbasis daging Ikan
lumat;
g. Bahan Baku UPI untuk industri pengalengan Ikan;
dan
h. Bahan Baku UPI untuk diolah dan diekspor
kembali.
Pasal 283
(1) Pelaku usaha harus menyampaikan laporan
realisasi Impor dan distribusi Ikan impor.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diunggah melalui sistem yang terintegrasi secara
elektronik antara Kementerian dan kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang perdagangan.
Bagian Kedua
Impor Komoditas Pergaraman
Pasal 284
(1) Penerbitan persetujuan impor Komoditas
Pergaraman oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perdagangan
dilakukan berdasarkan neraca Komoditas
Pergaraman.
(2) Neraca Komoditas Pergaraman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan:
a. stok Garam tahun sebelumnya;
b. produksi Garam dan rencana produksi Garam
tahun yang akan datang; dan
c. kebutuhan Garam dan rencana kebutuhan
Garam tahun yang akan datang.
(3) Stok Garam tahun sebelumnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan sisa
Garam lokal yang tidak diserap, termasuk sisa
Garam impor.
(4) Produksi Garam dan rencana produksi Garam
tahun yang akan datang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b merupakan hasil produksi
dari petambak Garam rakyat dan badan usaha di
dalam negeri pada tahun berjalan dan rencana
produksi Garam tahun yang akan datang.
(5) Kebutuhan Garam dan rencana kebutuhan Garam
tahun yang akan datang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c merupakan kebutuhan
Garam dalam negeri untuk Garam konsumsi dan
nonkonsumsi pada tahun berjalan dan proyeksi
kebutuhan Garam yang akan datang dihitung
berdasarkan tingkat pertumbuhan pengguna
Garam.
Pasal 285
(1) Dalam hal stok Garam akhir tahun dan rencana
produksi Garam tahun yang akan datang tidak
dapat mencukupi rencana kebutuhan tahun yang
akan datang, pemenuhan kebutuhan Garam dalam
negeri dapat dilakukan dengan impor.
(2) Impor Komoditas Pergaraman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan jika
sudah diperkirakan stok Garam dan produksi
Garam tahun berjalan hanya tersisa paling banyak
25% (dua puluh lima persen) pada gudang Garam
rakyat, gudang Garam nasional, dan gudang
Garam Industri.
Pasal 286
(1) Menteri menyusun usulan neraca Komoditas
Pergaraman sebagaimana dimaksud dalam Pasal
284 ayat (2) untuk disampaikan kepada menteri
yang menyelenggarakan koordinasi urusan
pemerintahan di bidang perekonomian.
(2) Usulan neraca Komoditas Pergaraman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas
setiap akhir tahun dalam rapat koordinasi lintas
kementerian/lembaga guna mendapat keputusan
mengenai alokasi impor Komoditas Pergaraman
untuk tahun berikutnya.
(3) Hasil rapat koordinasi lintas kementerian/lembaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi
dasar Kementerian untuk menyusun usulan
distribusi alokasi impor Komoditas Pergaraman
yang mencakup:
a. tempat pemasukan;
b. jenis Garam;
c. volume dan waktu pemasukan; dan
d. standar mutu.
(4) Neraca Komoditas Pergaraman, surat persetujuan
impor, dan laporan realisasi impor diunggah dalam
sistem yang terintegrasi secara elektronik.
Pasal 287
(1) Tempat pemasukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 286 ayat (3) huruf a harus
mempertimbangkan ketersediaan stok Komoditas
Pergaraman pada gudang Garam nasional
dan/atau gudang Garam rakyat terdekat dengan
tempat pemasukan.
(2) Tempat pemasukan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 288
Jenis Garam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286
ayat (3) huruf b merupakan Garam yang digunakan
sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong industri.
Pasal 289
Volume dan waktu pemasukan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 286 ayat (3) huruf c harus
mempertimbangkan ketersediaan stok Komoditas
Pergaraman nasional untuk pemenuhan kebutuhan
dalam negeri.
Pasal 290
Standar Mutu Garam sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 286 ayat (3) huruf d harus memiliki kandungan
natrium klorida paling sedikit 97% (sembilan puluh
tujuh persen) dihitung dari basis kering.
Pasal 291
Importir Garam harus memprioritaskan penyerapan
Garam hasil produksi Petambak Garam yang tersedia di
gudang Garam nasional dan/atau gudang Garam
rakyat untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Bagian Ketiga
Pengawasan Impor Komoditas Perikanan
dan Impor Komoditas Pergaraman
Pasal 292
(1) Pengawas Perikanan melakukan pengawasan
terhadap kesesuaian peruntukan impor komoditas
Perikanan.
(2) Pengawas Perikanan dalam melaksanakan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berkoordinasi dengan instansi terkait.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara insidentil dan rutin.
Pasal 293
(1) Polisi Khusus Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil melakukan pengawasan
terhadap kesesuaian peruntukan impor Komoditas
Pergaraman.
(2) Polisi Khusus Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil dalam melaksanakan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berkoordinasi dengan instansi terkait.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara insidentil dan rutin.
Pasal 294
(1) Setiap Orang yang melakukan impor komoditas
Perikanan dan impor Komoditas Pergaraman yang
tidak sesuai dengan tempat pemasukan, jenis,
volume dan waktu pemasukan, standar Mutu
wajib, dan/atau peruntukan Impor yang
ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 277 ayat (3) dan Pasal 286
ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa:
a. penghentian sementara kegiatan;
b. pembekuan perizinan berusaha;
c. denda administratif;
d. paksaan pemerintah; dan/atau
e. pencabutan Perizinan Berusaha.
(2) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c merupakan penerimaan negara
bukan pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Menteri.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 295
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku,
semua peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai:
a. perubahan status Zona Inti;
b. kriteria dan persyaratan pendirian, penempatan
dan/atau pembongkaran Bangunan dan Instalasi
di Laut;
c. pengelolaan sumber daya ikan;
d. Standar Mutu Hasil Perikanan;
e. penangkapan Ikan dan/atau Pembudidayaan Ikan
bukan untuk tujuan komersial;
f. Kapal Perikanan dan pengawakan Kapal
Perikanan;
g. kepelabuhanan perikanan;
h. SLO; dan
i. pengendalian pemasukan Hasil Perikanan dan
impor komoditas pergaraman,
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 296
Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, Awak
Kapal Perikanan yang belum memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf b dan
huruf c, Pasal 153, dan Pasal 154, diberikan batas
waktu untuk memenuhi ketentuan persyaratan kerja di
atas Kapal Perikanan sampai dengan tanggal 31
Desember 2023.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 297
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a. Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, dan Pasal 11 Peraturan Pemerintah
Nomor 57 Tahun 2015 tentang Sistem Jaminan
Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan serta
Peningkatan Nilai Tambah Produk Hasil Perikanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5726);
b. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2020
tentang Bangunan dan Instalasi di Laut (Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2020,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6459),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 298
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Februari 2021
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Februari 2021
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY