로고

TENTANG LANDAS KONTINEN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2023

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembangunan nasional yang berdasarkan wawasan nusantara, perlu memantapkan landasan hukum untuk melaksanakan hak berdaulat dan kewenangan tertentu di landas kontinen demi mevujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia; b. bahwa Indonesia telah mengesahkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan Unitea Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) ; c. bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum serta kebutuhan pembangunan nasional sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Landas Kontinen; Mengingat : 1. Pasal -5 ayat (1) dan pasal 20 Undang_Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun l985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi perserikatan Bangsa_Bangsa tentang Hukum Laut) (Lembaran Negara -Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran- Negara Republik Indonesia Nomor 3319); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal I

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Landas Kontinen adalah dasar laut dan tanah di bawahnya dari area di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial Indonesia, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepian kontinen, atau hingga suatu jarak 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut, hingga paling jauh 350 (tiga ratus lima puluh) mil laut atau sampai dengan jarak 100 (seratus) mil laut dari garis kedalaman 2.500 (dua ribu lima ratus) meter, atau berdasarkan perjanjian internasional dengan negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia. 2. Tepian Kontinen adalah kelanjutan alamiah dari daratan Indonesia yang berada di bawah permukaan air, yang terdiri atas dasar laut dan tanah di bawahnya dari paparan, lereng, dan tanjakan kontinen yang tidak mencakup dasar samudera yang dalam dengan bukit-bukit samudera atau tanah di bawahnya. 3. Sumber Daya Alam adalah sumber daya alam yang terdapat di Landas Kontinen, baik yang bersifat hayati maupun nonhayati. 4. Penelitian Ilmiah Kelautan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan usaha untuk memperoleh data dan informasi yang dilakukan untuk tujuan damai serta pelindungan dan pelestarian lingkungan laut. 5. Pulau Buatan, Instalasi, dan Bangunan Lainnya adalah setiap daratan, instalasi, dan/atau bangunan yang dibangun di Landas Kontinen. 6. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 7. Dumping adalah kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke Landas Kontinen. 8. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau badan. 9. Konvensi adalah United Nations Convention on the Law of the Sea Tahun 1982, sebagaimana telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut). 10. Komisi Batas Landas Kontinen adalah komisi yang dibentuk berdasarkan Konvensi yang memiliki mandat untuk mengevaluasi dan memberikan rekomendasi terhadap pengajuan batas Landas Kontinen di luar 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal yang disampaikan oleh negara pihak. 11. Garis Pangkal Kepulauan adalah garis pangkal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 Konvensi.

BAB II BATAS LANDAS KONTINEN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 2

Batas Landas Kontinen terdiri atas:

a. batas terluar Landas Kontinen; dan b. batas Landas Kontinen dengan negara lain.

Bagian Kedua Batas Terluar Landas Kontinen

Pasal 3

(1) Batas terluar Landas Kontinen ditetapkan secara unilateral.

(2) Batas terluar Landas Kontinen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. sejauh 200 (dua ratus) mil laut dari Garis Pangkal Kepulauan; dan b. di luar 200 (dua ratus) mil laut dari Garis Pangkal Kepulauan.

(3) Batas terluar Landas Kontinen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan berdasarkan rekomendasi Komisi Batas Landas Kontinen.

Pasal 4

Batas terluar Landas Kontinen sejauh 200 (dua ratus) mil laut dari Garis Pangkal Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a ditentukan dalam hal pinggiran luar Tepian Kontinen tidak mencapai jarak tersebut.

Pasal 5

(1) Batas terluar Landas Kontinen di luar 200 (dua ratus) mil laut dari Garis Pangkal Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b ditentukan dalam hal pinggiran luar Tepian Kontinen melebihi jarak tersebut.

(2) Batas terluar Landas Kontinen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan dengan menarik garis lurus yang masing-masing panjangnya tidak melebihi 60 (enam puluh) mil laut yang menghubungkan titik-titik tetap dengan koordinat lintang dan bujur.

Pasal 6

(1) Dalam hal pinggiran luar Tepian Kontinen melebihi jarak 200 (dua ratus) mil laut yang diukur dari Garis Pangkal Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), batas terluar Tepian Kontinen ditentukan berdasarkan:

a. garis yang ditarik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dengan menunjuk pada titik-titik tetap terluar dengan ketebalan sedimen paling sedikit 1% (satu persen) dari jarak terdekat antara titik tersebut dari kaki lereng kontinen; atau b. garis yang ditarik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dengan menunjuk pada titik-titik tetap yang terletak tidak lebih dari 60 (enam puluh) mil laut dari kaki lereng kontinen.

(2) Dalam hal tidak terdapat bukti yang bertentangan dengan penentuan batas terluar Tepian Kontinen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kaki lereng kontinen ditentukan berdasarkan titik perubahan maksimum di bagian tanjakan pada kaki lereng kontinen.

(3) Titik-titik tetap yang ditarik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan garis batas luar Landas Kontinen pada dasar laut yang tidak melebihi jarak 350 (tiga ratus lima puluh) mil laut diukur dari Garis Pangkal Kepulauan atau tidak melebihi jarak 100 (seratus) mil laut dari garis kontur kedalaman 2.500 (dua ribu lima ratus) meter yang mempakan suatu garis yang menghubungkan titik-titik kedalaman 2.500 (dua ribu lima ratus) meter.

(4) Dalam hal penentuan garis batas luar Landas Kontinen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan pada bukit-bukit atau punggungan dasar laut, batas terluar Landas Kontinen paling jauh 350 (tiga ratus lima puluh) mil laut dari Garis Pangkal Kepulauan.

(5) Penentuan garis batas luar Landas Kontinen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku pada bentuk bentang alam dasar laut yang merupakan bagian alamiah Tepian Kontinen.

(6) Penentuan batas terluar Landas Kontinen di luar 200 (dua ratus) mil laut yang diukur dari Garis Pangkal Kepulauan, harus disampaikan kepada Komisi Batas Landas Kontinen untuk mendapatkan rekomendasi yang bersifat final dan mengikat sesuai dengan ketentuan Konvensi dan aturan prosedur Komisi Batas Landas Kontinen.

(7) Pemerintah Pusat dapat menyampaikan pengajuan Landas Kontinen di luar 200 (dua ratus) mil laut yang diukur dari Garis Pangkal Kepulauan secara bersamasama dengan negara lain kepada Komisi Batas Landas Kontinen.

(8) Penyampaian pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan setelah adanya perjanjian antara Indonesia dan negara lain.

(9) Landas Kontinen di luar 200 (dua ratus) mil laut hasil rekomendasi Komisi Batas Landas Kontinen ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Bagian Ketiga Batas Landas Kontinen dengan Negara Lain

Pasal 7

(1) Batas Landas Kontinen dengan negara lain yang memiliki pantai yang berhadapan atau berdampingan ditetapkan melalui perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

(2) Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tercapai, dapat diadakan pengaturan sementara yang disepakati bersifat praktis dalam waktu terbatas.

(3) Pengaturan sementara yang disepakati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh menghambat tercapainya perjanjian mengenai penetapan garis batas Landas Kontinen.

Pasal 8

(1) Garis-garis batas Landas Kontinen yang ditetapkan berdasarkan perjanjian antara Indonesia dan negara lain harus dicantumkan pada peta laut Indonesia dengan satu skala atau lebih yang memadai untuk memastikan posisinya.

(2) Penetapan garis batas Landas Kontinen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hukum internasional.

Bagian Keempat Publisitas Batas Landas Kontinen

Pasal 9

(1) Pemerintah Pusat memublikasikan batas Landas Kontinen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

(2) Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa peta laut dan daftar titik koordinat geografis dan mendepositkan satu salinan dari setiap peta laut dan daftar titik koordinat geografis tersebut kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.

BAB III HAK BERDAULAT DAN KEWENANGAN TERTENTU DI LANDAS KONTINEN

Pasal 10

(1) Landas Kontinen merupakan bagian dari wilayah yurisdiksi negara Indonesia.

(2) Dalam Landas Kontinen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) negara Indonesia mempunyai dan melaksanakan:

a. hak berdaulat; dan b. kewenangan tertentu.

Pasal 11

(1) Hak berdaulat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a terdiri atas:

a. hak berdaulat atas Sumber Daya Alam; b. hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan/atau eksploitasi Sumber Daya Alam; dan c. hak berdaulat yang bersifat eksklusif untuk mengizinkan dan/atau mengatur pengelolaan kegiatan eksplorasi dan/ atau eksploitasi Sumber Daya Alam.

(2) Hak berdaulat di Landas Kontinen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

Pasal 12

(1) Kewenangan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b meliputi:

a. Penelitian Ilmiah Kelautan; b. pembuatan dan penggunaan Pulau Buatan, Instalasi, dan Bangunan Lainnya; dan c. pelindungan dan pengelolaan fungsi lingkungan laut.

(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional

Pasal 13

(1) Negara Indonesia mempunyai kewenangan di bidang kepabeanan dan cukai, fiskal, kesehatan, keselamatan dan keamanan, serta imigrasi di atas Pulau Buatan, Instalasi, dan Bangunan Lainnya yang dibangun di Landas Kontinen.

(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara Indonesia juga mempunyai kewenangan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

Pasal 14

(1) Pelaksanaan hak berdaulat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a tidak memengaruhi status hukum perairan dan ruang udara di atasnya.

(2) Dalam melaksanakan hak berdaulat di Landas Kontinen sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) huruf a, negara Indonesia mengakui kebebasan pelayaran di laut di atas Landas Kontinen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

Pasal 15

Untuk menjamin pelaksanaan hak berdaulat dan kewenangan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a dan huruf b, Setiap Orang dan/atau negara lain dilarang melaksanakan kegiatan di Landas Kontinen yang mengancam dan mengganggu keamanan.

BAB IV KEGIATAN DI LANDAS KONTINEN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 16

Kegiatan yang dilakukan di Landas Kontinen meliputi:

a. Penelitian Ilmiah Kelautan; b. eksplorasi dan/atau eksploitasi Sumber Daya Alam; c. pemasangan kabel dan/atau pipa bawah laut; dan/atau d. kegiatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 17

(1) Pelaksanaan Penelitian Ilmiah Kelautan sebagaimala dimaksud dalam Pasal 16 huruf a harus memperhatikan kepentingan:

a. pertahanan dan keamanan; b. eksplorasi dan/atau eksploitasi Sumber Daya Alam; c. pelayaran; d. jaringan kabel telekomunikasi, jaringan transmisi listrik, dan pipa bawah laut; e. konservasi Sumber Daya Alam; f. pelestarian fungsi lingkungan laut; dan g. aktivitas masyarakat sekitar.

(2) Pelaksanaan kegiatan eksplorasi dan/ atau eksploitasi Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b harus memperhatikan kepentingan:

a. pertahanan dan keamanan; b. Sumber Daya Alam hayati; c. jaringan kabel telekomunikasi, jaringan transmisi listrik, dan pipa bawah laut; d. pelayaran; e. Penelitian Ilmiah Kelautan; f. konservasi Sumber Daya Alam; g. pelestarian fungsi lingkungan laut; dan h. aktivitas masyarakat sekitar.

(3) Pelaksanaan pemasangan kabel dan/atau pipa bawah laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c harus memperhatikan kepentingan:

a. pertahanan dan keamanan; b. eksplorasi dan/atau eksploitasi Sumber Daya Alam; c. Penelitian Ilmiah Kelautan; d. pelayaran; e. konservasi Sumber Daya Alam; f. pelestarian fungsi lingkungan laut; dan g. aktivitas masyarakat sekitar.

Bagian Kedua Penelitian Ilmiah Kelautan

Pasal 18

Pemerintah Pusat berwenang untuk mengatur, mendukung, dan/atau menyelenggarakan Penelitian Ilmiah Kelautan di Landas Kontinen untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam rangka pembangunan kelautan nasional.

Pasal 19

Penelitian Ilmiah Kelautan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilaksanakan berdasarkan prinsip:

a. tujuan damai; b. metode ilmiah yang baku dan tepat serta cara yang sesuai dengan Konvensi; c. kepentingan pengguna laut yang sah lainnya yang diatur dalam Konvensi tidak terganggu; d. pelindungan dan pelestarian fungsi lingkungan laut serta keanekaragaman hayati di laut; dan e. penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memajukan daya saing dan kemandirian bangsa serta kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dan kemanusiaan.

Pasal 2O

(1) Penelitian Ilmiah Kelautan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dilalsanakan oleh orang perseorangan, lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan/ atau badan usaha.

(2) Orang perseorangan, lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan/atau badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja sama dengan pihak lain.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 2 I

(1) Dalam hal Penelitian Ilmiah Kelautan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dilakukan oleh perguruan tinggi asing, lembaga penelitian dan pengembangan asing, badan usaha asing, dan/ atau warga negara asing wajib mendapatkan perizinan dari menteri/kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi.

(2) Penelitian Ilmiah Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus bermitra kerja dengan penyelenggara penelitian dan pengembangan dalam negeri serta mengikutsertakan peneliti Indonesia.

(3) Pemberian perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat pertimbangan teknis dari kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait.

(4) Penyelenggara Penelitian Ilmiah Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan data pendukung yang memuat informasi mengenai:

a. sifat dan tujuan Penelitian Ilmiah Kelautan; b. metode dan sarana yang akan digunakan, termasuk nama, tonase, tipe, serta kelas kapal dan deskripsi peralatan Penelitian Ilmiah Kelautan; c. kawasan geografis lokasi Penelitian Ilmiah Kelautan akan dilaksanakan; d. perkiraan tanggal kehadiran dan keberangkatan terakhir dari kapal riset atau penempatan dan pembongkaran peralatan; e. nama lembaga sponsor, organ pimpinan lembaga sponsor, dan penanggung jawab Penelitian Ilmiah Kelautan yang akan dilaksanakan; dan f. urgensi partisipasi dan keterwakilan peneliti Indonesia dalam Penelitian Ilmiah Kelautan yang akan dilaksanakan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian perizinan Penelitian Ilmiah Kelautan di Landas Kontinen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 22

Penyelenggara Penelitian Ilmiah Kelautan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2l ayat (1) wajib:

a. membuat perjanjian pengalihan bahan apabila terdapat sampel dan/ atau spesimen bahan penelitian dan pengembangan yang dibawa danlatau dikirim ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Landas Kontinen; b. membuat dan menyampaikan laporan berkala, hasil akhir, serta simpulan setelah penelitian tersebut dilaksanakan; c. memberikan akses bagi Pemerintah Pusat atas segala data dan sampel dan/ atau spesimen yang diperoleh dari Penelitian Ilmiah Kelautan; d. memperhatikan kelestarian Sumber Daya Alam dan lingkungan; dan e. melaksanakan pengembangan kapasitas dan transfer teknologi.

Pasal 23

(1) Dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud dalam PasaI 22 huruf b dan huruf e tidak dipenuhi, penyelenggara Penelitian Ilmiah Kelautan dikenai sanksi administratif berupa:

a. peringatantertulis; b. penghentian perizinan Penelitian Ilmiah Kelautan; dan/atau c. pencabutan perizinan Penelitian Ilmiah Kelautan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 24

Penelitian Ilmiah Kelautan di Landas Kontinen di bidang perikanan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga Eksplorasi dan/ atau Eksploitasi Sumber Daya Alam

Pasal 25

(1) Kegiatan eksplorasi dan/atau eksploitasi Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b dilakukan terhadap:

a. mineral dan Sumber Daya Alam nonhayati lain yang berada di dasar laut dan tanah di bawahnya; danlatau b. jenis sedenter.

(2) Pelaksanaan kegiatan eksplorasi danlatau eksploitasi Sumber Daya Alam mineral dan Sumber Daya Alam nonhayati lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Pelaksanaan kegiatan eksplorasi dan/atau eksploitasi Sumber Daya Alam jenis sedenter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurrf b wajib mempertimbangkan upaya konservasi Sumber Daya Alam dan ekosistemnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 26

(1) Pemerintah Pusat melakukan pembayaran atau kontribusi dalam kegiatan eksplorasi dan/atau eksploitasi Sumber Daya Alam nonhayati di Landas Kontinen di luar 200 (dua ratus) mil laut.

(2) Pembayaran atau kontribusi kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 82 Konvensi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran atau kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 27

(1) Pelaksanaan eksplorasi dan/ atau eksploitasi Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b di Landas Kontinen dapat dilakukan dengan:

a. pembangunan, penggunaan, dan pemeliharaan Pulau Buatan, Instalasi, dan Bangunan Lainnya; b. penggunaan kapal dan alat lainnya sebagai instalasi eksplorasi dan/ atau eksploitasi; c. pengeboran; atau d. pembangunan terowongan bawah laut.

(2) Pelaksanaan eksplorasi dan/atau eksploitasi Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan perizinan dari Pemerintah Pusat dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 28

Pemegang izin Pulau Buatan, Instalasi, dan Bangunan Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf a wajib:

a. memberitahukan secara resmi kepada kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan kewenangannya mengenai pembangunan, pemasangan, pemeliharaan, serta pembongkaran Pulau Buatan, Instalasi, dan Bangunan Lainnya; b. memasang dan memelihara sarana bantu navigasi yang menunjukkan adanya lokasi pembangunan Pulau Buatan, Instalasi, dan Bangunan Lainnya; c. membongkar atau memindahkan setiap Pulau Buatan, Instalasi, dan Bangunan Lainnya tersebut yang ditinggalkan atau tidak digunakan lagi untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran dengan memperhatikan hukum internasional dan kepentingan perikanan serta pelestarian fungsi lingkungan laut; dan d. memberi tanda dan memberitahukan secara resmi kepada kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan kewenangannya mengenai kedalaman, posisi, dan ukuran bagian Pulau Buatan, Instalasi, dan Bangunan Lainnya tersebut yang tidak dipindahkan secara keseluruhan.

Pasal 29

(1) Pemerintah Pusat mengumumkan:

a. adanya pembangunan, pemasangan, pemeliharaan, serta pembongkaran Pulau Buatan, Instalasi, dan Bangunan Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a; dan b. kedalaman, posisi, dan ukuran Pulau Buatan, Instalasi, dan Bangunan Lainnya yang tidak dipindahkan secara keseluruhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf d.

(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya dipublikasikan dalam:

a. maklumat pelayaran dan buku petunjuk pelayaran yang diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan; dan b. peta laut dan berita pelaut Indonesia yang diterbitkan oleh instansi yang membidangi hidrografi dan oseanografi.

(3) Persyaratan dan tata cara pembangunan, pemasangan, pemeliharaan, serta pembongkaran Pulau Buatan, Instalasi, dan Bangunan Lainnya serta penggunaan kapal dan alat lainnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 30

Di sekitar Pulau Buatan, Instalasi, dal Bangu.nan Lainnya serta kapal dan alat lainnya sebagai instalasi eksplorasi dan/ atau eksploitasi, Pemerintah Pusat dapat menetapkan:

a. zona keselamatan; dan b. daerah terbatas.

Pasal 31

(1) Lebar zona keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a tidak melebihi 500 (lima ratus) meter dihitung dari setiap titik terluar pada Pulau Buatan, Instalasi, dan Bangunan Lainnya, serta kapal dan alat lainnya sebagai instalasi eksplorasi dan/ atau eksploitasi Sumber Daya Alam.

(2) Di zona keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kapal pihak ketiga dilarang berlayar di sekitar Pulau Buatan, Instalasi, dan Bangunan Lainnya.

(3) Kapal pihak ketiga dilarang berlayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan dalam hal kapal pihak ketiga dalam keadaan darurat dengan mematuhi hukum internasional yang diterima secara umum yang berkaitan dengan pelayaran.

Pasal 32

(1) Lebar daerah terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf b tidak melebihi 1.250 (seribu dua ratus lima puluh) meter dihitung dari titik terluar zona keselamatan.

(2) Di daerah terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kapal pihak ketiga dilarang membuang atau membongkar sauh.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan dalam hal kapal pihak ketiga dalam keadaan darurat dengan mematuhi hukum internasional yang diterima secara umum yang berkaitan dengan pelayaran.

Pasal 33

(1) Pemerintah Pusat mengumumkan mengenai lebar zona keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan daerah terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.

(2) Ketentuan mengenai pengumuman pembangunan, pemasangan, pemeliharaan, serta pembongkaran Pulau Buatan, Instalasi, dan Bangunan Lainnya, kedalaman, posisi, dan ukuran dari Pulau Buatan, Instalasi, dan Bangunan Lainnya yang tidak dipindahkan secara keseluruhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pengumuman lebar zona keselamatan dan daerah terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Bagian Keempat Pemasangan Kabel dan/atau Pipa Bawah Laut

Pasal 34

Pemasangan kabel dan/ atau pipa bawah laut di Landas Kontinen dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

BAB V PELINDUNGAN LINGKUNGAN LAUT

Pasal 35

(1) Setiap Orang yang melakukan kegiatan di l,andas Kontinen wajib melakukan upaya untuk:

a. mencegah, menanggulangi, dan memulihkan lingkungan laut dari pencemaran dan/atau perusakan lingkungan laut akibat kegiatan serta pembangunan, penggunaan, dan pemeliharaan Pulau Buatan, Instalasi, dan Bangunan Lainnya di Landas Kontinen; b. mencegah agar kegiatan di Landas Kontinen tidak menimbulkan pencemaran di wilayah negara lain dan zona ekonomi eksklusif negara lain; c. mencegah agar pencemaran yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut tidak menyebar keluar zona ekonomi eksklusif Indonesia; d. mencegah, menanggulangi, dan memulihkan lingkungan laut dari pencemar€rn dan/ atau perusakan akibat penggunaan teknologi untuk kegiatan di Landas Kontinen; e. mencegah keluarnya flora atau fauna dari La.ndas Kontinen yang dapat mengakibatkan kepunahan dan perubahan spesilik atas kekayaan plasma nutfah; dan f. menjaga aktivitas nelayan di Landas Kontinen agar tidak terganggu.

(2) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

Pasal 36

(1) Setiap Orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan laut di Landas Kontinen.

(2) Setiap Orang yang melakukan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan penanggulangan dan pemulihan fungsi lingkungan laut.

(3) Setiap Orang yang mengetahui terjadinya pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan di Landas Kontinen wajib segera melaporkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan, gubernur, bupati/wali kota, pejabat Badan Keamanan Laut, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, danlatau pejabat Tentara Nasional Indonesia.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 37

(1) Setiap Orang dilarang melakukan Dumping di Landas Kontinen tanpa izin.

(2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan.

(3) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VI TANGGUNG JAWAB DAN GANTI RUGI

Pasal 38

Ketentuan mengenai tanggung jawab dan ganti rugi terhadap terjadinya pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan laut dan/atau perusakan Sumber Daya Alam yang diakibatkan kegiatan di Landas Kontinen dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 39

Setiap Orang yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional di Landas Kontinen dan mengakibatkan kerugian bagi pemegang izin Pulau Buatan, Instalasi, dan Bangunan Lainnya wajib bertanggung jawab dan membayar ganti rugi kepada pemegang izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VII PENGAWASAN DAN PENEGAKAN HUKUM

Pasal 40

(1) Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap kegiatan di Landas Kontinen.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 41

Setiap tindakan dan/atau peristiwa yang terjadi di Pulau Buatan, Instalasi, dan Bangunan Lainnya, serta kapal dan alat lainnya sebagai instalasi eksplorasi dan/ atau eksploitasi Sumber Daya Alam di Landas Kontinen berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

Pasal 42

Dalam rangka melaksanakan hak berdaulat dan kewenangan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a dan huruf b, aparatur penegak hukum yang berwenang dapat mengambil tindakan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 43

(1) Kapal perang, pesawat udara militer, dan/ atau kapal dan pesawat udara pemerintah yang berwenang dapat melakukan pengejaran seketika dalam rangka untuk menghentikan dan melakukan pemeriksaan terhadap kapal asing atau kapal berbendera Indonesia yang diduga telah melakukan pelanggaran di Landas Kontinen.

(2) Tindakan pengejaran seketika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kapal perang, pesawat udara militer, dan/atau kapal dan pesawat udara pemerintah yang berwenang yang terdekat.

(3) Kapal perang, pesawat udara militer, dan/ atau kapal dan pesawat udara pemerintah yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menginformasikan pengejaran seketika pada saat akan, sedang, dan/atau telah dilakukan kepada kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang berwenang melakukan penyidikan terhadap tindakan pelanggaran di Landas Kontinen.

(4) Tindakan pengejaran seketika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan sampai batas terluar laut teritorial negara lain, kecuali jika dengan negara lain telah terdapat persetujuan yang memungkinkan dilakukannya pengejaran seketika hingga memasuki laut teritorial negara tersebut.

(5) Dalam hal terjadi perlawanan pada saat dilakukan pengejaran seketika, dapat dilakukan tindakan khusus.

Pasal 44

(1) Penyidikan tindak pidana di Landas Kontinen dilakukan oleh:

a. penyidik Perwira Tentara Nasional Indonesia; b. penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/ atau c. penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. penyidik Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut; b. penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; c. penyidik Pegawai Negeri Sipil lingkungan hidup; d. penyidik Pegawai Negeri Sipil energi dan sumber daya mineral; dan/ atau e. penyidik Pegawai Negeri Sipil perikanan.

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang mengambil tindakan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hukum acara pidana, melalui:

a. penangkapan terhadap kapal dan/ atau orang yang diduga melakukan pelanggaran di Landas Kontinen meliputi tindakan penghentian kapal sampai dengan diserahkannya kapal dan/ atau orang di pelabuhan atau pangkalan; dan b. penyerahan kapal dan/atau orang ke pelabuhan atau ke pangkalan dilakukan paling lama dalam waktu 7 (tujuh) hari, kecuali terdapat keadaan kahar (force majeur).

(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di Landas Kontinen; b. memanggil dan memeriksa tersangka dan/ atau saksi untuk didengar keterangannya; c. membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya; d. menggeledah sarana dan prasarana yang diduga digunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di Landas Kontinen; e. menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/ atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di Landas Kontinen; f. memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen perizinan; g. mendokumentasikan tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di Landas Kontinen; h. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di Landas Kontinen; i. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan; j. melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana; k. melakukan penghentian penyidikan; dan l. mengadakan tindakan lain yang menurut hukum dapat dipertanggungiawabkan.

(5) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berada di bawah koordinasi dan pengawasan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 45

Penuntutan atas tindak pidana terhadap ketentuan Undang-Undang ini dilakukan oleh jaksa yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri tempat kapal dan/ atau orang yang ditangkap diserahkan.

Pasal 46

Peradilan atas tindak pidana terhadap ketentuan Undang-Undang ini dilakukan oleh pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kapal dan/ atau orang yang ditangkap diserahkan.

BAB VIII KETENTUAN PIDANA

Pasal 47

(1) Perguruan tinggi asing, lembaga penelitian dan pengembangan asing, badan usaha asing, dan/atau warga negara asing yang melakukan Penelitian Ilmiah Kelautan tanpa perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

(2) Perguruan tinggr asing, lembaga penelitian dan pengembalgan asing, badan usaha asing, dan/atau warga negara asing yang melakukan Penelitian Ilmiah Kelautan tanpa perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) yang mengakibatkan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan laut, pengambilan data atau spesimen dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).

Pasal 48

(1) Perguruan tinggi asing, lembaga penelitian dan pengembangan asing, badan usaha asing, dan/ atau warga negara asing yang tidak memiliki perizinarr sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan menghancurkan atau menyembunyikan barang bukti yang digunakan dalam pelaksanaan Penelitian Ilmiah Kelautan dan/ atau hasil kegiatannya di Landas Kontinen dengan maksud untuk menyembunyikan tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp26.000.000.000,00 (dua puluh enam miliar rupiah).

(2) Perguruan tinggi asing, lembaga penelitian dan pengembangan asing, badan usaha asing, dan/ atau warga negara asing yang tidak memiliki perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan menghalangi penyidikan di l,andas Kontinen dengan maksud untuk menyembunyikan tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp26.000.000.000,00 (dua puluh enam miliar rupiah).

(3) Setiap Orang selain perguruan tinggi asing, lembaga penelitian dan pengembangan asing, badan usaha asing, dan/atau warga negara asing yang membantu melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp13.000.000.000,00 (tiga belas miliar rupiah).

Pasal 49

(1) Perguruan tinggi asing, lembaga penelitian dan pengembangan asing, badan usaha asing, dan/atau warga negara asing yang memiliki perizinan Penelitian Ilmiah Kelautan di Landas Kontinen dan menghancurkan atau menyembunyikan barang bukti yang digunakan dalam pelaksanaan Penelitian Ilmiah Kelautan dan/atau hasil kegiatannya di Landas Kontinen, dengan maksud untuk menyembunyikan tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp26.000.000.000,00 (dua puluh enam miliar rupiah).

(2) Perguruan tinggi asing, lembaga penelitian dan pengembangan asing, badan usaha asing, dan/ atau warga negara asing yang tidak memiliki perizinan Penelitian Ilmiah Kelautan di Landas Kontinen dan menghalangi penyidikan di Landas Kontinen, dengan maksud untuk menyembunyikan tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp26.000.000.000,00 (dua puluh enam miliar rupiah).

(3) Setiap Orang selain perguruan tinggi asing, lembaga penelitian dan pengembangan asing, badan usaha asing, dan/atau warga negara asing yang membantu melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 50

Penyelenggara Penelitian Ilmiah Kelautan yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a, huruf c, dan huruf d dipidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

Pasal 51

Pemegang izin Pulau Buatan, Instalasi, dan Bangunan Lainnya yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

Pasal 52

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dan Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (tima puluh miliar rupiah).

(2) Perbuatan yang dilakukan oleh Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Pulau Buatan, Instalasi, dan Bangunan Lainnya yang digunakan sebagai instalasi eksplorasi dan/ atau eksploitasi Sumber Daya Alam rusak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

(3) Perbuatan yang dilakukan oleh Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 13 (tiga belas) tahun atau pidana denda paling banyak Rp120.000.000.000,00 (seratus dua puluh miliar rupiah).

(4) Perbuatan yang dilakukan oleh Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah).

Pasal 53

(1) Setiap Orang yang karena perbuatannya mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan laut di Landas Kontinen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling banyak Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah).

(2) Setiap Orang yang melakukan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan laut di Landas Kontinen yang tidak melakukan penanggulangan dan pemulihan fungsi lingkungan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 54

Setiap Orang yang melihat, mendengar, atau mengetahui adanya kapal yang tenggelam yang dapat mengganggu keselamatan dan keamanan pelayaran di Landas Kontinen harus melaporkan dan/atau memberikan informasi secara jelas kepada kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan kewenangannya atau penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB X KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 55

Perjanjian yang telah dibuat antara Indonesia dan negara lain mengenai batas Landas Kontinen sebelum berlakunya Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku dan/atau dihormati.

BAB xI KETENTUAN PENUTUP

Pasal 56

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2994), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 57

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2994), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 58

Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 59

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 2023 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 2023 MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PRATIKNO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 65

그림 1
그림 1

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2023 TENTANG LANDAS KONTINEN

I. UMUM

Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayah serta memiliki hak berdaulat di luar wilayah kedaulatannya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran ralgrat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu zona maritim yang dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia adalah l,andas Kontinen. Landas Kontinen merupalan suatu dasar laut dan tanah di bawahnya, yang merupakan kelanjutan alamiah suatu negara yang batas terluarnya ditetapkan sesuai dengan ketentuan hukum internasional, khususnya Konvensi. Sejarah perkembangan hukum laut internasional memberikan gambaran bahwa penguasaan negara-negara pantai akan Landas Kontinen pada umumnya didasarkan pada motivasi penguasaan sumber daya kekayaan alam yang sangat berlimpah di Landas Kontinen. Terlebih lagi seiring dengan perkembangan zafirafl, teknologi untuk mewujudkan eksplorasi dan/ atau eksploitasi dasar samudra dalam telah semakin maju. Sejarah mencatat bahwa pada 6 Januari 1973, Indonesia telah menetapkan peraturan perundang-undangan untuk landas kontinennya, yaitu dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. Pengaturan di dalam Undang-Undang tersebut didasarkan kepada Conuention on the Continental Shelf 1958 (selanjutnya disebut Konvensi 1958). Pada Konvensi 1958, batas terluar Landas Kontinen ditetapkan dengan kriteria kedalaman dan kemampuan eksplorasi dan/ atau eksploitasi suatu negara pantai, sedangkan di dalam Konvensi pendefinisian Landas Kontinen secara hukum di seluruh dunia telah berubah, terutama terkait dengan penetapan batas terluar Landas Kontinen suatu negara pantai yang ditetapkan dengan metode jarak dan kelanjutan alamiah daratan negara pantai. Atas dasar hal tersebut, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia perlu diganti dengan undang-undang baru yang mengakomodasi perkembangan hukum dan kepentingan nasional. Pengaturan mengenai Landas Kontinen dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum mengenai ruang lingkup Landas Kontinen, kewenangan pengelolaan oleh negara, dan hak berdaulat lainnya. Pengelolaan Landas Kontinen dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan, keamanan, dan kelestarian lingkungan secara bersama-sama. Pendekatan kesejahteraan dilakukan agar dalam pengelolaan Landas Kontinen memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pendekatan keamanan dilakukan agar dalam pengelolaan Landas Kontinen menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melindungi segenap bangsa, sedangkan pendekatan kelestarian lingkungan dilakukan agar dalam pengelolaan Landas Kontinen harus memperhatikan aspek kelestarian lingkungan yang merupakan wujud dari pembangunan yang berkelanjutan. Hal-hal pokok yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah: 1. batas Landas Kontinen; 2. hak berdaulat dan kewenangan tertentu di Landas Kontinen; 3. kegiatan di Landas Kontinen; 4. pelindungan lingkungan laut di Landas Kontinen; 5. tanggung jawab dan ganti rugi; 6. pengawasan dan penegakan hukum; dan 7. ketentuan pidana. Setelah ditetapkan batas terluar Landas Kontinen, Pemerintah Indonesia wajib melakukan pengelolaan secara komprehensif terhadap seluruh wilayah yurisdiksi dimaksud, pengelolaan sumber daya Landas Kontinen yang berkelanjutan, dan memastikan lingkungan Landas Kontinen dapat terjaga dengan baik. Pemerintah Indonesia perlu terus mengembangkan berbagai teknologi dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia Indonesia untuk dapat mengelola Landas Kontinen.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "unilateral" adalah pernyataan secara sepihak dari Pemerintah lndonesia tanpa melibatkan persetujuan dari negara lain.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "tidak terdapat bukti yang bertentangan" adalah apabila penentuan kaki lereng dengan cara melihat perubahan maksimum di bagian tanjakan pada kaki lereng kontinen tidak dapat dilakukan maka diperlukan bukti lain yang meyakinkan, antara lain data gaya berat dan data magnetik.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan "bukit-bukit atau punggungan dasar laut" adalah perpanjangan elevasi dasar laut dengan bentuk topografi yang tidak teratur atau relatif mulus dan sisi yang menanjak.

Ayat (5)

Bagian alamiah Tepian Kontinen dapat berupa plato dasar laut, peninggian dasar laut, ujung tanjakan atau bukit dasar laut, tepian lereng dasar laut, dan punggungan yang menonjol di dasar laut.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Ayat (9)

Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "bersifat praktis" adalah membentuk sebuah kerja sama pengelolaan sumber daya yang ada di Landas Kontinen berdasarkan kesepakatan yang mempertimbangkan kepentingan nasional Indonesia dalam hal pemanfaatan sumber daya.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 8

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "peta laut Indonesia" adalah sebuah peta yang didesain khusus untuk memenuhi kepentingan navigasi pelayaran yang menggambarkan konfigurasi garis pantai, dasar laut, kedalaman air, bahaya navigasi, alat bantu navigasi, area lego jangkar, dan fitur lainnya yang terkait serta memiliki standar dan spesilikasi International Hgdrographic Organization yang dipublikasikan oleh lembaga hidrograli di Indonesia.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Huruf a Cukup jelas. Huruf b Eksplorasi dan/ atau eksploitasi Sumber Daya Alam termasuk kegiatan usaha pertambangan mineral dan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas.

Pasal 17

Ayat (1)

Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Aktivitas masyarakat sekitar seperti penangkapan ikan dan pelayaran di kawasan pesisir.

Ayat (2)

Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Aktivitas masyarakat sekitar seperti penangkapan ikan dan pelayaran di kawasan pesisir.

Ayat (3)

Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Aktivitas masyarakat sekitar seperti penangkapan ikan dan pelayaran di kawasan pesisir.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Huruf a Perjanjian pengalihan bahan (Material Transfer Agreement /MTA) disusun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf b Yang dimaksud dengan "laporan berkala" adalah laporan dalam kurun waktu tertentu yang ditentukan oleh pejabat yang berwenang. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Ayat (1)

Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "jenis sedenter" adalah organisme yang siap dipanen, baik yang tidak bergerak berada pada atau di bawah dasar laut, maupun yang bergerak kecuali jika berada dalam kontak fisik tetap dengan dasar laut atau tanah di bawahnya.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal27

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "pihak ketiga" adalah orang, badan hukum, atau lembaga lain selain pemegang izin Pulau Buatan, Instalasi, dan Bangunan Lainnya.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Penanggulangan dan pemulihan fungsi lingkungan laut di Landas Kontinen dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang meliputi undang-undang di bidang pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 terrtang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, dan peraturan pelaksanaannya.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Ayat (1)

Kapal asing merupakan kapal asing yang dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 95, dan Pasal 96 Konvensi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan "tindakan khusus" adalah tindakan yang meliputi peringatan, teguran, dan pelumpuhan.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6874