로고

Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sumber daya dan kekayaan alam yang tidak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki peran penting dan memenuhi hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara untuk menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan guna mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berkeadilan; b. bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan, yang penyelenggaraannya masih terkendala kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, perizinan, perlindungan terhadap masyarakat terdampak, data dan informasi pertambangan, pengawasan, dan sanksi, sehingga penyelenggaraan pertambangan mineral dan batubara kurang berjalan efektif dan belum dapat memberi nilai tambah yang optimal; c. bahwa pengaturan mengenai pertambangan mineral dan batubara yang saat ini diatur dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara masih belum dapat menjawab perkembangan, permasalahan, dan kebutuhan hukum dalam penyelenggaraan pertambangan mineral dan batubara, sehingga perlu dilakukan perubahan agar dapat menjadi dasar hukum yang efektif, efisien, dan komprehensif dalam penyelenggaraan pertambangan mineral dan batubara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 6, angka 17, angka 19, angka 20, angka 21, angka 31, angka 34, angka 36, dan angka 37 diubah, angka 8, angka 9, angka 12, dan angka 13 dihapus, di antara angka 6 dan angka 7 disisipkan 3 (tiga) angka, yakni angka 6a, angka 6b, dan angka 6c, di antara angka 13 dan angka 14 disisipkan 4 (empat) angka, yakni angka 13a, angka 13b, angka 13c, dan angka 13d, di antara angka 14 dan angka 15, disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 14a, di antara angka 20 dan angka 21 disisipkan 2 (dua) angka, yakni angka 20a dan angka 20b, di antara angka 23 dan angka 24, disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 23a, di antara angka 28 dan angka 29, disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 28a, dan di antara angka 35 dan angka 36 disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 35a, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. 2. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. 3. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan. 4. Pertambangan Mineral adalah Pertambangan kumpulan Mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah. 5. Pertambangan Batubara adalah Pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal. 6. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan Mineral atau Batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang. 6a. Kontrak Karya yang selanjutnya disebut KK adalah perjanjian antara pemerintah dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melakukan kegiatan Usaha Pertambangan Mineral. 6b. Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disebut PKP2B adalah perjanjian antara pemerintah dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melakukan kegiatan Usaha Pertambangan Batubara. 6c. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. 7. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan Usaha Pertambangan. 8. Dihapus. 9. Dihapus. 10. Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk melaksanakan Usaha Pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas. 11. Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut dengan IUPK, adalah izin untuk melaksanakan Usaha Pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus. 12. Dihapus. 13. Dihapus. 13a. Surat Izin Penambangan Batuan, yang selanjutnya disebut SIPB, adalah izin yang diberikan untuk melaksanakan kegiatan Usaha Pertambangan batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu. 13b. IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian adalah izin usaha yang diberikan sebagai perpanjangan setelah selesainya pelaksanaan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara. 13c. Izin Pengangkutan dan Penjualan adalah izin usaha yang diberikan kepada perusahaan untuk membeli, mengangkut, dan menjual komoditas tambang Mineral atau Batubara. 13d. Izin Usaha Jasa Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUJP, adalah izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha jasa pertambangan inti yang berkaitan dengan tahapan dan/atau bagian kegiatan Usaha Pertambangan. 14. Penyelidikan Umum adalah tahapan kegiatan Pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi. 14a. Penyelidikan dan Penelitian adalah kegiatan untuk mengetahui kondisi geologi umum, data indikasi, potensi sumber daya dan/atau cadangan Mineral dan/atau Batubara. 15. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan Usaha Pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup. 16. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan Usaha Pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan teknis Usaha Pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pascatambang. 17. Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan Usaha Pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan. 18. Konstruksi adalah kegiatan Usaha Pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan. 19. Penambangan adalah kegiatan untuk memproduksi Mineral dan/atau Batubara dan Mineral ikutannya. 20. Pengolahan adalah upaya meningkatkan mutu komoditas tambang Mineral untuk menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang tidak berubah dari sifat komoditas tambang asal untuk dilakukan pemurnian atau menjadi bahan baku industri. 20a. Pemurnian adalah upaya untuk meningkatkan mutu komoditas tambang Mineral melalui proses fisika maupun kimia serta proses peningkatan kemurnian lebih lanjut untuk menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang berbeda dari komoditas tambang asal sampai dengan produk logam sebagai bahan baku industri. 20b. Pengembangan dan/atau Pemanfaatan adalah upaya untuk meningkatkan mutu Batubara dengan atau tanpa mengubah sifat fisik atau kimia Batubara asal. 21. Pengangkutan adalah kegiatan Usaha Pertambangan untuk memindahkan Mineral dan/atau Batubara dari daerah tambang dan/atau tempat Pengolahan dan/atau Pemurnian sampai tempat penyerahan. 22. Penjualan adalah kegiatan Usaha Pertambangan untuk menjual hasil Pertambangan Mineral atau Batubara. 23. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang Pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 23a. Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah BUMN yang bergerak di bidang Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 24. Jasa Pertambangan adalah jasa penunjang yang berkaitan dengan kegiatan Usaha Pertambangan. 25. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang selanjutnya disebut amdal, adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 26. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan Usaha Pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. 27. Kegiatan Pascatambang, yang selanjutnya disebut Pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah sebagian atau seluruh kegiatan Usaha Pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah Penambangan. 28. Pemberdayaan Masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya. 28a. Wilayah Hukum Pertambangan adalah seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen. 29. Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi Mineral dan/atau Batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. 30. Wilayah Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WUP, adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi. 31. Wilayah Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WIUP, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP atau pemegang SIPB. 32. Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan Usaha Pertambangan rakyat. 33. Wilayah Pencadangan Negara, yang selanjutnya disebut WPN, adalah bagian dari WP yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional. 34. Wilayah Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut WUPK, adalah wilayah yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi yang dapat diusahakan untuk kepentingan strategis nasional. 35. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus dalam WUPK, yang selanjutnya disebut WIUPK, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUPK. 35a. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 36. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 37. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 38. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara. 2. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4

(1)

Mineral dan Batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.

(2)

Penguasaan Mineral dan Batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

(3)

Penguasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan. 3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5

(1)

Untuk kepentingan nasional, Pemerintah Pusat setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menetapkan kebijakan nasional pengutamaan Mineral dan/atau Batubara untuk kepentingan dalam negeri.

(2)

Untuk melaksanakan kepentingan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi, Penjualan, dan harga Mineral logam, Mineral bukan logam jenis tertentu, atau Batubara.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengutamaan Mineral dan/atau Batubara untuk kepentingan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penetapan jumlah produksi, Penjualan, serta harga Mineral logam, Mineral bukan logam jenis tertentu, atau Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat

(2)

diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan ayat (1) Pasal 6 diubah sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6

(1)

Pemerintah Pusat dalam pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara, berwenang: a. menetapkan rencana pengelolaan Mineral dan Batubara nasional; b. menetapkan kebijakan Mineral dan Batubara nasional; c. menetapkan peraturan perundang-undangan; d. menetapkan standar nasional, pedoman, dan kriteria; e. melakukan Penyelidikan dan Penelitian Pertambangan pada seluruh Wilayah Hukum Pertambangan; f. menetapkan WP setelah ditentukan oleh Pemerintah Daerah provinsi sesuai dengan kewenangannya dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; g. menetapkan WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara; h. menetapkan WIUP Mineral bukha. nmelnogetaampkdaann. . . WIUP batuan; i. menetapkan WIUPK; j. melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas; k. menerbitkan Perizinan Berusaha; l. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha; m. menetapkan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan, dan konservasi; n. menetapkan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan Pemberdayaan Masyarakat; o. melakukan pengelolaan dan penetapan penerimaan negara bukan pajak dari hasil Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara; p. melakukan pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya Mineral dan Batubara, serta informasi Pertambangan; q. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Reklamasi dan Pascatambang; r. melakukan penyusunan neraca sumber daya Mineral dan Batubara tingkat nasional; s. melakukan pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan Usaha Pertambangan; t. melakukan peningkatan kemampuan aparatur Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah provinsi dalam penyelenggaraan pengelolaan Usaha Pertambangan. u. menetapkan harga patokan Mineral logam, Mineral bukan logam jenis tertentu, Mineral radioaktif, dan Batubara; v. melakukan pengelolaan inspektur tambang; dan w. melakukan pengelolaan pejabat pengawas Pertambangan;

(2)

Kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(3)

Pemerintah Pusat menetapkan batasan nilai investasi atau jumlah persentase kepemilikan saham badan usaha penanaman modal asing yang bergerak di bidang Pertambangan. 5. Ketentuan Pasal 7 dihapus. 6. Ketentuan Pasal 8 dihapus. 7. Di antara BAB IV dan BAB V disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB IVA sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB IVA

RENCANA PENGELOLAAN MINERAL DAN BATUBARA 8. Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 8A dan Pasal 8B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8A

(1)

Menteri menetapkan rencana pengelolaan Mineral dan Batubara nasional secara sistematis, terpadu, terarah, menyeluruh, transparan, dan akuntabel.

(2)

Rencana pengelolaan Mineral dan Batubara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mempertimbangkan: a. daya dukung sumber daya alam dan lingkungan menurut data dan informasi geospasial dasar dan tematik; b. pelestarian lingkungan hidup; c. rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana zonasi; d. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; e. tingkat pertumbuhan ekonomi; f. prioritas pemberian komoditas tambang; g. jumlah dan luas WP; h. ketersediaan lahan Pertambangan; i. jumlah sumber daya dan/atau cadangan Mineral atau Batubara; dan j. ketersediaan sarana dan prasarana.

(3)

Rencana pengelolaan Mineral dan Batubara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disesuaikan dengan: a. rencana pembangunan nasional; dan b. rencana pembangunan daerah.

(4)

Rencana pengelolaan Mineral dan Batubara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pengelolaan Mineral dan Batubara.

Pasal 8B

(1)

Rencana pengelolaan Mineral dan Batubara nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8A paling sedikit memuat strategi dan kebijakan di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.

(2)

Rencana pengelolaan Mineral dan Batubara nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8A wajib diintegrasikan dengan rencana pembangunan jangka panjang dan rencana pembangunan jangka menengah nasional.

(3)

Rencana pengelolaan Mineral dan Batubara nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8A ditetapkan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. 9. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9

(1)

WP sebagai bagian dari Wilayah Hukum Pertambangan merupakan landasan bagi penetapan kegiatan Usaha Pertambangan.

(2)

WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat setelah ditentukan oleh Pemerintah Daerah provinsi sesuai dengan kewenangannya dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 10. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10

(1)

Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) terdiri atas: a. WUP; b. WPR; c. WPN; dan d. WUPK.

(2)

Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilaksanakan: a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab; b. secara terpadu dengan mengacu pada pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat terdampak, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, hak asasi manusia, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan c. dengan memperhatikan aspirasi daerah. 11. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11

Menteri melakukan Penyelidikan dan Penelitian dalam rangka penyiapan WP. 12. Ketentuan Pasal 13 dihapus. 13. Ketentuan Pasal 14 dihapus. 14. Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 14A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14A

Wilayah dalam WP yang dapat ditentukan sebagai WUP harus memenuhi kriteria: a. memiliki sebaran formasi batuan pembawa, data indikasi, data sumber daya, dan/atau data cadangan Mineral dan/atau Batubara; b. memiliki 1 (satu) atau lebih jenis Mineral termasuk Mineral ikutannya dan/atau Batubara; c. tidak tumpang tindih dengan WPR, WPN, dan/atau WUPK; d. merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan Pertambangan secara berkelanjutan; e. merupakan eks wilayah IUP yang telah berakhir atau dicabut; dan/atau f. merupakan wilayah hasil penciutan atau pengembalian wilayah IUP. 15. Ketentuan Pasal 15 dihapus. 16. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17

(1)

Luas dan batas WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara ditetapkan oleh Menteri setelah ditentukan oleh gubernur.

(2)

Luas dan batas WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara yang berada pada wilayah laut ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan instansi terkait.

(3)

Penetapan luas dan batas WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat

(1)

dan ayat (2), harus memenuhi kriteria: a. terdapat data sumber daya Mineral logam atau Batubara; dan/atau b. terdapat data cadangan Mineral logam atau Batubara.

(4)

Selain kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat

(3)

Menteri menetapkan WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara berdasarkan pertimbangan: a. ketahanan cadangan; b. kemampuan produksi nasional; dan/atau c. pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

(5)

Dalam hal WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara telah ditetapkan oleh Menteri, pemanfaatan potensi sumber daya alam yang terdapat di dalamnya diprioritaskan untuk kegiatan Usaha Pertambangan. 17. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 17A dan Pasal 17B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17A

(1)

Penetapan WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dilakukan setelah memenuhi kriteria pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan Usaha Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(2)

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara yang telah ditetapkan.

(3)

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin penerbitan perizinan lain yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan pada WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara yang telah ditetapkan sepanjang telah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 17B

(1)

Menteri dapat memberikan penugasan kepada lembaga riset negara, BUMN, badan usaha milik daerah, atau Badan Usaha untuk melakukan Penyelidikan dan Penelitian dalam rangka penyiapan WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara.

(2)

Luas dan batas wilayah penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

(3)

BUMN, badan usaha milik daerah, atau Badan Usaha yang mendapatkan penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan wilayah penugasannya ditetapkan sebagai WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara, mendapatkan hak menyamai penawaran dalam lelang WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara.

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penugasan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 18. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18

(1)

Penetapan luas dan batas WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 harus mempertimbangkan: a. rencana pengelolaan Mineral dan Batubara nasional; b. ketersediaan data sumber daya dan/atau cadangan Mineral atau Batubara; dan c. status kawasan.

(2)

Data sumber daya dan/atau cadangan Mineral atau Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berasal dari: a. hasil kegiatan Penyelidikan dan Penelitian yang dilakukan oleh Menteri; b. hasil evaluasi terhadap WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara yang dikembalikan atau diciutkan oleh pemegang IUP; dan/atau c. hasil evaluasi terhadap WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara yang IUP berakhir atau dicabut. 19. Ketentuan Pasal 21 dihapus. 20. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22

Wilayah dalam WP yang dapat ditentukan sebagai WPR harus memenuhi kriteria: a. mempunyai cadangan Mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai; b. mempunyai cadangan primer Mineral logam dengan kedalaman maksimal 100 (seratus) meter; c. endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba; d. luas maksimal WPR adalah 100 (seratus) hektare; e. menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang; dan/atau f. memenuhi kriteria pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan Usaha Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 21. Di antara Pasal 22 dan Pasal 23 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 22A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22A

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WPR yang telah ditetapkan. 22. Ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) dihapus, ayat

(2)

dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27

(1)

Dihapus.

(2)

WPN dapat diusahakan sebagian atau seluruh luas wilayahnya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

(3)

Dihapus.

(4)

WPN yang diusahakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berubah statusnya menjadi WUPK. 23. Di antara Pasal 27 dan Pasal 28 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 27A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27A

Wilayah dalam WP yang dapat ditetapkan sebagai WPN harus memenuhi kriteria: a. memiliki formasi batuan pembawa Mineral logam dan/atau Batubara berdasarkan peta atau data geologi; b. memiliki sumber daya dan/atau cadangan Mineral logam dan/atau Batubara; c. untuk keperluan konservasi Mineral logam dan/atau Batubara; dan/atau d. untuk keperluan konservasi dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan. 24. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28

(1)

Perubahan status WPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dan ayat (4) menjadi WUPK dapat dilakukan dengan mempertimbangkan: a. pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri; b. sumber devisa negara; c. potensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi; d. perubahan status kawasan; dan/atau e. penggunaan teknologi tinggi dan modal investasi yang besar.

(2)

Wilayah yang dapat ditetapkan menjadi WUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari: a. eks WIUP yang berdasarkan evaluasi Menteri perlu ditetapkan menjadi WUPK; atau b. eks WIUPK, wilayah KK, atau PKP2B yang berdasarkan evaluasi Menteri perlu ditetapkan kembali menjadi WUPK. 25. Di antara Pasal 31 dan Pasal 32 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 31A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31A

(1)

Penetapan WIUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilakukan setelah memenuhi kriteria: a. pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan Usaha Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. ketahanan cadangan; c. kemampuan produksi nasional; dan/atau d. pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

(2)

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUPK yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin penerbitan perizinan lain yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan pada WIUPK yang telah ditetapkan sepanjang telah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 26. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35

(1)

Usaha Pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

(2)

Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pemberian: a. nomor induk berusaha; b. sertifikat standar; dan/atau c. izin.

(3)

Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri atas: a. IUP; b. IUPK; c. IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian; d. IPR; e. SIPB; f. izin penugasan; g. Izin Pengangkutan dan Penjualan; h. IUJP; dan i. IUP untuk Penjualan.

(4)

Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pemerintah Daerah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 27. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36

(1)

IUP terdiri atas dua tahap kegiatan: a. Eksplorasi yang meliputi kegiatan Penyelidikan Umum, Eksplorasi, dan Studi Kelayakan; dan b. Operasi Produksi yang meliputi kegiatan Konstruksi, Penambangan, Pengolahan dan/atau Pemurnian atau Pengembangan dan/atau Pemanfaatan, serta Pengangkutan dan Penjualan.

(2)

Pemegang IUP dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan Usaha Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 28. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 36A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36A

Dalam rangka konservasi Mineral dan Batubara, pemegang IUP atau IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi wajib melakukan kegiatan Eksplorasi lanjutan setiap tahun dan menyediakan anggaran. 29. Ketentuan Pasal 37 dihapus. 30. Ketentuan huruf c Pasal 38 diubah sehingga Pasal 38 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38

IUP diberikan kepada: a. Badan Usaha; b. koperasi; atau c. perusahaan perseorangan. 31. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39

IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) paling sedikit memuat: a. profil perusahaan; b. lokasi dan luas wilayah; c. jenis komoditas yang diusahakan; d. kewajiban menempatkan jaminan kesungguhan Eksplorasi; e. modal kerja; f. jangka waktu berlakunya IUP; g. hak dan kewajiban pemegang IUP; h. perpanjangan IUP; i. kewajiban penyelesaian hak atas tanah; j. kewajiban membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah, termasuk kewajiban iuran tetap dan iuran produksi; k. kewajiban melaksanakan Reklamasi dan Pascatambang; l. kewajiban menyusun dokumen lingkungan; dan m. kewajiban melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar WIUP. 32. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40

(1)

IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat

(1)

diberikan untuk 1 (satu) jenis Mineral atau Batubara.

(2)

Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat

(1)

dapat memiliki lebih dari 1 (satu) IUP dan/atau IUPK.

(3)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya berlaku bagi: a. IUP dan/atau IUPK yang dimiliki oleh BUMN; atau b. IUP untuk komoditas Mineral bukan logam dan/atau batuan.

(4)

Pemegang IUP yang menemukan komoditas tambang lain di dalam WIUP yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya.

(5)

Pemegang IUP yang bermaksud mengusahakan komoditas tambang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4), harus mengajukan permohonan IUP baru kepada Menteri.

(6)

Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat

(4)

dapat menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan komoditas tambang lain yang ditemukan tersebut.

(7)

IUP untuk komoditas tambang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat diberikan kepada pihak lain oleh Menteri.

(8)

Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria kepemilikan lebih dari 1 (satu) IUP dan pemberian prioritas pengusahaan komoditas tambang lain diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 33. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga Pasal 42 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42

Jangka waktu kegiatan Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a diberikan selama: a. 8 (delapan) tahun untuk Pertambangan Mineral logam; b. 3 (tiga) tahun untuk Pertambangan Mineral bukan logam; c. 7 (tujuh) tahun untuk Pertambangan Mineral bukan logam jenis tertentu; d. 3 (tiga) tahun untuk Pertambangan batuan; atau e. 7 (tujuh) tahun untuk Pertambangan Batubara. 34. Di antara Pasal 42 dan Pasal 43 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 42A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42A

(1)

Jangka waktu kegiatan Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a dan huruf e dapat diberikan perpanjangan selama 1 (satu) tahun setiap kali perpanjangan setelah memenuhi persyaratan.

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian perpanjangan jangka waktu kegiatan Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 35. Ketentuan Pasal 43 dihapus. 36. Ketentuan Pasal 44 dihapus. 37. Ketentuan Pasal 45 dihapus. 38. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga Pasal 46 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 46

(1)

Pemegang IUP yang telah menyelesaikan kegiatan Eksplorasi dijamin untuk dapat melakukan kegiatan Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya.

(2)

Pemegang IUP sebelum melakukan kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1)

wajib memenuhi persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan untuk melakukan kegiatan Operasi Produksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 39. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 47

Jangka waktu kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b diberikan dengan ketentuan: a. untuk Pertambangan Mineral logam paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. b. untuk Pertambangan Mineral bukan logam paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. c. untuk Pertambangan Mineral bukan logam jenis tertentu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. d. untuk Pertambangan batuan paling lama 5 (lima) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. e. untuk Pertambangan Batubara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. f. untuk Pertambangan Mineral logam yang terintegrasi dengan fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian selama 30 (tiga puluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan selama 10 (sepuluh) tahun setiap kali perpanjangan setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. g. untuk Pertambangan Batubara yang terintegrasi dengan kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan selama 30 (tiga puluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan selama 10 (sepuluh) tahun setiap kali perpanjangan setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 40. Ketentuan Pasal 48 dihapus. 41. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 51

(1)

WIUP Mineral logam diberikan kepada Badan Usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan dengan cara lelang.

(2)

Lelang WIUP Mineral logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan: a. luas WIUP Mineral logam yang akan dilelang; b. kemampuan administratif/manajemen; c. kemampuan teknis dan pengelolaan lingkungan; dan d. kemampuan finansial.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai lelang WIUP Mineral logam diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 42. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 52

(1)

Pemegang IUP pada tahap kegiatan Eksplorasi Mineral logam diberi WIUP paling luas 100.000 (seratus ribu) hektare.

(2)

Pada wilayah yang telah diberikan IUP Mineral logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan komoditas tambang lain yang keterdapatannya berbeda.

(3)

Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat

(2)

dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari pemegang IUP pertama.

(4)

Dalam hal tidak terdapat pihak lain untuk mengusahakan komoditas tambang lain yang keterdapatannya berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki IUP untuk mengusahakan komoditas tambang lain yang keterdapatannya berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (2). 43. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 54

WIUP Mineral bukan logam diberikan kepada Badan Usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan dengan cara permohonan wilayah kepada Menteri. 44. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 55

(1)

Pemegang IUP pada tahap kegiatan Eksplorasi Mineral bukan logam diberi WIUP paling luas 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.

(2)

Pada wilayah yang telah diberikan IUP Mineral bukan logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan komoditas Mineral bukan logam lain atau batuan yang keterdapatannya berbeda.

(3)

Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat

(2)

dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari pemegang IUP pertama.

(4)

Dalam hal tidak terdapat pihak lain untuk mengusahakan Mineral bukan logam lain atau batuan yang keterdapatannya berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki IUP untuk mengusahakan Mineral bukan logam lain atau batuan yang keterdapatannya berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (2). 45. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 57

WIUP batuan diberikan kepada Badan Usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan dengan cara permohonan wilayah kepada Menteri. 46. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 58

(1)

Pemegang IUP pada tahap kegiatan Eksplorasi batuan diberi WIUP paling luas 5.000 (lima ribu) hektare.

(2)

Pada wilayah yang telah diberikan IUP batuan dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan komoditas tambang Mineral bukan logam atau batuan lain yang keterdapatannya berbeda.

(3)

Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat

(2)

dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari pemegang IUP pertama.

(4)

Dalam hal tidak terdapat pihak lain untuk mengusahakan Mineral bukan logam atau batuan lain yang keterdapatannya berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki IUP untuk mengusahakan Mineral bukan logam atau batuan lain yang keterdapatannya berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (2). 47. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 60

(1)

WIUP Batubara diberikan kepada Badan Usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan dengan cara lelang.

(2)

Lelang WIUP Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan: a. luas WIUP Batubara yang akan dilelang; b. kemampuan administratif/manajemen; c. kemampuan teknis dan pengelolaan lingkungan; dan d. kemampuan finansial.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai lelang WIUP Batubara diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 48. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 61

(1)

Pemegang IUP pada tahap kegiatan Eksplorasi Batubara diberi WIUP paling luas 50.000 (lima puluh ribu) hektare.

(2)

Pada wilayah yang telah diberikan IUP Batubara dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan komoditas tambang lain yang keterdapatannya berbeda.

(3)

Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat

(2)

dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari pemegang IUP pertama.

(4)

Dalam hal tidak terdapat pihak lain untuk mengusahakan komoditas tambang lain yang keterdapatannya berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki IUP untuk mengusahakan komoditas tambang lain yang keterdapatannya berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (2). 49. Di antara Pasal 62 dan Pasal 63 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 62A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 62A

(1)

Dalam rangka konservasi Mineral dan Batubara, Pemegang IUP untuk tahap kegiatan Operasi Produksi Mineral logam atau Batubara dapat mengajukan permohonan persetujuan perluasan WIUP kepada Menteri.

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 50. Ketentuan ayat (1) Pasal 65 diubah sehingga Pasal 65 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 65

(1)

Badan Usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Pasal 54, Pasal 57, dan Pasal 60 yang melakukan Usaha Pertambangan wajib memenuhi persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial.

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 51. Ketentuan huruf d Pasal 66 dihapus sehingga Pasal 66 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 66

Kegiatan Pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikelompokkan sebagai berikut: a. Pertambangan Mineral logam; b. Pertambangan Mineral bukan logam; atau c. Pertambangan batuan. 52. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 67

(1)

IPR diberikan oleh Menteri kepada: a. orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat; atau b. koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat.

(2)

Untuk memperoleh IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon harus menyampaikan permohonan kepada Menteri. 53. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 68

(1)

Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan kepada: a. orang perseorangan paling luas 5 (lima) hektare; atau b. koperasi paling luas 10 (sepuluh) hektare.

(2)

IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun. 54. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 70

Pemegang IPR wajib: a. melakukan kegiatan Penambangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah IPR diterbitkan; b. mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan Pertambangan, pengelolaan lingkungan, dan memenuhi standar yang berlaku; c. mengelola lingkungan hidup bersama Menteri; d. membayar iuran Pertambangan rakyat; dan e. menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan rakyat secara berkala kepada Menteri. 55. Di antara Pasal 70 dan Pasal 71 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 70A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 70A

Pemegang IPR dilarang memindahtangankan IPR kepada pihak lain. 56. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 72

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan syarat pemberian IPR diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 57. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 73

(1)

Menteri melaksanakan pembinaan di bidang pengusahaan, teknologi Pertambangan, serta permodalan dan pemasaran dalam usaha meningkatkan kemampuan IPR.

(2)

Menteri bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kaidah teknis pada IPR yang meliputi: a. keselamatan Pertambangan; dan b. pengelolaan lingkungan hidup termasuk Reklamasi dan Pascatambang. 58. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 75

(1)

Pemberian IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) dilakukan berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.

(2)

IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada BUMN, badan usaha milik daerah, atau Badan Usaha swasta.

(3)

BUMN dan badan usaha milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK.

(4)

Badan Usaha swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK.

(5)

Lelang WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat

(4)

dilakukan oleh Menteri dan dilaksanakan dengan mempertimbangkan: a. luas WIUPK yang akan dilelang; b. kemampuan administratif/manajemen; c. kemampuan teknis dan pengelolaan lingkungan; dan d. kemampuan finansial.

(6)

Ketentuan lebih lanjut mengenai lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 59. Ketentuan Pasal 81 dihapus. 60. Ketentuan Pasal 82 dihapus. 61. Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 83

Persyaratan luas wilayah dan jangka waktu sesuai dengan kelompok Usaha Pertambangan yang berlaku bagi pemegang IUPK meliputi: a. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan Eksplorasi Pertambangan Mineral logam diberikan paling luas 100.000 (seratus ribu) hektare; b. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan Eksplorasi Pertambangan Batubara diberikan paling luas 50.000 (lima puluh ribu) hektare; c. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan Operasi Produksi Pertambangan Mineral logam atau Batubara diberikan berdasarkan hasil evaluasi Menteri terhadap rencana pengembangan seluruh wilayah yang diusulkan oleh pemegang IUPK; d. jangka waktu kegiatan Eksplorasi Pertambangan Mineral logam dapat diberikan selama 8 (delapan) tahun; e. jangka waktu kegiatan Eksplorasi Pertambangan Batubara dapat diberikan selama 7 (tujuh) tahun; f. jangka waktu kegiatan Operasi Produksi Mineral logam atau Batubara dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; g. jangka waktu kegiatan Operasi Produksi Mineral logam yang terintegrasi dengan fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian diberikan jangka waktu selama 30 (tiga puluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan selama 10 (sepuluh) tahun setiap kali perpanjangan setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan h. jangka waktu kegiatan Operasi Produksi Batubara yang terintegrasi dengan kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara diberikan jangka waktu selama 30 (tiga puluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan selama 10 (sepuluh) tahun setiap kali perpanjangan setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 62. Di antara Pasal 83 dan Pasal 84 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 83A dan Pasal 83B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 83A

(1)

Jangka waktu kegiatan Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf d dan huruf e dapat diberikan perpanjangan selama 1 (satu) tahun setiap kali perpanjangan setelah memenuhi persyaratan.

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian perpanjangan jangka waktu kegiatan Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 83B

(1)

Dalam rangka konservasi Mineral dan Batubara, Pemegang IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi Mineral logam atau Batubara dapat mengajukan permohonan persetujuan perluasan WIUPK kepada Menteri.

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 63. Di antara BAB XI dan BAB XII disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB XIA sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB XIA

SURAT IZIN PENAMBANGAN BATUAN 64. Di antara Pasal 86 dan Pasal 87 disisipkan 8 (delapan) pasal, yakni Pasal 86A, Pasal 86B, Pasal 86C, Pasal 86D, Pasal 86E, Pasal 86F, Pasal 86G, dan Pasal 86H sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 86A

(1)

SIPB diberikan untuk pengusahaan pertambangan batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu.

(2)

SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterbitkan kepada: a. badan usaha milik daerah/badan usaha milik desa; b. Badan Usaha swasta dalam rangka penanaman modal dalam negeri; c. koperasi; atau d. perusahaan perseorangan.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

(4)

SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri berdasarkan permohonan dari badan usaha milik daerah/badan usaha milik desa, Badan Usaha swasta dalam rangka penanaman modal dalam negeri, koperasi, atau perusahaan perseorangan, yang telah memenuhi persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial.

(5)

Selain persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (4), permohonan SIPB harus dilengkapi dengan koordinat dan luas wilayah batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu yang dimohon.

(6)

SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tahap kegiatan perencanaan, Penambangan, Pengolahan, serta Pengangkutan dan Penjualan.

(7)

Pemegang SIPB dapat langsung melakukan Penambangan setelah memiliki dokumen perencanaan Penambangan.

(8)

Dokumen perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terdiri atas: a. dokumen teknis yang memuat paling sedikit informasi cadangan dan rencana Penambangan; dan b. dokumen lingkungan hidup.

Pasal 86B

SIPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86A harus memuat paling sedikit: a. nama pemegang SIPB; b. nomor pokok wajib pajak; c. lokasi dan luas wilayah; d. modal kerja; e. jenis komoditas tambang; f. jangka waktu berlakunya SIPB; dan g. hak dan kewajiban pemegang SIPB.

Pasal 86C

Pemegang SIPB dapat diberikan wilayah paling luas 50 (lima puluh) hektare.

Pasal 86D

SIPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86A tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam pemberian SIPB.

Pasal 86E Pemegang SIPB berhak:

a. mendapat pembinaan di bidang keselamatan Pertambangan, lingkungan, teknis Pertambangan, dan manajemen dari Menteri; b. memiliki batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu yang telah diproduksi setelah membayar pajak daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c. melakukan Usaha Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 86F Pemegang SIPB wajib:

a. menerapkan kaidah Pertambangan yang baik; b. menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan c. menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan SIPB kepada Menteri.

Pasal 86G Pemegang SIPB dilarang:

a. memindahtangankan SIPB kepada pihak lain; atau b. menggunakan bahan peledak dalam pelaksanaan kegiatan Penambangan;

Pasal 86H

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian SIPB diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 65. Di antara Pasal 87 dan Pasal 88 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 87A, Pasal 87B, Pasal 87C, dan Pasal 87D sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 87A

Menteri wajib menyediakan data dan informasi Pertambangan untuk: a. menunjang penyiapan WP; b. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan c. melakukan alih teknologi Pertambangan.

Pasal 87B

(1)

Penyediaan data dan informasi Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87A dilakukan oleh pusat data dan informasi Pertambangan yang dikelola oleh Menteri.

(2)

Pusat data dan informasi Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengelola informasi paling sedikit tentang: a. peta informasi geospasial dasar dan tematik; b. peta WP; c. jumlah pemegang IUP, IUPK, IPR, dan SIPB; d. potensi sumber daya; e. sebaran potensi; f. jumlah investasi; g. informasi peruntukan dan tata ruang wilayah; h. volume produksi; i. Reklamasi dan Pascatambang; j. data geologi; k. sarana dan prasarana Usaha Pertambangan; l. peluang dan tantangan investasi; dan m. pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan pendampingan.

Pasal 87C

Hasil Penyelidikan dan Penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 wajib disampaikan kepada Menteri.

Pasal 87D

(1)

Pusat data dan informasi Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87B ayat (1) wajib menyajikan informasi Pertambangan secara akurat, mutakhir, dan dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh pemegang Perizinan Berusaha dan masyarakat.

(2)

Jenis data dan informasi Pertambangan yang dapat diakses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keterbukaan informasi publik. 66. Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 89

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penugasan Penyelidikan dan Penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87A, pengelolaan data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87B, jenis data yang dapat diakses atau tidak dapat diakses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87D ayat (2), dan pengelolaan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 67. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 91

(1)

Pemegang IUP dan IUPK wajib menggunakan jalan Pertambangan dalam pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan.

(2)

Jalan Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibangun sendiri oleh pemegang IUP dan IUPK atau bekerjasama dengan: a. pemegang IUP atau IUPK lain yang membangun jalan Pertambangan; atau b. pihak lain yang memiliki jalan yang dapat diperuntukkan sebagai jalan Pertambangan, setelah memenuhi aspek keselamatan Pertambangan.

(3)

Dalam hal jalan Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak tersedia, pemegang IUP dan IUPK dapat memanfaatkan sarana dan prasarana umum termasuk jalan umum untuk keperluan Pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan.

(4)

Pemegang IUP dan IUPK dapat memberikan akses kepada masyarakat untuk menggunakan jalan Pertambangan setelah mendapat persetujuan dari penanggung jawab aspek keselamatan Pertambangan pada IUP dan IUPK.

(5)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewajiban penggunaan jalan Pertambangan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 68. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 92

Pemegang IUP dan IUPK berhak memiliki Mineral, termasuk Mineral ikutannya, atau Batubara yang telah diproduksi setelah memenuhi iuran produksi, kecuali Mineral ikutan radioaktif. 69. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 93

(1)

Pemegang IUP dan IUPK dilarang memindahtangankan IUP dan IUPK kepada pihak lain tanpa persetujuan Menteri.

(2)

Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan setelah Pemegang IUP dan IUPK memenuhi persyaratan paling sedikit: a. telah selesai melakukan kegiatan Eksplorasi yang dibuktikan dengan ketersediaan data sumber daya dan cadangan; dan b. memenuhi persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial. 70. Di antara Pasal 93 dan Pasal 94 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 93A, Pasal 93B, dan Pasal 93C sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 93A

(1)

Badan Usaha pemegang IUP atau IUPK dilarang mengalihkan kepemilikan saham tanpa persetujuan Menteri.

(2)

Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan setelah memenuhi persyaratan paling sedikit: a. telah selesai melakukan kegiatan Eksplorasi yang dibuktikan dengan ketersediaan data sumber daya dan cadangan; dan b. memenuhi persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial.

Pasal 93B

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemindahtanganan IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 serta pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93A diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 93C

Pemegang IUP atau IUPK dilarang menjaminkan IUP atau IUPK, termasuk komoditas tambangnya, kepada pihak lain. 71. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga Pasal 96 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 96

Dalam penerapan kaidah teknik Pertambangan yang baik, pemegang IUP atau IUPK wajib melaksanakan: a. ketentuan keselamatan Pertambangan; b. pengelolaan dan pemantauan lingkungan Pertambangan, termasuk kegiatan Reklamasi dan/atau Pascatambang; c. upaya konservasi Mineral dan Batubara; dan d. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan Usaha Pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan. 72. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 99

(1)

Pemegang IUP atau IUPK wajib menyusun dan menyerahkan rencana Reklamasi dan/atau rencana Pascatambang.

(2)

Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan Pascatambang.

(3)

Dalam pelaksanaan Reklamasi yang dilakukan sepanjang tahapan Usaha Pertambangan, pemegang IUP atau IUPK wajib: a. memenuhi keseimbangan antara lahan yang akan dibuka dan lahan yang sudah direklamasi; dan b. melakukan pengelolaan lubang bekas tambang akhir dengan batas paling luas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4)

Pemegang IUP atau IUPK wajib menyerahkan lahan yang telah dilakukan Reklamasi dan/atau Pascatambang kepada pihak yang berhak melalui Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 73. Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 100

(1)

Pemegang IUP atau IUPK wajib menyediakan dan menempatkan dana jaminan Reklamasi dan/atau dana jaminan Pascatambang.

(2)

Menteri dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan Reklamasi dan/atau Pascatambang dengan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan apabila pemegang IUP atau IUPK tidak melaksanakan Reklamasi dan/atau Pascatambang sesuai dengan rencana yang telah disetujui. 74. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 101

Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pengelolaan dan pemantauan lingkungan Pertambangan termasuk kegiatan Reklamasi dan/atau Pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf b, penyusunan dan penyerahan rencana Reklamasi dan/atau rencana Pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, dan dana jaminan Reklamasi dan/atau dana jaminan Pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 75. Di antara Pasal 101 dan Pasal 102 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 101A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 101A

Pemegang IUP atau IUPK wajib memenuhi ketentuan penetapan jumlah produksi dan penjualan nasional. 76. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 102

(1)

Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi wajib meningkatkan nilai tambah Mineral dalam kegiatan Usaha Pertambangan melalui: a. Pengolahan dan Pemurnian untuk komoditas tambang Mineral logam; b. Pengolahan untuk komoditas tambang Mineral bukan logam; dan/atau c. Pengolahan untuk komoditas tambang batuan.

(2)

Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi dapat melakukan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara.

(3)

Peningkatan nilai tambah Mineral melalui kegiatan Pengolahan dan/atau Pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi batasan minimum Pengolahan dan/atau Pemurnian, dengan mempertimbangkan antara lain: a. peningkatan nilai ekonomi; dan/atau b. kebutuhan pasar.

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai batasan minimum Pengolahan dan/atau Pemurnian diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 77. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 103

(1)

Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi Mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 wajib melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian Mineral hasil Penambangan di dalam negeri.

(2)

Dalam hal pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi telah melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah menjamin keberlangsungan pemanfaatan hasil Pengolahan dan/atau Pemurnian. 78. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 104

(1)

Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 dapat melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian sendiri secara terintegrasi atau bekerja sama dengan: a. pemegang IUP atau IUPK lain pada tahap kegiatan Operasi Produksi yang memiliki fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian secara terintegrasi; atau b. pihak lain yang melakukan kegiatan usaha Pengolahan dan/atau Pemurnian yang tidak terintegrasi dengan kegiatan Penambangan yang perizinannya diterbitkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian.

(2)

Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 dapat melakukan kerjasama Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara dengan pemegang IUP atau IUPK lain pada tahap kegiatan Operasi Produksi, atau pihak lain yang melakukan kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara. 79. Di antara Pasal 104 dan Pasal 105 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 104A dan Pasal 104B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 104A

(1)

Dalam rangka Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara, Pemerintah dapat memberikan penugasan kepada lembaga riset negara, lembaga riset daerah, BUMN, badan usaha milik daerah, atau Badan Usaha swasta untuk melakukan Penyelidikan dan Penelitian dan/atau kegiatan pengembangan proyek pada wilayah penugasan.

(2)

BUMN, badan usaha milik daerah, atau Badan Usaha swasta yang telah melakukan Penyelidikan dan Penelitian dan/atau kegiatan dalam rangka pengembangan proyek pada wilayah penugasan mendapatkan hak menyamai penawaran dalam lelang WIUP atau WIUPK Batubara.

Pasal 104B

Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, Pengolahan dan/atau Pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 dan Pasal 104, dan tata cara pemberian penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104A, diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 80. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 105

(1)

Badan usaha yang tidak bergerak pada Usaha Pertambangan yang akan menjual Mineral dan/atau Batubara yang tergali wajib memiliki IUP untuk Penjualan.

(2)

IUP untuk Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri untuk 1 (satu) kali Penjualan.

(3)

Penjualan Mineral dan/atau Batubara yang tergali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai iuran produksi atau pajak daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4)

Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat

(1)

wajib menyampaikan laporan hasil Penjualan Mineral dan/atau Batubara yang tergali kepada Menteri. 81. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 106

Pemegang IUP dan IUPK wajib mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang, dan jasa dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 82. Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 108

(1)

Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.

(2)

Pemegang IUP dan IUPK wajib mengalokasikan dana untuk pelaksanaan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat yang besaran minimumnya ditetapkan oleh Menteri.

(3)

Penyusunan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikonsultasikan kepada Menteri, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. 83. Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 112

(1)

Badan Usaha pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham sebesar 51% (lima puluh satu persen) secara berjenjang kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, badan usaha milik daerah, dan/atau Badan Usaha swasta nasional.

(2)

Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui Menteri dapat secara bersama- sama dengan Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, BUMN, dan/atau badan usaha milik daerah mengkoordinasikan penentuan skema divestasi dan komposisi besaran saham divestasi yang akan dibeli.

(3)

Dalam hal pelaksanaan divestasi saham secara berjenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dapat terlaksana, penawaran divestasi saham dilakukan melalui bursa saham Indonesia.

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan dan jangka waktu divestasi saham diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 84. Di antara Pasal 112 dan Pasal 113 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 112A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 112A

(1)

Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi wajib menyediakan dana ketahanan cadangan Mineral dan Batubara.

(2)

Dana ketahanan cadangan Mineral dan Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk kegiatan penemuan cadangan baru.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai dana ketahanan cadangan Mineral dan Batubara diatur dengan Peraturan Pemerintah. 85. Ketentuan Pasal 113 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 113

(1)

Suspensi kegiatan Usaha Pertambangan dapat diberikan kepada pemegang IUP dan IUPK jika terjadi: a. keadaan kahar; b. keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan Usaha Pertambangan; dan/atau c. kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan Operasi Produksi sumber daya Mineral dan/atau Batubara yang dilakukan di wilayahnya.

(2)

Suspensi kegiatan Usaha Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi masa berlaku IUP atau IUPK.

(3)

Permohonan suspensi kegiatan Usaha Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1)

huruf a dan huruf b disampaikan kepada Menteri.

(4)

Menteri wajib mengeluarkan keputusan tertulis tentang persetujuan atau penolakan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai dengan alasannya paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan. 86. Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 114

(1)

Jangka waktu suspensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. diberikan paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diberikan perpanjangan paling lama 1 (satu) tahun untuk setiap kali perpanjangan untuk keadaan kahar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf a dan/atau keadaan yang menghalangi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf b; dan b. diberikan paling lama 2 (dua) tahun untuk kondisi daya dukung lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf c.

(2)

Apabila dalam jangka waktu suspensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemegang IUP atau IUPK sudah siap melakukan kegiatan operasinya, kegiatan dimaksud wajib dilaporkan kepada Menteri.

(3)

Apabila sampai dengan jangka waktu suspensi berakhir karena kondisi daya dukung lingkungan pemegang IUP atau IUPK belum dapat melakukan kegiatan operasinya, pemegang IUP atau IUPK wajib mengembalikan IUP atau IUPK kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) bulan sejak berakhirnya jangka waktu suspensi.

(4)

Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak berakhirnya jangka waktu suspensi, pemegang IUP atau IUPK tidak mengembalikan IUP atau IUPK, Menteri dapat mencabut IUP atau IUPK.

(5)

Menteri mencabut keputusan suspensi setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). 87. Ketentuan Pasal 118 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 118

(1)

Pemegang IUP atau IUPK dapat mengembalikan IUP atau IUPK dengan pernyataan tertulis kepada Menteri disertai dengan alasan yang jelas.

(2)

Pengembalian IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah pemegang IUP atau IUPK memenuhi kewajibannya dan disetujui oleh Menteri. 88. Ketentuan Pasal 119 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 119

IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri jika: a. pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta ketentuan peraturan perundang-undangan; b. pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini; atau c. pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit. 89. Ketentuan Pasal 121 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 121

(1)

Dalam hal IUP atau IUPK berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, dan Pasal 120, eks pemegang IUP atau IUPK wajib memenuhi dan menyelesaikan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(2)

Pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi dan menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendapat surat keterangan dari Menteri. 90. Ketentuan Pasal 122 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 122

(1)

IUP atau IUPK yang telah berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (1) dikembalikan kepada Menteri.

(2)

WIUP atau WIUPK yang IUP atau IUPK berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditawarkan kepada BUMN, badan usaha milik daerah, Badan Usaha swasta, koperasi, atau perusahaan perseorangan melalui mekanisme sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. 91. Ketentuan Pasal 123 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 123

Dalam hal IUP atau IUPK berakhir, eks pemegang IUP atau IUPK wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil kegiatan Eksplorasi dan Operasi Produksi kepada Menteri. 92. Di antara Pasal 123 dan Pasal 124 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 123A dan Pasal 123B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 123A

(1)

Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi sebelum menciutkan atau mengembalikan WIUP atau WIUPK wajib melaksanakan Reklamasi dan Pascatambang hingga mencapai tingkat keberhasilan 100% (seratus persen).

(2)

Eks pemegang IUP atau IUPK yang IUP atau IUPK berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (1) wajib melaksanakan Reklamasi dan Pascatambang hingga mencapai tingkat keberhasilan 100% (seratus persen) serta menempatkan dana jaminan Reklamasi dan/atau dana jaminan Pascatambang.

(3)

Dalam hal WIUP atau WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria untuk diusahakan kembali, dana jaminan Reklamasi dan/atau dana jaminan Pascatambang yang telah ditempatkan ditetapkan menjadi milik Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang serta penempatan dana jaminan Reklamasi dan/atau dana jaminan Pascatambang pada WIUP atau WIUPK yang memenuhi kriteria untuk diusahakan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 123B

(1)

Mineral dan/atau Batubara yang diperoleh dari kegiatan Penambangan tanpa IUP, IUPK, IPR, atau SIPB ditetapkan sebagai benda sitaan dan/atau barang milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)

Mineral atau Batubara yang berada pada fasilitas penimbunan pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah berakhir jangka waktunya atau dicabut, dapat dilakukan Penjualan setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 93. Ketentuan Pasal 124 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 124

(1)

Pemegang IUP atau IUPK wajib menggunakan perusahaan Jasa Pertambangan lokal dan/atau nasional.

(2)

Dalam hal tidak terdapat perusahaan Jasa Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP atau IUPK dapat menggunakan perusahaan Jasa Pertambangan yang berbadan hukum Indonesia dalam rangka penanaman modal asing.

(3)

Jenis usaha Jasa Pertambangan yaitu pelaksanaan di bidang: a. Penyelidikan Umum; b. Eksplorasi; c. Studi Kelayakan; d. Konstruksi Pertambangan; e. Pengangkutan; f. lingkungan Pertambangan; g. Reklamasi dan Pascatambang; h. keselamatan Pertambangan; dan/atau i. Penambangan.

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan perusahaan Jasa Pertambangan lokal dan/atau nasional diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 94. Ketentuan ayat (2) Pasal 125 diubah sehingga Pasal 125 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 125

(1)

Dalam hal pemegang IUP atau IUPK menggunakan Jasa Pertambangan, tanggung jawab kegiatan Usaha Pertambangan tetap dibebankan kepada pemegang IUP atau IUPK.

(2)

Kegiatan usaha Jasa Pertambangan dapat dilakukan oleh BUMN, badan usaha milik daerah, Badan Usaha swasta, koperasi, atau perusahaan perseorangan sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi yang ditetapkan oleh Menteri.

(3)

Pelaku usaha Jasa Pertambangan wajib mengutamakan penggunaan kontraktor lokal dan tenaga kerja lokal. 95. Ketentuan Pasal 128 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 128

(1)

Pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah.

(2)

Pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak.

(3)

Penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan b. bea dan cukai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai.

(4)

Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. iuran tetap; b. iuran produksi; c. kompensasi data informasi; dan d. penerimaan negara bukan pajak lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5)

Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pajak daerah; b. retribusi daerah; c. iuran pertambangan rakyat; dan d. lain-lain pendapatan daerah yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(6)

Iuran pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c menjadi bagian dari struktur pendapatan daerah berupa pajak dan/atau retribusi daerah yang penggunaannya untuk pengelolaan tambang rakyat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 96. Ketentuan Pasal 129 diubah sehingga Pasal 129 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 129

(1)

Pemegang IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi untuk Pertambangan Mineral logam dan Batubara wajib membayar sebesar 4% (empat persen) kepada Pemerintah Pusat dan 6% (enam persen) kepada Pemerintah Daerah dari keuntungan bersih sejak berproduksi.

(2)

Bagian Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. Pemerintah Daerah provinsi mendapat bagian sebesar 1,5% (satu koma lima persen); b. Pemerintah Daerah kabupaten/kota penghasil mendapat bagian sebesar 2,5% (dua koma lima persen); dan c. Pemerintah Daerah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama mendapat bagian sebesar 2% (dua persen).

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, pelaporan, dan pembayaran bagian Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 97. Ketentuan Pasal 133 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 133

(1)

Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (4) merupakan pendapatan negara dan daerah yang pembagiannya berdasarkan prinsip keadilan dan memperhatikan dampak kegiatan Pertambangan bagi daerah.

(2)

Penerimaan negara bukan pajak yang merupakan bagian daerah disetor ke kas daerah setelah disetor ke kas negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 98. Di antara Pasal 137 dan Pasal 138 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 137A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 137A

(1)

Pemerintah Pusat melakukan penyelesaian permasalahan hak atas tanah untuk kegiatan Usaha Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134, Pasal 135, Pasal 136, dan Pasal 137.

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 99. Ketentuan Pasal 139 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 139

Menteri bertanggung jawab melakukan pembinaan atas pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IUPK, IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, IPR, SIPB, Izin Pengangkutan dan Penjualan, atau IUJP. 100. Ketentuan Pasal 140 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 140

Menteri melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IUPK, IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, IPR, SIPB, Izin Pengangkutan dan Penjualan, atau IUJP. 101. Ketentuan Pasal 141 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 141

(1)

Pengawasan atas kegiatan Usaha Pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IUPK, IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, IPR, atau SIPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, antara lain: a. teknis Pertambangan; b. produksi dan pemasaran; c. keuangan; d. pengolahan data Mineral dan Batubara; e. konservasi sumber daya Mineral dan Batubara; f. keselamatan Pertambangan; g. pengelolaan lingkungan hidup, Reklamasi, dan Pascatambang; h. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri; i. pengembangan tenaga kerja teknis Pertambangan; j. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; dan k. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi Pertambangan.

(2)

Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf k dilakukan oleh inspektur tambang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)

Tanggung jawab pengelolaan anggaran, sarana dan prasarana, serta operasional inspektur tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan kepada Menteri.

(4)

Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf, h, huruf i, dan huruf j, dilakukan oleh pejabat pengawas Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5)

Tanggung jawab pengelolaan anggaran, sarana dan prasarana, serta operasional pejabat pengawas pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat

(4)

dibebankan kepada Menteri.

(6)

Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) dilakukan secara berkala dan laporan hasil pengawasannya disampaikan kepada publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 102. Di antara Pasal 141 dan Pasal 142 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 141A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 141A

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan Pasal 140 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 103. Ketentuan Pasal 142 dihapus. 104. Ketentuan Pasal 143 dihapus. 105. Ketentuan Pasal 145 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 145

(1)

Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan Usaha Pertambangan berhak: a. memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau b. mengajukan gugatan melalui pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan Pertambangan yang menyalahi ketentuan.

(2)

Ketentuan mengenai hak masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan Usaha Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1)

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 106. Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 151

(1)

Menteri berhak memberikan sanksi administratif kepada pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB, atau IUP untuk Penjualan atas pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36A, Pasal 41, Pasal 52 ayat (4), Pasal 55 ayat (4), Pasal 58

ayat (4)

, Pasal 61 ayat (4), Pasal 70, Pasal 70A,

Pasal 71 ayat (1), Pasal 74 ayat (4), Pasal 74 ayat (6), Pasal 86F, Pasal 86G huruf b, Pasal 91 ayat (1), Pasal 93A, Pasal 93C, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99 ayat (1), ayat (3), dan

ayat (4)

, Pasal 100 ayat (1), Pasal 101A, Pasal 102 ayat (1), Pasal 103 ayat (1), Pasal 105 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108 ayat

(1)

dan ayat (2), Pasal 110, Pasal 111 ayat (1), Pasal 112 ayat (1), Pasal 112A ayat (1), Pasal 114 ayat

(2)

, Pasal 115 ayat (2), Pasal 123, Pasal 123A ayat

(1)

dan ayat (2), Pasal 124 ayat (1), Pasal 125

ayat (3)

, Pasal 126 ayat (1), Pasal 128 ayat (1),

Pasal 129 ayat (1), Pasal 130 ayat (2), atau Pasal

136 ayat (1).

(2)

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. denda; c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan Eksplorasi atau Operasi Produksi; dan/atau d. pencabutan IUP, IUPK, IPR, SIPB, atau IUP untuk Penjualan. 107. Ketentuan Pasal 152 dihapus. 108. Ketentuan Pasal 156 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 156

Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 diatur dengan Peraturan Pemerintah. 109. Ketentuan Pasal 157 dihapus. 110. Ketentuan Pasal 158 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 158

Setiap orang yang melakukan Penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). 111. Ketentuan Pasal 159 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 159

Pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang dengan sengaja menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf e, Pasal 105 ayat (4), Pasal 110, atau Pasal 111 ayat (1) dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). 112. Ketentuan ayat (1) Pasal 160 dihapus sehingga Pasal 160 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 160

(1)

Dihapus.

(2)

Setiap orang yang mempunyai IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan Operasi Produksi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). 113. Ketentuan Pasal 161 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 161

Setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian, Pengembangan dan/atau Pemanfaatan, Pengangkutan, Penjualan Mineral dan/atau Batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf c dan huruf g, Pasal 104, atau Pasal 105 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). 114. Di antara Pasal 161 dan Pasal 162 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 161A dan Pasal 161B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 161A

Setiap pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang memindahtangankan IUP, IUPK, IPR, atau SIPB sebagaimana dimaksud Pasal 70A, Pasal 86G huruf a, dan Pasal 93 ayat (1) dipidana dengan pindana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 161B

(1)

Setiap orang yang IUP atau IUPK dicabut atau berakhir dan tidak melaksanakan: a. Reklamasi dan/atau Pascatambang; dan/atau b. penempatan dana jaminan Reklamasi dan/atau dana jaminan Pascatambang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

(2)

Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), eks pemegang IUP atau IUPK dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran dana dalam rangka pelaksanaan kewajiban Reklamasi dan/atau Pascatambang yang menjadi kewajibannya. 115. Ketentuan Pasal 162 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 162

Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 116. Ketentuan Pasal 164 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 164

Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 161A, Pasal 161B, dan Pasal 162 kepada pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa: a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana; b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau c. kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana. 117. Ketentuan Pasal 165 dihapus. 118. Ketentuan Pasal 168 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 168

Untuk meningkatkan investasi di bidang Pertambangan, Pemerintah Pusat dapat memberikan keringanan dan fasilitas perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 119. Di antara Pasal 169 dan Pasal 170 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 169A, Pasal 169B, dan Pasal 169C sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 169A

(1)

KK dan PKP2B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian setelah memenuhi persyaratan dengan ketentuan: a. kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan 2 (dua) kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara. b. kontrak/perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dijamin untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya perpanjangan pertama KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.

(2)

Upaya peningkatan penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan melalui: a. pengaturan kembali pengenaan penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak; dan/atau; b. luas wilayah IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sesuai rencana pengembangan seluruh wilayah kontrak atau perjanjian yang disetujui Menteri.

(3)

Dalam pelaksanaan perpanjangan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, seluruh barang yang diperoleh selama masa pelaksanaan PKP2B yang ditetapkan menjadi barang milik negara tetap dapat dimanfaatkan dalam kegiatan pengusahaan Pertambangan Batubara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(4)

Pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk komoditas tambang Batubara wajib melaksanakan kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara di dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(5)

Pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk komoditas tambang Batubara yang telah melaksanakan kewajiban Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara secara terintegrasi di dalam negeri sesuai rencana pengembangan seluruh wilayah perjanjian yang disetujui Menteri diberikan perpanjangan selama 10 (sepuluh) tahun setiap kali perpanjangan setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 169B

(1)

Pada saat IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169A diberikan, wilayah rencana pengembangan seluruh wilayah yang disetujui Menteri menjadi WIUPK untuk tahap kegiatan Operasi Produksi.

(2)

Untuk memperoleh IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang KK dan PKP2B harus mengajukan permohonan kepada Menteri paling cepat dalam jangka waktu 5 (lima) tahun dan paling lambat dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum KK dan PKP2B berakhir.

(3)

Menteri dalam memberikan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan keberlanjutan operasi, optimalisasi potensi cadangan Mineral atau Batubara dalam rangka konservasi Mineral atau Batubara dari WIUPK untuk tahap kegiatan Operasi Produksi, serta kepentingan nasional.

(4)

Menteri dapat menolak permohonan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika berdasarkan hasil evaluasi, pemegang KK dan PKP2B tidak menunjukkan kinerja pengusahaan Pertambangan yang baik.

(5)

Pemegang KK dan PKP2B dalam mengajukan permohonan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUPK untuk tahap kegiatan Operasi Produksi kepada Menteri untuk menunjang kegiatan Usaha Pertambangannya.

Pasal 169C

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. IUP, IUPK, IPR, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan, IUP Operasi Produksi untuk penjualan, dan IUJP yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin. b. IUP, IUPK, IPR, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan, IUP Operasi Produksi untuk penjualan, dan IUJP yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib memenuhi ketentuan terkait Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Undang- Undang ini berlaku. c. gubernur wajib menyerahkan dokumen IUP Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, IPR, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan, IUP Operasi Produksi untuk penjualan, dan IUJP yang menjadi kewenangannya sebelum berlakunya Undang-Undang ini kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku untuk diperbarui oleh Menteri. d. ketentuan yang tercantum dalam IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada huruf a harus disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku. e. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian yang diterbitkan sebelum berlakunya Undang-Undang ini disesuaikan menjadi perizinan usaha industri yang diterbitkan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku. f. Dalam hal belum terdapat pejabat pengawas Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (4), pengawasan atas kegiatan Usaha Pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IUPK, IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, IPR, atau SIPB dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. g. seluruh kewenangan Pemerintah Daerah dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) dan Undang-Undang lain yang mengatur tentang kewenangan Pemerintah Daerah di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara wajib dimaknai sebagai kewenangan Pemerintah Pusat kecuali ditentukan lain dalam Undang- Undang ini. 120. Di antara Pasal 170 dan Pasal 171 disisipkan 1 ( satu) pasal, yakni Pasal 170A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 170A

(1)

Pemegang KK, IUP Operasi Produksi, atau IUPK Operasi Produksi Mineral logam yang: a. telah melakukan kegiatan Pengolahan dan Pemurnian; b. dalam proses pembangunan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian; dan/atau c. telah melakukan kerjasama Pengolahan dan/atau Pemurnian dengan pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi lainnya, atau IUP Operasi Produksi khusus untuk Pengolahan dan Pemurnian atau pihak lain yang melakukan kegiatan Pengolahan dan/atau Pemurnian, dapat melakukan Penjualan produk Mineral logam tertentu yang belum dimurnikan dalam jumlah tertentu ke luar negeri dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.

(2)

Pemegang KK, IUP Operasi Produksi, atau IUPK Operasi Produksi Mineral logam yang melakukan Penjualan produk Mineral logam tertentu ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar bea keluar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai Penjualan produk Mineral logam tertentu yang belum dimurnikan dalam jumlah tertentu ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. 121. Di antara Pasal 171 dan Pasal 172 disisipkan 1 ( satu) pasal, yakni Pasal 171A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 171A

Wilayah eks KK atau PKP2B dapat ditetapkan menjadi WUPK atau WPN sesuai hasil evaluasi Menteri. 122. Di antara Pasal 172 dan Pasal 173 disisipkan 5 (lima) pasal, yakni Pasal 172A, Pasal 172B, Pasal 172C, Pasal 172D, dan Pasal 172E sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 172A

Ketentuan terkait hak, kewajiban, dan larangan bagi pemegang IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini berlaku secara mutatis mutandis terhadap IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian kecuali yang ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pasal 172B

(1)

WIUP, WIUPK, atau WPR yang telah diberikan izinnya dalam bentuk IUP, IUPK, atau IPR wajib didelineasi sesuai dengan pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan Usaha Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(2)

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada WIUP, WIUPK, atau WPR yang telah diberikan izinnya.

Pasal 172C

Luas wilayah IUP Operasi Produksi hasil penyesuaian kuasa pertambangan yang diberikan kepada BUMN, berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu IUP Operasi Produksi.

Pasal 172D

Pemegang IUP atau IUPK yang melakukan peningkatan nilai tambah Mineral logam atau Batubara secara terintegrasi sebelum berlakunya Undang-Undang ini diberikan jangka waktu dan luas wilayah IUP atau IUPK sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

Pasal 172E

Rencana pengelolaan Mineral dan Batubara nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8A wajib ditetapkan oleh Menteri dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku. 123. Di antara Pasal 173 dan Pasal 174 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 173A, Pasal 173B, dan Pasal 173C sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 173A

Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Aceh, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Papua sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang yang mengatur keistimewaan dan kekhususan Daerah tersebut.

Pasal 173B

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota pada Angka I Matriks Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota huruf CC Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2 Sub Urusan Mineral dan Batubara yang tertuang dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 173C

(1)

Pelaksanaan kewenangan pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara oleh Pemerintah Daerah provinsi yang telah dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) dan Undang- Undang lain yang mengatur tentang kewenangan Pemerintah Daerah di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara tetap berlaku untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku atau sampai dengan diterbitkannya peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini.

(2)

Dalam jangka waktu pelaksanaan kewenangan pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri atau gubernur tidak dapat menerbitkan perizinan yang baru sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) dan Undang-Undang lain yang mengatur tentang kewenangan Pemerintah Daerah di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara. 124. Ketentuan Pasal 174 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 174

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan dalam waktu 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.

Pasal II

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 10 Juni 2020 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 Juni 2020 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY