로고

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2021 TENTANG PENYELENGGARAAN BIDANG PERDAGANGAN 상업 분야의 실시에 관한 인도네시아공화국 정부령 2021년 제29호

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3193); 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512); 4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN BIDANG PERDAGANGAN. 전능하신 신의 축복으로 인도네시아공화국 대통령은 「고용창출에 관한 법률 2020 년 제 11 호」 제 46 조, 제 47 조, 제 185 조제 b 호를 실행하기 위하여 상업 분야 정부령이 필요하다는 점을 고려하여 다음 사항을 결정하였다. 1. 「1945 년 인도네시아공화국 헌법」 제 5 조제 2 항 2. 「법정계량에 관한 법률 1981 년 제 2 호」(인도네시아공화국 관보 1981 년 제 11 호, 인도네시아공화국 관보 부록 제 3193 호) 3. 「무역에 관한 법률 2014 년 제 7 호」(인도네시아공화국 관보 2014 년 제 45 호, 인도네시아공화국 관보 부록 제 5512 호) 4. 「고용창출에 관한 법률 2020 년 제 11 호」(인도네시아공화국 관보 2020 년 제 245 호, 인도네시아공화국 관보 부록 제 6573 호) 이에 다음과 같이 「상업 분야의 실시에 관한 정부령」을 제정하는 바이다.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Perdagangan adalah tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi Barang dan/atau Jasa di dalam negeri dan melampaui batas wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas Barang dan/atau Jasa untuk memperoleh imbalan atau kompensasi. 2. Perdagangan Luar Negeri adalah Perdagangan yang mencakup kegiatan Ekspor dan/atau Impor atas Barang dan/atau Perdagangan Jasa yang melampaui batas wilayah negara. 3. Standar adalah persyaratan teknis atau sesuatu yang dibakukan, termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak/Pemerintah/keputusan internasional yang terkait dengan memperhatikan syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman, serta perkembangan pada masa kini dan masa depan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. 4. Standar Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SNI adalah Standar yang ditetapkan oleh lembaga yang menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan di bidang standardisasi. 5. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Barang dari daerah pabean. 6. Eksportir adalah orang perseorangan atau lembaga atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang melakukan Ekspor. 7. Impor adalah kegiatan memasukkan Barang ke dalam daerah pabean. 8. Importir adalah orang perseorangan atau lembaga atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang melakukan Impor. 9. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu. 10. Pelaku Usaha Distribusi adalah Pelaku Usaha yang menjalankan kegiatan Distribusi Barang di dalam negeri. 11. Produsen adalah Pelaku Usaha yang memproduksi Barang. 12. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disingkat UMK-M adalah usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. 13. Distributor adalah Pelaku Usaha Distribusi yang bertindak atas namanya sendiri dan/atau atas penunjukan dari Produsen atau pemasok atau Importir berdasarkan perjanjian untuk melakukan kegiatan pemasaran Barang. 14. Pengemas adalah Pelaku Usaha yang melakukan pengemasan Barang. 15. Pedagang Pengumpul adalah Pelaku Usaha yang mempunyai kegiatan usaha melakukan pengumpulan hasil produksi usaha mikro dan usaha kecil untuk diperdagangkan. 16. Agen adalah Pelaku Usaha Distribusi yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama pihak yang menunjuknya berdasarkan perjanjian dengan imbalan Komisi untuk melakukan kegiatan pemasaran Barang tanpa memiliki dan/atau menguasai Barang yang dipasarkan. 17. Grosir/Perkulakan adalah Pelaku Usaha Distribusi yang menjual berbagai macam Barang dalam partai besar dan tidak secara eceran. 18. Pengecer adalah Pelaku Usaha Distribusi yang kegiatan pokoknya memasarkan Barang secara langsung kepada Konsumen. 19. Konsumen adalah setiap orang pemakai Barang dan/atau Jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 20. Penjual Langsung adalah orang perseorangan atau badan usaha berbentuk perseroan terbatas yang merupakan anggota mandiri jaringan pemasaran atau penjualan perusahaan. 21. Perusahaan Penjualan Langsung adalah badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas yang melakukan kegiatan usaha Perdagangan Barang dengan sistem Penjualan Langsung. 22. Penjualan Langsung adalah sistem penjualan Barang tertentu melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh Penjual Langsung yang bekerja atas dasar Komisi dan/atau Bonus berdasarkan hasil penjualan kepada Konsumen di luar lokasi eceran. 23. Penjualan Langsung secara Single Level adalah penjualan Barang tertentu yang tidak melalui jaringan pemasaran berjenjang. 24. Penjualan Langsung secara Multi Level adalah penjualan Barang tertentu melalui jaringan pemasaran berjenjang yang dikembangkan oleh Penjual Langsung yang bekerja atas dasar Komisi dan/atau Bonus berdasarkan hasil penjualan Barang kepada Konsumen. 25. Hak Distribusi Eksklusif adalah hak untuk mendistribusikan Barang yang dimiliki oleh hanya satu perusahaan dalam wilayah Indonesia yang didapat dari perjanjian secara langsung maupun tidak langsung dengan pemilik hak Distribusi merek dagang atau dari kepemilikan atas merek dagang. 26. Toko Swalayan adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis Barang secara eceran yang berbentuk minimarket, supermarket, department store, hypermarket, ataupun grosir yang berbentuk perkulakan. 27. Pusat Perbelanjaan adalah suatu area tertentu yang terdiri dari satu atau beberapa bangunan yang didirikan secara vertikal maupun horizontal yang dijual atau disewakan kepada Pelaku Usaha atau dikelola sendiri untuk melakukan kegiatan Perdagangan Barang. 28. Pusat Niaga adalah suatu area terpadu untuk usaha Perdagangan dan komersil lainnya. 29. Komisi atas Penjualan yang selanjutnya disebut Komisi adalah imbalan yang diberikan oleh perusahaan kepada Penjual Langsung yang besarnya dihitung berdasarkan hasil kerja nyata, sesuai volume atau nilai hasil penjualan Barang, baik yang dihasilkan oleh Penjual Langsung secara pribadi maupun yang dihasilkan oleh jaringannya. 30. Bonus atas Penjualan yang selanjutnya disebut Bonus adalah tambahan imbalan yang diberikan oleh perusahaan kepada Penjual Langsung, karena berhasil melebihi target penjualan Barang yang ditetapkan perusahaan. 31. Program Pemasaran adalah program perusahaan dalam memasarkan Barang yang akan dilaksanakan dan dikembangkan oleh Penjual Langsung melalui jaringan pemasaran dengan bentuk Penjualan Langsung secara Single Level atau Penjualan Langsung secara Multi Level . 32. Skema Piramida adalah kegiatan usaha yang bukan dari hasil kegiatan penjualan Barang tetapi memanfaatkan peluang keikutsertaan Penjual Langsung untuk memperoleh imbalan atau pendapatan terutama dari biaya partisipasi orang lain yang bergabung kemudian atau setelah bergabungnya Penjual Langsung tersebut. 33. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. 34. Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB adalah bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya. 35. Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh Konsumen atau Pelaku Usaha. 36. Barang Kebutuhan Pokok adalah Barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat. 37. Barang Penting adalah Barang strategis yang berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional. 38. Jasa adalah setiap layanan dan unjuk kerja berbentuk pekerjaan atau hasil kerja yang dicapai, yang diperdagangkan oleh satu pihak ke pihak lain dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh Konsumen atau Pelaku Usaha. 39. Distribusi adalah kegiatan penyaluran Barang secara langsung atau tidak langsung kepada Konsumen. 40. Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah Perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. 41. Gudang adalah suatu ruangan tidak bergerak yang tertutup dan/atau terbuka dengan tujuan tidak untuk dikunjungi oleh umum, tetapi untuk dipakai khusus sebagai tempat penyimpanan Barang yang dapat diperdagangkan dan tidak untuk kebutuhan sendiri. 42. Pasar Rakyat adalah tempat usaha yang ditata, dibangun, dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta, badan usaha milik negara, dan/atau badan usaha milik daerah, dapat berupa toko/kios, los, dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil dan menengah, swadaya masyarakat, atau koperasi serta UMK-M dengan proses jual beli Barang melalui tawar-menawar. 43. Tanda Daftar Gudang yang selanjutnya disingkat TDG adalah bukti pendaftaran Gudang yang diberikan kepada pemilik Gudang. 44. Alat Ukur adalah alat yang diperuntukkan atau dipakai bagi pengukuran kuantitas dan/atau kualitas. 45. Alat Takar adalah alat yang diperuntukkan atau dipakai bagi pengukuran kuantitas atau penakaran. 46. Alat Timbang adalah alat yang diperuntukkan atau dipakai bagi pengukuran massa atau penimbangan. 47. Alat Perlengkapan adalah alat yang diperuntukkan atau dipakai sebagai pelengkap atau tambahan pada alat-alat ukur, takar atau timbang, yang menentukan hasil pengukuran, penakaran atau penimbangan. 48. Persetujuan Tipe adalah Perizinan Berusaha berupa sertifikat yang menyatakan tipe Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan produksi dalam negeri atau Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan asal Impor telah memperoleh persetujuan berdasarkan penilaian kesesuaian terhadap persyaratan teknis. 49. Reparasi Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan adalah suatu kegiatan memperbaiki dan/atau memelihara Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan, dilakukan oleh Reparatir Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan. 50. Reparatir Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan adalah personel atau teknisi yang telah mempunyai kemampuan/keahlian dalam bidang Reparasi Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan. 51. Bahan Baku adalah bahan mentah, Barang setengah jadi, atau Barang jadi yang dapat diolah menjadi Barang setengah jadi atau Barang jadi yang mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi. 52. Barang Dalam Keadaan Terbungkus yang selanjutnya disingkat BDKT adalah Barang yang dimasukkan ke dalam kemasan baik yang tertutup secara penuh maupun sebagian dan untuk mempergunakannya harus membuka kemasan, merusak kemasan, atau segel kemasan, dan yang kuantitasnya ditentukan sebelum diedarkan, dijual, ditawarkan, atau dipamerkan. 53. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 54. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 55. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perdagangan. 56. Petugas Pengawas Perdagangan adalah pegawai negeri sipil pada unit yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perdagangan baik di pusat maupun daerah yang ditunjuk untuk melaksanakan pengawasan terhadap kegiatan Perdagangan. 57. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perdagangan yang selanjutnya disebut PPNS-DAG adalah pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana baik yang ada di pusat maupun daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

Pasal 2

Lingkup pengaturan penyelenggaraan Perdagangan dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi:

a. kebijakan dan pengendalian Ekspor dan Impor; b. penggunaan atau kelengkapan label berbahasa Indonesia; c. Distribusi Barang; d. sarana Perdagangan; e. standardisasi; f. pengembangan Ekspor; g. metrologi legal; dan h. pengawasan kegiatan Perdagangan dan pengawasan terhadap Barang yang ditetapkan sebagai Barang dalam pengawasan.

BAB II KEBIJAKAN DAN PENGENDALIAN EKSPOR DAN IMPOR

Pasal 3

(1) Kebijakan dan pengendalian di bidang Ekspor dan Impor dilaksanakan oleh Menteri.

(2) Pelaksanaan kebijakan dan pengendalian Ekspor dan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dalam bentuk:

a. persetujuan Ekspor; b. persetujuan Impor; c. Eksportir terdaftar; d. Importir terdaftar; e. Importir Produsen; f. penentuan tempat pengeluaran dan pemasukan Barang; g. jenis Barang; h. kewenangan; i. persyaratan Eksportir dan Importir; j. tata cara permohonan perizinan Ekspor dan Impor; k. penerbitan perizinan Ekspor dan Impor; l. verifikasi atau penelusuran teknis; m. kewajiban Eksportir dan Importir; n. larangan bagi Eksportir dan Importir; o. pengawasan; dan p. sanksi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan dan pengendalian di bidang Ekspor dan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 4

(1) Menteri dapat menetapkan pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf l terhadap Barang tertentu.

(2) Verifikasi atau penelusuran teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan terhadap Barang tertentu dengan kriteria yang disepakati dalam rapat koordinasi di kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Barang tertentu yang dapat dikenakan verifikasi atau penelusuran teknis dan pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis diatur dengan Peraturan Menteri.

(4) Jenis Barang tertentu yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diubah berdasarkan keputusan rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian, yang dihadiri menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakili yang diberikan kewenangan untuk dan atas nama menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian.

Pasal 5

(1) Eksportir dalam kegiatan Ekspor wajib memiliki NIB.

(2) Dalam hal Ekspor tidak dilakukan untuk kegiatan usaha, Eksportir tidak memerlukan NIB dan/atau Perizinan Berusaha.

(3) Terhadap kegiatan Ekspor tertentu, Eksportir wajib memiliki Perizinan Berusaha dari Menteri.

(4) Perizinan Berusaha di bidang Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari:

a. Eksportir terdaftar; dan/atau b. persetujuan Ekspor.

(5) Penerbitan persetujuan Ekspor oleh Menteri dilaksanakan berdasarkan neraca komoditas.

(6) Dalam hal neraca komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat (5) belum ditetapkan, penerbitan persetujuan Ekspor oleh Menteri akan dilakukan berdasarkan ketentuan dan data yang tersedia.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai neraca komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Presiden.

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai:

a. Eksportir yang tidak memerlukan NIB dan/atau Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan b. Perizinan Berusaha di bidang Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 6

(1) Importir dalam kegiatan Impor wajib memiliki NIB yang berlaku sebagai Angka Pengenal Importir (API).

(2) NIB yang berlaku sebagai Angka Pengenal Importir (API) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:

a. Angka Pengenal Importir Umum (API-U); dan b. Angka Pengenal Importir Produsen (API-P).

(3) Terhadap kegiatan Impor tertentu, Importir wajib memiliki Perizinan Berusaha dari Menteri.

(4) Dalam hal Impor tidak dilakukan untuk kegiatan usaha, Importir tidak memerlukan NIB dan/atau Perizinan Berusaha.

(5) Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari:

a. Importir terdaftar; b. Importir Produsen; dan/atau c. persetujuan Impor.

(6) Penerbitan persetujuan Impor oleh Menteri dilaksanakan berdasarkan neraca komoditas.

(7) Dalam hal neraca komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat (6) belum ditetapkan, penerbitan persetujuan Impor oleh Menteri akan dilakukan berdasarkan ketentuan dan data yang tersedia.

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai neraca komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Presiden.

(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai:

a. NIB yang berlaku sebagai Angka Pengenal Importir (API) sebagaimana dimaksud pada ayat (1); b. Importir yang tidak memerlukan NIB dan/atau Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4); dan c. Perizinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 7

(1) Pengajuan Perizinan Berusaha dalam rangka pengendalian Ekspor dan Impor dilakukan secara elektronik melalui sistem tunggal yang mengintegrasikan proses penanganan dokumen yang terkait dengan Ekspor dan Impor.

(2) Apabila permohonan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lengkap, dilakukan penolakan secara elektronik melalui sistem yang terintegrasi dalam jangka waktu yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Apabila permohonan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lengkap, dilakukan penerbitan Perizinan Berusaha secara elektronik melalui sistem yang terintegrasi dalam jangka waktu yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(4) Apabila permohonan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lengkap, namun Perizinan Berusaha belum diterbitkan dalam jangka waktu yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, dilakukan penerbitan Perizinan Berusaha secara otomatis melalui sistem yang terintegrasi.

(5) Dalam hal terjadi keadaan kahar yang mengakibatkan sistem yang terintegrasi tidak berfungsi, permohonan Perizinan Berusaha dalam rangka pengendalian Ekspor dan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara manual kepada Menteri.

(6) Ketentuan mengenai permohonan Perizinan Berusaha dalam hal terjadi keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 8

(1) Dalam rangka peningkatan dan pengembangan produk invensi dan inovasi nasional yang diekspor ke luar negeri, Menteri dapat memberikan fasilitas:

a. pembiayaan; b. penjaminan; c. asuransi Ekspor; d. pemasaran; dan/atau e. insentif prosedural lainnya.

(2) Dalam memberikan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah, perguruan tinggi, dunia usaha, asosiasi, dan pemangku kepentingan lainnya.

(3) Menteri dapat menetapkan produk invensi dan inovasi nasional yang dapat diekspor ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 9

(1) Setiap Importir wajib mengimpor Barang dalam keadaan baru.

(2) Dalam hal tertentu, Menteri dapat menetapkan Barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru berdasarkan:

a. peraturan perundang-undangan; b. kewenangan Menteri; dan/atau c. usulan atau pertimbangan teknis dari instansi pemerintah lainnya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

(4) Jenis Barang yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diubah berdasarkan keputusan rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian, yang dihadiri menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakili yang diberikan kewenangan untuk dan atas nama menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian.

Pasal 10

(1) Eksportir dilarang mengekspor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diekspor.

(2) Importir dilarang mengimpor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diimpor.

(3) Barang yang dilarang untuk diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Barang yang dilarang untuk diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi kriteria:

a. terkait dengan perlindungan terhadap kesehatan, keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup; b. terkait dengan keamanan nasional, kepentingan nasional, atau kepentingan umum, termasuk sosial, budaya, dan moral masyarakat; dan/atau c. termasuk tumbuhan alam dan satwa liar yang perlu dijaga kelestariannya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Barang yang dilarang untuk diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Barang yang dilarang untuk diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

(5) Jenis Barang yang dilarang untuk diekspor dan Barang yang dilarang untuk diimpor berdasarkan Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diubah berdasarkan keputusan rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian, yang dihadiri menteri/kepala lembaga pemerintahan nonkementerian atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakili yang diberikan kewenangan untuk dan atas nama menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian.

Pasal 11

(1) Eksportir dilarang mengekspor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diekspor.

(2) Barang yang ekspornya dibatasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria:

a. memenuhi standar pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. melindungi keamanan nasional, kepentingan nasional, atau kepentingan umum, termasuk sosial, budaya, dan moral masyarakat; c. melindungi kesehatan, keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup; d. melindungi tumbuhan alam dan satwa liar yang diperbolehkan Ekspor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau e. dibutuhkan ketersediaannya di dalam negeri.

(3) Eksportir yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.

Pasal 12

(1) Importir dilarang mengimpor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diimpor.

(2) Barang yang impornya dibatasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria:

a. memenuhi standar pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; b. melindungi keamanan nasional, kepentingan nasional, atau kepentingan umum, termasuk sosial, budaya, dan moral masyarakat; dan/atau c. melindungi kesehatan, keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Barang yang dibatasi untuk Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dan Barang yang dibatasi untuk Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

(4) Jenis Barang yang dibatasi untuk diekspor dan Barang yang dibatasi untuk diimpor berdasarkan Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diubah berdasarkan keputusan rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian, yang dihadiri menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakili yang diberikan kewenangan untuk dan atas nama menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian.

(5) Importir yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.

Pasal 13

(1) Dalam rangka kebutuhan neraca komoditas, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian menyediakan data terkait dengan Ekspor dan Impor serta data lainnya pada sistem informasi yang terintegrasi.

(2) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan menyampaikan data realisasi Ekspor dan Impor kepada Menteri, menteri, dan/atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian terkait melalui sistem informasi yang terintegrasi.

Pasal 14

(1) Pemeriksaan atas pemenuhan Perizinan Berusaha terhadap Impor Barang tertentu dilakukan melalui pengawasan kegiatan Perdagangan setelah melalui kawasan pabean oleh direktorat jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga.

(2) Dalam hal diperlukan, pengawasan kegiatan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di kawasan pabean bekerja sama dengan direktorat jenderal yang membidangi kepabeanan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

(4) Jenis Barang tertentu berdasarkan Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diubah berdasarkan keputusan rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian, yang dihadiri menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakili yang diberikan kewenangan untuk dan atas nama menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian.

Pasal 15

(1) Dalam rangka penguatan pengawasan implementasi program strategis nasional pencegahan korupsi untuk komoditas yang pengawasannya dilakukan setelah melalui kawasan pabean, Importir wajib mencantumkan Perizinan Berusaha secara lengkap dalam dokumen pemberitahuan pabean.

(2) Importir yang tidak mencantumkan Perizinan Berusaha secara lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.

Pasal 16

(1) Importir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) wajib memberitahukan jumlah atau volume Barang Impor dalam pemberitahuan pabean menggunakan jenis satuan Barang sebagaimana tercantum dalam Perizinan Berusaha di bidang Impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

(2) Jumlah atau volume Barang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melebihi yang tercantum dalam Perizinan Berusaha di bidang Impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

Pasal 17

(1) Menteri dapat menetapkan Eksportir dan Importir yang bereputasi baik.

(2) Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dapat merekomendasikan Eksportir dan Importir yang bereputasi baik.

(3) Eksportir dan Importir yang bereputasi baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kemudahan atas Perizinan Berusaha pada masing- masing kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian.

(4) Ketentuan mengenai kriteria Eksportir dan Importir bereputasi baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 18

(1) Ketentuan mengenai pembatasan di bidang Ekspor dan Impor di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas dan/atau kawasan ekonomi khusus diberlakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Ketentuan pemberlakuan pembatasan di bidang Ekspor dan Impor dikecualikan di tempat penimbunan berikat.

(3) Ketentuan pemberlakuan pembatasan di bidang Ekspor dan Impor dikecualikan atas importasi Barang dan/atau bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang dengan tujuan Ekspor dalam rangka kemudahan Impor tujuan Ekspor pembebasan.

(4) Untuk kepentingan perekonomian nasional, Menteri dapat menetapkan berlakunya ketentuan pembatasan di bidang Ekspor dan Impor di tempat penimbunan berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan kemudahan Impor tujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara selektif.

Pasal 19

(1) Dalam rangka peningkatan nilai tambah industri guna pendalaman dan penguatan struktur industri dalam negeri, Menteri dapat mengendalikan melalui pembatasan Ekspor dan Impor Barang sebagai Bahan Baku dan/atau bahan penolong industri.

(2) Pembatasan Ekspor dan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui rapat koordinasi di kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.

(3) Menteri dapat menetapkan Barang sebagai Bahan Baku dan/atau bahan penolong industri yang dibatasi Ekspor dan Impornya dalam hal telah diputuskan dalam rapat terbatas dan/atau sidang kabinet.

(4) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Menteri kepada menteri yang enyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk dilakukan pengawasan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

BAB III PENGGUNAAN ATAU KELENGKAPAN LABEL BERBAHASA INDONESIA

Pasal 20

(1) Setiap Pelaku Usaha wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia pada Barang yang diperdagangkan di dalam negeri.

(2) Perdagangan di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik serta Perdagangan yang Distribusi barangnya dilakukan secara tidak langsung dan secara langsung Single Level atau Multi Level.

(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:

a. Produsen untuk Barang produksi dalam negeri; b. Importir untuk Barang asal Impor; dan c. Pengemas untuk Barang yang diproduksi dalam negeri atau asal Impor yang dikemas di wilayah Republik Indonesia.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Barang yang wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

(5) Jenis Barang berdasarkan Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diubah berdasarkan keputusan rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian, yang dihadiri menteri/kepala lembaga pemerintahan nonkementerian atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakili yang diberikan kewenangan untuk dan atas nama menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian.

(6) Pelaku Usaha yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.

Pasal 21

(1) Label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 harus menggunakan bahasa Indonesia yang jelas, mudah dibaca, dan mudah dimengerti.

(2) Penggunaan bahasa, angka, dan huruf selain Bahasa Indonesia, angka arab, dan huruf latin dapat digunakan jika tidak ada atau tidak dapat diciptakan padanannya.

Pasal 22

(1) Penggunaan label berbahasa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilakukan melalui pencantuman label pada Barang dan/atau kemasan.

(2) Pencantuman label berbahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. embos atau tercetak; b. ditempel atau melekat secara utuh; atau c. dimasukkan atau disertakan ke dalam Barang dan/atau kemasan.

(3) Ukuran besar label berbahasa Indonesia disesuaikan dengan ukuran Barang atau kemasan secara proporsional.

Pasal 23

(1) Label berbahasa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 memuat keterangan mengenai nama Barang, asal Barang, identitas Pelaku Usaha, dan informasi lain sesuai dengan karakteristik Barang.

(2) Keterangan mengenai identitas Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

a. nama dan alamat Produsen untuk Barang produksi dalam negeri; b. nama dan alamat Importir untuk Barang asal Impor; c. nama dan alamat Pengemas, untuk Barang yang diproduksi dalam negeri atau asal Impor yang dikemas di wilayah Republik Indonesia; atau d. nama dan alamat Pedagang Pengumpul jika memperoleh dan memperdagangkan Barang hasil produksi usaha mikro dan usaha kecil.

(3) Barang yang terkait dengan keselamatan, keamanan, dan kesehatan Konsumen dan lingkungan hidup harus memuat:

a. cara penggunaan; dan b. simbol bahaya dan/atau tanda peringatan yang jelas dan mudah dimengerti.

(4) Dalam hal identitas Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memungkinkan dicantumkan secara lengkap pada Barang dan/atau kemasan, identitas dapat disertakan atau dimasukkan pada Barang dan/atau kemasan.

Pasal 24

(1) Selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pelaku Usaha wajib mencantumkan keterangan atau penjelasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Untuk Barang yang telah diberlakukan SNI secara wajib, pencantuman label berbahasa Indonesia mengikuti penandaan yang ditetapkan dalam SNI.

Pasal 25

(1) Pelaku Usaha dilarang mencantumkan label berbahasa Indonesia yang memuat informasi:

a. secara tidak lengkap; dan/atau b. tidak benar dan/atau menyesatkan Konsumen.

(2) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.

Pasal 26

(1) Produsen, Importir, atau Pengemas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, wajib menarik Barang dari peredaran dan dilarang memperdagangkan Barang dimaksud.

(2) Penarikan Barang dari peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas perintah Menteri.

(3) Menteri memberikan mandat penarikan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga.

(4) Biaya penarikan Barang dari peredaran dibebankan kepada Produsen, Importir, atau Pengemas sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 27

Barang yang telah ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat diperdagangkan kembali jika telah memenuhi ketentuan kewajiban pencantuman label berbahasa Indonesia sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 28

Ketentuan kewajiban pencantuman label berbahasa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, tidak berlaku untuk:

a. Barang curah yang dikemas dan diperdagangkan secara langsung di hadapan Konsumen; atau b. Barang yang diproduksi Pelaku Usaha mikro dan Pelaku Usaha kecil.

Pasal 29

(1) Selain Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), Pedagang Pengumpul wajib mencantumkan label berbahasa Indonesia.

(2) Pedagang Pengumpul yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 wajib menarik Barang dari peredaran dan dilarang memperdagangkan Barang.

(3) Ketentuan mengenai kewajiban menarik Barang dari peredaran dan dilarang memperdagangkan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.

Pasal 30

(1) Pembinaan terhadap pencantuman label berbahasa Indonesia dilakukan oleh Menteri.

(2) Menteri mendelegasikan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga.

(3) Pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara sendiri atau bersama-sama dengan kementerian dan/atau lembaga teknis terkait pada Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.

(4) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara langsung kepada Pelaku Usaha dan/atau Konsumen dalam bentuk:

a. pelayanan dan penyebarluasan informasi; b. edukasi; dan/atau c. konsultasi.

Pasal 31

(1) Pelaku Usaha yang memproduksi atau mengimpor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Barang yang wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia dan telah mencantumkan label berbahasa Indonesia, tetap mencantumkan label berbahasa Indonesia sesuai dengan karakteristik Barang.

(2) Pelaku Usaha yang memproduksi atau mengimpor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Barang yang wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia dan belum mencantumkan label berbahasa Indonesia, dapat mencantumkan label berbahasa Indonesia sesuai dengan karakteristik Barang.

(3) Pencantuman label sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimaksudkan untuk memberikan informasi yang lebih banyak kepada Konsumen dan sebagai sarana promosi mengenai Barang yang diperdagangkan di pasar dalam negeri.

BAB IV DISTRIBUSI BARANG

Bagian Kesatu Umum

Pasal 32

Distribusi Barang yang diperdagangkan di dalam negeri dapat dilakukan secara tidak langsung atau secara langsung kepada Konsumen.

Bagian Kedua Distribusi Barang Secara Tidak Langsung

Pasal 33

(1) Distribusi Barang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan oleh Pelaku Usaha Distribusi dengan menggunakan rantai Distribusi yang bersifat umum, yaitu:

a. Distributor dan jaringannya; b. Agen dan jaringannya; atau c. waralaba.

(2) Distributor dan jaringannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari:

a. Distributor; b. Grosir/Perkulakan; dan c. Pengecer.

(3) Agen dan jaringannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari:

a. Agen; b. Grosir/Perkulakan; dan c. Pengecer.

Pasal 34

Distribusi Barang secara tidak langsung dilakukan oleh Pelaku Usaha Distribusi melalui perikatan yang dapat dibuktikan dengan adanya perjanjian, penunjukan, dan/atau bukti transaksi secara tertulis.

Pasal 35

(1) Produsen di dalam negeri dapat menunjuk Pelaku Usaha Distribusi sebagai Distributor atau Agen untuk mendistribusikan Barang kepada Pengecer.

(2) Selain Produsen di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Produsen harus menunjuk Pelaku Usaha Distribusi sebagai Distributor atau Agen untuk mendistribusikan Barang kepada Pengecer.

(3) Dalam hal Produsen telah menunjuk Distributor tunggal atau Agen tunggal untuk mendistribusikan Barang di suatu wilayah pemasaran, Produsen tidak dapat menunjuk Distributor atau Agen lainnya untuk mendistribusikan Barang dengan jenis dan merek yang sama.

(4) Masa berlaku penunjukan Distributor tunggal paling sedikit selama 5 (lima) tahun dan wajib diperpanjang 1 (satu) kali.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perikatan untuk pendistribusian Barang oleh Distributor atau Agen diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 36

Distributor atau Agen yang mendistribusikan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) wajib memiliki Perizinan Berusaha sebagai Distributor atau Agen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 37

(1) Pengecer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf c dan ayat (3) huruf c serta Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2), dalam mendistribusikan Barang harus menggunakan sarana penjualan toko dan sarana penjualan lainnya.

(2) Sarana penjualan toko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. Toko Swalayan; atau b. toko dengan sistem pelayanan konvensional.

(3) Sarana penjualan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. sistem elektronik; b. penjualan dengan perangkat mesin elektronik; atau c. penjualan bergerak.

Pasal 38

Distributor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf a, wajib memenuhi ketentuan:

a. memiliki Perizinan Berusaha sebagai Distributor; b. memiliki atau menguasai tempat usaha dengan alamat yang benar, tetap, dan jelas; c. memiliki atau menguasai Gudang yang sudah terdaftar dengan alamat yang benar, tetap, dan jelas; dan d. memiliki perikatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dengan Produsen atau pemasok atau Importir mengenai Barang yang akan didistribusikan.

Pasal 39

Agen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) huruf a, wajib memenuhi ketentuan:

a. memiliki Perizinan Berusaha sebagai Agen; b. memiliki atau menguasai tempat usaha dengan alamat yang benar, tetap, dan jelas; c. memiliki perikatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dengan pihak yang menunjuknya yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak; dan d. menjalankan usaha berdasarkan Komisi yang diperoleh dari pihak yang menunjuknya.

Pasal 40

Grosir/Perkulakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b wajib memenuhi ketentuan:

a. memiliki Perizinan Berusaha sebagai Grosir/Perkulakan; dan b. memiliki kerja sama dengan Produsen, Distributor atau Importir Barang yang dilandasi dengan perikatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.

Pasal 41

Pengecer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf c dan ayat (3) huruf c wajib memenuhi ketentuan:

a. memiliki Perizinan Berusaha sebagai Pengecer; dan b. memiliki atau menguasai sarana penjualan, atau tempat usaha dengan alamat yang benar, tetap, dan jelas.

Bagian Ketiga Distribusi Barang secara Langsung

Pasal 42

(1) Distribusi Barang secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan dengan menggunakan pendistribusian khusus melalui sistem Penjualan Langsung.

(2) Sistem Penjualan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:

a. Penjualan Langsung secara Single Level; atau b. Penjualan Langsung secara Multi Level.

(3) Penjualan Langsung secara Single Level sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikembangkan oleh Penjual Langsung yang bekerja atas dasar Komisi dan/atau Bonus berdasarkan hasil penjualan Barang kepada Konsumen.

(4) Penjualan Langsung secara Multi Level sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dikembangkan oleh Penjual Langsung yang bekerja atas dasar Komisi dan/atau Bonus berdasarkan hasil penjualan Barang kepada Konsumen.

Pasal 43

(1) Perusahaan yang melakukan kegiatan Distribusi Barang dengan sistem Penjualan Langsung harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. memiliki Hak Distribusi Eksklusif terhadap Barang yang akan didistribusikan melalui penjualan secara langsung; b. memiliki Program Pemasaran; c. memiliki kode etik; d. melakukan perekrutan Penjual Langsung melalui sistem jaringan; dan e. melakukan penjualan Barang secara langsung kepada Konsumen melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh Penjual Langsung.

(2) Program Pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan mencantumkan informasi paling sedikit mengenai:

a. daftar dan profil Barang yang paling sedikit meliputi gambar, harga jual, dan manfaat; b. jenis Program Pemasaran yang digunakan; c. biaya pendaftaran calon Penjual Langsung; d. isi alat bantu penjualan; e. alur penjualan Barang dari perusahaan sampai dengan kepada Konsumen; f. jenis, perhitungan, serta jumlah Komisi dan/atau Bonus yang diberikan kepada seluruh Penjual Langsung yang dibuat dalam mata uang rupiah; g. simulasi perhitungan Komisi dan/atau Bonus kepada Penjual Langsung hingga tingkat jaringan tertentu; h. syarat dan ketentuan dalam mendapatkan Komisi dan/atau Bonus; dan i. jadwal pembayaran Komisi dan/atau Bonus.

(3) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan memuat ketentuan paling sedikit:

a. persyaratan menjadi Penjual Langsung; b. prosedur pendaftaran Penjual Langsung; c. masa berlaku keanggotaan Penjual Langsung; d. prosedur pendaftaran dalam keanggotaan; e. hak dan kewajiban perusahaan; f. hak dan kewajiban Penjual Langsung; g. program pembinaan bantuan pelatihan dan/atau fasilitas yang diberikan perusahaan Penjual Langsung; h. ganti rugi atas Barang yang tidak sesuai dengan kualitas dan jenis yang diperjanjikan dan prosedurnya; i. larangan bagi Penjual Langsung; j. sanksi; dan k. prosedur penyelesaian perselisihan.

Pasal 44

Hak Distribusi Eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf a didapat dari perjanjian atau kepemilikan atas merek dagang.

Pasal 45

Dalam hal Hak Distribusi Eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 yang didapat melalui perjanjian diputus secara sepihak oleh pemilik merek dagang sebelum masa berlaku perjanjian tersebut berakhir, pemilik merek dagang tidak dapat menunjuk perusahaan baru sebelum tercapai kesepakatan dalam penyelesaian perselisihan oleh para pihak atau sampai ada putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Pasal 46

Kegiatan usaha Perdagangan dengan sistem Penjualan Langsung diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara perusahaan dan Penjual Langsung dengan memperhatikan kode etik.

Pasal 47

Dalam melakukan perekrutan Penjual Langsung melalui sistem jaringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf d, perusahaan wajib memberikan keterangan secara lisan dan tertulis dengan benar kepada calon Penjual Langsung paling sedikit mengenai:

a. identitas perusahaan; b. mutu dan spesifikasi Barang; c. kondisi dan jaminan Barang serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaannya; d. Program Pemasaran; dan e. kode etik.

Pasal 48

Perusahaan yang telah melakukan perekrutan Penjual Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dalam melakukan kegiatan usaha Penjualan Langsung wajib:

a. memberikan alat bantu penjualan kepada setiap Penjual Langsung yang paling sedikit berisikan keterangan mengenai Barang, Program Pemasaran, dan kode etik; b. memastikan kegiatan yang dilakukan oleh Penjual Langsung sesuai dengan Program Pemasaran dan kode etik; c. mencantumkan label pada Barang dan/atau kemasan yang paling sedikit memuat nama perusahaan dan keterangan bahwa Barang dijual dengan sistem Penjualan Langsung; d. menetapkan harga Barang yang dijual dalam mata uang rupiah dan berlaku untuk Penjual Langsung dan Konsumen; e. memberikan Komisi dan/atau Bonus berdasarkan hasil kegiatan penjualan Barang yang dilakukan oleh Penjual Langsung dan jaringannya sesuai dengan yang diperjanjikan; f. memberikan tenggang waktu kepada Konsumen untuk mengembalikan Barang dengan jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak Barang diterima, apabila ternyata Barang tersebut tidak sesuai dengan yang diperjanjikan; g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian yang ditimbulkan akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan Barang yang diperdagangkan; h. melaksanakan pembinaan dan pelatihan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan para Penjual Langsung, agar bertindak dengan benar, jujur, dan bertanggung jawab; i. memberikan kesempatan yang sama kepada semua Penjual Langsung untuk berprestasi dalam memasarkan Barang; j. memiliki daftar Penjual Langsung yang menjadi anggota jaringan pemasarannya yang dilengkapi dengan data identitas Penjual Langsung dimaksud; k. menjual Barang yang telah memiliki izin edar atau telah memenuhi ketentuan Standar mutu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan l. memastikan Penjual Langsung tidak menjual Barang melalui saluran disribusi tidak langsung dan/atau online market place.

Pasal 49

Jumlah Komisi dan/atau Bonus yang diberikan kepada Penjual Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf e paling banyak 60% (enam puluh persen) dari omzet perusahaan.

Pasal 50

Pelaku Usaha Distribusi dalam sistem Penjualan Langsung merupakan perusahaan yang memiliki Perizinan Berusaha sebagai Perusahaan Penjualan Langsung.

Pasal 51

Perusahaan yang telah memiliki Perizinan Berusaha di bidang Penjualan Langsung dilarang melakukan kegiatan:

a. menawarkan, mempromosikan, mengiklankan Barang secara tidak benar, berbeda, atau bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya; b. menawarkan Barang dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan, baik fisik maupun psikis terhadap Konsumen; c. menawarkan Barang dengan membuat atau mencantumkan klausula baku pada dokumen dan/atau perjanjian yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan Konsumen; d. menjual Barang yang tidak mempunyai tanda daftar dari instansi teknis yang berwenang, khususnya bagi Barang yang wajib terdaftar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; e. menjual Barang yang tidak memenuhi ketentuan Standar mutu Barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; f. menarik dan/atau mendapatkan keuntungan melalui iuran keanggotaan atau pendaftaran sebagai mitra usaha secara tidak wajar; g. menerima pendaftaran keanggotaan sebagai Penjual Langsung dengan nama yang sama lebih dari 1 (satu) kali; h. membayar Komisi dan/atau Bonus dari hasil iuran keanggotaan atau perekrutan Penjual Langsung; i. memberikan Komisi dan/atau Bonus dari Program Pemasaran ketika perusahaan tidak melakukan penjualan Barang. j. menjual atau memasarkan Barang yang tercantum dalam perizinan berusahanya melalui saluran Distribusi tidak langsung dan/atau online market place; k. menjual langsung kepada Konsumen tanpa melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh Penjual Langsung; l. melakukan usaha yang terkait dengan penghimpunan dana masyarakat; m. membentuk jaringan pemasaran dengan menggunakan Skema Piramida; n. menjual dan/atau memasarkan Barang yang tidak tercantum dalam Program Pemasaran; dan/atau o. menjual Barang dan/atau Jasa yang termasuk produk komoditi berjangka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 52

Menteri melakukan pembinaan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan kegiatan usaha Distribusi Barang secara langsung.

Pasal 53

(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dilakukan melalui penyuluhan, konsultasi, pendidikan, dan pelatihan.

(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dilakukan berdasarkan laporan tahunan kegiatan usaha perusahaan yang disampaikan oleh perusahaan dan hasil verifikasi ke lokasi perusahaan.

(3) Dalam melaksanakan pembinaan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait di pusat dan/atau di daerah serta asosiasi di bidang Penjualan Langsung.

Pasal 54

Barang yang termasuk produk komoditi berjangka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan dan/atau Jasa dilarang dipasarkan melalui sistem Penjualan Langsung.

Bagian Keempat Larangan

Pasal 55

(1) Produsen, Distributor, dan Grosir/Perkulakan dilarang mendistribusikan Barang secara eceran kepada Konsumen.

(2) Agen dilarang melakukan pemindahan hak atas fisik Barang yang dimiliki/dikuasai oleh Produsen, pemasok, dan/atau Importir yang menunjuknya.

(3) Pelaku Distribusi tidak langsung dilarang mendistribusikan Barang yang dipasarkan oleh sistem Penjualan Langsung yang memiliki Hak Distribusi Eksklusif.

(4) Importir dilarang mendistribusikan Barang secara langsung kepada Pengecer kecuali bertindak sebagai Distributor.

(5) Pengecer dilarang melakukan Impor Barang.

Bagian Kelima Ketentuan Lain- Lain

Pasal 56

Dalam menjual Barang, Produsen tidak perlu memiliki Perizinan Berusaha di bidang Perdagangan.

Pasal 57

Produsen dapat memasok atau mendistribusikan Barang yang diperuntukkan sebagai Bahan Baku, bahan penolong, atau Barang modal kepada Produsen lainnya tanpa melalui Distributor dan jaringannya atau Agen dan jaringannya.

Pasal 58

Produsen dengan skala usaha mikro dan usaha kecil serta Produsen Barang yang mudah basi atau tidak tahan lebih lama dari 7 (tujuh) hari dapat menjual Barang kepada Konsumen tanpa melalui Distributor dan jaringannya atau Agen dan jaringannya.

Pasal 59

(1) Ketentuan mengenai Distribusi Barang dalam Peraturan Pemerintah ini dikecualikan untuk:

a. pengadaan Barang pemerintah dengan kriteria Barang untuk keadaan tertentu; dan/atau b. pemenuhan ketersediaan dan kestabilan harga Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting berdasarkan persetujuan Menteri.

(2) Pengadaan Barang pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai pengadaan Barang/Jasa pemerintah.

BAB V SARANA PERDAGANGAN

Bagian Kesatu Gudang

Pasal 60

(1) Gudang terdiri dari Gudang tertutup dan Gudang terbuka.

(2) Gudang tertutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digolongkan atas:

a. Gudang tertutup golongan A, dengan kriteria: 1. luas 100 m² (seratus meter persegi) sampai dengan 1.000 m² (seribu meter persegi); dan/atau 2. kapasitas penyimpanan antara 360 mS (tiga ratus enam puluh meter kubik) sampai dengan 3.600 mS (tiga ribu enam ratus meter kubik). b. Gudang tertutup golongan B, dengan kriteria: 1. luas di atas 1.000 m² (seribu meter persegi) sampai dengan 2.500 m² (dua ribu lima ratus meter persegi); dan/atau 2. kapasitas penyimpanan di atas 3.600 mS (tiga ribu enam ratus meter kubik) sampai dengan 9.000 mS (sembilan ribu meter kubik). c. Gudang tertutup golongan C, dengan kriteria: 1. luas di atas 2.500 m² (dua ribu lima ratus meter persegi); dan/atau 2. kapasitas penyimpanan di atas 9.000 mS (sembilan ribu meter kubik). d. Gudang tertutup golongan D, dengan kriteria: 1. Gudang berbentuk silo atau tangki; dan/atau 2. kapasitas penyimpanan paling sedikit 762 mS (tujuh ratus enam puluh dua meter kubik) atau 400 ton (empat ratus ton).

(3) Gudang terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kriteria luas paling sedikit 1.000 m² (seribu meter persegi).

(4) Penggolongan Gudang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat diubah dengan Peraturan Menteri berdasarkan keputusan rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian, yang dihadiri menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakili yang diberikan kewenangan untuk dan atas nama menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian.

Pasal 61

(1) Setiap pemilik Gudang wajib memiliki TDG dari Menteri.

(2) Untuk memiliki TDG sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemilik Gudang harus melakukan pendaftaran Gudang.

Pasal 62

(1) Kewenangan penerbitan TDG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.

(2) Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan TDG kepada:

a. Gubernur DKI Jakarta untuk Provinsi DKI Jakarta; dan b. bupati/wali kota.

Pasal 63

(1) Gubernur DKI Jakarta untuk Provinsi DKI Jakarta dan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2) dapat melimpahkan kewenangan penerbitan TDG kepada kepala unit pelayanan terpadu satu pintu.

(2) Kepala unit pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang melakukan penerbitan TDG secara elektronik melalui sistem yang terintegrasi dengan sistem kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan menyerahkan tembusan TDG yang telah diterbitkan kepada Menteri dan kepala dinas yang membidangi Perdagangan.

Paragraf 1 Pencatatan Administrasi Gudang

Pasal 64

Pengelola Gudang wajib menyelenggarakan pencatatan administrasi Gudang mengenai jenis dan jumlah Barang yang disimpan, yang masuk, dan yang keluar dari Gudang.

Pasal 65

(1) Pencatatan administrasi Gudang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 paling sedikit memuat informasi mengenai:

a. pemilik Barang; b. NIB pemilik Barang; c. jenis atau kelompok Barang; d. jumlah Barang; e. tanggal masuk Barang; f. asal Barang; g. tanggal keluar Barang; h. tujuan Barang; dan i. sisa Barang yang tersimpan di Gudang (stok).

(2) Dalam hal diperlukan, pencatatan administrasi Gudang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib tersedia setiap saat dan diperlihatkan kepada Petugas Pengawas Perdagangan dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perdagangan dan/atau dinas provinsi/kabupaten/ kota yang membidangi Perdagangan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 66

Ketentuan pencatatan administrasi Gudang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dikecualikan terhadap:

a. Gudang yang digunakan untuk menyimpan Barang dengan sistem resi gudang; dan b. Gudang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan sementara bagi Jasa pengiriman Barang.

Paragraf 2 Pelaporan

Pasal 67

(1) Kepala dinas yang membidangi Perdagangan di:

a. Provinsi DKI Jakarta; dan b. kabupaten/kota, wajib melaporkan rekapitulasi perkembangan penerbitan TDG setiap 3 (tiga) bulan sekali kepada Menteri.

(2) Kepala dinas yang membidangi Perdagangan di tingkat kabupaten/kota menyampaikan laporan rekapitulasi perkembangan penerbitan TDG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan tembusan kepala dinas yang membidangi Perdagangan di tingkat provinsi.

(3) Penyampaian laporan rekapitulasi perkembangan penerbitan TDG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara elektronik.

Pasal 68

Pengelola Gudang wajib memberikan data dan informasi mengenai ketersediaan Barang yang ada di Gudang yang dikuasainya, jika diminta oleh Menteri, Gubernur DKI Jakarta untuk Provinsi DKI Jakarta, bupati/wali kota, atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 69

Ketentuan mengenai pendaftaran Gudang sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini dikecualikan terhadap:

a. Gudang yang berada pada tempat penimbunan berikat; b. Gudang yang berada pada tempat penimbunan di bawah pengawasan direktorat jenderal yang membidangi kepabeanan; dan c. Gudang yang melekat dengan usaha ritel/eceran yang digunakan sebagai tempat penyimpanan sementara Barang dagangan eceran, atau Gudang yang melekat dengan tempat produksi.

Paragraf 3 Pembinaan

Pasal 70

(1) Dalam rangka pemenuhan ketersediaan Barang, stabilitas harga, dan kelancaran Distribusi Barang, Gubernur DKI Jakarta untuk Provinsi DKI Jakarta dan/atau bupati/wali kota menugaskan kepala dinas yang membidangi Perdagangan untuk melakukan pembinaan terhadap kegiatan pendaftaran Gudang, penyimpanan Barang di Gudang, dan pelaporan.

(2) Pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sendiri oleh dinas Provinsi DKI Jakarta dan dinas kabupaten/kota yang membidangi Perdagangan dan/atau bersama- sama dengan dinas provinsi yang membidangi Perdagangan dan/atau Menteri.

(3) Pembinaan terhadap kegiatan pendaftaran Gudang, penyimpanan Barang di Gudang, dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk pelatihan, konsultasi, dan/atau kunjungan lapangan.

Bagian Kedua Pasar Rakyat

Paragraf 1 Umum

Pasal 71

(1) Menteri menata dan/atau membangun Pasar Rakyat yang dikelola oleh Pemerintah Daerah, swasta, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, dan/atau koperasi.

(2) Toko/kios, los, hamparan/dasaran/jongko, dan/atau tenda yang berada dalam Pasar Rakyat dimiliki/dimanfaatkan oleh pedagang kecil dan menengah, dan/atau koperasi serta UMK-M sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 72

(1) Menteri bekerja sama dengan Pemerintah Daerah melakukan pembangunan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitas pengelolaan Pasar Rakyat.

(2) Pembangunan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitas pengelolaan Pasar Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk:

a. pembangunan dan/atau revitalisasi Pasar Rakyat; b. implementasi manajemen pengelolaan Pasar Rakyat yang profesional; c. fasilitasi akses penyediaan Barang dengan mutu yang baik dan harga yang bersaing; d. fasilitasi akses pembiayaan kepada pedagang di Pasar Rakyat; dan/atau e. fasilitasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pengelolaan dan proses transaksi di Pasar Rakyat.

Pasal 73

(1) Pembangunan dan/atau revitalisasi Pasar Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf a mencakup:

a. fisik; b. manajemen; c. ekonomi; dan d. sosial.

(2) Pembangunan dan/atau revitalisasi fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan berpedoman pada SNI Pasar Rakyat dan ketentuan peraturan perundang- undangan terkait bangunan yang antara lain meliputi:

a. kondisi fisik bangunan berpedoman pada desain standar purwarupa Pasar Rakyat; b. zonasi Barang yang diperdagangkan; c. sarana kebersihan, kesehatan, keamanan, dan lingkungan; d. kemudahan akses transportasi; dan e. sarana teknologi informasi dan komunikasi.

(3) Pembangunan dan/atau revitalisasi fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku untuk Pasar Rakyat yang dibangun melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Pembangunan dan/atau revitalisasi manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan berpedoman pada SNI Pasar Rakyat dengan mempertimbangkan paling sedikit:

a. peningkatan profesionalisme pengelola; b. pemberdayaan Pelaku Usaha; c. pemantauan Barang terhadap pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau d. penerapan standar operasional prosedur pengelolaan dan pelayanan Pasar Rakyat.

(5) Pembangunan dan/atau revitalisasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan upaya perbaikan dan peningkatan sistem interaksi sosial budaya antarpemangku kepentingan, antara pedagang di Pasar Rakyat dengan Konsumen, dan pembinaan pedagang kaki lima untuk mewujudkan Pasar Rakyat yang kondusif dan nyaman.

Pasal 74

(1) Pembangunan dan/atau revitalisasi Pasar Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf a dapat dibiayai melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pembangunan dan/atau revitalisasi Pasar Rakyat yang menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara, diutamakan memenuhi kriteria dan persyaratan paling sedikit:

a. telah memiliki embrio Pasar Rakyat; b. berada di lokasi yang strategis dan didukung oleh kemudahan akses transportasi; c. kondisi sosial ekonomi masyarakat, termasuk UMK-M, yang ada di daerah setempat; dan d. peran Pasar Rakyat dalam rantai Distribusi.

(3) Dalam hal pembangunan Pasar Rakyat yang mengalami bencana dan/atau berada di daerah tertinggal, terluar, terpencil, dan perbatasan dapat dikecualikan dari kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) Pembangunan dan/atau revitalisasi Pasar Rakyat yang menggunakan anggaran pendapatan dan belanja daerah, harus memenuhi kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta ketentuan lain yang diatur oleh masing- masing daerah.

(5) Menteri dan/atau Pemerintah Daerah dapat bekerja sama dengan swasta, koperasi, badan usaha milik negara, dan/atau badan usaha milik daerah dalam membangun dan/atau merevitalisasi Pasar Rakyat.

(6) Dalam hal Menteri dan/atau Pemerintah Daerah bekerja sama dengan swasta, koperasi, badan usaha milik negara, dan/atau badan usaha milik daerah dalam membangun dan/atau merevitalisasi Pasar Rakyat, kepemilikan Pasar Rakyat diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 75

(1) Menteri menghibahkan Pasar Rakyat yang dibangun dengan anggaran pendapatan dan belanja negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) kepada Pemerintah Daerah paling lambat 1 (satu) tahun setelah pembangunan dan/atau revitalisasi selesai dilakukan.

(2) Pemeliharaan, pengelolaan, dan pemberdayaan Pasar Rakyat yang telah dihibahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja daerah.

(3) Pemerintah Daerah wajib mengasuransikan Pasar Rakyat yang telah dihibahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 76

(1) Implementasi manajemen pengelolaan Pasar Rakyat yang profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf b dapat dilakukan bekerja sama dengan swasta, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, dan/atau koperasi dan/atau menunjuk perangkat daerah.

(2) Implementasi manajemen pengelolaan Pasar Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penerapan ketentuan SNI Pasar Rakyat.

Pasal 77

Fasilitasi akses penyediaan Barang dengan mutu yang baik dan harga yang bersaing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf c dapat dilakukan dengan:

a. memfasilitasi kemitraan antara pedagang dan Produsen dan/atau Distributor; b. menyediakan informasi tentang sumber pasokan Barang yang memenuhi Standar mutu Barang; dan/atau c. memfasilitasi pembentukan asosiasi, forum komunikasi, koperasi, dan/atau forum lain dalam rangka penyediaan Barang.

Pasal 78

Fasilitasi akses pembiayaan kepada pedagang di Pasar Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf d dapat dilakukan dengan:

a. memfasilitasi sumber pembiayaan dari pinjaman bank dan/atau lembaga keuangan bukan bank dengan proses yang mudah dan suku bunga terjangkau; b. memfasilitasi sumber pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan/atau c. meningkatkan kerja sama antara pengelola Pasar Rakyat dan pedagang di Pasar Rakyat melalui koperasi dan/atau asosiasi.

Paragraf 2 Pengembangan, Penataan, dan Pembinaan

Pasal 79

(1) Lokasi pendirian Pasar Rakyat harus mengacu pada:

a. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota; atau b. rencana detail tata ruang kabupaten/kota.

(2) Dalam hal Pemerintah Daerah belum memiliki rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota atau rencana detail tata ruang kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lokasi pendirian Pasar Rakyat mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penataan ruang.

(3) Pasar Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berlokasi di setiap sistem jaringan jalan, termasuk sistem jaringan jalan lokal atau jalan lingkungan di kawasan pelayanan bagian kabupaten/ kota, lokal, atau lingkungan (perumahan) di dalam kabupaten/kota.

Pasal 80

Ketentuan mengenai pembangunan dan/atau revitalisasi Pasar Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dan kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2) berlaku mutatis mutandis untuk Pasar Rakyat yang ditata, dibangun, dan/atau dikelola oleh swasta, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau koperasi.

Pasal 81

Menteri, Pemerintah Daerah, dan masyarakat berperan aktif dalam mempromosikan Pasar Rakyat untuk mendorong peningkatan transaksi Perdagangan di Pasar Rakyat.

Pasal 82

(1) Dalam hal Pasar Rakyat yang telah ditata, dibangun, dikelola, dan/atau dimiliki oleh Menteri dan/atau Pemerintah Daerah mengalami bencana alam, bencana nonalam, dan/atau bencana sosial, pembangunan kembali Pasar Rakyat dilakukan oleh Menteri dan/atau Pemerintah Daerah.

(2) Pemerintah Daerah wajib memberikan prioritas kepada koperasi dan UMK-M yang terdaftar sebagai pedagang di Pasar Rakyat yang mengalami bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memperoleh toko/kios, los, hamparan/dasaran/ jongko, dan/atau tenda dengan harga pemanfaatan yang terjangkau.

Pasal 83

(1) Menteri menetapkan pedoman harga pemanfaatan toko/kios, los, hamparan/dasaran/jongko, dan/atau tenda.

(2) Pemerintah Daerah menetapkan harga pemanfaatan toko/kios, los, hamparan/dasaran/jongko, dan/atau tenda berdasarkan pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 84

Menteri, gubernur, dan/atau bupati/wali kota secara sendiri atau bersama-sama melakukan pembinaan terhadap pengelola Pasar Rakyat.

Bagian Ketiga Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan

Paragraf 1 Umum

Pasal 85

(1) Pusat Perbelanjaan dapat berbentuk:

a. pertokoan; b. mal; dan c. plaza.

(2) Toko Swalayan dapat berbentuk:

a. minimarket; b. supermarket; c. department store; d. hypermarket; dan e. Grosir/Perkulakan yang berbentuk toko dengan sistem pelayanan mandiri.

Pasal 86

(1) Pendirian Pusat Perbelanjaan atau Toko Swalayan harus memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, keberadaan Pasar Rakyat, dan UMK- M yang ada di zona atau area atau wilayah setempat.

(2) Pengelola Pusat Perbelanjaan dan Pelaku Usaha Toko Swalayan harus menyediakan paling sedikit:

a. areal parkir; b. fasilitas yang menjamin Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan bersih, sehat (higienis), aman, dan tertib; dan c. ruang publik yang nyaman.

(3) Pelaku Usaha dapat mendirikan minimarket, supermarket, hypermarket, dan Grosir/Perkulakan yang berbentuk toko dengan sistem pelayanan mandiri yang berdiri sendiri atau terintegrasi dengan Pusat Perbelanjaan yang telah memiliki Perizinan Berusaha dan/atau bangunan atau kawasan lain.

(4) Dalam hal Toko Swalayan berbentuk department store, pendirian department store oleh Pelaku Usaha yang merupakan:

a. penanam modal asing harus dilakukan terintegrasi dengan Pusat Perbelanjaan yang telah memiliki Perizinan Berusaha; atau b. penanam modal dalam negeri dapat dilakukan berdiri sendiri atau terintegrasi dengan Pusat Perbelanjaan yang telah memiliki Perizinan Berusaha dan/atau bangunan atau kawasan lain.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi Toko Swalayan jika terintegrasi dengan Pusat Perbelanjaan yang telah memiliki Perizinan Berusaha, Pusat Niaga, dan/atau bangunan atau kawasan lain.

Pasal 87

Toko Swalayan memiliki batasan luas lantai penjualan dengan ketentuan:

a. minimarket, sampai dengan 400 m² (empat ratus meter persegi); b. supermarket, di atas 400 m² (empat ratus meter persegi) sampai dengan 5.000 m² (lima ribu meter persegi); c. department store, paling sedikit 400m² (empat ratus meter persegi); d. hypermarket, di atas 5.000 m² (lima ribu meter persegi); dan e. Grosir/Perkulakan yang berbentuk toko dengan sistem pelayanan mandiri, paling sedikit 2.000 m² (dua ribu meter persegi) dan untuk Grosir/Perkulakan koperasi yang berbentuk toko dengan sistem pelayanan mandiri paling sedikit 1.000 m² (seribu meter persegi).

Pasal 88

Sistem penjualan dan jenis Barang dagangan yang harus diterapkan dalam Toko Swalayan meliputi:

a. minimarket, supermarket, dan hypermarket menjual secara eceran berbagai jenis Barang konsumsi terutama produk makanan dan/atau produk rumah tangga lainnya yang dapat berupa bahan bangunan, furnitur, elektronik, dan bentuk produk khusus lainnya; b. department store menjual secara eceran berbagai jenis Barang konsumsi terutama produk sandang dan perlengkapannya dengan penataan berdasarkan jenis kelamin dan/atau tingkat usia Konsumen; dan c. Grosir/Perkulakan yang berbentuk toko dengan sistem pelayanan mandiri menjual secara partai besar/tidak secara eceran berbagai jenis Barang konsumsi.

Paragraf 2 Pengembangan, Penataan, dan Pembinaan

Pasal 89

(1) Lokasi pendirian Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan harus mengacu pada:

a. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota; atau b. rencana detail tata ruang kabupaten/kota.

(2) Dalam hal Pemerintah Daerah belum memiliki rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota atau rencana detail tata ruang kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lokasi pendirian Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan mengacu pada ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai penataan ruang.

Pasal 90

Ketentuan mengenai lokasi pendirian Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak berlaku bagi Toko Swalayan jika terintegrasi dengan Pusat Perbelanjaan yang telah memiliki Perizinan Berusaha, Pusat Niaga, dan/atau bangunan atau kawasan lain.

Pasal 91

(1) Supermarket, hypermarket, dan department store wajib memenuhi ketentuan jam operasional.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jam operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 92

(1) Dalam hal Pusat Perbelanjaan dibangun kembali karena sebab apapun, pengelola Pusat Perbelanjaan wajib memberikan prioritas kepada koperasi dan UMK-M yang terdaftar sebagai pedagang di Pusat Perbelanjaan untuk memiliki atau menyewa lokasi baru dari Pusat Perbelanjaan yang dibangun kembali dengan harga pemanfaatan yang terjangkau.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula dalam hal Pasar Rakyat yang dimiliki oleh Pelaku Usaha dibangun kembali sebagai Pusat Perbelanjaan.

Paragraf 3 Kerja Sama Usaha, Kemitraan, dan Kepemilikan

Pasal 93

Pelaku Usaha Toko Swalayan yang melakukan kerja sama pasokan Barang wajib mengikutsertakan pelaku UMK-M.

Pasal 94

(1) Kerja sama usaha pemasokan Barang antara pemasok dengan Pelaku Usaha Toko Swalayan dibuat dengan perjanjian tertulis dalam bahasa Indonesia dan terhadapnya berlaku hukum Indonesia.

(2) Dalam hal perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat persyaratan Perdagangan, maka harus jelas, wajar, berkeadilan, dan saling menguntungkan serta disepakati kedua belah pihak tanpa tekanan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian kerja sama usaha pemasokan Barang yang terdapat persyaratan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

(4) Pelaku Usaha yang membuat persyaratan Perdagangan wajib memenuhi ketentuan mengenai persyaratan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 95

(1) Dalam pengembangan kerja sama usaha antara pemasok UMK-M dan Pelaku Usaha Toko Swalayan, persyaratan Perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 dilakukan dengan ketentuan Pelaku Usaha Toko Swalayan:

a. tidak memungut biaya administrasi pendaftaran Barang dari pemasok UMK- M; dan b. membayar kepada pemasok UMK-M secara tunai, atau dengan alasan teknis tertentu dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari setelah seluruh dokumen penagihan diterima.

(2) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan secara tidak tunai jika berdasarkan perhitungan biaya risiko dan bunga tidak merugikan pemasok UMK-M.

Pasal 96

(1) Dalam menciptakan hubungan kerja sama yang berkeadilan dan saling menguntungkan, Menteri dan Pemerintah Daerah dapat memfasilitasi kepentingan pemasok dan Pelaku Usaha Toko Swalayan dalam merundingkan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2).

(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diawasi secara tertib dan teratur oleh lembaga yang dibentuk dan bertugas untuk mengawasi persaingan usaha sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan.

(3) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), lembaga yang dibentuk dan bertugas untuk mengawasi persaingan usaha berkoordinasi dengan instansi terkait.

Pasal 97

(1) Pelaku Usaha Toko Swalayan wajib menyediakan Barang dagangan produk dalam negeri.

(2) Dalam hal menggunakan merek Toko Swalayan sendiri, Pelaku Usaha Toko Swalayan wajib:

a. bertanggung jawab terhadap Barang dagangannya telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kekayaan intelektual; dan b. membina pengembangan produk dan merek sendiri bagi Barang dagangan untuk UMK-M.

(3) Pengelola Pusat Perbelanjaan wajib menyediakan dan/atau menawarkan:

a. ruang usaha dalam rangka kemitraan dengan harga jual atau biaya sewa sesuai kemampuan kepada usaha mikro dan usaha kecil; dan/atau b. ruang promosi dan/atau ruang usaha yang proporsional dan strategis untuk pencitraan dan/atau pemasaran produk dalam negeri dengan merek dalam negeri.

Pasal 98

(1) Toko Swalayan dalam menjual Barang yang menggunakan merek Toko Swalayan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (2) mengutamakan Barang produksi UMK-M dan Barang yang diproduksi di Indonesia.

(2) Toko Swalayan dilarang memaksa Produsen UMK- M yang akan memasarkan produksinya di dalam Toko Swalayan untuk menggunakan merek milik Toko Swalayan pada hasil produksi UMK-M yang telah memiliki merek sendiri.

(3) Pelaku Usaha Toko Swalayan yang memasarkan Barang hasil produksi UMK-M dengan merek Toko Swalayan sendiri wajib mencantumkan nama UMK-M yang memproduksi Barang.

(4) Pelaku Usaha Toko Swalayan wajib memenuhi ketentuan pembatasan kepemilikan gerai Toko Swalayan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai ketentuan pembatasan kepemilikan gerai Toko Swalayan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 4 Perizinan

Pasal 99

(1) Pelaku Usaha yang mengelola Pusat Perbelanjaan dan Pelaku Usaha Toko Swalayan wajib memenuhi Perizinan Berusaha di bidang Perdagangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik.

(2) Pelaku Usaha yang berada di dalam Pasar Rakyat atau Pusat Perbelanjaan wajib memenuhi Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik, kecuali Pelaku Usaha dengan skala usaha mikro dan usaha kecil.

Paragraf 5 Pembinaan

Pasal 100

Menteri dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan terhadap pengembangan dan penataan Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan.

Pasal 101

(1) Menteri dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan pedoman teknis terkait dengan perizinan, jarak dan lokasi pendirian, kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat, kemitraan, dan kerja sama usaha.

(2) Pengembangan, penataan, dan pembinaan Pasar Rakyat, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Swalayan harus mengacu pada pedoman teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

(4) Pemerintah Daerah dalam menetapkan pedoman teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan Pemerintah Pusat.

Pasal 102

(1) Menteri dalam melakukan pembinaan dapat meminta data dan/atau informasi kepada pengelola Pasar Rakyat, pengelola Pusat Perbelanjaan, dan Pelaku Usaha Toko Swalayan secara berkala atau sewaktu-waktu jika diperlukan.

(2) Pengelola Pasar Rakyat, pengelola Pusat Perbelanjaan, dan Pelaku Usaha Toko Swalayan wajib memberikan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan lengkap dan akurat.

BAB VI PELAPORAN

Pasal 103

Setiap Pelaku Usaha Distribusi yang mendistribusikan Barang wajib menyampaikan laporan Distribusi Barang kepada Menteri.

Pasal 104

(1) Pelaku Usaha Distribusi yang mendistribusikan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting wajib menyampaikan laporan stok Distribusi Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting kepada Menteri.

(2) Jenis Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setiap bulan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya secara elektronik.

Pasal 105

(1) Pengelola Pasar Rakyat wajib menyampaikan laporan kepada Menteri terkait:

a. omzet tahunan dari seluruh pedagang; b. data harga bulanan Barang Kebutuhan Pokok; c. data nama pedagang berdasarkan alamat di pasar dan komoditi yang dijual; dan d. data Barang kebutuhan pasokan pasar.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik.

Pasal 106

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan kegiatan usaha Perdagangan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Pasal 104, dan Pasal 105 diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VII STANDARDISASI

Pasal 107

(1) Barang yang diperdagangkan di dalam negeri harus memenuhi:

a. SNI yang telah diberlakukan secara wajib; atau b. persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib.

(2) Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan Barang di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI yang telah diberlakukan secara wajib atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib.

(3) Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri, menteri, atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan mempertimbangkan aspek:

a. keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup; b. daya saing Produsen nasional dan persaingan usaha yang sehat; c. kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional; dan/atau d. kesiapan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian.

(5) Barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian atau dilengkapi sertifikat kesesuaian yang diakui oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6) Barang yang diperdagangkan dan belum diberlakukan SNI secara wajib dapat dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian sepanjang telah dibuktikan dengan sertifikat produk penggunaan tanda SNI atau sertifikat kesesuaian.

(7) Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib, tetapi tidak membubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian atau tidak melengkapi sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai sanksi administratif.

Pasal 108

(1) Produsen sebelum memperdagangkan atau Importir sebelum melaksanakan Impor Barang yang telah diberlakukan SNI secara wajib atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1) wajib:

a. mendaftarkan Barang yang diperdagangkan kepada Menteri; dan b. mencantumkan nomor pendaftaran pada Barang dan/atau kemasannya.

(2) Pendaftaran dilakukan sebelum diperdagangkan untuk Barang produksi dalam negeri atau sebelum diimpor untuk Barang luar negeri.

(3) Pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap pangan olahan, obat, kosmetik, dan alat kesehatan.

(4) Pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Barang yang wajib dilakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

(6) Daftar Barang yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diubah berdasarkan keputusan rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian, yang dihadiri menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakili yang diberikan kewenangan untuk dan atas nama menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian.

(7) Ketentuan, persyaratan, dan tata cara pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko.

Pasal 109

(1) Produsen atau Importir wajib mendaftarkan Barang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup yang diproduksi dalam negeri atau diimpor, sebelum beredar di pasar.

(2) Penetapan jenis Barang yang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan kriteria SNI atau Standar lain yang diakui yang belum diberlakukan secara wajib.

(3) Penetapan jenis Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Barang listrik dan elektronika; dan b. Barang yang mengandung bahan kimia berbahaya.

(4) Penetapan jenis Barang listrik dan elektronika sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan berdasarkan bahaya kejut listrik bagi Konsumen.

(5) Penetapan jenis Barang yang mengandung bahan kimia berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan berdasarkan kandungan bahan kimia yang berbahaya bagi Konsumen.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Barang yang wajib dilakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

(7) Daftar Barang yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat diubah berdasarkan keputusan rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian, yang dihadiri menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakili yang diberikan kewenangan untuk dan atas nama menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian.

(8) Kewajiban pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap Barang yang telah diberlakukan SNI secara wajib dan/atau Barang yang telah diatur pendaftarannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(9) Kewenangan pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri.

(10) Produsen atau Importir yang tidak memenuhi ketentuan kewajiban pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.

(11) Ketentuan, persyaratan, dan tata cara pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko.

Pasal 110

(1) Penyedia Jasa dilarang memperdagangkan Jasa di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang telah diberlakukan secara wajib.

(2) Pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri, menteri, atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(3) Pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan aspek:

a. keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup; b. daya saing Produsen nasional dan persaingan usaha yang sehat; c. kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional; d. kesiapan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian; dan/atau e. budaya, adat istiadat, atau tradisi berdasarkan kearifan lokal.

(4) Jasa yang telah diberlakukan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan sertifikat kesesuaian yang diakui oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Jasa yang diperdagangkan dan memenuhi SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang belum diberlakukan secara wajib dapat menggunakan sertifikat kesesuaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6) Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa yang telah diberlakukan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib, tetapi tidak dilengkapi sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administratif.

Pasal 111

(1) Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1) dapat dilakukan terhadap Barang dalam rangka:

a. menjaga mutu Barang tujuan Ekspor; b. meningkatkan daya saing dan citra produk Indonesia; dan/atau c. mengembangkan pasar Ekspor produk Indonesia.

(2) Pelaku Usaha yang akan melaksanakan Ekspor Barang yang wajib memenuhi SNI atau persyaratan teknis secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi Perizinan Berusaha.

(3) Ketentuan persyaratan dan tata cara Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko.

Pasal 112

(1) Tanda SNI atau tanda kesesuaian atau sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (5) dan Pasal 110 ayat (4) diterbitkan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(2) Dalam hal lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ada yang terakreditasi, Menteri, menteri, atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan dapat menunjuk lembaga penilaian kesesuaian yang sudah terakreditasi untuk ruang lingkup sejenis.

(3) Penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama untuk jangka waktu 2 (dua) tahun.

(4) Lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus terdaftar di direktorat jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga.

BAB VIII PENGEMBANGAN EKSPOR

Bagian Kesatu Pembinaan Pelaku Ekspor

Pasal 113

(1) Pemerintah Pusat dapat menetapkan komoditas dan pasar tujuan Ekspor prioritas serta kebijakan Ekspor lainnya.

(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri dengan terlebih dahulu melalui rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.

(3) Komoditas dan pasar tujuan Ekspor prioritas serta kebijakan Ekspor lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi rujukan kementerian/lembaga dalam pelaksanaan kegiatan pengembangan Ekspor.

Pasal 114

(1) Pemerintah Pusat melakukan pembinaan terhadap Pelaku Usaha dalam rangka pengembangan Ekspor untuk perluasan akses pasar bagi Barang dan Jasa produksi dalam negeri.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemberian:

a. insentif berupa fiskal dan/atau nonfiskal; b. fasilitas; c. informasi peluang pasar; d. bimbingan teknis; e. bantuan promosi dan pemasaran; dan f. pembiayaan, penjaminan, dan asuransi Ekspor.

(3) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah, perguruan tinggi, dunia usaha, asosiasi, dan pemangku kepentingan lain.

(4) Kegiatan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara terstandardisasi dan tersinkronisasi.

(5) Menteri menetapkan standar pelaksanaan kegiatan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(6) Menteri melakukan sinkronisasi kegiatan pembinaan yang dilaksanakan oleh kementerian/lembaga terkait.

Pasal 115

(1) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2) huruf a dapat berupa insentif di bidang perpajakan dan/atau kepabeanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Insentif nonfiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2) huruf a terdiri atas:

a. penyederhanaan persyaratan dan prosedur penerbitan perizinan dan/atau nonperizinan di bidang Perdagangan; dan/atau b. pendampingan dalam pengurusan pendaftaran kekayaan intelektual, sertifikasi halal, sertifikasi mutu Barang, sertifikasi Jasa, sertifikasi profesi, dan/atau sertifikasi lain.

(3) Pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2) huruf b dapat berupa:

a. penyediaan ruang pamer produk Ekspor secara fisik dan/atau virtual; b. pemberian kesempatan untuk mengikuti kegiatan di pusat pengembangan desain; c. pemberian akses pemanfaatan pelayanan Pelaku Usaha berupa konsultasi dan pendampingan penyelesaian permasalahan Ekspor;dan/atau d. pemberian fasilitas lain.

(4) Pemberian informasi peluang pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2) huruf c dapat berupa informasi mengenai:

a. analisa peluang pasar tujuan Ekspor; b. produk Ekspor; c. data Ekspor, Impor, Eksportir, dan pembeli dari luar negeri; d. promosi dagang di dalam dan luar negeri; dan/atau e. kontak dagang dari perwakilan Perdagangan di luar negeri atau perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.

(5) Pemberian bimbingan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2) huruf d dilakukan terhadap Pelaku Usaha untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dan pengembangan produk Ekspor.

(6) Pemberian bimbingan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan melalui:

a. sosialisasi/seminar/adaptasi produk; b. lokakarya; c. temu wicara; d. pendidikan dan pelatihan Ekspor; e. program pendampingan; dan/atau f. kegiatan lain yang terkait dengan pengembangan Ekspor.

(7) Pemberian bantuan promosi dan pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2) huruf e dapat berupa:

a. mengikutsertakan Pelaku Usaha yang berorientasi Ekspor pada pameran dagang di dalam dan di luar negeri; b. mengikutsertakan Pelaku Usaha yang berorientasi Ekspor pada misi dagang; c. pelaksanaan misi pembelian; d. pertemuan bisnis; dan/atau e. mengikutsertakan Pelaku Usaha yang berorientasi Ekspor pada kegiatan penghargaan di tingkat nasional dan internasional.

(8) Pembiayaan, penjaminan, dan asuransi Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2) huruf f dapat dilaksanakan oleh lembaga keuangan yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.

(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembinaan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua Promosi Dagang

Pasal 116

(1) Untuk memperluas akses pasar bagi Barang dan/atau Jasa produksi dalam negeri, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban memperkenalkan Barang dan/atau Jasa dengan cara:

a. menyelenggarakan promosi dagang di dalam negeri dan/atau di luar negeri; dan/atau b. berpartisipasi dalam promosi dagang di dalam negeri dan/atau di luar negeri.

(2) Promosi dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. pameran dagang; dan b. misi dagang.

(3) Pelaksanaan kegiatan promosi dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di luar negeri oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, lembaga selain Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan/atau Pelaku Usaha dilakukan berkoordinasi dengan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri di negara terkait.

(4) Penyelenggaraan dan partisipasi dalam pameran dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan secara luar jaringan dan dalam jaringan.

Pasal 117

(1) Promosi dagang yang berupa pameran dagang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) huruf a meliputi:

a. pameran dagang internasional; b. pameran dagang nasional; atau c. pameran dagang lokal.

(2) Pameran dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, lembaga selain Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan/atau Pelaku Usaha.

(3) Dalam hal pameran dagang internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselenggarakan di dalam negeri, selain dapat diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, lembaga selain Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan/atau Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggaraan pameran dagang internasional yang diselenggarakan oleh pemerintah luar negeri, perwakilan pemerintah luar negeri, Pelaku Usaha dari luar negeri dan/atau lembaga dari luar negeri harus bekerja sama dengan Pelaku Usaha penyelenggara pameran dagang di dalam negeri.

(4) Pemerintah Pusat dalam melakukan pameran dagang di luar negeri mengikutsertakan koperasi serta UMK- M.

(5) Menteri mengoordinasikan pelaksanaan dan keikutsertaan pameran dagang internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang dilaksanakan di luar negeri oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau lembaga selain Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Pasal 118

(1) Pameran dagang internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) huruf a yang diselenggarakan di dalam negeri dengan kriteria meliputi:

a. diikuti oleh peserta yang berasal dari luar negeri; b. memamerkan produk berupa Barang dan/atau Jasa yang berasal dari luar negeri; dan/atau c. diikuti oleh Eksportir Indonesia dan bertujuan utama untuk mendatangkan pembeli mancanegara sebagai bentuk promosi Ekspor produk Indonesia.

(2) Pameran dagang nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) huruf b dengan kriteria meliputi:

a. diikuti oleh peserta dari dalam negeri; dan b. memamerkan produk berupa Barang dan/atau Jasa yang berasal dari beberapa provinsi.

(3) Pameran dagang lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) huruf c dengan kriteria meliputi:

a. diikuti oleh peserta dari dalam negeri; dan b. memamerkan produk berupa Barang dan/atau Jasa yang berasal dari satu atau beberapa kabupaten/kota.

(4) Peserta yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan kriteria:

a. warga negara asing; b. perwakilan negara asing baik yang berdomisili di dalam negeri atau luar negeri; atau c. perusahaan Perdagangan asing atau perwakilan perusahaan Perdagangan asing baik yang berdomisili di dalam negeri atau luar negeri.

(5) Produk berupa Barang dan/atau Jasa yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan kriteria meliputi Barang dan/atau Jasa yang berasal dari:

a. luar negeri; b. kawasan berikat; c. kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas; atau d. kawasan ekonomi khusus.

Pasal 119

(1) Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dan peserta pameran dagang wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

(2) Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dengan mengikutsertakan peserta dan/atau produk yang dipromosikan berasal dari luar negeri diselenggarakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko.

(3) Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dan peserta pameran dagang yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.

Pasal 120

(1) Setiap penyelenggara yang menyelenggarakan pameran dagang nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) huruf b wajib menyampaikan laporan rencana penyelenggaraan dan laporan pelaksanaan pameran dagang nasional kepada gubernur melalui perangkat daerah provinsi yang membidangi Perdagangan.

(2) Setiap penyelenggara yang menyelenggarakan pameran dagang lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) huruf c wajib menyampaikan laporan rencana penyelenggaraan dan laporan pelaksanaan pameran dagang lokal kepada bupati/wali kota melalui perangkat daerah kabupaten/kota yang membidangi Perdagangan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme penyampaian laporan rencana penyelenggaraan dan laporan pelaksanaan pameran dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 121

(1) Promosi dagang yang berupa misi dagang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) huruf b dilakukan dalam bentuk pertemuan bisnis internasional untuk memperluas peluang peningkatan Ekspor.

(2) Misi dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kunjungan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Pelaku Usaha, dan/atau lembaga lainnya dari Indonesia ke luar negeri dalam rangka melakukan kegiatan bisnis atau meningkatkan hubungan Perdagangan kedua negara.

(3) Penyelenggaraan misi dagang dalam rangka kunjungan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan oleh Menteri.

(4) Dalam menyelenggarakan misi dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Daerah melaporkan rencana dan hasil penyelenggaraan misi dagang kepada Menteri.

(5) Menteri dapat memberikan mandat penyelenggaraan misi dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada direktur jenderal yang membidangi pengembangan ekspor nasional.

Bagian Ketiga Penyelenggaraan, Kemudahan, dan Keikutsertaan dalam Promosi Dagang dalam Rangka Kegiatan Pencitraan Indonesia

Pasal 122

(1) Promosi dagang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) dilakukan dalam rangka kegiatan pencitraan Indonesia sebagai upaya membangun gambaran atau citra positif Indonesia terhadap Barang dan/atau Jasa di dalam dan di luar negeri.

(2) Promosi dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di dalam dan/atau di luar negeri.

Pasal 123

(1) Tata cara penyelenggaraan promosi dagang dalam rangka kegiatan pencitraan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. menampilkan simbol/logo citra Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. menampilkan tema (tagline) citra Indonesia yang memiliki ciri khas, mengandung filosofi negara, dan mudah diingat; dan/atau c. penayangan dan/atau penyebarluasan profil citra Indonesia.

(2) Dalam hal diperlukan, Pemerintah Daerah dapat menampilkan sub tema (sub tagline) masing- masing daerah.

(3) Tata cara penyelenggaraan promosi dagang dalam rangka kegiatan pencitraan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 124

(1) Penyelenggaraan promosi dagang dalam rangka kegiatan pencitraan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 dilakukan di luar negeri, harus berkoordinasi dengan perwakilan Republik Indonesia di negara terkait.

(2) Dalam hal pendanaan penyelenggaraan promosi dagang dalam rangka kegiatan pencitraan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, penyelenggaraan promosi dagang dilakukan secara terkoordinasi atau secara bersama-sama.

Pasal 125

(1) Dalam pelaksanaan promosi dagang dalam rangka kegiatan pencitraan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat memberikan kemudahan kepada Pelaku Usaha dan/atau lembaga selain Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

(2) Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. penerbitan surat dukungan penyelenggaraan kegiatan promosi dagang dalam rangka kegiatan kampanye pencitraan Indonesia; dan/atau b. bantuan sarana dan prasarana serta informasi.

Pasal 126

Keikutsertaan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota pada promosi dagang dalam rangka kegiatan pencitraan Indonesia yang pendanaannya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah diprioritaskan diberikan kepada Pelaku Usaha skala usaha kecil dan usaha menengah yang berorientasi pada Ekspor.

Pasal 127

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan, kemudahan, dan keikutsertaan pada promosi dagang dalam rangka kegiatan pencitraan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 sampai dengan Pasal 126 diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB IX METROLOGI LEGAL

Bagian Kesatu Persetujuan Tipe Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan

Pasal 128

(1) Setiap Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan yang diproduksi di dalam negeri sebelum beredar di pasar atau yang berasal dari Impor sebelum memasuki wilayah Republik Indonesia wajib memiliki Persetujuan Tipe.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai daftar Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan yang wajib memiliki Persetujuan Tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

(3) Daftar Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah berdasarkan keputusan rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian, yang dihadiri menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakili yang diberikan kewenangan untuk dan atas nama menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian.

(4) Ketentuan persyaratan dan tata cara penerbitan Persetujuan Tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko.

Pasal 129

Setiap Pelaku Usaha yang memproduksi di dalam negeri atau mengimpor Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan yang:

a. tidak memiliki Persetujuan Tipe; atau b. tidak sesuai dengan Persetujuan Tipe yang dimiliki, dikenai sanksi administratif.

Pasal 130

(1) Persetujuan Tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) diperoleh berdasarkan evaluasi tipe yang meliputi:

a. pemeriksaan tipe; b. pengujian tipe; dan c. penerbitan sertifikat evaluasi tipe.

(2) Petunjuk teknis mengenai Persetujuan Tipe dan evaluasi tipe ditetapkan oleh Menteri.

Bagian Kedua Reparasi Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan

Pasal 131

(1) Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha Reparasi Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan wajib memiliki Perizinan Berusaha berupa tanda daftar usaha Reparasi Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan.

(2) Pelaku Usaha yang melaksanakan kegiatan usaha Reparasi Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib telah didukung oleh Reparatir Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan.

(3) Ketentuan persyaratan dan tata cara pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko.

Pasal 132

(1) Menteri memiliki kewenangan melakukan pembinaan, monitoring, dan evaluasi terhadap Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha Reparasi Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan.

(2) Menteri menyusun norma, standar, prosedur, dan kriteria pembinaan, monitoring, dan evaluasi kegiatan usaha Reparasi Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan.

(3) Gubernur DKI Jakarta untuk Provinsi DKI Jakarta atau bupati/wali kota melakukan pembinaan, monitoring, dan evaluasi terhadap Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha Reparasi Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan di wilayah kerjanya berpedoman kepada norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Bagian Ketiga Kuantitas BDKT

Pasal 133

(1) Pengaturan tentang BDKT dilakukan untuk memastikan pencantuman pelabelan kuantitas dan kesesuaian kuantitas.

(2) Pengaturan tentang BDKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk BDKT yang kuantitas nominalnya dinyatakan dalam berat, volume, panjang, luas, atau jumlah hitungan, yang merupakan:

a. produksi di dalam negeri; b. Impor; dan c. Barang atau komoditas produksi dalam negeri atau asal Impor yang dikemas di wilayah Republik Indonesia.

(3) Pengaturan tentang BDKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap Barang yang dijual dalam keadaan terbungkus atau dikemas yang isinya makanan atau minuman yang menurut kenyataannya mudah basi atau tidak tahan lebih dari 7 (tujuh) hari.

Pasal 134

Pelaku Usaha yang mengemas atau membungkus Barang, memproduksi, atau mengimpor BDKT untuk diperdagangkan wajib mencantumkan kuantitas pada kemasan dan/atau label.

Pasal 135

(1) Pencantuman kuantitas pada kemasan dan/atau label BDKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 paling sedikit meliputi isi bersih, berat bersih atau neto, jumlah hitungan, berat tuntas, panjang, dan/atau luas.

(2) Pencantuman kuantitas pada kemasan dan/atau label BDKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pencantuman satuan ukuran, lambang satuan, atau hitungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Selain pencantuman kuantitas, pada kemasan dan/atau label BDKT wajib dicantumkan informasi mengenai:

a. nama Barang; dan b. nama serta alamat perusahaan.

Pasal 136

(1) Informasi yang dicantumkan pada kemasan dan/atau label BDKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 harus menggunakan tulisan yang mudah dibaca, jelas, benar, dan menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

(2) Pencantuman informasi pada kemasan dan/atau label BDKT dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas, tidak mudah luntur atau rusak, serta mudah untuk dilihat dan dibaca.

(3) Pencantuman informasi pada kemasan dan/atau label BDKT harus bersifat tetap.

Pasal 137

(1) Pelaku Usaha yang mengemas atau membungkus Barang, memproduksi, atau mengimpor BDKT untuk diperdagangkan wajib menjamin kebenaran kuantitas yang tercantum dalam kemasan dan/atau label.

(2) Kebenaran terhadap kuantitas BDKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan toleransi sesuai batasan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB X PELAKSANAAN PENGAWASAN KEGIATAN PERDAGANGAN

Bagian Kesatu Ruang Lingkup Pengawasan Kegiatan Perdagangan

Pasal 138

Kewenangan pengawasan terhadap kegiatan Perdagangan dilakukan terhadap:

a. Perizinan Berusaha di bidang Perdagangan; b. Perdagangan Barang yang diawasi, dilarang, dan/atau diatur; c. Distribusi Barang; d. Perdagangan Jasa; e. penggunaan atau kelengkapan label berbahasa Indonesia; f. pendaftaran Barang produk dalam negeri dan asal Impor yang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup; g. Barang yang diberlakukan SNI dan persyaratan teknis secara wajib yang diperdagangkan; h. Jasa yang diberlakukan SNI, persyaratan teknis, dan kualifikasi secara wajib; i. Perizinan Berusaha terkait Gudang; j. penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan/atau Barang Penting; k. Perdagangan Melalui Sistem Elektronik; dan l. lembaga penilaian kesesuaian yang melakukan sertifikasi Barang dan/atau Jasa yang diperdagangkan sesuai SNI, persyaratan teknis, dan kualifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua Kewenangan Pengawasan

Pasal 139

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mempunyai wewenang melakukan pengawasan di bidang Perdagangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kewenangan pengawasan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri.

(3) Menteri mempunyai wewenang melakukan pengawasan di bidang Perdagangan di tingkat nasional.

(4) Kewenangan pengawasan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh gubernur.

(5) Gubernur mempunyai wewenang melakukan pengawasan di bidang Perdagangan di wilayah kerjanya.

(6) Selain gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5), bupati/wali kota mempunyai wewenang melakukan pengawasan di bidang Perdagangan berupa:

a. bahan berbahaya; b. pupuk serta pestisida dalam rangka pelaksanaan pengadaan, penyaluran, dan penggunaan pupuk bersubsidi; c. Gudang; d. minuman beralkohol; dan e. Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting di wilayah kerjanya.

(7) Pengawasan di bidang Perdagangan yang menjadi kewenangan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak termasuk kewenangan pengawasan tata niaga Impor setelah melalui kawasan pabean.

Pasal 140

(1) Menteri mendelegasikan kewenangan pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (3) kepada direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga.

(2) Gubernur mendelegasikan kewenangan pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (5) kepada kepala dinas provinsi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perdagangan.

(3) Bupati/wali kota mendelegasikan kewenangan pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (6) kepada kepala dinas kabupaten/kota yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perdagangan.

Pasal 141

Menteri, gubernur, bupati/wali kota dalam melakukan pengawasan dapat berkoordinasi dengan instansi teknis terkait.

Pasal 142

(1) Menteri menetapkan petunjuk teknis pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan.

(2) Gubernur dan/atau bupati/wali kota melakukan pengawasan kegiatan Perdagangan berpedoman pada petunjuk teknis yang ditetapkan oleh Menteri.

Bagian Ketiga Pelaksana Pengawasan

Pasal 143

Pengawasan kegiatan Perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 dilaksanakan oleh petugas pengawas yang terdiri dari:

a. Petugas Pengawas Perdagangan; dan/atau b. PPNS-DAG.

Pasal 144

Menteri mempunyai wewenang menunjuk Petugas Pengawas Perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 huruf a di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perdagangan, dinas provinsi, dan dinas kabupaten/kota yang membidangi Perdagangan.

Pasal 145

(1) Dalam hal Pemerintah Daerah belum memiliki Petugas Pengawas Perdagangan dan/atau PPNS- DAG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143, gubernur atau bupati/wali kota dapat mengusulkan pegawai untuk melaksanakan pengawasan terhadap kegiatan Perdagangan kepada Menteri.

(2) Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri melalui direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga sesuai delegasi kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) menetapkan pegawai di daerah yang melaksanakan pengawasan terhadap kegiatan Perdagangan.

Bagian Keempat Pelaksanaan Pengawasan Kegiatan Perdagangan

Pasal 146

Pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan meliputi:

a. pengawasan berkala atau rutin; dan b. pengawasan khusus atau insidental.

Pasal 147

(1) Pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan secara berkala atau rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 huruf a dilakukan berdasarkan objek pengawasan secara terencana dan terjadwal.

(2) Pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan secara khusus atau insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 huruf b dilakukan sewaktu-waktu.

Pasal 148

(1) Pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan secara berkala atau rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 huruf a dilakukan berdasarkan klasifikasi risiko yang telah ditetapkan.

(2) Pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan secara khusus atau insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 huruf b dilakukan berdasarkan:

a. pengaduan masyarakat; b. informasi melalui media cetak, media elektronik, media lainnya; atau c. informasi lainnya mengenai isu kegiatan Perdagangan.

Pasal 149

Dalam rangka pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan Luar Negeri, direktorat jenderal yang membidangi kepabeanan memberikan data Ekspor dan Impor kepada direktorat jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga, secara waktu nyata melalui sistem teknologi informasi yang terintegrasi.

Bagian Kelima Pengawasan Kegiatan Perdagangan Bidang Impor Setelah Melalui Kawasan Pabean

Pasal 150

(1) Pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan setelah melalui kawasan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, kewajiban pendaftaran Barang sebelum diimpor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (2), dan kewajiban memiliki Persetujuan Tipe untuk Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan yang berasal dari Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) dilaksanakan dengan mekanisme sebagai berikut:

a. pemeriksaan kesesuaian data pemberitahuan pabean Impor; b. pemeriksaan khusus terhadap dokumen Impor; dan/atau c. pengawasan kewajiban tata niaga Impor setelah Barang melalui kawasan pabean.

(2) Pengawasan kegiatan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh petugas pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143.

(3) Menteri menetapkan petunjuk teknis pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 151

(1) Pemeriksaan kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1) huruf a, dilakukan terhadap data pemberitahuan pabean Impor yang diterima melalui sistem informasi yang terintegrasi terhadap data Perizinan Berusaha di bidang Impor dalam sistem informasi yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perdagangan.

(2) Data pemberitahuan pabean Impor yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakses melalui sistem informasi yang dikelola kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perdagangan.

(3) Data pemberitahuan pabean Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

a. nomor dan tanggal Perizinan Berusaha di bidang Impor; b. jumlah atau volume Impor Barang; dan/atau c. nomor dan tanggal dokumen verifikasi atau penelusuran teknis.

Pasal 152

(1) Pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1) huruf b dapat dilakukan berdasarkan:

a. hasil pemeriksaan kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151; atau b. informasi dari instansi pemerintah terkait dan/atau masyarakat.

(2) Pemeriksaan khusus berdasarkan hasil pemeriksaan kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan dalam hal Importir diduga:

a. tidak memiliki Perizinan Berusaha di bidang Impor; b. Barang yang diimpor melebihi jumlah atau volume yang tercantum dalam Perizinan Berusaha di bidang Impor; dan/atau c. tidak memiliki dokumen verifikasi atau penelusuran teknis.

Pasal 153

(1) Selain terhadap Importir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (2), pemeriksaan khusus dilakukan terhadap Importir yang telah ditetapkan sebagai Importir dengan klasifikasi risiko tertentu.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Importir dengan klasifikasi risiko tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 154

(1) Pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 dan Pasal 153, dilaksanakan melalui pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran dokumen asli persyaratan Impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Dalam hal diperlukan, pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meminta klarifikasi kepada Importir dan memeriksa kesesuaian antara realisasi jumlah atau volume Impor dengan pencatatan masuk Barang asal Impor di domisili Importir dan/atau lokasi lain di mana Barang asal Impor tersimpan.

(3) Apabila berdasarkan pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Importir terbukti:

a. tidak memenuhi kewajiban kepemilikan Perizinan Berusaha di bidang Impor; b. tidak memenuhi kewajiban kepemilikan dokumen verifikasi atau penelurusan teknis; dan/atau c. realisasi jumlah atau volume Barang yang diimpor melebihi jumlah atau volume yang tercantum dalam Perizinan Berusaha, dilanjutkan dengan pengawasan kegiatan Perdagangan berdasarkan ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138.

Bagian Keenam Tindak Lanjut Pengawasan

Pasal 155

(1) Petugas Pengawas Perdagangan membuat laporan hasil pengawasan kepada direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga dan/atau kepala dinas yang membidangi urusan Perdagangan di provinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai wilayah kerja Petugas Pengawas Perdagangan.

(2) Petugas Pengawas Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal menemukan dugaan pelanggaran kegiatan di bidang Perdagangan dapat merekomendasikan pengenaan sanksi administratif dan/atau tindak lanjut penegakan hukum pidana.

Pasal 156

(1) Dalam hal diduga terdapat pelanggaran kegiatan di bidang Perdagangan, PPNS-DAG dapat melakukan pengamanan terhadap Barang hasil pengawasan dan/atau lokasi objek pengawasan atau tempat Barang hasil pengawasan ditemukan.

(2) Pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemasangan tanda pengaman.

(3) Pemutusan tanda pengaman dilakukan oleh PPNS- DAG.

(4) Pelaku Usaha atau pihak lain yang menguasai Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk memindahtangankan, memanfaatkan, atau melakukan tindakan lain yang mengakibatkan perubahan pada jumlah, bentuk, jenis, dan/atau tipe Barang selama dilakukan pengamanan.

(5) Pelaku Usaha atau pihak lain yang menguasai Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk membuka, melepas, atau merusak tanda pengaman.

(6) Pelaku Usaha atau pihak lain yang menguasai Barang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dikenai sanksi administratif.

Pasal 157

(1) Dalam hal ditemukan bukti awal dugaan terjadi tindak pidana di bidang Perdagangan, Petugas Pengawas Perdagangan dan/atau pegawai yang telah ditetapkan melaporkannya kepada PPNS- DAG atau pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(2) Dalam hal ditemukan adanya dugaan tindak pidana atau mendapat laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPNS-DAG melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 158

(1) Pelaku Usaha wajib memberikan data dan informasi yang dibutuhkan oleh Petugas Pengawas Perdagangan, PPNS- DAG dan/atau pegawai yang telah ditetapkan.

(2) Pelaku Usaha yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.

Pasal 159

(1) Petugas Pengawas Perdagangan dan/atau PPNS- DAG dapat melakukan pemanggilan kepada Pelaku Usaha.

(2) Apabila Pelaku Usaha setelah pemanggilan kedua tetap tidak hadir, Pelaku Usaha dikenai sanksi administratif.

Bagian Ketujuh Tindak Lanjut Pelanggaran Pengawasan Perizinan Berusaha Setelah Melalui Kawasan Pabean

Pasal 160

Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155, Importir yang telah memiliki Perizinan Berusaha dan/atau persyaratan Impor namun melakukan tindakan berupa:

a. tidak atau salah mencantumkan data Perizinan Berusaha dan/atau dokumen verifikasi atau penelusuran teknis dalam dokumen pemberitahuan pabean Impor; dan/atau b. mencantumkan satuan jumlah atau volume Impor Barang dalam pemberitahuan pabean Impor yang tidak sesuai dengan satuan jumlah atau volume Impor Barang yang dinyatakan dalam Perizinan Berusaha, dikenai sanksi administratif.

Pasal 161

(1) Dalam hal berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155, ditemukan Importir yang tidak mencantumkan atau mencantumkan data Perizinan Berusaha dan/atau dokumen verifikasi atau penelusuran teknis dalam dokumen pemberitahuan pabean Impor secara tidak benar karena tidak memiliki kelengkapan dokumen Perizinan Berusaha dan/atau persyaratan Impor, dikenai sanksi administratif.

(2) Terhadap Barang Impor yang tidak dilengkapi dengan Perizinan Berusaha dan/atau verifikasi atau penelusuran teknis Impor, Menteri dapat menerbitkan perintah kepada Pelaku Usaha berupa:

a. pelarangan mengedarkan untuk sementara waktu; b. penarikan Barang dari Distribusi; dan/atau c. pemusnahan Barang.

(3) Menteri memberikan mandat kewenangan perintah pelarangan mengedarkan untuk sementara waktu, penarikan Barang dari Distribusi, dan/atau pemusnahan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga.

Pasal 162

(1) Dalam hal berdasarkan hasil pengawasan ditemukan Importir melakukan importasi Barang yang jumlahnya melebihi volume atau jumlah yang tercantum dalam Perizinan Berusaha, dikenai sanksi administratif.

(2) Terhadap Barang Impor yang jumlahnya melebihi volume atau jumlah yang tercantum dalam Perizinan Berusaha, Menteri dapat menerbitkan perintah kepada Pelaku Usaha berupa:

a. pelarangan mengedarkan untuk sementara waktu; b. penarikan Barang dari Distribusi; dan/atau c. pemusnahan Barang.

(3) Menteri memberikan mandat kewenangan perintah pelarangan mengedarkan untuk sementara waktu, penarikan Barang dari Distribusi, dan/atau pemusnahan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga.

Pasal 163

Dalam hal Importir dikenai sanksi administratif, direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga menyampaikan surat permintaan larangan kegiatan importasi yang dilakukan oleh Importir kepada direktur jenderal yang membidangi kepabeanan, dan ditembuskan kepada direktur jenderal yang membidangi perdagangan luar negeri.

Bagian Kedelapan Pembinaan Sumber Daya Manusia Pengawasan

Pasal 164

Menteri melakukan pembinaan terhadap sumber daya manusia pengawasan kegiatan Perdagangan di pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Pasal 165

Ketentuan mengenai petunjuk teknis persyaratan, pelatihan Petugas Pengawas Perdagangan, penunjukan pegawai untuk dapat melaksanakan pengawasan, dan pelaksanaan pengawasan terhadap kegiatan Perdagangan diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB XI SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 166

(1) Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (3), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 51, Pasal 55, Pasal 61 ayat (1), Pasal 64, Pasal 68, Pasal 91 ayat (1), Pasal 92 ayat (1), Pasal 93, Pasal 94 ayat (4), Pasal 97, Pasal 98 ayat (2), Pasal 98 ayat (3), Pasal 98 ayat (4), Pasal 99 ayat (1), Pasal 99 ayat (2), Pasal 102 ayat (2), Pasal 103, Pasal 104 ayat (1), Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (2), Pasal 107 ayat (7), Pasal 108 ayat (1), Pasal 109 ayat (1), Pasal 110 ayat (1), Pasal 110 ayat (4), Pasal 111 ayat (2), Pasal 119 ayat (1), Pasal 120 ayat (1), Pasal 120 ayat (2), Pasal 128 ayat (1), Pasal 129, Pasal 134, Pasal 137 ayat (1), Pasal 156 ayat (4), Pasal 156 ayat (5), Pasal 158 ayat (1), Pasal 159 ayat (2), Pasal 160, Pasal 161 ayat (1), dan/atau Pasal 162 ayat (1), dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. teguran tertulis; b. penarikan Barang dari Distribusi; c. penghentian sementara kegiatan usaha; d. penutupan Gudang; e. denda; dan/atau f. pencabutan Perizinan Berusaha.

(3) Tata cara pengenaan sanksi administratif terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai pengenaan sanksi administratif kepada pemilik Gudang yang tidak melakukan pendaftaran Gudang.

(4) Tata cara pengenaan sanksi administratif terhadap pelanggaran selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan 2 (dua) mekanisme:

a. secara bertahap; dan/atau b. secara tidak bertahap.

(5) Pengenaan sanksi administratif berupa penarikan Barang dari Distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, penutupan Gudang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f dapat dilakukan secara tidak bertahap.

Pasal 167

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 tidak menghilangkan ertanggungjawaban pidana untuk Pelaku Usaha dan/atau kegiatan usaha berisiko tinggi.

(2) Pengenaan pertanggungjawaban pidana kepada Pelaku Usaha dan/atau kegiatan usaha berisiko tinggi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 168

(1) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 ayat (2) huruf a dikenakan paling banyak 2 (dua) kali masing- masing untuk jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja.

(2) Sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri melalui direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga.

Pasal 169

Sanksi administratif berupa penarikan Barang dari Distribusi dan penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 ayat (2) huruf b dan huruf c dikenakan sejak berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis kedua sampai Pelaku Usaha melakukan perbaikan terhadap pelanggaran yang dilakukan.

Pasal 170

(1) Sanksi administratif berupa penutupan Gudang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 ayat (2) huruf d dikenakan kepada Pelaku Usaha yang merupakan pemilik, pengelola, atau penyewa Gudang yang melanggar ketentuan kewajiban penyelenggaraan pencatatan administrasi Gudang.

(2) Pengenaan sanksi penutupan Gudang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sejak berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis kedua sampai pemilik, pengelola, atau penyewa Gudang melakukan perbaikan terhadap pelanggaran yang dilakukan.

Pasal 171

(1) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 ayat (2) huruf e dikenakan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak penetapan pengenaan sanksi penarikan Barang dari Distribusi, penghentian sementara kegiatan usaha atau penutupan Gudang, Pelaku Usaha tidak melakukan perbaikan terhadap pelanggaran yang dilakukan.

(2) Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk tiap hari keterlambatan Pelaku Usaha melaksanakan perbaikan untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pengenaan sanksi denda pertama.

(3) Dimulainya pengenaan sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung sejak hari pertama setelah habisnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Tata cara penyetoran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.

Pasal 172

(1) Sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 ayat (2) huruf f dikenakan kepada Pelaku Usaha yang telah memiliki Perizinan Berusaha yang tidak melakukan perbaikan terhadap pelanggaran yang dilakukan setelah selesainya jangka waktu penetapan sanksi denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171.

(2) Pelaku usaha yang dikenai sanksi pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan Perizinan Berusaha kembali setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penetapan pencabutan Perizinan Berusaha.

Pasal 173

Sanksi administratif yang telah dikenakan kepada Pelaku Usaha dapat disampaikan kepada kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait sebagai pertimbangan pengenaan sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XII KETENTUAN LAIN- LAIN

Pasal 174

(1) Pemerintah Pusat melakukan evaluasi atas pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini dengan memperhatikan perkembangan dan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha dalam rangka percepatan cipta kerja.

(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri yang dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.

Pasal 175

Dalam hal Peraturan Pemerintah ini memberikan pilihan tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan, Menteri dapat melakukan diskresi untuk mengatasi persoalan konkret dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang Perdagangan.

BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 176

Seluruh perizinan yang telah dikeluarkan berdasarkan peraturan pelaksanaan dari:

a. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3193); dan b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512), sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini tetap berlaku sampai dengan habis berlakunya perizinan.

BAB XIV KETENTUAN PENUTUP

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan perundang- undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:

a. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3193); dan b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512), yang telah ditetapkan sebelum Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 178

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:

a. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2019 tentang Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemilik Gudang Yang Tidak Melakukan Pendaftaran Gudang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6346); b. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2018 tentang Penetapan Dan Pendaftaran Barang Terkait Dengan Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, Dan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 131); dan c. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan Dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan Dan Toko Modern, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 179

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2021 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2021 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2021 TENTANG PENYELENGGARAAN BIDANG PERDAGANGAN 상업 분야의 실시에 관한 인도네시아공화국 정부령 2021년 제29호

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3193); 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512); 4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN BIDANG PERDAGANGAN. 전능하신 신의 축복으로 인도네시아공화국 대통령은 「고용창출에 관한 법률 2020 년 제 11 호」 제 46 조, 제 47 조, 제 185 조제 b 호를 실행하기 위하여 상업 분야 정부령이 필요하다는 점을 고려하여 다음 사항을 결정하였다. 1. 「1945 년 인도네시아공화국 헌법」 제 5 조제 2 항 2. 「법정계량에 관한 법률 1981 년 제 2 호」(인도네시아공화국 관보 1981 년 제 11 호, 인도네시아공화국 관보 부록 제 3193 호) 3. 「무역에 관한 법률 2014 년 제 7 호」(인도네시아공화국 관보 2014 년 제 45 호, 인도네시아공화국 관보 부록 제 5512 호) 4. 「고용창출에 관한 법률 2020 년 제 11 호」(인도네시아공화국 관보 2020 년 제 245 호, 인도네시아공화국 관보 부록 제 6573 호) 이에 다음과 같이 「상업 분야의 실시에 관한 정부령」을 제정하는 바이다.

제1장 총칙

제 1 조

이 정부령에서 사용하는 용어의 뜻은 다음과 같다.

1. "무역"이란 보수 또는 보상을 얻기 위하여 상품 및 서비스에 대한 권리를 이전하는 목적으로 국내 및 국경 간 상품 및 서비스의 거래와 관련된 활동 형태를 말한다. 2. "해외무역"이란 국경 간 상품 및 서비스거래에 대한 수출 및 수입 활동을 포함하는 거래를 말한다. 3. "표준"이란 최대의 이익을 얻기 위하여 관련된 모든 당사자•정부•국제결의에 의한 합의에 따라 안전, 치안, 보건, 환경, 과 학기술, 경험 및 현재와 미래의 발전을 고려하여 결정된 기술요건 또는 표준화된 일정한 기준을 말하며 이에는 절차 및 방법도 포함된다. 4. "인도네시아 국가표준"(SNI)이란 표준화 부문의 개발과 지도를 주관하는 기관이 정한 표준을 말한다. 5. "수출"이란 관세구역에서 상품을 반출하는 활동을 말한다. 6. "수출자"란 수출을 하는 개인 또는 법인이나 비법인 형태의 기관 또는 사업체를 말한다. 7. "수입"이란 관세구역 내로 상품을 반입하는 활동을 말한다. 8. "수입자"란 수입을 하는 개인 또는 법인이나 비법인 형태의 기관 또는 사업체를 말한다. 9. "사업자"란 특정 부문에서 사업 및 그 밖의 활동을 수행하는 개인 또는 사업체를 말한다. 10. "유통사업자"란 국내에서 상품의 유통을 수행하는 사업자를 말한다. 11. "제조업자"란 상품을 제조하는 사자를 말한다. 12. "극소기업•중소기업"이란 극소기업•중소기업에 관한 법률에 언급된 극소기업•중소기업을 말한다. 13. "유통업자"란 본인 또는 제조업자, 공급업자 또는 수입업자가 상품 마케팅 활동 수행 계약을 통하여 지정한 유통사업자를 말한다. 14. "포장업자"란 상품을 포장하는 사업자를 말한다. 15. "수집거래업자"란 거래할 극소기업•중소기업의 제품을 수집하는 사업자를 말한다. 16. "대리점"이란 마케팅 상품을 소유•통제하지 않고서 상품의 마케팅 활동을 수수료 보상계약에 의하여 자신을 지정한 당사자를 위하여 또는 대리하여 중개업자로 활동하는 유통사업자를 말한다. 17. "도매업자•중개업자"란 소매가 아닌 도매로 다양한 상품을 판매하는 유통사업자를 말한다. 18. "소매업자"란 고객에 직접 상품을 판매하는 유통사업자를 말한다. 19. "소비자"란 거래를 목적으로 하지 않고, 자신, 가족, 다른 사람 또는 다른 생명체의 이익을 위하여 공공장소에서 제공되는 상품 및 서비스를 이용하는 사람을 말한다. 20. "직접판매자"란 회사의 마케팅 또는 판매네트워크의 독립적인 구성원으로 유한책임회사 형태의 개인 또는 사업체를 말한다. 21. "직접판매회사"란 직접판매시스템을 통하여 상품의 거래를 수행하는 유한책임회사의 형태를 가진 사업체를 말한다. 22. "직접판매"란 직접판매자가 개발한 마케팅 네트워크를 통해 특정 상품을 판매하는 시스템을 말하며 직접판매자는 판매 실적에 따른 수수료 및 보너스를 댓가로 소매점을 통하지 아니하고 소비자에게 판매한다. 23. "단일단계 직접판매"란 다단계 마케팅 네트워크를 통하지 아니하고 특정 상품을 판매하는 것을 말한다. 24. "다단계 직접판매"란 고객에 대한 상품 판매실적에 근거하여 수수료 및 보너스를 받고 일하는 직접판매업자가 개발한 다단계 마케팅 네트워크를 통하여 특정상품을 판매하는 것을 말한다. 25. "독점유통권"이란 인도네시아 속령내 회사가 단독으로 소유하는 상품의 유통권리를 말하며 독점유통권은 상표 유통권 소유자와 직간접계약을 통하여 또는 자신이 상표권을 직접 소유하여 얻게 된다. 26. "셀프서비스점"이란 독립적인 서비스체계를 가지고 다양한 소매상품을 판매하는 곳을 말하며 미니마켓, 수퍼마켓, 백화점, 대형마트 또는 중개업자 형태의 도매업자 등의 형태를 가진다. 27. "쇼핑센터"란 수평 또는 수직적으로 건축된 하나 또는 여러 개의 건물로 구성된 일정 구역을 말하며 사업자가 이를 매입하거나 임대하여 상품거래활동을 영위한다. 28. "상업센터"란 무역 및 그 밖의 상업적인 사업을 위한 통합공간을 말한다. 29. "판매수수료"(이하 "수수료"라 한다)란 회사가 직접판매자에게 제공하는 수수료로서, 수수료 금액은 직접판매업자가 직접 수행하거나 네트워크를 통하여 수행한 상품판매량 또는 판매액에 근거한 실시간 업무성과를 평가하여 산정한다. 30. "판매보너스"(이하 "보너스"라 한다)란 회사가 정한 판매목표를 초과달성한 직접판매자에게 회사가 제공하는 추가적인 보상을 말한다. 31. "마케팅프로그램"이란 단일단계 판매 또는 다단계 판매 마케팅 네트워크를 통하여 직접판매자가 실행하여 개발한 기업 상품 마케팅프로그램을 말한다. 32. "다단계 방식"이란 상품 판매의 결과가 아닌 직접판매자 참여 기회를 활용하여 보상 또는 수입을 얻는 사업활동으로 특히 직접판매원 가입 후 또는 나중에 가입하는 다른 사람의 가입비로부터 보상 또는 수입을 얻는 것을 말한다. 33. "사업허가"란 사업 및 활동을 시작하고 운영하기 위하여 사업자에게 부여하는 합법성을 말한다. 34. "사업자번호"(NIB)란 사업활동을 영위하기 위한 사업자 등록의 증빙으로서, 사업자가 사업활동을 수행하는 데 필요한 하나의 신원확인을 말한다. 35. "상품"이란 유형 또는 무형, 동산 또는 부동산, 소모성 또는 비소모성의 모든 것을 말하며 소비자 또는 사업자가 거래, 사용, 이용 또는 활용할 수 있는 것을 말한다. 36. "생필품"이란 충족 요구 규모가 크고 다수의 생계에 중요하며 공공복지의 지원 요소로 작용하는 상품을 말한다. 37. "중요물자"란 국가발전의 원활한 운영을 위하여 중요한 역할을 하는 전략적인 상품을 말한다. 38. "서비스"란 소비자 또는 사업자가 활용하기 위하여 사회에서 한 당사자가 다른 당사자와 거래하는 작업 또는 달성한 작업의 형태인 서비스 및 작업 방법을 말한다. 39. "유통"이란 직간접적으로 상품을 소비자에게 유통시키는 활동을 말한다. 40. "전자시스템을 통한 무역"이란 해당 거래가 전자기기와 절차를 통하여 이루어지는 무역을 말한다. 41. "창고"란 폐쇄 및 개방되어 이동하지 아니하는 공간으로 개인적 필요에 의하여 일반 대중이 방문하려는 목적이 아닌 거래하려는 상품의 보관 장소로 특별히 사용하기 위한 공간을 말한다. 42. "공공시장"이란 정부, 지방정부, 민간 부문, 국영기업 및 지방소유 기업이 조직, 건설, 관리하는 사업장으로 흥정을 통한 상품거래를 위하여 중소거래업자, 비정부 조직, 조합, 극소기업•중소기업이 소유 및 관리하는 상점, 매점, 노점 및 천막을 말한다. 43. "창고등록증"(TDG)이란 창고소유자에게 발급하는 창고등록의 증거를 말한다. 44. "계산기기"란 수량 및 품질을 측정하는 데 사용하는 도구를 말한다. 45. "측정기기"란 수량 또는 치수를 측정하는 데 사용하는 도구를 말한다. 46. "계량기기"란 질량 또는 무게를 측정하기 위하여 사용되는 도구를 말한다. 47. "장비기기"란 계산기기, 측정기기, 계량기기를 보완하거나 추가적으로 사용되는 도구를 말하며 계산, 측정, 계량의 결과를 결정한다. 48. "형식승인"이란 국산의 계산기기, 측정기기, 계량기기, 장비기기 또는 수입 계산기기, 측정기기, 계량기기, 장비기기가 기술요건을 충족하여 승인을 득하였음을 기술하는 증명서 형태의 사업허가증을 말한다. 49. "계산기기, 측정기기, 계량기기, 장비기기의 수리"란 계산기기, 측정기기, 계량기기, 장비기기 수리공의 계산기기, 측정기기, 계량기기, 장비기기의 수리 및 정비활동을 말한다. 50. "계산기기, 측정기기, 계량기기, 장비기기의 수리공"이란 계산기기, 측정기기, 계량기기, 장비기기 수리 부문에 능력•전문지식을 가진 인원 또는 기술자를 말한다. 51. "원재료"란 경제적 가치가 높은 반제품 또는 완제품으로 가공할 수 있는 원재료, 반제품 또는 완제품을 말한다. 52. "포장상품"(BDKT)이란 완전히 또는 부분적으로 포장상품을 말하며 사용 전에 포장 또는 밀봉을 개방하거나 뜯어내야 하며 포장의 수량은 유통, 판매, 청약 또는 전시 이전에 결정된다. 53. "중앙정부"란 인도네시아공화국 정부를 통치하는 인도네시아공화국 대통령을 말하며 「1945 년 인도네시아공화국 헌법」에 기술한 부통령 및 장관이 보좌한다. 54. "지방정부"란 지방정부의 권한인 행정사무의 집행을 주도하는 지방정부의 한 요소로서, 지역의 수장을 말한다. 55. "장관"이란 무역 부문의 정부 업무를 관장하는 장관을 말한다. 56. "무역감독관"이란 무역 부문의 행정사무를 수행하는 조직의 공무원으로서, 무역업무 감독을 수행하도록 임명한 중앙정부 또는 지방정부 소속의 공무원을 말한다. 57. "무역조사공무원"(PPNS-DAG)이란 「무역에 관한 법률 2014 년 제 7 호」에 따라 특별한 권한을 가진 중앙정부 또는 지방정부 소속의 「형사소송법전」에 언급된 공무원을 말한다.

제 2 조

이 정부령에서 무역이행의 범위는 다음 각 호와 같다.

a. 수출입 정책 및 통제 b. 인도네시아어 라벨의 사용 또는 완전성 c. 상품의 유통 d. 무역시설 e. 표준화 f. 수출 진흥 g. 법정계량 h. 무역활동감독 및 감독대상 상품으로 지정된 상품의 감독

제 2 장 수출입 정책 및 통제

제 3 조

(1) 수출입 부문 정책 및 통제는 장관이 실행한다.

(2) 제 1 항의 수출입 정책의 이행과 통제는 다음 각 호의 형태로 장관이 실행한다.

a. 수출승인 b. 수입승인 c. 등록수출자 d. 등록수입자 e. 제조업자의 수입자 f. 상품의 수출 수입장소의 결정 g. 상품의 종류 h. 권한 i. 수출자 및 수입자의 요건 j. 수출입 허가 신청 절자 k. 수출입 허가의 부여 l. 기술검증 또는 조사 i. 수출자 및 수입자의 의무 n. 수출자 및 수입자에 대한 금지사항 o. 감독 p. 제재

(3) 제 1 항의 수출입 부문 정책 및 통제에 관한 상세규정은 장관령으로 정한다.

제 4 조

(1) 장관은 특정 상품에 대한 제 3 조제 2 항제 l 호의 기술검증 또는 검사의 실행을 결정한다.

(2) 제 1 항의 기술검증 또는 조사는 경제 부문 정부행정의 각 부처의 업무를 조정•통합•통제하는 부처의 통합회의에서 합의한 기준에 따라 특정 상품에 부과될 수 있다.

(3) 기술검증 또는 조사 대상 특정상품 및 기술검증 또는 조사의 시행에 대한 상세규정은 장관령으로 정한다.

(4) 제 3 항의 장관령에 근거하여 규제하는 특정 형태의 상품은 경제 부문 정부행정의 각 부처의 업무를 조정•통합•통제하는 부처의 장관이 주재하는 조정회의의 결정에 근거하여 개정할 수 있다. 해당 회의에는 장관, 비부처 정부기관의 장 또는 장관이나 비부처 정부기관의 장으로부터 권한을 위임받은 공무원이 참석한다.

제 5 조

(1) 수출활동을 영위하는 수출자는 사업자번호를 보유하여야 한다.

(2) 수출이 사업을 위한 것이 아닌 경우에는 수출자는 사업자번호 및 사업허가를 보유할 필요가 없다.

(3) 수출자는 수출활동을 하기 위하여 장관의 사업허가를 보유하여야 한다.

(4) 제 3 항의 수출 관련 사업허가는 다음 각 호와 같이 구성된다.

a. 등록수출자 b. 수출승인

(5) 장관의 수출승인 발급은 상품수지에 근거하여 시행한다.

(6) 제 5 항의 상품수지가 결정되지 아니하는 경우에는 장관의 수출승인 발급은 이용 가능한 조항과 데이터를 근거로 시행한다.

(7) 제 5 항의 상품수지에 관한 상세규정은 대통령규정으로 정한다.

(8) 다음 각 호에 관한 상세규정은 장관령으로 정한다.

a. 제 2 항의 사업자번호 및 사업허가를 필요로 하지 않는 수출자 b. 제 4 항의 수출 부문 사업허가

제 6 조

(1) 수입활동에서 수입자는 수입자신분확인번호(API)인 사업자번호를 가지고 있어야 한다.

(2) 제 1 항의 수입자신분확인번호(API)인 사업자번호는 다음 각 호와 같이 구성된다.

a. 일반수입자신분확인번호(API-U) b. 제조업자 수입자신분확인번호(API-P)

(3) 수입자는 수입활동을 영위하기 위하여 장관이 발급한 사업허가를 보유하여야 한다.

(4) 수입이 사업을 위한 것이 아닌 경우에는 수입자는 사업자번호 및 사업허가가 필요없다.

(5) 제 3 항의 수입 관련 사업허가는 다음 각 호와 같이 구성된다.

a. 등록수입자 b. 제조업 수입자 c. 수입승인

(6) 장관의 수입승인 발급은 상품수지에 근거하여 실행된다.

(7) 제 6 항의 상품수지가 정해지지 않은 경우에는 장관의 수입승인 발급은 존재하는 조항과 데이터에 근거하여 실행한다.

(8) 제 6 항의 상품수지에 관한 상세규정은 대통령규정으로 정한다.

(9) 다음 각 호에 관한 상세규정은 장관령으로 정한다.

a. 제 1 항의 수입자신분확인번호(API)인 사업자번호 b. 제 4 항의 사업자번호 및 사업허가를 필요로 하지 않는 수출자 c. 제 5 항의 수입 부문 사업허가

제 7 조

(1) 수출입 관련 사업허가 신청은 수출입 서류를 취급하는 단일 통합시스템을 통하여 전자적으로 실시된다.

(2) 제 1 항의 사업허가신청이 불완전한 경우, 법규에서 정한 기간 내에 통합시스템을 통하여 전자적인 수단으로 거절통지를 한다.

(3) 제 1 항의 사업허가신청이 완전한 경우, 법규에서 정한 기간 내에 통합시스템을 통하여 전자적인 수단으로 사업허가를 부여한다.

(4) 제 1 항의 사업허가신청이 완전한 경우로서, 법규에서 정한 기간 내에 사업허가가 부여되지 않았을 경우, 사업허가는 통합시스템을 통하여 자동 발급된다.

(5) 불가항력으로 통합시스템이 작동되지 아니하는 경우, 제 1 항의 수출입 사업허가신청은 장관 앞으로 수작업을 통하여 제출할 수 있다.

(6) 제 5 항의 불가항력으로 인한 사업신청에 관한 조항은 장관령으로 정한다.

제 8 조

(1) 해외수출용 국가 발명 혁신상품의 향상 및 발전을 위하여 장관은 다음 각 호의 어느 하나의 수단을 제공할 수 있다.

a. 금융 b. 보증 c. 수출보험 d. 마케팅 e. 그 밖의 절차상 장려책

(2) 제 1 항의 수단을 제공할 때 장관은 지방정부, 대학, 사업계, 협회 및 그 밖의 이해당사자와 협력할 수 있다.

(3) 장관은 제 1 항의 해외수출용 국가발명•혁신상품을 결정할 수 있다.

제 9 조

(1) 모든 수입자는 새로운 상태의 상품을 수입하여야 한다.

(2) 특정한 경우, 장관은 다음 각 호의 어느 하나에 따라 수입품이 새로운 상태가 아니라고 판단할 수 있다.

a. 법규 b. 장관의 권한 c. 다른 정부기관의 추천 또는 기술적인 검토

(3) 제 2 항의 수입품의 신상품 여부에 대한 상세규정은 장관령으로 정할 수 있다.

(4) 제 3 항의 장관령에 근거하여 규제하는 상품의 유형은 경제 부문 정부행정의 각 부처의 업무를 조정•통합•통제하는 부처의 장관이 주재하는 조정회의의 결정에 근거하여 개정할 수 있다. 해당 회의에는 장관, 비부처 정부기관의 장 또는 장관, 비부처 정부기관의 장의 권한을 위임받은 공무원이 참석한다.

제 10 조

(1) 수출금지상품으로 지정된 상품의 수출은 금지된다.

(2) 수입금지상품으로 지정된 상품의 수입은 금지된다.

(3) 제 1 항의 수출금지상품과 제 2 항의 수입금지상품은 다음 각 호의 요건을 충족하여야 한다.

a. 사람, 동물, 어류, 식물 및 환경의 건강, 안전 보호와 관련될 것 b. 사회, 문화, 도덕, 국가안보, 국가이익, 공익에 관련될 것 c. 보존이 필요한 식물 및 야생동물일 것

(4) 제 1 항의 수출금지상품과 제 2 항의 수입금지상품에 관한 상세규정은 장관령으로 정한다.

(5) 제 4 항의 장관령에 근거하여 수출입이 규제되는 상품의 유형은 경제 부문 정부행정의 각 부처의 업무를 조정•통합•통제하는 부처의 장관이 주재하는 조정회의의 결정에 근거하여 개정할 수 있다. 해당 회의에는 장관, 비부처 정부기관의 장 또는 장관, 비부처 정부기관의 장의 권한을 위임받은 공무원이 참석한다.

제 11 조

(1) 수출용 상품제한 조항을 준수하지 아니한 상품의 수출을 금지한다.

(2) 제 1 항의 수출이 제한되는 상품은 다음 각 호의 요건을 충족하여야 한다.

a. 법규에 따른 제한 b. 사회, 문화, 도덕, 국가안보, 국가이익 및 공익 보호 c. 사람, 동물, 어류, 식물 및 환경의 건강과 안전의 보호 d. 법규에 따라 수출이 허용되는 식물 및 야생동물의 보호 e. 국내에서 그 사용이 요구될 것

(3) 제 1 항을 위반하는 수출자는 행정제재를 받는다.

제 12 조

(1) 수입품 제한에 관한 조항을 준수하지 아니한 상품의 수입을 금지한다.

(2) 제 1 항에 따라 수입이 제한되는 상품은 다음 각 호의 요건을 충족하여야 한다.

a. 법규에 따른 제한 b. 사회, 문화, 도덕, 국가안보, 국가이익 및 공익 보호 c. 사람, 동물, 어류, 식물 및 환경의 건강과 안전의 보호

(3) 제 11 조제 2 항의 수출제한상품과 제 2 항의 수입제한상품에 관한 상세규정은 장관령으로 정한다.

(4) 제 3 항의 장관령에 근거하여 수출입이 제한되는 상품의 유형은 경제 부문 정부행정의 각 부처의 업무를 조정•통합•통제하는 부처의 장관이 주재하는 조정회의의 결정에 근거하여 개정할 수 있다. 해당 회의에는 장관, 비부처 정부기관의 장 또는 장관, 비부처 정부기관의 장의 권한을 위임받은 공무원이 참석한다.

(5) 제 1 항을 위반하는 수입자는 행정제재를 받는다.

제 13 조

(1) 상품수지 요건과 관련하여 정부부처•비부처 정부기관은 수출입 관련 자료 및 통합정보시스템의 다른 자료를 제출하여야 한다.

(2) 재무 부문 정부 업무를 조직하는 장관은 수출입실적자료를 관련 장관, 그 밖의 장관 및 비부처 정부기관에 통합정보시스템을 통하여 제출하여야 한다.

제 14 조

(1) 특정 상품의 수입에 관한 사업허가 이행 여부에 대한 검사는 소비자 보호 및 상거래 규칙을 담당하는 국장이 관세구역 통과 후 무역 활동을 감독하는 방식으로 진행한다.

(2) 필요시, 제 1 항의 무역 활동 감독은 관세 담당 국장의 협조로 관세구역에서 실시한다.

(3) 제 1 항의 특정상품에 관한 상세규정은 정관 규정으로 정한다.

(4) 제 3 항의 장관령에서 정한 상품의 유형은 경제 부문 정부행정의 각 부처의 업무를 조정•통합•통제하는 부처의 장관이 주재하는 조정회의의 결정에 근거하여 개정할 수 있다. 해당 회의에는 장관, 비부처 정부기관의 장 또는 장관, 비부처 정부기관의 장의 권한을 위임받은 공무원이 참석한다.

제 15 조

(1) 관세구역 통과 후 통제를 실시하는 상품에 대한 부패 방지를 위한 국가전략프로그램의 실시감독을 강화하기 위하여 수입자는 관세청통지서류에 사업허가서를 첨부할 의무가 있다.

(2) 제 1 항의 사업허가서를 첨부하지 아니하는 수입자는 행정제재를 받는다.

제 16 조

(1) 제 15 조제 1 항의 수입자는 관세 관련 법규에 따라 수입 부문 사업허가서 내에 기재한 상품의 단위를 이용하여 관세청통지서에 수입품의 수량 또는 부피를 통지하여야 한다.

(2) 제 1 항의 수입품의 수량 또는 부피는 관세 관련 법규에 따라 수입 부문 사업허가서에 기재한 수량 또는 용량을 초과해서는 아니 된다.

제 17 조

(1) 장관은 평판이 양호한 수출자 및 수입자를 지정할 수 있다

(2) 장관•비부처 정부기관은 평판이 양호한 수출자 및 수입자를 추천할 수 있다.

(3) 제 1 항의 평판이 양호한 수출자 및 수입자는 해당 정부부처•비부처 정부기관에서 사업허가를 용이하게 할 수 있다.

(4) 제 1 항의 양호한 평판을 지닌 수출자 및 수입자의 기준에 관한 조항은 장관령으로 정한다.

제 18 조

(1) 자유무역지역, 자유항구 및 특별경제구역내 수출입 제한에 관한 조항은 법규로 시행한다.

(2) 수출입 제한에 관한 조항은 보세창고에는 적용되지 아니한다.

(3) 수출입 제한에 관한 조항은 수출을 위한 수입설비로서, 수출목적으로 가공, 조립, 설치되는 상품 및 자재의 수입에는 적용되지 아니한다.

(4) 국가경제 목적상, 장관은 제 2 항의 보세창고 및 제 3 항의 수출용 수입설비에 대하여 수출입 제한 조항의 적용 여부를 결정할 수 있다.

제 19 조

(1) 산업적 부가가치를 증대하고 국내산업구조를 강화하기 위하여 장관은 원자재 및 산업용 보조자재의 수출입을 제한하여 통제할 수 있다.

(2) 제 1 항의 수출입 제한은 경제 부문 정부행정의 각 부처의 업무를 조정•통합•통제하는 부처의 통합회의를 통하여 시행된다.

(3) 장관은 제한된 범위의 회의 및 국무회의에서 해당 사안이 의결된 경우 수출입이 제한되는 원자재 및 산업 보조 자재를 결정할 수 있다.

(4) 관세 관련 법규에 따른 감독을 위하여 장관이 제 3 항의 결정내용을 재정 부문 정부행정을 조직하는 장관에게 전달한다.

제 3 장 인도네시아어 라벨의 사용 또는 완전성

제 20 조

(1) 모든 사업자는 국내에서 거래되는 상품에 대하여 인도네시아어 라벨을 사용하거나 작성할 의무가 있다.

(2) 제 1 항의 국내거래는 전자시스템을 통한 거래 및 직간접적으로 상품이 배포되는 거래, 단일단계 또는 다단계 방식의 거래를 포함한다.

(3) 제 1 항의 의무사항은 다음 각 호에 따라 이행된다.

a. 국내제조품의 제조업자 b. 수입품의 수입자 c. 국내제조품의 포장업자 또는 인도네시아공화국 내에서 포장된 수입품의 포장업자

(4) 제 1 항의 인도네시아어 라벨의 사용 또는 작성이 필요한 상품에 대한 상세규정은 장관령으로 정한다.

(5) 제 4 항의 장관령에서 정한 상품의 유형은 경제 부문 정부행정의 각 부처의 업무를 조정•통합•통제하는 부처의 장관이 주재하는 조정회의의 결정에 근거하여 개정할 수 있다. 해당 회의에는 장관, 비부처 정부기관의 장 또는 장관, 비부처 정부기관의 장의 권한을 위임받은 공무원이 참석한다.

(6) 제 1 항을 위반하는 사업자는 행정제재를 받는다.

제 21 조

(1) 제 20 조의 라벨은 명확하고 읽기 쉽고 이해할 수 있게 인도네시아어로 표기하여야 한다.

(2) 인도네시아어, 아라비아 숫자, 라틴 문자 이외의 언어, 숫자, 문자는 해당 문자가 존재하지 않거나 생성할 수 없는 경우 사용할 수 있다.

제 22 조

(1) 제 21 조의 인도네시아어 라벨의 사용은 상품 및 포장에 라벨을 넣는 것을 말한다.

(2) 제 1 항의 인도네시아어 라벨 삽입은 다음 각 호의 어느 하나의 형태로 한다.

a. 양각 또는 인쇄 b. 완전 부착 또는 고정 c. 상품 및 포장 안에 삽입 또는 동봉

(3) 인도네시아어 라벨의 크기는 상품 또는 포장의 크기에 비례하여야 한다.

제 23 조

(1) 제 22 조의 인도네시아어 라벨에는 상품명, 상품의 원산지, 사업자 신분 및 그 밖의 상품 특징에 관한 정보를 기재한다.

(2) 제 1 항의 사업자의 신분에 대한 정보는 최소한 다음 각 호의 어느 하나를 포함하여야 한다.

a. 국내제조품의 경우 제조업자의 이름 및 주소 b. 수입품의 경우 수입자의 이름 및 주소 c. 국내제조품 또는 인도네시아공화국 내 포장 수입품 포장업자의 이름 및 주소 d. 극소기업•중소기업이 제조한 상품을 취득하여 거래하는 경우 수집거래업자의 이름 및 주소

(3) 소비자의 안전, 치안, 보건, 환경과 관련된 상품의 경우 다음 각 호의 사항을 포함한다.

a. 사용절차 b. 명확하고 이해가 쉬운 위험 기호 및 경고표시

(4) 제 2 항에서 의도한 상품 및 포장에 사업자의 신분정보를 완전히 포함하는 것이 불가능한 경우에는 상품 및 포장에 부착하거나 기재한다.

제 24 조

(1) 제 23 조제 1 항의 정보 외에도 사업자는 법규에 따른 정보 또는 설명을 포함하여야 한다.

(2) 인도네시아 국가표준(SNI)이 의무적으로 적용되는 상품의 인도네시아어 라벨에는 SNI 표시도 함께 넣어야 한다.

제 25 조

(1) 사업자는 다음 각 호의 정보를 포함하는 인도네시아어 라벨 부착이 금지된다.

a. 불완전한 정보 b. 부정확하거나 소비자에게 오해를 유발하는 정보

(2) 제 1 항의 금지를 위반하면 행정제재를 받는다.

제 26 조

(1) 제 20 조제 3 항의 제조업자, 수입자 또는 포장업자가 제 25 조를 충족하지 못하는 경우 상품의 유통을 중단할 의무가 있고 거래가 금지된다.

(2) 제 1 항의 상품 유통 중단은 장관의 지시로 실시된다.

(3) 장관은 제 2 항의 상품 유통 중단 권한을 소비자 보호 및 상거래 규칙을 담당하는 국장에게 위임한다.

(4) 상품 유통 중단 비용은 제 1 항의 제조업자, 수입자 또는 포장업자가 부담한다.

제 27 조

제 26 조제 1 항의 유통이 중단되었던 상품이 정부령에 따른 인도네시아어 라벨 포함 의무 조항을 충족한 경우 재유통될 수 있다.

제 28 조

제 20 조의 인도네시아어 라벨 포함 의무 조항은 다음 각 호의 어느 하나의 경우 적용되지 아니한다.

a. 소비자에게 직접 판매되는 대용량 포장 상품 b. 초소형 및 소규모 사업자가 제조한 상품

제 29 조

(1) 제 20 조제 3 항의 사업자뿐만 아니라 수집거래업자는 인도네시아어 라벨을 포함할 의무가 있다.

(2) 제 25 조의 규정을 준수하지 아니하는 수집거래업자는 해당상품의 유통 및 판매를 중단할 의무가 있다.

(3) 제 2 항에 따라 상품 유통 및 판매 중단 의무는 제 26 조에 따라 이행한다.

제 30 조

(1) 인도네시아어 라벨 포함에 대한 지도는 장관이 실시한다.

(2) 장관은 제 1 항의 지도에 대한 권한을 소비자 보호 및 상거래 규칙을 담당하는 국장에게 위임한다.

(3) 제 1 항의 지도 실시는 유관 부처의 장관, 중앙정부 및 지방정부의 기술기관이 개별적 또는 합동으로 실행할 수 있다.

(4) 제 1 항의 지도는 사업자 및 소비자에게 직접적으로 다음 각 호의 형태로 실시한다.

a. 서비스 및 정보 배포 b. 교육 c. 협의

제 31 조

(1) 인도네시아어 라벨의 사용 또는 작성 의무가 있는 상품 관련 법규를 준수하지 아니하는 상품을 제조 또는 수입하는 사업자가 인도네시아어 라벨을 포함시킨 경우, 상품의 특징에 맞게 인도네시아어 라벨을 포함하여야 한다.

(2) 인도네시아어 라벨의 사용 또는 작성의무가 있는 상품 관련 법규의 준수의무가 없는 상품을 제조 또는 수입하는 사업자가 인도네시아 라벨을 포함시키지 않은 경우, 상품의 특징에 맞는 인도네시아어 라벨을 포함시킬 수 있다.

(3) 제 2 항의 라벨을 포함하는 것은 소비자에게 더 많은 정보를 제공하고 국내 시장에서 거래되는 상품을 홍보하기 위한 수단으로 사용하는 것을 목적으로 한다.

제 4 장 상품의 유통

제 1 부 총칙

제 32 조

상품의 국내 유통은 소비자에게 직간접적으로 실시한다.

제 2 부 상품의 간접적 유통

제 33 조

(1) 제 32 조에 언급된 상품의 간접적 유통은 다음 각 호의 어느 하나와 같은 일반적인 상품 유통망을 통하여 실시한다.

a. 유통업자 및 유통네트워크 b. 대리점 및 대리점 네트워크 c. 체인점

(2) 제 1 항의 유통업자 및 유통업자 네트워크는 다음 각 호로 구성된다.

a. 유통업자 b. 도매업자•중개업자 c. 소매업자

(3) 제 1 항의 대리점 및 대리점 네트워크는 다음 각 호로 구성된다.

a. 대리점 b. 도매업자•중개업자 c. 소매업자

제 34 조

상품의 간접적 유통은 서면계약, 지정 및 거래증거로 증명할 수 있는 계약을 통하여 유통업자가 실시한다.

제 35 조

(1) 국내제조업자는 상품을 소매업자에 배포하기 위하여 유통사업자를 해당인의 유통업자 또는 대리점으로 지정할 수 있다.

(2) 제 1 항의 국내제조업자 이외에 제조업자는 유통사업자를 유통업자 또는 대리점으로 지정하여야 한다.

(3) 제조업자가 마케팅 지역에서 상품 유통을 위하여 단독 유통업자 또는 대리점을 지정한 경우에는 다른 유통업자 또는 대리점을 지정하여 동일한 유형 및 브랜드의 상품을 유통시킬 수 없다.

(4) 단독 유통업자 지정의 유효기간은 최소 5 년이며 1 회 연장할 수 있다.

(5) 유통업자 또는 대리점에 의한 상품 유통계약에 관한 세부사항은 장관령으로 정한다.

제 36 조

제 35 조제 1 항의 유통업자 또는 대리점은 법규에 따라 유통업자 또는 대리점 사업허가를 보유하여야 한다.

제 37 조

(1) 상품 유통 시, 제 33 조제 2 항제 c 호, 제 3 항제 c 호, 제 35 조제 1 항 및 제 2 항의 소매업자는 상점판매시설 및 그 밖의 판매시설을 사용하여야 한다.

(2) 제 1 항의 상점판매시설은 다음 각 호의 어느 하나의 형태일 수 있다.

a. 셀프서비스 스토어 b. 전통적인 서비스시스템을 가진 상점

(3) 제 1 항의 다른 판매시설은 다음 각 호의 어느 하나의 형태일 수 있다.

a. 전자시스템 b. 전자기기를 이용한 판매 c. 이동식 판매

제 38 조

제 33 조제 2 항제 a 호의 유통업자는 다음 각 호를 충족하여야 한다.

a. 유통업 사업허가를 보유할 것 b. 정확하고 영구적이며 명확한 주소를 가진 영업장소를 소유•통제할 것 c. 정확하고 영구적이며 명확한 주소를 가진 등록된 창고를 소유•통제할 것 d. 유통 상품에 대하여 제조업자, 공급자 또는 수입자와 제 34 조의 계약을 체결할 것

제 39 조

제 33 조제 3 항제 a 호의 대리점은 다음 각 호를 충족하여야 한다.

a. 대리점으로서, 사업허가를 보유할 것 b. 정확하고 영구적인, 명확한 주소를 가진 영업장소를 소유•통제할 것 c. 각 당사자의 권리•의무를 규정하는 제 34 조에 언급된 바와 같이 해당인을 임명하는 당사자와 계약을 체결할 것 d. 해당인을 임명하는 당사자로부터 받은 수수료에 따라 사업을 수행할 것

제 40 조

제 33 조제 2 항제 b 호의 도매업자•중개업자는 다음 각 호를 충족하여야 한다.

a. 도매업자•중개업자로 유통업 사업허가를 보유할 것 b. 제 34 조의 계약에 근거하여 상품 제조업자, 유통업자, 수입자와 협력할 것

제 41 조

제 33 조제 2 항제 c 호 및 제 3 항제 c 호의 소매업자는 다음 각 호를 충족하여야 한다.

a. 소매업자로서, 유통업 사업허가를 보유할 것 b. 정확하고 영구적이며 명확한 주소를 가진 판매시설 또는 장소를 소유•통제할 것

제 3 부 상품의 직접유통

제 42 조

(1) 제 32 조에 언급된 상품의 직접유통은 직접판매시스템을 통한 특별유통을 통하여 실시한다.

(2) 제 1 항의 직접판매시스템은 다음 각 호의 어느 하나의 수단을 통하여 실시한다.

a. 단일단계 직접판매 b. 다단계 직접판매

(3) 제 2 항제 a 호의 단일단계 직접판매는 고객에 대한 상품판매실적에 따른 수수료 및 보너스를 받고 일하는 직접판매자가 개발한다.

(4) 제 2 항제 b 호의 다단계 직접판매는 고객에 대한 상품 판매실적에 따른 수수료 및 보너스를 받고 일하는 직접판매자가 개발한다.

제 43 조

(1) 직접판매시스템을 통하여 상품 유통활동을 영위하는 회사는 다음 각 호의 기준을 충족하여야 한다.

a. 직접판매를 통하여 유통되는 상품에 대한 독점유통권이 있을 것 b. 마케팅프로그램을 보유할 것 c. 윤리강령을 갖출 것 d. 네트워크 시스템을 통하여 직접판매자를 모집할 것 e. 직접판매자가 개발한 마케팅 네트워크를 통하여 소비자에게 직접 상품을 판매할 것

(2) 제 1 항제 b 호의 마케팅프로그램은 인도네시아어로 작성하여야 하며 최소한 다음 각 호의 정보를 포함하여야 한다.

a. 최소한 이미지, 판매가격, 혜택을 포함한 상품의 목록과 특징 b. 사용하는 마케팅프로그램의 유형 c. 예비 직접판매자를 위한 등록비 d. 판매보조자료의 내용 e. 회사부터 소비자까지 상품판매의 흐름 f. 직접판매자에 대한 인도네시아 루피화 표시 수수료 및 보너스의 종류, 계산 및 금액 g. 특정 네트워크 수준까지 직접판매자에게 지급되는 수수료 및 보너스의 계산 모의실험 제공 h. 수수료 및 보너스 수취 약관 i. 수수료 및 보너스 지급 일정

(3) 제 1 항제 c 호의 윤리강령은 인도네시아어로 작성하며 최소한 다음 각 호를 포함하여야 한다.

a. 직접판매자의 요건 b. 직접판매자의 등록절차 c. 직접판매자의 회원 유효기간 d. 회원등록절차 e. 회사의 권리•의무 f. 직접판매자의 권리•의무 g. 직접판매자 회사가 제공하는 코칭, 훈련프로그램 및 시설 h. 합의한 품질 및 종류와 다른 상품에 대한 손해배상 및 그 절차 i. 직접판매자의 금지사항 j. 제재 k. 분쟁해결절차

제 44 조

제 43 조제 1 항제 a 호의 독점유통권은 계약 또는 상표권 소유를 통하여 획득한다.

제 45 조

제 44 조의 독점유통권 계약이 유효기간 만료전 상표권 소유자에 의해 일방적으로 해지된 경우에는 상표권자는 당사자 간의 분쟁 해결을 위한 합의가 이루어지거나 법원의 확정판결이 있기 전까지 새로운 회사를 지정할 수 없다.

제 46 조

직접판매 시스템을 통한 거래활동은 회사와 직접판매자 간의 서면 계약에 따라 윤리강령을 준수하여 수행된다.

제 47 조

제 43 조제 1 항제 d 호의 네트워크 시스템을 통한 직접판매자를 모집할 때 회사는 예비 직접판매자에게 최소한 다음 각 호를 포함하는 구두 및 서면 정보를 제공할 의무가 있다.

a. 회사 식별정보 b. 상품의 질 및 규격 c. 상품의 상태 및 보증사항 명시 및 상품의 사용, 수리 및 유지보수에 대한 설명 d. 마케팅프로그램 e. 윤리강령

제 48 조

직접판매활동을 수행할 때 제 47 조의 직접판매자를 모집한 회사는 다음 각 호의 의무를 준수하여야 한다.

a. 상품정보, 마케팅프로그램 및 윤리강령을 필수적으로 포함하는 판매보조자료를 제공할 의무 b. 직접판매자가 수행하는 활동이 마케팅프로그램 및 윤리강령을 준수하는지 확인할 의무 c. 상품은 직접판매시스템을 통하여 판매된다는 문구와 회사의 이름을 포함하는 라벨을 상품 및 포장에 부착할 의무 d. 직접판매자 및 소비자에게 적용되는 상품가격을 루피아로 결정할 의무 e. 직접판매자 및 네트워크의 상품판매실적에 따른 수수료 및 보너스 지급의 의무 f. 수취한 상품이 계약 내용과 다른 경우 소비자에게 7 근무일의 상품반환 기한을 제공할 의무 g. 거래된 상품의 사용, 활용, 이용으로 인하여 발생한 손실에 대해 보상, 배상 및 대금반환의 의무 h. 직접판매자가 올바르고 정직하며 책임감 있게 행동할 수 있도록 최소 연 1 회 이상 코칭 및 교육을 실시하여 직접판매자의 능력과 지식을 향상시킬 의무 i. 직접판매자가 상품 마케팅에 성공하도록 동등한 기회를 제공할 의무 j. 마케팅 네트워크의 회원으로 등록한 직접판매자 명단을 보유하고 해당 직접판매자의 신원데이터로 보완할 의무 k. 법규에 따라 유통 허가를 받았거나 품질 기준을 충족한 상품을 판매할 의무 l. 직접판매자가 간접적인 유통채널 및 오픈마켓을 통하여 상품을 판매하지 않도록 할 의무

제 49 조

제 48 조제 e 호의 직접판매자에 대한 수수료 및 보너스의 금액은 회사매출액의 최대 60 퍼센트로 한다.

제 50 조

직접판매시스템에서 유통사업자는 직접판매회사 사업허가를 가진 회사여야 한다.

제 51 조

직접판매 부문 사업허가를 보유한 회사는 다음 각 호의 활동이 금지된다.

a. 실제 조건과 다르거나 부정확하게 상품을 청약, 홍보 및 광고하는 행위 b. 강압적 또는 소비자에게 신체적 심리적인 피해를 초래하는 그 밖의 방법을 사용하여 상품을 청약하는 행위 c. 소비자 보호 관련 법규에서 벗어난 표준조항 문서 및 계약을 만들거나 포함시켜 상품을 청약하는 행위 d. 공식 기술기관의 등록증이 없는 상품의 판매 특히 법규에 따라 등록이 되지 않은 상품을 판매하는 행위 e. 법규에서 정한 품질기준을 충족하지 못한 상품의 판매행위 f. 불합리한 방법으로 회원 가입비 또는 사업 파트너 등록을 통해 수익을 인출 및 취득하는 행위 g. 1 회 이상 동일한 이름으로 직접판매자 회원 등록을 받는 행위 h. 회원수수료 또는 직접판매자 모집을 통해 수수료 및 보너스를 지급하는 행위 i. 회사가 상품판매를 하지 않을 때 마케팅프로그램에서 수수료 및 보너스를 지급하는 행위 i. 간접적인 유통채널 및 오픈마켓을 통하여 사업허가를 받은 상품을 판매하거나 마케팅하는 행위 k. 직접판매자가 개발한 마케팅 네트워크를 통하지 아니하고 소비자에게 직접 판매하는 행위 l. 공공기금 모집과 관련된 사업을 수행하는 행위 m. 피라미드 방식을 통하여 마케팅 네트워크를 형성하는 행위 n. 마케팅프로그램에 포함되지 아니하는 상품의 판매 및 마케팅 행위 o. 법규에 따른 상품선물을 포함한 상품 및 서비스를 판매하는 행위

제 52 조

장관은 상품 유통업 활동에 대한 직접적인 지도 및 평가를 수행한다.

제 53 조

(1) 제 52 조의 지도는 상담, 협의, 교육 및 훈련을 통하여 수행한다.

(2) 제 52 조의 평가는 회사가 제출한 회사사업활동 연간보고서와 회사 소재지에 대한 검증 결과를 바탕으로 수행한다.

(3) 제 1 항과 제 2 항의 지도 및 평가를 수행할 때 장관은 직접판매 부문의 협회뿐만 아니라 중앙정부 및 지방정부의 관련 기관과 협조할 수 있다.

제 54 조

법규에 따라 상품선물을 포함하는 상품 및 서비스는 직접판매시스템을 통한 마케팅이 금지된다.

제 4 부

제 55 조

(1) 제조업자, 유통업자, 도매업자•중개업자가 상품을 소매로 소비자에게 유통하는 것은 금지된다.

(2) 대리점은 자신을 임명한 제조업자, 공급자, 수입자가 소유 및 통제하는 물리적인 상품에 대한 권리를 양도하는 것이 금지된다.

(3) 간접적 유통업자는 독점유통권을 가진 직접판매시스템을 통하여 마케팅하는 상품을 유통시킬 수 없다.

(4) 수입자는 자신이 유통업자가 아니면 소매업자에게 상품을 직접 유통시킬 수 없다.

(5) 소매업자는 상품을 수입할 수 없다.

제 5 부 기타규정

제 56 조

상품을 판매할 때 제조업자는 무역 관련 사업허가를 보유하지 아니할 수 있다.

제 57 조

제조업자는 유통업자 및 그 네트워크 또는 대리점 및 그 네트워크를 통하지 않고도 원재료, 부자재 또는 자본재로 의도된 상품을 다른 제조업자에게 공급하거나 유통할 수 있다.

제 58 조

극소기업•중소기업 규모의 제조업자와 쉽게 상하거나 7 일 이상 보존이 불가능한 상품의 제조업자는 유통업자와 그 네트워크, 대리점과 그 네트워크를 통하지 아니하고 상품을 소비자에게 판매할 수 있다.

제 59 조

(1) 이 정부령의 상품 유통에 관한 조항은 다음 각 호에는 적용되지 아니한다.

a. 특별한 기준이 적용되는 정부상품의 구매 b. 생필품 및 정부부처가 승인한 중요 상품의 가용성과 가격 안정성 충족을 위한 경우

(2) 제 1 항제 a 호의 정부상품 구매는 정부상품•서비스 구매 관련 법규에 따라 수행한다.

제 5 장 무역시설

제 1 부 창고

제 60 조

(1) 창고는 폐쇄형 및 개방형 창고로 구성된다.

(2) 제 1 항의 폐쇄형 창고는 다음 각 호와 같이 분류한다.

a. A 급 폐쇄형 창고의 기준은 다음 각 목과 같다. 1. 면적: 100m²(일백평방미터)부터 1,000m²(일천평방미터) 2. 저장공간: 360mS(삼백육심입방미터)부터 3,600mS(삼천육백입방미터) b. B 급 폐쇄형 창고의 기준은 다음 각 목과 같다. 1. 면적: 1,000m²(일천평방미터)부터 2,500m²(이천오백평방미터) 2. 저장공간: 3,600mS(삼천육백입방미터)부터 9,000mS(구천입방미터) c. C 급 폐쇄형 창고의 기준은 다음 각 목과 같다. 1. 면적: 2,500m²(이천오백평방미터) 이상 2. 저장공간: 9,000mS(구천입방미터) 이상 d. D 급 폐쇄형 창고의 기준은 다음 각 목과 같다. 1. 사일로 또는 탱크 형태의 창고 2. 저장공간 최소 762mS(칠백육십이 입방미터) 이상 또는 400 톤(사백톤)

(3) 제 1 항의 개방형 창고는 최소 1,000m²(일천평방미터)의 면적을 갖는다.

(4) 제 2 항, 제 3 항의 창고분류는 경제 부문 정부행정의 각 부처의 업무를 조정•통합•통제하는 부처의 장관이 주재하는 조정회의의 결정에 근거하여 개정할 수 있다. 해당 회의에는 장관 및 비부처 정부기관의 장 또는 장관 및 비부처 정부기관의 장으로부터 권한을 위임받은 공무원이 참석한다.

제 61 조

(1) 모든 창고소유자는 장관의 창고등록증(TDG)을 소지하여야 한다.

(2) 제 1 항의 창고등록증을 발급받기 위하여 창고소유자는 창고를 등록하여야 한다.

제 62 조

(1) 제 61 조제 1 항의 창고등록증 발급권한은 장관이 보유한다.

(2) 장관은 창고등록증 발급권한을 다음 각 호와 같이 위임할 수 있다.

a. 자카르타주 수도특별지구의 주지사 b. 군수•시장

제 63 조

(1) 제 62 조제 2 항에 언급된 자카르타주 수도특별지구의 주지사, 군수, 시장은 창고등록증 발급권한을 원스톱통합서비스부의 장에게 위임할 수 있다.

(2) 제 1 항의 원스톱통합서비스부의 장은 부처•비부처 기관의 시스템을 통합한 시스템을 통하여 창고등록증 전자발급을 할 권한을 가지며 발급된 창고등록증 사본을 장관 및 무역 담당 부서의 장에게 제출한다.

제 1 절 창고관리기록

제 64 조

창고관리자는 보관, 입출고 상품의 종류 및 수량에 관한 창고관리기록을 작성할 의무가 있다.

제 65 조

(1) 제 64 조의 창고관리기록은 최소한 다음 각 호의 정보를 포함하여야 한다.

a. 상품소유자 b. 상품소유자의 사업자번호 c. 상품의 종류 또는 분류그룹 d. 상품수량 e. 상품 입고일 f. 상품의 원산지 g. 상품 출고일자 h. 상품의 목적지 i. 창고 보관중인 상품수량(재고)

(2) 필요한 경우, 제 1 항의 창고관리기록은 무역 부문 정부 업무를 담당하는 부처의 무역감독관 및 지방•구•시의 무역 담당 부서에 언제라도 제시할 수 있도록 항상 준비하여야 한다.

(3) 제 1 항 및 제 2 항의 관리기록에 관한 세부사항은 장관령으로 정한다.

제 66 조

제 65 조의 창고관리기록에 관한 조항은 다음 각 호에는 적용되지 아니한다.

a. 창고접수시스템을 통하여 상품을 보관하는 창고 b. 상품배달서비스를 위한 임시보관장소로 사용하는 창고

제 2 절 보고

제 67 조

(1) 다음 각 호의 행정단위 소속 무역 담당 부서의 장은 창고등록증 발급상황을 요약하여 3 개월마다 장관에게 보고할 의무가 있다.

a. 자카르타주 수도특별지구 b. 구•시

(2) 구•시의 무역 담당 부서의 장은 제 1 항의 창고등록증 발급상황을 요약하여 사본과 함께 주단위의 무역 담당 부서의 장에게 제출하여야 한다.

(3) 제 1 항의 창고등록증 발급상황 보고의 요약은 전자 수단으로 제출할 수 있다.

제 68 조

창고관리자는 자신이 통제하는 창고에 보관된 상품의 가용성에 대한 정보 및 데이터를 장관, 자카르타주 수도특별지구 주지사, 군수•시장 또는 지정 담당관이 요청하면 제공할 의무가 있다.

제 69 조

이 정부령의 창고 등록에 관한 조항은 다음 각 호의 경우에는 적용되지 아니한다.

a. 보세창고지역 내 창고 b. 관세 담당 국장이 감독하는 보관지역 내 창고 c. 소매상품의 임시보관으로 사용하는 소매업체에 인접한 창고 또는 제조업체에 인접한 창고

제 3 절 지도

제 70 조

1) 상품의 가용성, 가격 안정, 원활한 유통을 위하여 자카르타주 수도특별지구 주지사 및 군수•시장은 무역 담당 부서의 장이 창고등록, 상품의 창고 저장, 보고에 대한 지도를 제공하도록 하여야 한다.

(2) 제 1 항의 지도는 자카르타주 수도특별지구 및 구•시의 무역 담당 부서에서 개별적으로 또는 주정부의 무역 담당 부서 및 장관과 공동으로 실행할 수 있다.

(3) 제 1 항의 창고등록, 창고 내 상품 보관, 보고에 대한 지도는 훈련, 상담 및 현장방문 형식으로 실시할 수 있다.

제 2 부 공공시장

제 1 절 총칙

제 71 조

(1) 장관은 지방정부, 사기업, 국영기업, 지방정부 소유 기업, 마을 소유 기업 및 조합이 운영하는 공공시장을 조직 및 건설한다.

(2) 공공시장의 상점, 매점, 노점, 공터•기지•구멍가게 및 텐트는 법규에 따라 중소상인 및 조합 및 극소기업•중소기업이 소유하고 이용한다.

제 72 조

(1) 장관은 지방정부와 협력하여 공공시장 관리의 품질을 개발, 권한위임 및 개선한다.

(2) 제 1 항의 공공시장 관리의 품질 개발, 권한위임 및 개선은 다음 각 호의 형태로 실시할 수 있다.

a. 공공시장의 건설 및 재활성화 b. 전문적인 공공시장 조직관리의 실행 c. 좋은 품질과 경쟁력 있는 가격의 상품 공급 촉진 d. 공공시장 거래자에 대한 금융 접근성 제고 e. 공공시장 거래 관리 및 처리를 위한 정보통신기술 활용촉진

제 73 조

(1) 제 72 조제 2 항제 a 호의 공공시장 건설 및 재활성화는 다음 각 호의 요소를 포함한다.

a. 물리적 요소 b. 관리 c. 경제 d. 사회

(2) 제 1 항제 a 호의 물리적 건설 및 재활성화를 위하여 인도네시아 국가표준(SNI) 및 다음 각 호와 관련되는 건축 관련 법규에 대한 지도를 실시하여야 한다.

a. 건물의 물리적 상태는 공공시장 모형의 표준 설계 b. 거래 상품의 구역설정 c. 위생, 보건, 치안, 환경시설 d. 교통편의 접근성 e. 정보통신기술 시설

(3) 제 2 항의 물리적 건설 및 재활성화는 국가예산, 지방정부예산 및 법규에 따른 그 밖의 법정 자원을 사용하여 개발된 공공시장에 적용된다.

(4) 제 1 항제 b 호의 건설 및 재활성화의 관리는 최소한 다음 각 호를 고려하여 공공시장 인도네시아 국가표준(SNI)에 근거하여 실시한다.

a. 관리자의 전문성 개선 b. 사업자에 권한위임 c. 상품의 법령•규정 준수 여부 모니터링 d. 공공시장 관리절차 및 서비스의 운영기준의 실행

(5) 제 1 항제 d 호의 건설 및 재활성화의 사회적인 요소는 공공시장에서 이해당사자, 거래자와 소비자 간 사회 및 문화적 상호작용을 개선하고 증대시키며 유익하며 편안한 공공시장을 창조하려는 노력을 말한다.

제 74 조

(1) 제 72 조제 2 항제 a 호의 공공시장 건설 및 재활성화는 국가예산, 지방정부 예산 및 그 밖의 법규에 따른 법적 자원을 통하여 재원을 조달할 수 있다.

(2) 국가예산을 사용하는 공공시장의 건설 및 재활성화는 최소한 다음 각 호의 요건을 충족하여야 한다.

a. 공공시장의 기초를 가지고 있음 b. 교통 접근성이 좋은 전략적 장소 c. 지역의 극소기업•중소기업을 포함한 대중의 사회경제적 여건 d. 유통체인에서 공공시장의 역할

(3) 공공시장의 건설 중에 재해가 발생하거나 공공시장이 저개발지, 외곽지역, 고립지역 및 접경지역에 위치하는 경우 제 2 항의 요건과 기준은 적용되지 아니한다.

(4) 지방정부 예산을 사용한 공공시장의 건설 및 재활성화는 제 2 항의 기준과 요건 및 각 지역에서 제정한 규정을 충족하여야 한다.

(5) 장관 및 지방정부는 민간 부문, 조합, 국영기업, 지방정부 소유 기업과 협력하여 공공시장을 건설 및 재활성화할 수 있다.

(6) 장관 및 지방정부가 민간 부문, 조합, 국영기업 및 지방정부 소유 기업과 협력하여 공공시장을 건설 및 재활성화하는 경우 공공시장의 소유권은 법규에 따라 결정한다.

(7) 제 2 항의 요건과 기준에 대한 상세규정은 장관령으로 정한다.

제 75 조

(1) 장관은 제 74 조제 1 항에서 국가예산으로 건설한 공공시장을 공공시장의 건설 및 재활성화가 완료된 후 1 년이내에 지방정부에 이양한다.

(2) 제 1 항에서 이양된 공공시장의 관리, 정비, 권한위임은 지방정부가 지방예산을 사용하여 시행한다.

(3) 지방정부는 제 1 항에서 이양된 공공시장에 대하여 보험에 가입할 의무가 있다.

제 76 조

(1) 제 72 조제 2 항제 b 호의 공공시장 전문 조직경영의 시행은 민간 부문, 국영기업, 지방정부 소유 기업, 마을기업이나 조합 및 담당관과 협력하여 시행한다.

(2) 제 1 항의 공공시장의 전문조직경영은 공공시장 인도네시아 국가표준(SNI)을 적용하여 시행한다.

제 77 조

제 72 조제 2 항제 c 호의 양호한 품질과 가격경쟁력이 있는 상품 공급에 대한 접근성 촉진은 다음 각 호의 방법으로 시행할 수 있다.

a. 거래자, 제조업자 및 유통업자 간 협력관계 강화 b. 상품 품질기준을 충족하는 상품 공급원에 대한 정보 제공 c. 상품 공급에 관련하여 협회, 통신 토론회, 조합 및 그 밖의 토론회의 설립 장려

제 78 조

제 72 조제 2 항제 d 호에 언급된 공공시장의 거래자에 대한 자금 조달 접근성 제고는 다음 각 호의 방법으로 시행할 수 있다.

a. 은행 및 비은행금융기관의 대출절차 간편화 및 저금리 제공 b. 법규에 따른 다른 자금 조달 수단 지원 c. 조합 및 협회를 통한 공공시장 관리자와 공공시장 거래자 사이의 협력 증진

제 2 절 개발, 조직 및 지도

제 79 조

(1) 공공시장의 설치 위치는 다음 각 호의 어느 하나를 참고한다.

a. 구•시 공간도면 b. 구•시 공간 상세도면

(2) 지방정부가 제 1 항의 구•시 공간도면 또는 구•시 공간 상세도면이 없는 경우에는 공공시장 설치 위치는 공간계획에 관한 법규에 따른다.

(3) 제 1 항의 공공시장은 구•시, 지역 또는 구•시 내 근린(주거) 서비스 지역의 지방 도로망 체계 또는 근린 도로를 포함한 모든 도로망 체계에 설치할 수 있다.

제 80 조

제 73 조의 공공시장 건설 및 재활성화와 제 74 조제 2 항의 기준 및 요건에 관한 조항은 사기업, 국영기업, 지방정부 소유 기업 및 조합이 설치•운영하는 공공시장에도 준용된다.

제 81 조

장관, 지방정부, 일반 대중은 공공시장의 거래 증대를 위하여 공공시장을 적극적으로 홍보하여야 한다.

제 82 조

(1) 장관 또는 지방정부가 조직, 건축, 관리 및 소유하는 공공시장에 자연재해가 발생하거나 비자연적 재난 및 사회적 재난이 발생한 경우, 장관 및 지방정부는 해당 공공시장의 재건축을 실시하여야 한다.

(2) 지방정부는 제 1 항의 재해를 입은 공공시장의 거래자로 등록된 조합 및 극소기업•중소기업에 우선적으로 상점•매점, 노점, 공터•기지•구멍가게 및 텐트를 저렴한 요금으로 제공할 의무가 있다.

제 83 조

(1) 장관은 상점•매점, 노점, 공터•기지•구멍가게 및 텐트의 사용 가격에 대한 지침을 정한다.

(2) 지방정부는 제 1 항의 지침에 따라 상점•매점, 노점, 공터•기지•구멍가게 및 텐트의 사용 가격을 결정한다.

제 84 조

장관, 주지사 및 군수•시장은 개별적으로 또는 공동으로 공공시장 관리자를 지도하여야 한다.

제 3 부 쇼핑센터 및 셀프서비스점

제 1 절 총칙

제 85 조

(1) 쇼핑센터의 형태는 다음 각 호와 같다.

a. 상점 b. 쇼핑몰 c. 플라자

(2) 셀프서비스점의 형태는 다음 각 호와 같다.

a. 미니마켓 b. 수퍼마켓 c. 백화점 d. 하이퍼마켓 e. 독립적인 서비스시스템을 갖춘 상점 형태의 도매업자•중개업자

제 86 조

(1) 쇼핑센터 또는 셀프서비스점 설립시 대중의 사회경제적 여건, 공공시장의 존재 여부, 지구, 지역, 지방에 극소기업•중소기업의 존재 여부를 고려하여야 한다.

(2) 쇼핑센터 관리자 및 셀프서비스점 사업자는 최소한 다음 각 호의 요건을 갖추어야 한다.

a. 주차장 b. 쇼핑센터 및 셀프서비스점의 청결, 위생, 안전질서 유지를 위한 시설 c. 편안한 공적 공간

(3) 사업자는 셀프서비스체계를 갖춘 상점 형태로 미니마켓, 수퍼마켓, 하이퍼마켓, 도매업체•중개업체를 설립할 수 있으며 이는 사업허가를 받은 쇼핑센터 및 다른 건물 또는 구역과 독립적 또는 통합된 형태로 운영할 수 있다.

(4) 백화점 형태의 셀프서비스점의 경우, 해당 백화점을 설립할 수 있는 사업자는 다음 각 호의 어느 하나와 같다.

a. 사업허가를 가진 쇼핑센터와 통합운영하는 외국인 투자자 b. 사업허가를 가진 쇼핑센터 및 그 밖의 빌딩 또는 구역과 통합하여 또는 독립적으로 운영하는 국내투자자

(5) 제 1 항과 제 2 항은 셀프서비스점이 사업허가를 가진 쇼핑센터, 상업센터 및 그 밖의 빌딩 또는 구역과 통합 운영되는 경우에는 적용되지 아니한다.

제 87 조

셀프서비스점은 다음 각 호의 판매면적제한을 준수하여야 한다.

a. 미니마켓: 최대 400m²(사백평방미터) b. 수퍼마켓: 400m²(사백평방미터) 이상부터 5,000m²(오천평방미터) c. 백화점: 최소 400m²(사백평방미터) d. 하이퍼마켓: 5,000m²(오천평방미터) 이상 e. 독립적인 서비스체계를 갖춘 매장 형태의 도매업자•중개업자의 경우 최소 2,000m²(2,000 평방미터), 독립적인 서비스체계를 갖춘 매장 형태의 협력 도매업자•중개업자의 경우 최소 1,000m²(1,000 평방미터) 이상

제 88 조

셀프서비스점에서 거래되는 상품의 판매시스템 및 상품 종류는 다음 각 호와 같다.

a. 미니마켓, 수퍼마켓, 하이퍼마켓: 다양한 형태의 소비재 특히 식품 및 그 밖의 가정용 상품(건축자재, 가구, 전자제품 및 그 밖의 특별제품) b. 백화점: 다양한 형태의 소비재 특히 의류, 소비자의 성별 및 연령에 따라 구분되는 의류 및 장비 등 c. 독립적인 서비스체계를 지닌 상점 형태의 도매업체•중개업자: 소매가 아닌 대량구매용의 다양한 소비재

제 2 절 개발, 조직 및 지도

제 89 조

(1) 쇼핑센터 및 셀프서비스점의 설립은 다음 각 호의 어느 하나를 참고한다.

a. 구•시 공간도면 b. 구•시 공간 상세도면

(2) 지방정부가 제 1 항의 구•시 공간도면이나 구•시 공간 상세도면이 없는 경우에는 쇼핑센터 및 셀프서비스점의 설치 위치는 공간계획에 관한 법규에 따른다.

제 90 조

제 89 조의 쇼핑센터 및 셀프서비스점의 설립위치에 관한 조항은 셀프서비스점이 사업허가를 가진 쇼핑센터, 상업센터 및 그 밖의 빌딩 또는 구역과 통합 운영되는 경우에는 적용되지 아니한다.

제 91 조

(1) 수퍼마켓, 하이퍼마켓, 백화점은 운영시간을 준수할 의무가 있다.

(2) 제 1 항의 운영시간 관련 상세규정은 장관령으로 정한다.

제 92 조

(1) 쇼핑센터 관리자는 어떠한 사유로 인하여 쇼핑센터가 재건축되는 경우, 쇼핑센터에 상인으로 등록된 조합 및 극소기업•중소기업에 재건축된 쇼핑센터의 새로운 위치를 저렴한 가격으로 소유 또는 임차할 수 있도록 우선적으로 배려할 의무가 있다.

(2) 제 1 항은 사업자가 소유한 공공시장이 쇼핑센터로 재건축되는 경우에도 적용된다.

제 3 절 사업협력, 협력관계 및 소유권

제 93 조

상품 공급에 협력하는 셀프서비스점 사업자는 극소기업•중소기업 행위자를 포함할 의무가 있다.

제 94 조

(1) 공급업체와 셀프서비스점 사업자 간의 상품 공급에 관한 업무 협력은 인도네시아어로 작성된 서면 계약으로 이루어지며 인도네시아 법률이 적용된다.

(2) 제 1 항의 서면계약에 거래약관이 포함되는 경우 해당 약관은 명확하고 합리적이며 상호수익을 제공하고 강제적이 아닌 양측이 합의한 것이어야 한다.

(3) 제 2 항의 거래약관을 포함하는 상품공급 협력계약에 대한 상세규정은 장관령으로 정한다.

(4) 거래약관을 작성하는 사업자는 제 3 항에 언급된 거래약관에 관한 규정을 이행할 의무가 있다.

제 95 조

(1) 극소기업•중소기업 공급자와 셀프서비스점 사업자사이에 사업 협력 개발시, 제 94 조의 거래약관을 이행하기 위하여 셀프서비스점 사업자는 다음 각 호의 조건을 충족하여야 한다.

a. 극소기업•중소기업 공급자로부터 상품등록을 위한 행정수수료를 청구하지 아니할 것 b. 극소기업•중소기업 공급자에게 현금으로 지급하며 특정 기술적인 사유가 있는 경우에는 청구서 수취일부터 15 일 이내의 일정기간 내에 지급할 것

(2) 위험 및 이자 비용 계산에 근거하여 극소기업•중소기업 공급업체에 해를 끼치지 않는 경우, 제 1 항제 b 호에 언급된 대금은 현금이 아닌 다른 방법으로 지급할 수 있다.

제 96 조

(1) 공정하고 상호 수익성이 있는 협력관계를 위하여 장관과 지방정부는 제 94 조제 2 항의 계약을 협상하면서 공급자와 셀프서비스 사업자의 이익을 촉진할 수 있다.

(2) 제 1 항의 협력관계는 법규에 따라 사업자 간 경쟁을 감독하기 위하여 설립 및 지정된 기관이 체계적이고 정기적으로 감독하여야 한다.

(3) 제 2 항의 감독을 위하여 사업자 간 경쟁을 감독하기 위하여 설립 및 지정된 기관은 관련 기관과 협조하여야 한다.

제 97 조

(1) 셀프서비스점 사업자는 국내에서 거래되는 상품을 공급할 의무가 있다.

(2) 자신의 소유의 셀프서비스점을 운영하는 셀프서비스 사업자는 다음 각 호의 의무를 준수하여야 한다.

a. 지적소유권 관련 법규를 준수하면서 상품을 거래할 것 b. 극소기업•중소기업에 거래되는 자체 고유 상품과 브랜드 개발을 촉진할 것

(3) 쇼핑센터 관리자는 다음 각 호를 제공 및 제안할 의무가 있다.

a. 협력관계의 맥락에서 극소기업•중소기업의 역량을 감안한 판매가격 또는 임대료를 책정하고 사업 공간을 제공할 것 b. 국내 제품 이미지 및 국내 브랜드 마케팅을 위한 비례적이고 전략적인 홍보 공간 및 사업 공간을 제공할 것

제 98 조

(1) 제 97 조제 2 항의 셀프서비스 자체 브랜드를 이용하여 상품을 판매할 때 셀프서비스점은 극소기업•중소기업이 제조한 상품 및 인도네시아에서 제조한 상품을 우선적으로 거래하여야 한다.

(2) 셀프서비스점은 그 안에서 제품을 판매할 극소기업•중소기업 제조업체의 제품이 자체 브랜드를 보유함에도 불구하고 셀프서비스점의 브랜드를 사용하도록 강요하는 행위가 금지된다.

(3) 극소기업•중소기업이 제조한 상품을 자신의 셀프서비스점 브랜드를 사용하여 판매하는 셀프서비스점 사업자는 상품을 제조한 극소기업•중소기업의 명칭을 포함할 의무가 있다.

(4) 셀프서비스점 사업자는 셀프서비스점 매장 소유권 제한에 관한 조항을 준수할 의무가 있다.

(5) 제 4 항의 셀프서비스점 매장 소유권 제한에 관한 상세규정은 장관령으로 정한다.

제 4 절 허가

제 99 조

(1) 쇼핑센터 관리사업자 및 셀프서비스점 사업자는 전자 통합 사업허가 관련 법규에 따라 무역업 사업허가 요건을 충족할 의무가 있다.

(2) 초소형 및 소기업 규모의 사업자를 제외하고, 공공시장 또는 쇼핑센터의 사업자는 전자통합사업허가 관련 법규에 따라 사업허가 요건을 충족하여야 한다.

제 5 절 지도

제 100 조

장관 및 지방정부는 쇼핑센터 및 셀프서비스점의 개발과 조직을 지도한다.

제 101 조

(1) 장관 및 지방정부는 사업장의 허가, 거리, 위치, 지역사회의 사회경제적 여건, 협력관계 및 사업협력에 관한 기술지침을 수립할 수 있다.

(2) 공공시장, 쇼핑센터, 셀프서비스점의 개발, 조직 및 지도에 대한 사항은 제 1 항의 기술지침을 참고한다.

(3) 제 1 항의 기술지침에 관한 사항은 장관령으로 정한다.

(4) 제 1 항의 기술지침을 수립할 때 지방정부는 중앙정부가 정한 규범, 표준, 절차 및 기준을 준수하여야 한다.

제 102 조

(1) 지도를 수행하기 위하여 장관은 정기적으로 또는 필요한 경우 언제든지 공공 시장 관리자, 쇼핑센터 관리자 및 셀프서비스점 사업자에게 데이터와 정보를 요청할 수 있다.

(2) 공공 시장 관리자, 쇼핑센터 관리자 및 셀프서비스점 사업자는 제 1 항에 언급된 데이터와 정보를 완전하고 정확하게 제공하여야 할 의무가 있다.

제 6 장 보고

제 103 조

상품을 유통하는 유통사업자는 장관에게 상품 유통보고서를 제출할 의무가 있다.

제 104 조

(1) 생필품 및 중요 상품을 유통하는 유통사업자는 생필품 및 중요 상품 유통에 관한 재고보고서를 장관에게 제출할 의무가 있다.

(2) 제 1 항의 생필품 및 중요 상품의 종류는 법규에 따라 결정된다.

(3) 제 1 항의 보고는 매월 늦어도 다음 달 15 일 이내에 전자적인 수단을 통하여 제출하여야 한다.

제 105 조

(1) 공공 시장 관리자는 다음 각 호에 관한 보고서를 장관에게 제출할 의무가 있다.

a. 모든 거래자의 연간매출액 b. 생필품의 월별 가격 자료 c. 시장 내 주소별 거래자 이름 및 거래상품 d. 생필품의 시장 공급 자료

(2) 제 1 항의 보고서는 전자적인 방법으로 제출한다.

제 106 조

제 103 조, 제 104 조 및 제 105 조에 언급된 바에 따라 장관에게 보고하는 무역사업활동의 절차에 대한 상세규정은 장관령으로 정한다.

제 7 장 표준화

제 107 조

(1) 국내에서 거래되는 상품은 다음 각 호의 어느 하나의 요건을 충족하여야 한다.

a. 강제적으로 시행되는 인도네시아 국가표준(SNI) b. 강제적으로 시행되는 기술요건

(2) 사업자는 강제적으로 시행되는 인도네시아 국가표준(SNI)이나 기술요건을 준수하지 아니하는 상품을 국내에서 거래하는 것이 금지된다.

(3) 제 1 항의 인도네시아 국가표준 또는 기술요건의 시행은 장관, 관계 장관, 비정부부처 정부기관의 장이 법규에 따라 결정한다.

(4) 제 3 항의 인도네시아 국가표준 또는 기술요건의 시행은 다음 각 호를 고려하여 실시한다.

a. 안보, 안전, 보건 및 환경 b. 국가 제조업자의 경쟁력 및 공정한 사업경쟁 c. 국가 사업계의 역량 및 준비 현황 d. 적합성 평가 기관의 기반시설 준비 현황

(5) 제 1 항의 규정에 따라 인도네시아 국가표준(SNI) 또는 기술요건이 강제적으로 시행된 상품에는 법규에 따라 인도네시아 국가표준 마크 또는 적합성 마크를 부착하거나 중앙정부가 인정하는 적합성인증서를 부착하여야 한다.

(6) 인도네시아 국가표준이 아직 강제적으로 시행되지 아니하는 상품에 대해서는 인도네시아 국가표준 마크 또는 적합성인증서를 사용하는 제품 인증서를 통해 입증된 경우에 인도네시아 국가표준 마크 또는 적합성 마크를 부착할 수 있다.

(7) 인도네시아 국가표준 또는 기술요건이 강제적으로 시행됨에도 불구하고, 인도네시아 국가표준마크 또는 적합성마크를 부착하지 아니한 상품을 거래하는 사업자는 행정제재를 받는다.

제 108 조

(1) 제 107 조제 1 항의 강제적으로 시행되는 인도네시아 국가표준 또는 기술요건이 적용되는 상품을 거래 또는 수입하기 전에 제조업자 또는 수입자는 다음 각 호의 요건을 충족하여야 한다.

a. 장관에게 거래상품 등록 b. 상품 및 포장에 등록번호 기재

(2) 국내제조품의 거래 또는 외국상품의 수입 이전에 등록을 수행한다.

(3) 제 1 항에 언급된 상품의 등록은 가공식품, 의약품, 화장품 및 의료기기에는 적용되지 아니한다.

(4) 제 3 항에 언급된 상품의 등록은 장관, 비부처 정부기관이 법규에 따라 수행한다.

(5) 제 1 항의 상품 강제 등록 관련 상세규정은 장관령으로 정한다.

(6) 제 5 항의 장관령에서 정한 상품의 목록은 경제 부문 정부행정의 각 부처의 업무를 조정•통합•통제하는 부처의 장관이 주재하는 조정회의의 결정에 근거하여 개정할 수 있다. 해당 회의에는 장관, 비부처 정부기관의 장 또는 장관이나 비부처 정부기관의 장으로부터 권한을 위임받은 임명된 공무원이 참석한다.

(7) 제 1 항의 등록에 관한 조항, 요건 및 절차는 위험 기반 사업허가에 관한 법규에 따라 수행한다.

제 109 조

(1) 제조업자 또는 수업업자는 국내에서 제조되거나 수입하는 안보, 안전, 보건, 환경과 관련된 상품을 시장에 유통하기 전에 등록할 의무가 있다.

(2) 제 1 항의 안보, 안전, 보건 및 환경 관련 상품 종류의 결정은 인도네시아 국가표준 기준 또는 아직 강제적으로 시행하지 아니하는 그 밖의 인정된 표준에 근거하여 수행한다.

(3) 제 1 항에 언급된 상품의 종류에는 다음 각 호의 상품이 포함된다.

a. 전기 및 전자상품 b. 유해 화학물질을 포함하는 상품

(4) 제 3 항제 a 호에 언급된 전기 및 전자상품의 종류는 소비자에 대한 감전위험을 근거로 결정한다.

(5) 제 3 항제 b 호에 언급된 유해 화학물질을 포함하는 상품의 종류는 소비자에게 위험한 화화성분을 근거로 결정한다.

(6) 제 1 항에 언급된 상품의 강제등록 관련 상세규정은 장관령으로 정한다.

(7) 제 6 항의 장관령에서 정한 상품의 목록은 경제 부문 정부행정의 각 부처의 업무를 조정•통합•통제하는 부처의 장관이 주재하는 조정회의의 결정에 근거하여 개정할 수 있다. 해당 회의에는 장관, 비부처 정부기관의 장 또는 장관이나 비부처 정부기관의 장으로부터 권한을 위임받은 임명된 공무원이 참석한다.

(8) 제 1 항의 상품등록의무는 인도네시아 국가표준이 강제적으로 시행되고 법규에 따라 등록이 규제되는 상품에는 적용되지 아니한다.

(9) 제 1 항에 언급된 상품의 등록권한은 장관이 행사한다.

(10) 제 1 항의 상품등록의무를 이행하지 아니하는 제조업자 또는 수입자는 행정재재를 받는다.

(11) 제 1 항의 등록에 관한 조항, 요건 및 절차는 위험 기반 사업허가에 관한 법규에 따라 수행한다.

제 110 조

(1) 서비스 제공업자는 인도네시아 국가표준, 강제적으로 시행되는 기술 요건 또는 자격을 준수하지 아니하는 서비스를 국내에서 거래하는 것이 금지된다.

(2) 제 1 항의 인도네시아 국가표준, 기술요건 또는 자격의 강제시행은 장관, 유관 부처 장관 또는 비부처 정부기관의 장이 법규에 따라서 결정한다.

(3) 제 2 항의 인도네시아 국가표준, 기술요건 또는 자격의 강제 시행은 다음 각 호의 사항을 고려하여 수행한다.

a. 안보, 안전, 보건, 환경 b. 국가 제조업자의 경쟁력 및 공정한 사업경쟁 c. 국가 사업계의 능력 및 준비 현황 d. 적합성 평가 기관의 기반시설 준비 현황 e. 문화, 관습 또는 현지의 지혜에 기반한 전통

(4) 제 2 항의 규정에 따라 인도네시아 국가표준, 기술요건 또는 자격을 강제적으로 시행하는 서비스는 법규에 따라 중앙정부가 인정하는 적합성인증서를 보유하여야 한다.

(5) 인도네시아 국가표준, 기술요건 또는 자격을 강제적으로 시행하여야 하는 서비스는 법규에 따라 적합성인증서를 보유하여야 한다.

(6) 인도네시아 국가표준, 기술요건 또는 자격을 강제적으로 시행하여야 하는 서비스를 제공하지만 제 4 항의 적합성인증서가 없는 서비스 제공자는 행정제재를 받는다.

제 111 조

(1) 제 107 조제 1 항의 인도네시아 국가표준 또는 기술요건의 강제적 시행 시에는 다음 각 호의 사항을 고려할 수 있다.

a. 수출품의 품질 유지 b. 인도네시아 제품의 경쟁력 및 이미지 향상 c. 인도네시아 제품에 대한 수출시장 개발

(2) 제 1 항의 인도네시아 국가표준 또는 강제적인 기술요건을 준수해야 하는 상품을 수출하는 사업자는 사업허가 요건을 충족할 의무가 있다.

(3) 제 1 항의 사업허가의 조항, 요건 및 절차는 위험 기반 사업허가 시행에 관한 법규를 따른다.

제 112 조

(1) 제 107 조제 5 항의 인도네시아 국가표준 마크 또는 적합성 마크는 법규에 따라 인가받은 적합성 평가 기관이 발급한다.

(2) 제 1 항의 인가받은 적합성 평가 기관이 없는 경우에는 장관, 관계 장관, 비부처 정부기관의 장이 법규에 따라 유사한 부문의 공신력 있는 적합성 평가 기관을 지정할 수 있다.

(3) 제 2 항의 지정기간은 최대 2 년으로 한다.

(4) 제 1 항과 제 2 항의 적합성 평가 기관은 소비자 보호 및 상거래 규칙을 담당하는 국장에게 등록하여야 한다.

제 8 장 수출 개발

제 1 부 수출 실행자에 대한 지도

제 113 조

(1) 중앙정부는 수출 대상 상품 및 시장의 우선순위와 그 밖의 수출 정책을 결정할 수 있다.

(2) 제 1 항의 결정은 경제 부문 정부행정의 각 부처의 업무를 조정•통합•통제하는 장관이 주재하는 통합회의를 통하여 사전에 수행한다.

(3) 제 1 항의 수출 대상 상품 및 시장의 우선순위와 그 밖의 수출 정책은 관계 장관 및 기관이 수출 개발활동을 수행할 때 참고한다.

제 114 조

중앙정부는 수출 개발의 맥락에서 국내 제조 상품이나 서비스의 시장 접근성 확대를 위하여 사업자를 지도한다.

(2) 제 1 항의 지도를 위하여 다음 각 호를 제공한다.

a. 재정적 및 비재정적 장려책 b. 시설 c. 시장기회 정보 d. 기술지도 e. 홍보 및 마케팅 지원 f. 수출금융, 보증, 보험

(3) 제 2 항의 지도를 수행할 때 중앙정부는 지방정부, 대학, 기업, 협회 및 그 밖의 이해당사자와 협력할 수 있다.

(4) 제 3 항의 지도활동은 표준화 및 통합적인 방식으로 수행한다.

(5) 장관은 제 3 항에 언급된 지도활동의 표준지침을 정한다.

(6) 장관은 관계 장관•기관이 수행하는 지도활동을 통합관리한다.

제 115 조

(1) 제 114 조제 2 항제 a 호의 재정적 장려책은 법규에 따라서 세금 및 관세 장려책을 통하여 제공할 수 있다.

(2) 제 114 조제 2 항제 a 호의 비재정적 장려책은 다음 각 호와 같이 구성된다.

a. 무역 부문 허가 및 비허가 요건과 절차의 간소화 b. 지적소유권 등록, 할랄 인증, 상품 품질 인증, 서비스 인증, 전문인증 및 그 밖의 인증 발급과 관련하여 지원 제공

(3) 제 114 조제 2 항제 b 호의 시설은 다음 각 호의 형태일 수 있다.

a. 수출품의 물리적 및 가상 전시공간 제공 b. 디자인개발센터의 활동 참여 기회 부여 c. 수출 문제 해결에 협의 및 지원의 형태로 사업자에게 서비스 제공 d. 그 밖의 시설 제공

(4) 제 114 조제 2 항제 c 호의 시장기회 정보 제공은 다음 각 호의 정보를 말한다.

a. 수출시장 기회 분석 b. 수출제품 c. 수출, 수입, 수출자, 해외 구매자 자료 d. 국내외 무역 프로모션 e. 인도네시아 해외 무역사무소 및 공관 연락처

(5) 제 114 조제 2 항제 d 호의 기술지도는 수출품 개발과 인력 양성을 위하여 사업자에게 제공된다.

(6) 제 5 항의 기술지도 제공은 다음 각 호를 통하여 수행한다.

a. 사회화, 세미나 및 제품 적응화 b. 연수회 c. 집회 d. 수출 교육•훈련 e. 지원프로그램 f. 그 밖의 수출 개발 관련 활동

(7) 제 114 조제 2 항제 e 호의 홍보•마케팅 활동은 다음 각 호의 형태로 수행한다.

a. 수출 특화 사업자의 국내외 무역전시회 참여 b. 수출 특화 사업자의 수출사절단 참여 c. 구매임무의 수행 d. 사업 회의 e. 수출 지향적 사업자를 국내외 포상활동에 포함하는 것

(8) 제 114 조제 2 항제 f 호의 수출금융, 보증, 보험은 중앙정부가 지정한 금융기관을 통하여 제공한다.

(9) 제 114 조제 2 항의 수출지도 실시에 관한 상세규정은 장관령으로 정한다.

제 2 부 수출 진흥

제 116 조

(1) 국내 제조 상품 및 서비스의 시장 개척 차원에서 중앙정부 및 지방정부는 상품 및 서비스를 소개하기 위하여 다음 각 호의 활동을 수행할 의무가 있다.

a. 국내 및 국외 무역 프로모션 조직 b. 국내 및 국외 무역 진흥회 참여

(2) 제 1 항의 무역 진흥의 형태는 다음 각 호와 같다.

a. 무역전시회 b. 무역사절단

(3) 제 1 항의 중앙정부, 지방정부 및 사업자 이외의 중앙정부, 지방정부 기관의 기관이 수행하는 해외무역 진흥활동은 해당 국가의 인도네시아공화국 외교공관과 협조하여 진행한다.

(4) 제 2 항제 a 호의 무역전시회 주최 및 참여는 오프라인•온라인으로 진행한다.

제 117 조

(1) 제 116 조제 2 항제 a 호의 무역 진흥을 위한 무역전시회는 다음 각 호의 어느 하나와 같다.

a. 국제무역전시회 b. 국가 무역전시회 c. 지역 무역전시회

(2) 제 1 항의 무역전시회는 중앙정부, 지방정부 및 사업자 이외의 중앙정부나 지방정부의 기관이 주최할 수 있다.

(3) 제 1 항제 a 호의 국제무역전시회를 국내에서 주최하는 경우, 제 2 항의 중앙정부, 지방정부 및 사업자 이외의 중앙정부나 지방정부의 기관이 주최할 수 있으며 외국 정부, 외국 정부 대표부, 해외사업자 및 해외기관이 주최하는 국제무역전시회는 국내무역전시회를 주최하는 사업자와 협력하여야 한다.

(4) 해외에서 무역전시회를 주최할 때 중앙정부는 조합 및 극소기업•중소기업을 포함하여야 한다.

(5) 장관은 중앙정부나 지방정부 이외의 중앙정부나 지방정부 및 기관이 해외에서 주최하는 제 1 항제 a 호에서 언급한 국제무역전시회의 주최 및 참여를 조정한다.

제 118 조

(1) 국내에서 주최하는 제 117 조제 1 항제 a 호에서 언급한 국제무역전시회는 다음 각 호의 기준에 따른다.

a. 해외참가자의 참가 b. 해외 상품 및 서비스의 전시 c. 인도네시아 수출자의 참여, 주요 목적은 인도네시아 제품 수출 진흥을 위한 외국 바이어의 유치

(2) 제 117 조제 1 항의 국가무역전시회는 다음 각 호의 기준에 따른다.

a. 국내참가자의 참가 b. 지방 제품 및 서비스 전시

(3) 제 117 조제 1 항제 c 호의 지역무역전시회는 다음 각 호의 기준에 따른다.

a. 국내참가자 b. 1 개 또는 몇개의 구•시 상품 및 서비스의 전시

(4) 제 1 항제 a 호의 해외참가자는 다음 각 호의 기준에 따른다.

a. 외국인 b. 국내 또는 해외에 주소를 둔 외국의 대리인 c. 국내 또는 해외에 주소를 둔 외국 무역회사나 외국 무역회사의 대리인

(5) 제 1 항제 b 호의 해외 상품 및 서비스는 다음 각 호의 어느 하나의 원산지를 갖는다.

a. 해외 b. 보세구역 c. 자유무역지역 및 자유무역항 d. 특별경제구역

제 119 조

(1) 무역전시회를 주최하는 사업자 및 무역전시회 참가자는 중앙정부로부터 사업허가를 받을 의무가 있다.

(2) 해외 참가자 및 해외 제품을 포함하는 무역전시회를 주최하는 사업자는 위험 기반 사업허가의 시행 관련 법규에 따라서 주최하여야 한다.

(3) 제 1 항의 사업허가를 받지 않고 무역전시회를 주최하고 무역전시회에 참가하는 사업자는 행정제재를 받는다.

제 120 조

(1) 제 117 조제 1 항제 b 호의 국가무역전시회를 주최하는 자는 국가무역전시회 주최 및 이행보고서를 무역담당 지역기구를 통하여 주지사에게 제출할 의무가 있다.

(2) 제 117 조제 1 항제 c 호의 지역무역전시회를 주최하는 자는 지역무역전시회 주최 및 이행보고서를 무역담당 지역 기구를 통하여 군수•시장에게 제출할 의무가 있다.

(3) 제 1 항 및 제 2 항의 무역전시회 주최 및 이행보고서 제출에 관한 상세규정은 장관령으로 정한다.

제 121 조

(1) 제 116 조제 2 항제 b 호의 무역사절단 형태의 무역 진흥은 수출확대를 위한 국제사업 회의의 형태로 수행한다.

(2) 제 1 항의 무역사절단은 중앙정부, 지방정부, 사업자 및 인도네시아의 다른 기관이 외국에 방문하여 사업활동 또는 양국 간 무역관계 개선활동을 진행하는 것을 말한다.

(3) 제 2 항에 언급된 중앙정부 차원의 무역사절단은 장관이 조직한다.

(4) 제 2 항의 무역사절단 조직과 관련하여 지방정부는 장관에게 무역사절단 조직 계획과 결과를 보고한다.

(5) 장관은 제 3 항에 언급된 무역사절단 조직의 권한을 국가 수출 개발 담당 국장에게 부여한다.

제 3 부 인도네시아 상표 구축 활동을 통한 무역 진흥의 조직, 촉진 및 참여

제 122 조

(1) 제 116 조제 2 항의 무역 진흥은 국내외 시장에서 인도네시아 상품 및 서비스에 대한 긍정적인 브랜드 또는 이미지를 구축하기 위하여 인도네시아 상표 구축을 통하여 시행한다.

(2) 제 1 항의 무역 진흥은 국내 및 해외에서 수행한다.

제 123 조

(1) 제 122 조의 인도네시아 상표 구축을 통한 무역 진흥의 조직 절차는 다음 각 호의 기준을 충족하여야 한다.

a. 법규에 따른 인도네시아 이미지 기호•로고를 표시할 것 b. 인도네시아의 고유한 특성 및 철학을 담고 있는 기억할 만한 주제(핵심어) 표시 c. 인도네시아 이미지의 표시 및 전파

(2) 필요시 지방정부는 각 지방의 하위 핵심어를 표시할 수 있다.

(3) 제 1 항에 언급한 인도네시아 브랜드 활동을 통한 무역 진흥의 조직절차는 법규에 따른다.

제 124 조

(1) 제 122 조의 인도네시아 상표 구축을 통한 해외무역 진흥활동의 조직은 해당 국가의 인도네시아 공관과 협력하여 실행한다.

(2) 제 122 조의 인도네시아 상표 구축을 통한 무역 진흥활동의 조직을 위한 자금이 중앙정부 및 주정부의 예산으로 충당된 경우에는 무역 진흥활동의 조직은 상호협력을 통하여 진행된다.

제 125 조

(1) 제 122 조의 인도네시아 상표 구축을 통한 무역 진흥활동을 조직할 때 중앙정부 및 지방정부는 중앙정부 및 지방정부 이외에 사업자 및 기관에 편의를 제공할 수 있다.

(2) 제 1 항에 언급된 편의의 형태는 다음 각 호와 같다.

a. 인도네시아 상표 구축 캠페인 활동을 위한 무역 진흥활동 조직에 대한 지원서 발급 b. 시설, 기반시설, 정보의 지원

제 126 조

국가예산 및 지방예산을 사용하는 인도네시아 상표 구축을 통한 부처•비부처 정부기관, 지방•지역 정부, 구•시 정부의 무역 진흥은 수출형 중소사업자에 우선순위를 둔다.

제 127 조

제 122 조부터 제 126 조의 인도네시아 상표 구축 활동을 통한 무역 진흥의 조직, 지원 및 참여에 관한 상세규정은 장관령으로 정한다.

제 9 장 법정계량

제 1 부 계산기기, 측정기기, 계량기기 및 장비기기의 형식승인

제 128 조

(1) 국내에서 제조된 계산기기, 측정기구, 계량기기 및 장비기기는 시장 유통 전 그리고 수입품은 인도네시아 속령에 들여오기 전에 그 형식승인을 받아야 한다.

(2) 제 1 항의 형식승인을 필요로 하는 계산기기, 측정기구, 계량기기 및 장비기기에 대한 상세규정은 장관령으로 정한다.

(3) 제 2 항의 장관령에서 정한 계산기기, 측정기구, 계량기기 및 장비기기의 목록은 경제 부문 정부행정의 각 부처의 업무를 조정•통합•통제하는 부처의 장관이 주재하는 조정회의의 결정에 근거하여 개정할 수 있다. 해당 회의에는 장관, 비부처 정부기관의 장 또는 장관이나 비부처 정부기관의 장으로부터 권한을 위임받은 공무원이 참석한다.

(4) 제 1 항의 형식승인 발급에 관한 조항, 요건, 절차는 위험 기반 사업허가 시행에 관한 법규를 따른다.

제 129 조

다음 각 호의 어느 하나에 해당하는 계산기기, 측정기구, 계량기기 및 장비기기를 국내에서 제조하거나 수입하는 사업자는 행정제재를 받는다.

a. 형식승인을 받지 아니한 것 b. 적용되는 형식승인을 준수하지 아니한 것

제 130 조

(1) 제 128 조제 1 항의 형식승인은 다음 각 호를 포함하는 형식평가에 근거한다.

a. 형식검사 b. 형식시험 c. 형식평가증명서 발급

(2) 형식승인 및 형식평가에 관한 기술지침은 장관이 결정한다.

제 2 부 계산기기, 측정기구, 계량기기 및 장비기기의 수리

제 131 조

(1) 계산기기, 측정기구, 계량기기 및 장비기기의 수리업을 영위하는 사업자는 계산기기, 측정기구, 계량기기 및 장비기기의 수리를 위한 사업등록증의 형태로 사업허가를 소지할 의무가 있다.

(2) 제 1 항의 계산기기, 측정기구, 계량기기 및 장비기기의 수리업을 영위하는 사업자는 계산기기, 측정기구, 계량기기 및 장비기기 수리공의 지원을 받을 의무가 있다.

(3) 제 1 항의 조항, 요건 및 절차는 위험 기반 사업허가 시행에 관한 법규를 따른다.

제 132 조

(1) 장관은 계산기기, 측정기구, 계량기기 및 장비기기의 수리사업활동을 수행하는 사업자에 대한 지도, 감시 및 평가의 권한을 갖는다.

(2) 장관은 계산기기, 측정기구, 계량기기 및 장비기기의 수리사업활동의 규범, 표준, 절차, 지침 기준, 감시 및 평가를 마련한다.

(3) 자카르타주 수도특별지구의 주지사 또는 군수•시장은 제 2 항의 규범, 표준, 절차 및 기준을 통하여 계산기기, 측정기구, 계량기기 및 장비기기의 수리사업활동을 수행하는 사업자에 대한 지도, 감시 및 평가를 수행한다.

제 3 부 포장상품 수량

제 133 조

(1) 수량 표시 및 수량 준수를 보장하기 위하여 포장상품에 관한 규정을 시행한다.

(2) 제 1 항의 포장상품 규정은 명목수량이 무게, 부피, 길이, 면적 또는 갯수로 표시되고 다음 각 호에 해당되는 포장상품에 적용된다.

a. 국내제조품 b. 수입품 c. 인도네시아공화국 내에서 포장된 국내제조품 또는 수입품

(3) 쉽게 상하거나 7 일 이상 보관이 어려운 식품 또는 음료수를 포함하여 포장되거나 포장 상태로 판매하는 상품에는 제 1 항의 포장상품 규정이 적용되지 아니한다.

제 134 조

상품을 포장하거나 포장상품을 거래하기 위하여 제조 또는 수입하는 사업자는 포장 및 라벨에 수량을 기재할 의무가 있다.

제 135 조

(1) 제 134 조에 언급된 포장 및 라벨의 수량표시는 순함량, 순중량, 갯수, 배수무게, 길이 및 면적을 포함하여야 한다.

(2) 제 1 항에 언급된 포장상품의 포장 및 라벨의 수량표시에는 법규에 따른 측정단위, 단위기호 및 계산도 포함하여야 한다.

(3) 포장상품의 포장 및 라벨에는 수량 외에도 다음 각 호의 정보를 포함하여야 한다.

a. 상품명 b. 회사이름 및 주소

제 136 조

(1) 제 135 조에 언급된 포장상품의 포장 및 라벨에 포함된 정보는 제 21 조의 규정에 따라 읽기 쉽고, 명확하고 분명하며 정확하게 인도네시아어로 작성하여야 한다.

(2) 포장상품의 포장 및 라벨은 기재한 내용이 잘 보이고 읽을 수 있고 쉽게 벗겨지거나 흐려지거나 변형되지 않도록 부착하여야 한다.

(3) 포장상품의 포장 및 라벨에 포함된 정보는 영구적으로 유지되어야 한다.

제 137 조

(1) 상품을 포장하거나 포장상품을 제조 또는 수입하는 사업자는 포장 및 라벨에 포함된 수량의 정확성을 보증할 의무가 있다.

(2) 제 1 항에 언급된 포장상품의 정확성은 법규에 따른 한도를 기준으로 허용된다.

제 10 장 무역활동 감독의 이행

제 1 부 무역활동의 감독의 범위

제 138 조

다음 각 호에 대하여 무역활동의 감독권이 적용된다.

a. 무역 관련 사업허가 b. 수집, 금지 및 규제되는 상품의 거래 c. 상품의 유통 d. 서비스 거래 e. 인도네시아어 라벨의 사용 또는 완성도 f. 안보, 안전, 보건, 환경과 관련된 국산상품 및 수입품의 등록 g. 인도네시아 국가표준 또는 기술요건을 강제로 시행하는 거래 상품 h. 인도네시아 국가표준, 기술요건 및 자격이 강제적으로 시행되는 서비스 i. 창고 관련 사업허가 J.생필품 및 수입품의 보관 k. 전자시스템을 통한 거래 l. 법규에 따른 인도네시아 국가표준, 기술요건, 자격을 기준으로 거래상품 및 서비스의 인증을 수행하는 적합성 평가 기관

제 2 부 감독권한

제 139 조

(1) 중앙정부나 지방정부는 법규에 따라 무역 부문을 감독할 권한이 있다.

(2) 제 1 항에 언급된 상품의 등록권한은 장관이 행사한다.

(3) 장관은 국가수준의 무역 부문을 감독할 권한을 갖는다.

(4) 제 1 항에 언급된 지방정부의 감독권한은 주지사가 수행한다.

(5) 주지사는 자신의 업무 영역에서 무역 부문을 감독할 권한이 있다.

(6) 제 5 항의 주지사 외에 군수•시장은 다음 각 호의 무역 부문을 감독할 권한이 있다.

a. 유해물질 b. 보조금을 받는 비료의 조달, 유통 및 사용과 관련하여 비료 및 살충제 c. 창고 d. 주류 e. 생필품 및 자신의 업무 영역에서의 중요 상품

(7) 제 5 항에 언급된 주지사의 권한인 무역 부문의 감독에는 관세구역 통과 후 수입절차에 대한 감독권한은 포함되지 아니한다.

제 140 조

(1) 장관은 제 139 조제 3 항의 감독권한을 소비자 보호 및 상거래 규칙을 담당하는 국장에게 위임한다.

(2) 주지사는 제 139 조제 5 항의 감독권한을 무역 부문을 담당하는 지방부서의 장에게 위임한다.

(3) 주지사는 제 139 조제 6 항의 감독권한을 무역 부문을 담당하는 구•시 소속 부서의 장에게 위임한다.

제 141 조

감독을 수행하면서 장관, 주지사 및 군수•시장은 관련 기술기관과 협조할 수 있다.

제 142 조

(1) 장관은 무역활동에 대한 감독 실행을 위한 기술지침을 수립한다.

(2) 주지사 및 군수•시장은 장관이 지정한 기술지침을 지도하여 무역활동을 감독한다.

제 3 부 감독조직자

제 143 조

제 138 조의 무역활동 감독은 다음 각 호의 감독관이 수행한다.

a. 무역감독관 b. 무역조사공무원

제 144 조

장관은 무역업무를 담당하는 정부부처, 지방 부서, 구•시의 부서에서 제 143 조제 a 호의 무역 부문 행정을 조직하는 무역감독관을 임명할 권한이 있다.

제 145 조

(1) 지방정부에 제 143 조의 무역감독관 및 무역조사공무원이 없는 경우에는 주지사, 군수•시장은 무역활동을 감독할 직원을 장관에게 제안할 수 있다.

(2) 제 1 항에 언급한 제안에 대하여 제 140 조의 권한위임 조항에 따라 장관은 소비자 보호 및 상거래 규칙 담당 국장을 통하여 무역활동을 감독할 지방정부의 직원을 지정할 수 있다.

제 4 부 무역활동 감독의 실행

제 146 조

무역활동의 감독은 다음 각 호와 같이 실행한다.

a. 정기적 또는 일상적인 감독 b. 특별 또는 수시 감독

제 147 조

(1) 제 146 조제 a 호의 정기적 또는 일상적인 무역활동 감독은 감독 대상에 따라 계획되고 예정된 방식으로 실시한다.

(2) 제 146 조제 b 호에 언급된 무역활동의 특별 또는 수시 감독은 언제든지 실시한다.

제 148 조

(1) 제 146 조제 a 호에 언급된 무역활동의 정기적 또는 일상적 감독의 실행은 특정위험분류에 근거하여 시행한다.

(2) 제 146 조제 b 호에 언급된 무역활동의 특별 또는 수시 감독의 실행은 다음 각 호의 어느 하나의 경우를 근거로 실행한다.

a. 민원 b. 인쇄매체, 전자매체, 그 밖의 매체를 통한 정보 c. 무역활동 쟁점에 관한 그 밖의 정보

제 149 조

대외무역활동 감독을 위하여 관세 담당 국장은 수출입 데이터를 통합정보기술시스템을 통하여 소비자 보호 및 상거래 규칙 담당 국장에게 실시간으로 제공한다.

제 5 부 관세구역 통과 후 수입 부문의 무역활동 감독

제 150 조

(1) 제 14 조의 관세구역 통과 후 무역 감독의 실행과 관련하여 제 108 조제 2 항의 수입 전 상품의 등록의무, 제 128 조제 1 항의 수입한 계산기기, 측정기기, 측량기기, 장비기기의 형식승인을 받을 의무에 대한 감독은 다음 각 호의 수단을 통하여 실행한다.

a. 수입관세 통지 데이터의 적합성 점검 b. 수입서류 특별점검 c. 상품이 관세구역을 통과한 후 수입시스템 의무 감독

(2) 제 1 항에 언급된 무역활동의 감독은 제 143 조의 감독관이 수행한다.

(3) 장관은 제 1 항에 언급된 무역활동 감독의 실행을 위한 기술지침을 수립한다.

제 151 조

(1) 제 150 조제 1 항제 a 호의 적합성 점검은 무역 부문 정부 업무를 담당하는 부처가 관리하는 정보시스템의 수입 부문 사업허가 통합관리시스템을 통하여 접수한 수입관세 통지 데이터를 점검하여 실시한다.

(2) 제 1 항의 수입관세 통지 데이터는 무역 부문 정부 업무를 담당하는 부처가 관리하는 정보시스템에서 확보할 수 있다.

(3) 제 2 항의 수입관세 통지 데이터는 다음 각 호로 구성된다.

a. 수입 사업허가번호 및 허가일자 b. 수입품의 수량 또는 부피 c. 검증서류 또는 기술추적 번호 및 날짜

제 152 조

(1) 제 150 조제 1 항제 b 호에 언급된 특별점검의 대상은 다음 각 호의 어느 하나와 같다.

a. 제 151 조의 적합성 점검 결과 b. 관련 정부기관 및 대중의 정보

(2) 제 1 항제 a 호의 적합성 점검에 근거한 특별점검은 수입자에 대하여 다음 각 호의 경우에 수행한다.

a. 무역 관련 사업허가를 소지하지 아니한 경우 b. 수입한 상품이 수입사업허가에 기술된 수량 또는 부피를 초과하는 경우 c. 검증서류 또는 기술추적자료가 없는 경우

제153조

(1) 제 152 조제 2 항에 언급된 수입자 이외에 특별점검은 특정 위험등급 수입자에 대하여 진행한다.

(2) 제 1 항의 특정 위험등급 수입자에 관한 상세규정은 장관령으로 정한다.

제 154 조

(1) 제 152 조 및 제 153 조의 특별점검은 법규에 따른 수입필수서류 원본의 완성도와 정확성을 확인하여 실시한다.

(2) 제 1 항의 특별점검은 필요한 경우 수입업자에게 소명을 요청할 수 있으며 수입자의 주소지 및 수입품이 보관된 장소에서 수입품의 수량 또는 부피와 수입품 반입기록의 일치 여부를 확인할 수 있다.

(3) 제 1 항의 특별점검 후 수입자가 다음 각 호에 해당되는 경우 제 138 조의 범위에 근거하여 무역활동을 감독하게 된다.

a. 수입 부문 사업허가 보유 의무를 충족하지 아니한 경우 b. 검증서류 또는 기술추적기록 보유 의무를 이행하지 아니한 경우 c. 수입품의 수량 또는 실제 부피가 사업허가서에 기술된 수량 또는 부피를 초과한 경우

제 6 부 감독 사후관리

제 155 조

(1) 무역감독관은 자신의 근무지역에 따라 소비자 보호 및 상거래 규칙 담당 국장 및 주•구•시의 무역 담당 부서의 장에게 감독 결과를 보고한다.

(2) 제 1 항의 무역감독관은 무역 부문의 위반행위 발견 시 후속 조치로 행정제재 부과 및 형사 법집행을 추천할 수 있다.

제 156 조

(1) 무역 부문 위반행위가 확인된 경우, 무역조사공무원은 감독 대상 상품 및 감독 대상 위치 또는 감독 대상 상품이 발견된 장소를 확보할 수 있다.

(2) 제 1 항의 확보는 치안표지를 설치하여 수행한다.

(3) 안전표지의 차단은 무역조사공무원이 수행한다.

(4) 제 1 항의 상품을 통제하는 사업자 또는 그 밖의 당사자는 확보된 상품의 수량, 형태, 종류 및 형식을 변화시키거나 해당 상품을 이전 및 사용하는 것이 금지된다.

(5) 제 1 항의 상품을 통제하는 사업자 또는 그 밖의 당사자는 안전표지를 개방, 제거 또는 파손하는 것이 금지된다.

(6) 제 4 항 및 제 5 항의 조항을 위반하는 사업자 또는 그 밖의 당사자는 행정제재를 받는다.

제 157 조

(1) 무역 부문에서 범죄행위가 의심되는 최초 증거가 발견된 경우, 무역감독관 및 임명된 직원은 이를 무역조사공무원 또는 인도네시아공화국 국립경찰 소속 조사관에게 보고한다.

(2) 제 1 항의 범죄행위 의심 사건의 발견 후 보고를 받은 경우, 무역조사공무원은 법규에 따라 조사를 실시하여야 한다.

제 158 조

(1) 사업자는 무역감독관, 무역조사공무원 및 임명된 직원이 요청하는 자료와 정보를 제공할 의무가 있다.

(2) 제 1 항의 의무를 이행하지 아니하는 사업자는 행정제재를 받는다.

제 159 조

(1) 무역감독관 및 무역조사공무원은 사업자를 소환할 수 있다.

(2) 2 차 소환에도 사업자가 출석하지 아니하는 경우, 사업자는 행정제재를 받는다.

제 7 부 관세구역 통과 후 사업허가 감독 위반의 사후관리

제 160 조

제 155 조의 감독 결과에 따라 사업허가 및 수입 요건을 갖추었으나 다음 각 호의 어느 하나에 해당하는 수입자는 행정제재를 받는다.

a. 사업허가 데이터 및 검증서류 또는 기술추적자료를 수입통관서류에 포함하지 않거나 부정확하게 포함한 경우 b. 사업허가에 기재된 수입품의 수량 또는 부피 단위와 일치하지 아니하는 수입품의 수량 또는 부피 단위를 수입통관서류에 포함한 경우

제 161 조

(1) 제 155 조의 감독 결과에 근거하여 완전한 사업허가가 없거나 수입요건을 충족시키지 못하여 수입통관서류에 사업허가 데이터 및 검증서류 또는 기술추적자료를 포함하지 않거나 부정확하게 포함한 수입자는 행정제재를 받는다.

(2) 사업허가 및 검증서류 또는 기술추적 자료를 첨부하지 아니한 수입품에 대하여 장관은 사업자에게 다음 각 호의 명령을 내릴 수 있다.

a. 임시 유통금지 b. 유통 상품 회수 c. 상품의 폐기

(3) 장관은 제 2 항의 임시유통금지, 유통 상품 회수 및 상품 폐기 권한을 소비자 보호 및 상거래 규칙을 담당하는 국장에게 부여한다.

제 162 조

(1) 감독 결과, 수입품의 수량이 사업허가에 기재된 부피 또는 수량을 초과하는 경우, 수입자는 행정제재를 받는다.

(2) 사업허가에 기재된 부피 또는 수량을 초과하는 수입품에 대하여 장관은 사업자에게 다음 각 호의 명령을 내릴 수 있다.

a. 임시 유통금지 b. 유통 상품 회수 c. 상품의 폐기

(3) 장관은 제 2 항의 임시유통금지, 유통 상품 회수 및 상품 폐기 권한을 소비자 보호 및 상거래 규칙을 담당하는 국장에게 부여한다.

제 163 조

수입자가 행정제제를 받는 경우, 소비자 보호 및 상거래 규칙 담당 국장은 수입자에 대한 수입활동금지 요구서를 관세 담당 국장에게 제출하고 사본은 대외무역 담당 국장에게 제출한다.

제 8 부 인력 개발 감독

제 164 조

장관은 중앙정부, 주 및 구•시의 무역활동을 감독할 인력에 대한 지도를 수행한다.

제 165 조

요건, 무역감독관의 훈련, 감독직원의 임명, 무역활동의 감독 실행에 대한 기술지침 관련 조항은 장관령으로 정한다.

제 11 장 행정제재

제 166 조

(1) 다음의 조항 즉 제 5 조제 1 항, 제 5 조제 3 항, 제 6 조제 1 항, 제 6 조제 3 항, 제 9 조제 1 항, 제 10 조제 1 항, 제 10 조제 2 항, 제 11 조제 1 항, 제 12 조제 1 항, 제 15 조제 1 항, 제 16 조제 1 항, 제 20 조제 1 항, 제 24 조제 1 항, 제 25 조제 1 항, 제 26 조제 1 항, 제 29 조제 1 항, 제 29 조제 2 항, 제 36 조, 제 38 조, 제 39 조, 제 40 조, 제 41 조, 제 47 조, 제 48 조, 제 51 조, 제 55 조, 제 61 조제 1 항, 제 64 조, 제 68 조, 제 91 조제 1 항, 제 92 제 1 항, 제 93 조, 제 94 조제 4 항, 제 97 조, 제 98 조제 2 항, 제 98 조제 3 항, 제 98 조제 4 항, 제 99 조제 1 항, 제 99 조제 2 항, 제 102 조제 2 항, 제 103 조, 제 104 조제 1 항, 제 105 조제 1 항, 제 107 조제 2 항, 제 107 조제 7 항, 제 108 조제 1 항, 제 109 조제 1 항, 제 110 조제 1 항, 제 110 조제 4 항, 제 111 조제 2 항, 제 119 조제 1 항, 제 120 조제 1 항, 제 120 조제 2 항, 제 128 조제 1 항, 제 129 조, 제 134 조, 제 137 조제 1 항, 제 156 조제 4 항, 제 156 조제 5 항, 제 158 조제 1 항, 제 159 조제 2 항, 제 160 조, 제 161 조제 1 항 및 제 162 조제 1 항을 위반하는 사업자는 행정제재를 받는다.

(2) 제 1 항에 언급된 행정제재의 형태는 다음 각 호와 같다.

a. 서면 경고 b. 유통 상품 회수 c. 일시적 사업활동 정지 d. 창고 폐쇄 e. 과징금 f. 사업허가 취소

(3) 제 61 조제 1 항의 위반에 대한 행정제재의 부과 절차는 창고를 등록하지 아니한 창고소유자에 대한 행정재제 부과 관련 법규에 따른다.

(4) 제 3 항의 위반행위에 대한 행정제재부과 절차는 다음 각 호의 두 가지 형태로 진행된다.

a. 점진적 형태 b. 비점진적 형태

(5) 제 2 항제 b 호에 언급된 유통 상품 회수를 통한 행정제재 부과 및 제 2 항제 f 호에 언급된 사업허가 취소는 비점진적인 방법으로 진행될 수 있다.

제 167 조

(1) 제 166 조에 언급된 행정제재를 부과하더라도 사업자 및 고위험 사업활동에 대한 형사책임이 면제되지는 아니한다.

(2) 사업자 및 고위험 사업활동에 대한 형사책임의 부과는 법규에 따라서 수행된다.

제 168 조

(1) 제 166 조제 2 항제 a 호에 언급된 서면경고 형태의 행정제재는 최대 2 회, 각각 14 근무일의 기간으로 부과할 수 있다.

(2) 제 1 항의 서면경고는 장관이 소비자 보호 및 상거래 규칙 담당 국장을 통하여 수행한다.

제 169 조

제 166 조제 2 항제 b 호와 제 c 호의 유통 상품 회수 및 일시적인 사업활동 정지는 2 차 서면경고 기간이 만료된 후부터 사업자가 위반행위를 시정할 때까지 부과한다.

제 170 조

(1) 제 166 조제 2 항제 d 호의 창고 폐쇄 행정제제 조치는 창고관리기록 유지의무를 위반한 창고의 소유주, 관리자, 임차인에게 부과한다.

(2) 제 1 항의 창고 폐쇄 조치는 2 차 서면경고기간 만료 후부터 창고 소유자, 관리자 및 임차인이 위반행위를 시정할 때까지 부과한다.

제 171 조

(1) 제 166 조제 2 항제 e 호에 언급된 과징금 형태의 행정제재는 유통 상품의 수거, 사업활동의 일시 정지 또는 창고 폐쇄의 부과 결정 30 일 후에도 사업자가 위반행위를 시정하지 아니하는 경우에 부과한다.

(2) 제 1 항의 과징금은 최대 30 일 동안 사업자가 시정조치를 이행하지 아니한 각 지체 일수에 대해 5,000,000 루피아(오백만 루피아)를 부과한다.

(3) 제 2 항의 과징금은 제 1 항의 기간 만료 후 첫 번째 날부터 부과한다.

(4) 제 2 항의 과징금 징수 절차는 비세금성 국가수입에 관한 법규에 따라 수행한다.

제 172 조

(1) 제 166 조제 2 항제 f 호의 사업허가 취소는 사업허가를 보유한 사업자가 제 171 조의 과징금 부과에서 결정된 기간이 만료된 후에도 위반행위를 시정하지 아니한 경우에 시행된다.

(2) 제 1 항의 사업허가 취소를 받은 사업자는 사업허가 취소가 결정되고 5 년이 경과한 후에 사업허가 재발급을 신청할 수 있다.

제 173 조

사업자에게 부과한 행정제재는 법규에 따른 그 밖의 행정제재 여부를 검토하기 위하여 관련 정부부처•비부처 정부기관에 제출할 수 있다.

제 12 장 기타규정

제 174 조

(1) 중앙정부는 일자리 창출 가속화와 관련하여 투자생태계와 기업활동의 개선 및 발전을 관찰하여 이 정부령의 이행을 평가한다.

(2) 제 1 항의 평가는 경제 부문 정부행정의 각 부처의 업무를 조정•통합•통제하는 장관이 수행한다.

제 175 조

이 정부령에서 규제하지 않거나 불완전, 불명확 및 정부 교착 상태가 발생하는 경우, 장관은 재량권을 행사하여 무역 부문의 정부 조직에 대한 구체적인 문제를 해결할 수 있다.

제 13 장 경과규정

제 176 조

이 정부령의 제정 이전에 다음 각 호에 근거하여 발급된 모든 허가는 해당 허가의 만료 시점까지 유효하다.

a 「법정계량에 관한 법률 1981 년 제 2 호」(인도네시아공화국 관보 1981 년 제 11 호, 인도네시아공화국 관보 부록 제 3193 호) b 「무역에 관한 법률 2014 년 제 7 호」(인도네시아공화국 관보 2014 년 제 45 호, 인도네시아공화국 관보 부록 제 5512 호)

제 14 장 종결규정

제 178 조

이 정부령의 효력 발생과 동시에 다음 각 호의 규정은 폐지되고 효력을 잃는다.

a. 「창고를 등록하지 아니한 창고소유자에 대한 행정제재 부과에 관한 정부령 2019 년 제 33 호」(인도네시아공화국 관보 2019 년 제 90 호, 인도네시아공화국 관보 부록 제 6346 호) 제 2 조 b. 「안보•안전•환경 관련 상품 등록의 결정에 관한 대통령령 2018 년 제 63 호」(인도네시아공화국 관보 2018 년 제 131 호) c. 「전통시장, 쇼핑센터, 현대식 점포의 조직 및 개발에 관한 대통령령 2007 년 제 112 호」

제 179 조

이 정부령은 공포일부터 시행한다.

이 정부령을 대중이 알 수 있도록 이 정부령을 인도네시아공화국 관보에 고시하여 공포하도록 한다.

2021 년 2 월 2 일 자카르타에서 제정 인도네시아공화국 대통령 서명 조코 위도도 2021 년 2 월 2 일 자카르타에서 공포 인도네시아공화국 법무부장관 서명 야손나 라올리