로고

「노동에 관한 인도네시아 공화국 법률 2003년 제13호」

 국 가 ‧ 지 역: 인도네시아  법률번 호: 2003년 제13호  제정일 : 2003.3.25.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan; c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan; d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha; e. bahwa beberapa undang- undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e perlu membentuk Undang-undang tentang Ketenagakerjaan; Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan persetujuan bersama antara DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN. 전능하신 신의 은총으로 인도네시아 공화국 대통령은, 고려함: a. 판차실라와 1945년 인도네시 아 공화국 헌법의 정신을 기초로 하여 인도네시아 국민의 전인적 발전과 전 인도네시아 사회의 발 전 차원에서 국가 개발이 실시되 며, 이는 번영하고 공정하며, 정 신적·물질적 균형을 이루며 풍요 로운 사회를 형성하기 위함이다. b. 국가 개발의 실시에 있어서 근로자는 개발의 주체와 목적으 로 대단히 중요한 역할과 위상을 가지고 있다. c. 근로자의 역할과 위상에 따라 근로자의 자질을 향상시키기 위 한 노동의 개발, 개발에의 참여, 그리고근로자 및 그 가족들에 대 한 인간의 존엄과 품위에 상응하 는 보호 증진이 요구된다. d. 근로자에 대한 보호는 산업계 의 발전을 지속적으로 고려하며 근로자와 그 가족들의 복지를 실 현하기 위함으로 근로자의 기본 권리를 보장하고 동등한 기회와 어떠한 것을 근거로도 차별 없이 대우하는 것을 의미한다. e. 노동 분야의 일부 법률들은 노동 발전의 필요와 요구에 부응 하지 않으므로 폐지 그리고/또는 무효로 하는 것이 필요하다. f. a, b, c, d, 그리고 e의 고려사 항을 기초로 하여 노동에 관한 법률을 제정하는 것이 필요하다. 검토함: 1945년 인도네시아 공화국 헌법 제5조제1항, 제20조제2항, 제27 조제2항, 제28조 그리고 제33조 제1항. 인도네시아 공화국 국민대표의회의 동의를 얻어 인도네시아 공화국 대통령은 결정한다. 확정함: 노동에 관한 법률

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. 2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. 3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badanbadan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 5. Pengusaha adalah: a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. 6. Perusahaan adalah: a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 7. Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan. 8. Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data yang berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan. 9. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan. 10. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. 11. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu. 12. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan tenaga kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya. 13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. 14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syaratsyarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. 15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. 16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 17. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/ buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. 18. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/ serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh. 19. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah. 20. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syaratsyarat kerja dan tata tertib perusahaan. 21. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. 22. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. 23. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersamsama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan. 24. Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan. 25. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. 26. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun. 27. Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00. 28. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam. 29. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari. 30. Upah adalah hak pekerja/ buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. 31. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat. 32. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundangundangan di bidang ketenagakerjaan. 33. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

BAB II

LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN

Pasal 2

Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 3

Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.

Pasal 4

Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan: a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

BAB III

KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA

Pasal 5

Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.

Pasal 6

Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.

BAB IV

PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN

Pasal 7

(1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan tenaga kerja.

(2) Perencanaan tenaga kerja meliputi:

a. perencanaan tenaga kerja makro; dan b. perencanaan tenaga kerja mikro.

(3) Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 8

(1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara lain meliputi:

a. penduduk dan tenaga kerja; b. kesempatan kerja; c. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja; d. produktivitas tenaga kerja; e. hubungan industrial; f. kondisi lingkungan kerja; g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan h. jaminan sosial tenaga kerja.

(2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperoleh dari semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta.

(3) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V

PELATIHAN KERJA

Pasal 9

Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan.

Pasal 10

(1) Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.

(2) Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar kompetensi kerja.

(3) Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang.

(4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 11

Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja.

Pasal 12

(1) Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja.

(2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan Keputusan Menteri.

(3) Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya.

Pasal 13

(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau lembaga pelatihan kerja swasta.

(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja.

(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.

Pasal 14

(1) Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau perorangan.

(2) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten /kota.

(3) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/ kota.

(4) Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 15

Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan: a. tersedianya tenaga kepelatihan; b. adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan; c. tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan d. tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja.

Pasal 16

(1) Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga pelatihan kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh akreditasi dari lembaga akreditasi.

(2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat independen terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

(3) Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 17

(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/ kota dapat menghentikan sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila dalam pelaksanaannya ternyata:

a. tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; dan/atau b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.

(2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan dan berlaku paling lama 6 (enam) bulan.

(3) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja hanya dikenakan terhadap program pelatihan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 15.

(4) Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6(enam) bulan tidak memenuhi dan melengkapi saran perbaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi penghentian program pelatihan.

(5) Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan program pelatihan kerja yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dikenakan sanksi pencabutan izin dan pembatalan pendaftaran penyelenggara pelatihan.

(6) Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara, penghentian, pencabutan izin, dan pembatalan pendaftaran diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 18

(1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja.

(2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi kompetensi kerja.

(3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat pula diikuti oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman.

(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional sertifikasi profesi yang independen.

(5) Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19

Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan.

Pasal 20

(1) Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, dikembangkan satu sistem pelatihan kerja nasional yang merupakan acuan pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau sektor.

(2) Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem pelatihan kerja nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 21

Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan.

Pasal 22

(1) Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta dengan pengusaha yang dibuat secara tertulis.

(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha serta jangka waktu pemagangan.

(3) Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dianggap tidak sah dan status peserta berubah menjadi pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan

Pasal 23

Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.

Pasal 24

Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.

Pasal 25

(1) Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

(2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara pemagangan harus berbentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

(3) Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 26

(1) Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia harus memperhatikan:

a. harkat dan martabat bangsa Indonesia; b. penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan c. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk melaksanakan ibadahnya.

(2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan pemagangan di luar wilayah Indonesia apabila di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 27

(1) Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan untuk melaksanakan program pemagangan.

(2) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri harus memperhatikan kepentingan perusahaan, masyarakat, dan negara.

Pasal 28

(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan serta melakukan koordinasi pelatihan kerja dan pemagangan dibentuk lembaga koordinasi pelatihan kerja nasional.

(2) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 29

(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan.

(2) Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan relevansi, kualitas, dan efisiensi penyelenggaraan pelatihan kerja dan produktivitas.

(3) Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan melalui pengembangan budaya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi kegiatan ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas nasional.

Pasal 30

(1) Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dibentuk lembaga produktivitas yang bersifat nasional.

(2) Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berbentuk jejaring kelembagaan pelayanan peningkatan produktivitas, yang bersifat lintas sektor maupun daerah.

(3) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga produktivitas nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.

BAB VI

PENEMPATANTENAGA KERJA

Pasal 31

Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri.

Pasal 32

(1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.

(2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.

(3) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah.

Pasal 33

Penempatan tenaga kerja terdiri dari: a. penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan b. penempatan tenaga kerja di luar negeri.

Pasal 34

Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaiana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang.

Pasal 35

(1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.

(2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja.

(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.

Pasal 36

(1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja.

(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi unsur-unsur:

a. pencari kerja; b. lowongan pekerjaan; c. informasi pasar kerja; d. mekanisme antar kerja; dan e. kelembagaan penempatan tenaga kerja.

(3) Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk terwujudnya penempatan tenaga kerja.

Pasal 37

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri dari:

a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan b. lembaga swasta berbadan hukum.

(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 38

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a, dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak langsung, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga kerja.

(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga kerja dari pengguna tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu.

(3) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

BAB VII

PERLUASAN KESEMPATAN KERJA

Pasal 39

(1) Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.

(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.

(3) Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di setiap sektor diarahkan untuk mewujudkan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.

(4) Lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan, dan dunia usaha perlu membantu dan memberikan kemudahan bagi setiap kegiatan masyarakat yang dapat menciptakan atau mengembangkan perluasan kesempatan kerja.

Pasal 40

(1) Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui penciptaan kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi tepat guna.

(2) Penciptaan perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri, penerapan sistem padat karya, penerapan teknologi tepat guna, dan pendayagunaan tenaga kerja sukarela atau pola lain yang dapat mendorong terciptanya perluasan kesempatan kerja.

Pasal 41

(1) Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan kerja.

(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasi pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dibentuk badan koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat.

(4) Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan pembentukan badan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII

PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASIN

Pasal 42

(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.

(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.

(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.

(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis dan tidak dapat diperpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya.

Pasal 43

(1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

(2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan:

a. alasan penggunaan tenaga kerja asing; b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan; c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing.

(4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 44

(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku.

(2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 45

(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib:

a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing; dan b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang menduduki jabatan direksi dan/atau komisaris.

Pasal 46

(1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu.

(2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 47

(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakannya.

(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan.

(3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

(4) Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 48

Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.

Pasal 49

Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.

BAB IX

HUBUNGAN KERJA

Pasal 50

Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.

Pasal 51

(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.

(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 52

(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar:

a. kesepakatan kedua belah pihak; b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.

(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.

(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.

Pasal 53

Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.

Pasal 54

(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurangkurangnya memuat:

a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; c. jabatan atau jenis pekerjaan; d. tempat pekerjaan; e. besarnya upah dan cara pembayarannya; f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh; g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurangkurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.

Pasal 55

Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.

Pasal 56

(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.

(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas:

a. jangka waktu; atau b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.

Pasal 57

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.

(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.

(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

Pasal 58

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja

(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.

Pasal 59

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.

(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.

(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.

(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 60

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan.

(2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.

Pasal 61

(1) Perjanjian kerja berakhir apabila:

a. pekerja meninggal dunia; b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau ber-alihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.

(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.

(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.

(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/ buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 62

Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

Pasal 63

(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan.

(2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya memuat keterangan:

a. nama dan alamat pekerja/buruh; b. tanggal mulai bekerja; c. jenis pekerjaan; dan d. besarnya upah.

Pasal 64

Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia-an jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

Pasal 65

(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.

(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.

(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.

(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurangkurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syaratsyarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.

(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.

(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).

Pasal 66

(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak; c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.

(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

BAB X

PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN

Bagian Kesatu

Perlindungan

Paragraf 1

Penyandang Cacat

Pasal 67

(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Paragraf 2

Anak

Pasal 68

Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.

Pasal 69

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.

(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan:

a. izin tertulis dari orang tua atau wali; b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; e. keselamatan dan kesehatan kerja; f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.

Pasal 70

(1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.

(2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas) tahun.

(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat:

a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Pasal 71

(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembang

(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat:

a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali; b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah.

(3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 72

Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.

Pasal 73

Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

Pasal 74

(1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk.

(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya; b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian; c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.

(3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 75

(1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja.

(2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3

Perempuan

Pasal 76

(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.

(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.

(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib:

a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.

(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.

Paragraf 4

Waktu Kerja

Pasal 77

(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.

(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.

(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 78

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat:

a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.

(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.

(4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 79

(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.

(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi:

a. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; c. cuti tahunan, sekurangkurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan d. istirahat panjang sekurangkurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terusmenerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.

(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.

(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 80

Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.

Pasal 81

(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 82

(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.

(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

Pasal 83

Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

Pasal 84

Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh.

Pasal 85

(1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.

(2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.

(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur.

(4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Paragraf 5

Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Pasal 86

(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:

a. keselamatan dan kesehatan kerja; b. moral dan kesusilaan; dan c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.

(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Pasal 87

(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.

(2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua

Pengupahan

Pasal 88

(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.

(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi:

a. upah minimum; b. upah kerja lembur; c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan; d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; f. bentuk dan cara pembayaran upah; g. denda dan potongan upah; h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional; j. upah untuk pembayaran pesangon; dan k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Pasal 89

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas:

a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/ kota; b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.

(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak.

(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.

(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 90

(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.

(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.

(3) Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 91

(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.

Pasal 92

(1) Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.

(2) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.

(3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 93

(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila:

a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia; d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara; e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalan-kan ibadah yang diperintahkan agamanya; f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha; g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat; h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sebagai berikut:

a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah; b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah; c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah; dan d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.

(4) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut:

a. pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari; b. menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; c. mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; f. suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; dan g. anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari.

(5) Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 94

Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.

Pasal 95

(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.

(2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.

(3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran upah.

(4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hakhak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.

Pasal 96

Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.

Pasal 97

Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup layak, dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 98

(1) Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.

(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, perguruan tinggi, dan pakar.

(3) Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubenur/ Bupati/Walikota.

(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Presiden.

Bagian Ketiga

Kesejahteraan

Pasal 99

(1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.

(2) Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Pasal 100

(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.

(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan.

(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 101

(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi pekerja/buruh dan usaha-usaha produktif di perusahaan.

(2) Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh berupaya menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan usaha produktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3) Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

(4) Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI

HUBUNGAN INDUSTRIAL

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 102

(1) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

(2) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.

(3) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.

Pasal 103

Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana: a. serikat pekerja/serikat buruh; b. organisasi pengusaha; c. lembaga kerja sama bipartit; d. lembaga kerja sama tripartit; e. peraturan perusahaan; f. perjanjian kerja bersama; g. peraturan perundangundangan ketenagakerjaan; dan h. lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Bagian Kedua

Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Pasal 104

(1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat pekerja/serikat buruh berhak menghimpun dan mengelola keuangan serta mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok.

(3) Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.

Bagian Ketiga

Organisasi Pengusaha

Pasal 105

(1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.

(2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keempat

Lembaga Kerja Sama Bipartit

Pasal 106

(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.

(2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan.

(3) Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.

(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Kelima

Lembaga Kerja Sama Tripartit

Pasal 107

(1) Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan.

(2) Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari:

a. Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota; dan b. Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.

(3) Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh.

(4) Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam

Peraturan Perusahaan

Pasal 108

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

(2) Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.

Pasal 109

Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang bersangkutan.

Pasal 110

(1) Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di Perusahaan yang bersangkutan.

(2) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh maka wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh.

(3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/ serikat buruh, wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan para pekerja/ buruh di perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 111

(1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat:

a. hak dan kewajiban pengusaha; b. hak dan kewajiban pekerja/ buruh; c. syarat kerja; d. tata tertib perusahaan; dan e. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.

(2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya.

(4) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan menghendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama, maka pengusaha wajib melayani.

(5) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap berlaku sampai habis jangka waktu berlakunya.

Pasal 112

(1) Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima.

(2) Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah mendapatkan pengesahan.

(3) Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk harus memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan perusahaan.

(4) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan diterima oleh pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengusaha wajib menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 113

(1) Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh.

(2) Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mendapat pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 114

Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.

Pasal 115

Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Ketujuh

Perjanjian Kerja Bersama

Pasal 116

(1) Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.

(2) Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan secara musyawarah.

(3) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuat secara tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia.

(4) Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka perjanjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut dianggap sudah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

Pasal 117

Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 118

Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan.

Pasal 119

(1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/ serikat buruh, maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut berhak mewakili pekerja /buruh dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.

(2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/ serikat buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.

(3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

Pasal 120

(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.

(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.

(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 121

Keanggotaan serikat pekerja/ serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota.

Pasal 122

Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/ buruh dan pengurus serikat pekerja/ serikat buruh yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan pengusaha.

Pasal 123

(1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun.

(2) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang masa berlakunya paling lama 1(satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.

(3) Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.

(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak mencapai kesepakatan maka perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 124

(1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat:

a. hak dan kewajiban pengusaha; b. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh; c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.

(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 125

Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama, maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.

Pasal 126

(1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja /buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.

(2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.

(3) Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama kepada setiap pekerja/buruh atas biaya perusahaan.

Pasal 127

(1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/ buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama.

(2) Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja bersama.

Pasal 128

Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama.

Pasal 129

(1) Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan perusahaan, selama di perusahaan yang bersangkutan masih ada serikat pekerja/serikat buruh.

(2) Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/ serikat buruh dan perjanjian kerja bersama diganti dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada dalam peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.

Pasal 130

(1) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut hanya terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama tidak mensyaratkan ketentuan dalam Pasal 119.

(2) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang dulu berunding tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan oleh serikat pekerja/ serikat buruh yang anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat buruh yang membuat perjanjian kerja bersama terdahulu dengan membentuk tim perunding secara proporsional.

(3) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/ serikat buruh dan tidak satupun serikat pekerja/serikat buruh yang ada memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan menurut ketentuan Pasal 120 ayat (2) dan ayat (3).

Pasal 131

(1) Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/ serikat buruh atau pengalihan kepemilikan perusahaan maka perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.

(2) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan pekerja /buruh.

(3) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang mempunyai perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi perusahaan yang bergabung (merger) sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.

Pasal 132

(1) Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kerja bersama tersebut.

(2) Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat perjanjian kerja bersama selanjutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 133

Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 134

Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Pasal 135

Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan hubungan industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah.

Bagian Kedelapan

Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Paragraf 1

Perselisihan Hubungan Industrial

Pasal 136

(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.

(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undangundang.

Paragraf 2

Mogok Kerja

Pasal 137

Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.

Pasal 138

(1) Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar hukum.

(2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut.

Pasal 139

Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatan -nya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.

Pasal 140

(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.

(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:

a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja; b. tempat mogok kerja; c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masingmasing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.

(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.

(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara:

a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.

Pasal 141

(1) Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda terima.

(2) Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.

(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.

(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang.

(5) Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.

Pasal 142

(1) Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan Pasal 140 adalah mogok kerja tidak sah.

(2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 143

(1) Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/ buruh dan serikat pekerja/ serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai.

(2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 144

(1) Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, pengusaha dilarang:

a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja /serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.

Pasal 145

Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguhsungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah.

Paragraf 3

Penutupan Perusahaan (lock-out)

Pasal 146

(1) Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan.

(2) Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.

(3) Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Pasal 147

Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi, serta kereta api.

Pasal 148

(1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan.

(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurang-nya memuat:

a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan (lock out); dan b. alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).

(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 149

(1) Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 harus memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari, tanggal, dan jam penerimaan.

(2) Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.

(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.

(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

(5) Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh, penutupan perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.

(6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) dan ayat (2) tidak diperlukan apabila:

a. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140; b. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundangundangan yang berlaku.

BAB XII

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

Pasal 150

Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undangundang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Pasal 151

(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.

(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 152

(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.

(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundingkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).

(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.

Pasal 153

(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:

a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus; b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; d. pekerja/buruh menikah; e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama; g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan; i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.

Pasal 154

Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal: a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya; b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali; c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau peraturan perundangundangan; atau d. pekerja/buruh meninggal dunia.

Pasal 155

(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.

(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.

(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

Pasal 156

(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut

a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah; b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah; c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah; d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah; e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah; f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah; g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah. h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah; i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:

a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah; b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah; c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah; d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah; e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah; f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah; h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.

(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja; c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

(5) Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 157

(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas:

a. upah pokok; b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cumacuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.

(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari.

(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan ratarata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota

(4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.

Pasal 158

(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:

a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja; d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja; e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja; f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan; g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut:

a. pekerja/buruh tertangkap tangan; b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).

(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 159

Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 160

(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut:

a. untuk 1 (satu) orang tanggungan: 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah; b. untuk 2 (dua) orang tanggungan: 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah; c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan: 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah; d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih: 50% (lima puluh perseratus) dari upah.

(2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib.

(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.

(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.

(6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5) dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

(7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).

Pasal 161

(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.

(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 162

(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama

(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat:

a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 163

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).

(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).

Pasal 164

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.

(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 165

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 166

Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal 167

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.

(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

(6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Pasal 168

(1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.

(2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja.

(3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 169

(1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:

a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh; b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan; c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih; d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh; e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.

(2) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

(3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3)

Pasal 170

Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi keten-tuan Pasal 151 ayat (3) dan Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.

Pasal 171

Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.

Pasal 172

Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).

BAB XIII

PEMBINAAN

Pasal 173

(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap unsurunsur dan kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mengikutsertakan organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan organisasi profesi terkait.

(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2), dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi.

Pasal 174

Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi profesi terkait dapat melakukan kerja sama internasional di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 175

(1) Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telah berjasa dalam pembinaan ketenagakerjaan.

(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk piagam, uang, dan/atau bentuk lainnya.

BAB XIV

PENGAWASAN

Pasal 176

Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenaga-kerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Pasal 177

Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 178

(1) Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

(2) Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 179

(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.

(2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 180

Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak dan kewajiban, serta wewenang pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 181

Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 wajib: a. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan; b. tidak menyalahgunakan kewenangannya.

BAB XV

PENYIDIKAN

Pasal 182

(1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.

(3) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

BAB XVI

KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF

Bagian Pertama

Ketentuan Pidana

Pasal 183

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan

Pasal 184

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 185

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 186

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Pasal 187

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Pasal 188

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Pasal 189

Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/buruh.

Bagian Kedua

Sanksi Administratif

Pasal 190

(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2) Undangundang ini serta peraturan pelaksanaannya.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa:

a. teguran; b. peringatan tertulis; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pembatalan persetujuan; f. pembatalan pendaftaran; g. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi; h. pencabutan ijin.

(3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.

BAB XVII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 191

Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undangundang ini.

BAB XVIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 192

(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:

1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8); 2. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647); 3. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anakanak Dan Orang Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87); 4. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatankegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208); 5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545); 6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);

(2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);

(3) Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara Serikat Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 598a);

(4) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8 );

(5) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);

(6) Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);

(7) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912);

(8) Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);

(9) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791);

(10) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042), dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 193

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 25 Maret 2003 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 25 Maret 2003 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, BAMBANG KESOWO 2003년 3월 25일 자카르타에서 승인됨 인도네시아 공화국 대통령 메가와띠 수까르노뿌뜨리 2003년 3월 25일 자카르타에서 제정됨 인도네시아 공화국 국가사무처 장관 밤방 끄소워

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 모든 사람이 알 수 있도록 이 법 률의 제정을 인도네시아 공화국 관보에 게재할 것을 명한다.

「노동에 관한 인도네시아 공화국 법률 2003년 제13호」

 국 가 ‧ 지 역: 인도네시아  법률번 호: 2003년 제13호  제정일 : 2003.3.25.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan; c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan; d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha; e. bahwa beberapa undang- undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e perlu membentuk Undang-undang tentang Ketenagakerjaan; Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan persetujuan bersama antara DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN. 전능하신 신의 은총으로 인도네시아 공화국 대통령은, 고려함: a. 판차실라와 1945년 인도네시 아 공화국 헌법의 정신을 기초로 하여 인도네시아 국민의 전인적 발전과 전 인도네시아 사회의 발 전 차원에서 국가 개발이 실시되 며, 이는 번영하고 공정하며, 정 신적·물질적 균형을 이루며 풍요 로운 사회를 형성하기 위함이다. b. 국가 개발의 실시에 있어서 근로자는 개발의 주체와 목적으 로 대단히 중요한 역할과 위상을 가지고 있다. c. 근로자의 역할과 위상에 따라 근로자의 자질을 향상시키기 위 한 노동의 개발, 개발에의 참여, 그리고근로자 및 그 가족들에 대 한 인간의 존엄과 품위에 상응하 는 보호 증진이 요구된다. d. 근로자에 대한 보호는 산업계 의 발전을 지속적으로 고려하며 근로자와 그 가족들의 복지를 실 현하기 위함으로 근로자의 기본 권리를 보장하고 동등한 기회와 어떠한 것을 근거로도 차별 없이 대우하는 것을 의미한다. e. 노동 분야의 일부 법률들은 노동 발전의 필요와 요구에 부응 하지 않으므로 폐지 그리고/또는 무효로 하는 것이 필요하다. f. a, b, c, d, 그리고 e의 고려사 항을 기초로 하여 노동에 관한 법률을 제정하는 것이 필요하다. 검토함: 1945년 인도네시아 공화국 헌법 제5조제1항, 제20조제2항, 제27 조제2항, 제28조 그리고 제33조 제1항. 인도네시아 공화국 국민대표의회의 동의를 얻어 인도네시아 공화국 대통령은 결정한다. 확정함: 노동에 관한 법률

제1장

총칙

제1조

이 법률에서 의미하는 바는 다음 과 같다. 1. 노동이란 근로 기간 전, 후, 그리고 그 기간 동안의 근로 자와 관련된 제반 사항을 말 한다 2. 인력이란 자신과 사회의 필 요를 충족시키기 위하여 상품 그리고/또는 서비스 생산 업 무에 종사할 능력을 갖춘 모 든 사람을 말한다. 3. 근로자란 임금 또는 다른 형태의 대가를 받고 근로하는 모든 사람을 말한다. 4. 고용주란 근로자에게 임금 또는 다른 형태의 대가를 지 불하고 고용하는 개개인, 사 용자, 법인 또는 기타 단체를 말한다. 5. 사용자란 다음 각 호의 자 를 말한다. a. 자신이 소유한 회사를 경 영하는 개인, 조합, 또는 법 인 b. 자신이 소유하지 않은 회 사를 경영하는 개인, 조합, 또는 법인 c. 인도네시아 공화국 영토 외에 소재하고 있으면서 제 a호, 제b호의 회사를 대표 하여 인도네시아에 주재하 는 개인, 조합, 또는 법인 6. 회사란 다음 각 호를 말한 다. a. 법인의 형태를 불문하고 임금이나 다른 형태의 대가 를 지불하고 근로자를 고용 하는 개인 소유, 조합 소유, 민간이나 국영을 포함한 법 인 소유의 모든 형태의 사 업체 b. 관리인이 있으면서 임금 또는 다른 형태의 대가를 지불하고 다른 사람을 고용 하는 사회단체 또는 기타 단체 7. 노동 계획이란 지속적인 정 책, 전략, 노동 발전 프로그램 실행의 기초와 근거가 되는 체계적인 노동 계획 수립 절 차를 말한다. 8. 노동 정보란 노동과 관련하 여 일정한 의미, 가치, 의의를 가진 가공된 숫자 형태의 데 이터, 초안, 문서의 결합, 집 합 및 분석물을 말한다. 9. 직업 훈련이란 직책, 업무의 요건과 수준에 상응하는 소정 의 전문성과 기술성을 갖추도 록 업무 역량, 생산성, 기강, 태도, 작업 정신을 부여하고 달성하며, 증진시키고 발전시 키는 일련의 활동을 말한다. 10. 업무 역량이란 이미 수립 된 기준에 상응하는 지식, 기 술, 작업 태도를 포함한 개개 인의 업무 능력을 말한다. 11. 견습이란 통합적으로 실시 되는 직업 훈련 체계의 일부 로 일정 기술이나 전문성 습 득 차원에서 회사의 상품 그 리고/또는 서비스 생산 과정 에 참여하여 훈련기관의 훈련 과 강사 또는 경험 있는 근로 자의 직접적인 지도와 감독하 에 근로하는 것을 말한다. 12. 인력배치서비스란 근로자 와 고용주를 연결하여 근로자 가 적성, 흥미, 능력에 맞는 직업을 구할 수 있도록 하고, 고용주는 필요에 따라 근로자 를 구할 수 있도록 하는 활동 을 말한다. 13. 외국인 근로자란 인도네시 아 영토 내에서 근무할 목적 의 비자를 소지하고 있는 외 국인을 말한다. 14. 근로계약이란 근로자와 사 용자 또는 고용주 사이의 계 약으로 근로 조건과 당사자들 의 권리와 의무를 포함한 것 을 말한다. 15. 근로관계란 업무, 임금, 명 령을 포함한 사용자와 근로자 간의 근로계약을 기초로 하는 관계를 말한다. 16. 노사관계란 판차실라와 1945년 헌법의 가치를 기초 로 하여 상품 그리고/또는 서 비스 생산 과정에서 사용자, 근로자 그리고 정부가 주체가 되어 형성된 관계 체계를 말 한다. 17. 노동조합이란 근로자가 자 신들을 위하여 회사 내외에 세운 조직으로 근로자의 권리 와 이익을 대변하고 보호하며 근로자와 그 가족들의 복지 증진 쟁취를 목적으로 하는 자유롭고 개방적이며 독립적 이고 민주적이며 책임의무를 지는 성격을 가진 집단을 말 한다. 18. 노사협의회란 회사의 노사 관계와 관련된 사항에 관하여 소통하고 협의하는 기구로 그 구성원은 회사와 노동 분야를 담당하는 기관 또는 근로자 측에 이미 등록된 노동조합으 로 구성된다. 19. 노사정협의회란 노동 문제 에 관하여 소통과 협의, 그리 고 합의하는 기구로 그 구성 원은 사용자 단체, 노동조합, 그리고 정부로 구성된다. 20. 회사 내규란 사용자가 근 로 조건과 회사의 규율을 서 면으로 작성하여 만든 규칙을 말한다. 21. 단체협약이란 노동조합 또 는 노동 분야를 담당하는 기 관에 등록된 일부 노동조합과 사용자 또는 일부 사용자 연 합 사이의 합의 결과로 구성 된 계약으로 근로 조건과 양 당사자 간의 권리와 의무에 관한 조건을 포함한 것을 말 한다. 22. 노동쟁의란 이익 분쟁, 해 고 분쟁, 한 회사 내 조합 간 분쟁으로 인하여 사용자 또는 사용자 연합과 근로자 또는 노동조합 사이의 갈등을 야기 하는 이해의 차이를 말한다. 23. 파업이란 작업 정지 또는 지연을 위하여 근로자 그리고 /또는 노동조합이 공동으로 계획하고 실행하는 조치를 말 한다. 24. 직장 폐쇄란 사용자가 근 로자의 전부 또는 일부의 작 업 진행을 저지하는 조치를 말한다. 25. 고용 단절이란 근로자와 사용자 사이의 권리와 의무의 종료를 야기하는 일정한 사유 로 인하여 고용 관계가 종료 되는 것을 말한다. 26. 아동이란 18(십팔)세 미만 의 자를 말한다. 27. 주간은 06:00부터 18:00 사이의 시간을 말한다. 28. 1(일)일이란 24(이십사)시 간을 말한다. 29. 일주일이란 7(칠)일간을 말한다. 30. 임금이란 고용계약, 합의 또는 법령에 따라 결정되고 지불되는 것으로 이미 행해졌 거나 앞으로 행해질 일정한 작업 그리고/또는 서비스에 대하여 그 대가로 현금의 형 태로 사용자가 근로자에게 지 급하고 제시하는 것으로 근로 자 그리고 그 가족들에 대한 수당도 포함된다 31. 근로자 복지란 근로 관계 내외에서 직간접적으로 안전 하고 건강한 작업 환경에서 작업 생산성을 증대시킬 수 있도록 정신적, 물질적 필요 그리고/또는 요구를 충족시키 는 것을 말한다. 32. 근로 감독이란 노동 분야 의 법령 규정 시행을 감독하 고 확립하는 활동을 말한다. 33. 장관은 노동 분야를 담당 하는 장관을 말한다.

제2장

근거, 원칙 및 목적

제2조

노동 발전은 판차실라와 1945년 인도네시아 공화국 헌법에 기초 한다.

제3조

노동 발전은 중앙과 지역의 업종 별 기능의 조정을 통하여 통합의 원칙으로 실시된다.

제4조

노동 발전은 다음 각 호를 목적 으로 한다. a. 근로자를 최적으로 인간답게 개발하고 활용 b. 국가 및 지역 발전의 필요 에 따른 근로 제공과 균등한 고용 기회의 실현 c. 복지 구현에 있어서 근로자 에 대한 보호 제공 d. 근로자와 그 가족들의 복지 향상

제3장

균등한 기회와 처우

제5조

모든 근로자는 구직에 있어 차별 없이 균등한 기회를 가진다.

제6조

모든 근로자는 사용자로부터 차 별 없이 균등한 처우를 받을 권 리가 있다.

제4장

인력계획과 노동 정보

제7조

(1) 노동 발전의 일환으로 정부 는 정책을 결정하고 인력계획을 수립한다.

(2) 인력계획에는 다음 각 호를 포함한다.

a. 거시적 인력계획 b. 미시적 인력계획

(3) 정책과 전략의 수립 그리고 균형 있는 노동 발전 프로그램의 실시를 위하여 정부는 제1항의 인력계획을 지침으로 하여야 한 다.

제8조

(1) 인력계획은 다음 각 호를 포함한 노동 정보를 기초로 하여 수립된다.

a. 인구 및 노동력 b. 고용 기회 c. 직업 역량을 포함한 직업 훈 련 d. 노동생산성 e. 노사관계 f. 근무 환경 g. 근로자의 임금 및 복지

(2) 제1항의 노동 정보는 정부 기관과 민간을 포함한 이해관계 자 모두로부터 수집한다.

제5장

직업훈련

제9조

직업훈련은 능력, 생산성 및 복 지 향상을 위한 직업능력 제공과 향상 그리고 개발을 위하여 실시 되고 추진된다.

(1) 직업훈련은 근로관계 내외 의 노동시장과 산업의 수요를 고 려하여 실시된다.

(2) 직업훈련은 직업능력 표준 을 참작한 훈련 프로그램을 기초 로 한다.

(3) 직업훈련은 단계별로 실시 할 수 있다.

(4) 제2항의 직업능력 표준의 결정 방법에 관한 규정은 장관결 정으로 정한다.

제11조

모든 근로자는 직업훈련을 통하 여 재능과 적성 그리고 능력에 따라 직업능력을 취득 그리고/또 는 향상 그리고/또는 개발할 권 리가 있다.

제12조

(1) 사용자는 직업훈련을 통하 여 직업능력의 향상 그리고/또는 개발의 책임이 있다.

(2) 제1항의 직업능력의 향상 그리고/또는 개발은 장관결정으 로 정한 조건을 충족하는 사용자 에게는 의무사항이 된다.

(3) 모든 근로자는 업무 분야에 따라 직업훈련을 받을 균등한 기 회를 가진다.

제13조

(1) 직업훈련은 공공직업훈련기 관 그리고/또는 민간직업훈련기 관에서 실시한다.

(2) 직업훈련은 훈련처 또는 작 업장에서 실시할 수 있다.

(3) 직업훈련을 실시하는 제1항 의 공공직업훈련기관은 민간과 협력할 수 있다.

제14조

(1) 민간직업훈련기관은 인도네 시아 법인 또는 개별적인 형태로 설립할 수 있다.

(2) 제1항의 민간직업훈련기관 은 허가를 취득하거나 시/군 노 동청에 등록할 의무가 있다.

(3) 정부 기관에서 운영하는 직 업훈련기관은 시/군 노동청에 그 활동을 등록한다.

(4) 제2항과 제3항의 직업훈련 기관의 허가와 등록 방법에 관한 규정은 장관결정으로 정한다.

제15조

직업훈련의 실시에 있어서 다음 각 호의 조건을 충족시킬 의무가 있다. a. 훈련 요원 확보 b. 훈련 수준에 맞는 커리큘럼 마련 c. 직업훈련 인프라 구축 d. 원활한 직업훈련의 실시를 위한 재원 확보

제16조

(1) 허가를 받은 민간직업훈련 기관과 이미 등록된 공공직업훈 련기관은 인증기관으로부터 인증 을 받을 수 있다.

(2) 제1항의 평가기관은 장관결 정으로 설립된 시민과 정부 인사 로 구성된 독립기구이다.

(3) 제2항의 평가기관의 조직과 근무 체계는 장관결정으로 정한 다.

제17조

(1) 다음 각 호의 사항이 적발 되면 시/군 노동청은 직업훈련을 일시 중지할 수 있다.

a. 제9조의 직업훈련의 방향에 맞지 아니한 경우 b. 제15조의 요건을 충족시키 지 아니한 경우

(2) 제1항의 직업훈련의 일시 중지에는 그 근거와 시정 권고가 있어야 하며 최대 6개월간 할 수 있다.

(3) 직업훈련 실시의 일시 중지 는 제9조와 제15조의 요건을 충 족시키지 못한 훈련 프로그램에 대하여서만 부과된다.

(4) 직업훈련실시자가 6개월 이내에 제2항의 시정 권고를 충 족시키거나 보완하지 아니한 경 우 훈련 프로그램의 중지 벌칙을 부과할 수 있다.

(5) 제4항에 따라 이미 중지된 직업훈련을 계속 실시하는 직업 훈련실시자에게는 허가 박탈과 직업훈련기관 등록 취소의 벌칙 이 부과된다.

(6) 일시 중지, 중지, 허가 박탈, 등록 취소의 절차에 관한 규정은 장관결정으로 정한다.

제18조

(1) 근로자는 공공직업훈련기관, 민간직업훈련기관 또는 작업장에 서 실시하는 직업훈련을 이수한 후 직업능력인증을 취득할 권리 가 있다.

(2) 제1항의 직업능력인증은 직 업훈련증명서를 통하여 할 수 있 다.

(3) 제2항의 직업능력인증서는 경력이 있는 근로자에게도 발급 할 수 있다.

(4) 직업훈련증명을 위하여 독 립적인 국가전문성인증기관을 설 립한다.

(5) 제4항의 독립적인 국가전문 성인증기관의 설립은 정부령으로 정한다.

제19조

장애인 근로자의 직업훈련은 장 애의 유형, 정도, 해당 장애인 근로자의 능력을 고려하여 실시 한다.

제20조

(1) 노동 발전의 근간이 되는 직업훈련의 개선을 지원하기 위 하여 모든 부문 그리고/또는 업 종별 적용 지침이 되는 통합된 국가직업훈련제도를 개발한다.

(2) 제1항의 국가직업훈련제도 의 형태, 구조 그리고 조직에 관 한 규정은 정부령으로 정한다.

제21조

직업훈련은 견습제도로 실시할 수 있다.

제22조

(1) 견습은 참가자와 사용자가 서면으로 작성한 계약을 근거로 실시된다.

(2) 제1항의 견습계약은 적어도 참가자와 사용자의 권리와 의무 및 견습 기간에 관한 내용을 포 함한다.

(3) 제1항의 견습계약을 통하지 아니한 견습은 불법이며 참가자 의 신분은 해당 회사의 근로자로 변경된다.

제23조

견습제도에 이미 참여한 근로자 는 회사 또는 인증기관이 발급하 는 직업능력적격인증서를 발급받 을 권한이 있다.

제24조

견습은 인도네시아 국내외의 개 별 회사 또는 직업훈련 실시기관 또는 기타 회사에서 실시할 수 있다.기관

제25조

(1) 인도네시아 국외에서 실시 하는 견습은 장관 또는 담당 공 무원의 허가를 받아야 한다.

(2) 제1항의 허가를 취득하기 위한 견습 주관자는 현행 법령에 따라 설립된 인도네시아 법인이 어야 한다.

(3) 제1항과 제2항의 인도네시 아 국외에서의 견습 허가 절차에 관한 규정은 장관결정으로 정한 다.

제26조

(1) 인도네시아 국외에서의 견 습은 다음 각 호의 사항을 고려 하여 실시하여야 한다.

a. 인도네시아 국민의 존엄과 위엄 b. 보다 높은 능력의 보유 c. 예배 이행을 포함한 견습 참 가자의 보호 및 복지

(2) 해당 견습이 제1항의 규정 에 반하는 경우 장관 또는 담당 공무원은 인도네시아 국외에서 실시되고 있는 견습을 중지시킬 수 있다.

제27조

(1) 장관은 요건을 충족한 회사 에 대해 견습제도의 실시를 의무 화시킬 수 있다.

(2) 제1항의 요건의 결정에 있 어 장관은 회사와 공동체 그리고 국가의 이익을 고려하여야 한다.

제28조

(1) 정책의 결정, 직업훈련과 견 습의 조정에 있어 자문을 위한 국가직업훈련조정기구를 설립한 다.

(2) 제1항의 직업훈련조정기구 의 설립, 구성 및 업무 체계는 대통령결정으로 정한다.

제29조

(1) 중앙정부 그리고/또는 지방 정부는 직업훈련과 견습을 육성 한다.

(2) 직업훈련과 견습의 육성은 직업훈련 실시의 타당성, 품질, 효율성과 생산성 증대를 목적으 로 한다.

(3) 제2항의 생산성의 증대는 국가 생산성 구현을 목적으로 생 산문화, 직업윤리, 기술 및 경제 활동의 효율성 개발을 통하여 달 성한다.

제30조

(1) 제29조제2항의 생산성 증대 를 위하여 국가생산성기구를 설 립한다.

(2) 제1항의 생산성기구는 업종 별, 지역별 생산성 증대 담당기 구의 네트워크 형태로 구성된다.

(3) 제1항의 국가생산성기구의 설립, 구성 그리고 업무 체계는 대통령결정으로 정한다.

제6장

인력배치

제31조

모든 근로자는 직업선택, 취업 또는 이직, 국내외에서 적정한 소득을 획득할 수 있는 동등한 기회와 권리를 가진다.

제32조

(1) 인력배치는 공개성, 자유성, 객관성, 공정성과 비차별 원칙하 에 수행한다.

(2) 인력배치는 법의 보호 아래 근로자의 존엄성, 인권, 전문성, 숙련도, 재능, 흥미, 능력에 부합 하도록 배치하는 것을 지향한다.

(3) 인력배치는 국가 또는 지방 프로그램의 수요에 알맞게 근로 기회와 노동력 공급의 균형을 고 려하여 시행되어야 한다.

제33조

인력배치는 다음과 같이 구성된 다. a. 국내인력배치 b. 국외인력배치

제34조

제33조제b호의 국외인력배치는 법률로 정한다.

제35조

(1) 사용자는 근로자가 필요한 경우 자체적으로 고용하거나 인 력배치 기관을 통하여 고용할 수 있다.

(2) 제1항에 해당하는 인력배치 기관은 채용시부터 인력배치시까 지 보호를 제공할 의무가 있다.

(3) 제1항에 해당하는 사용자가 근로자를 채용할 때 복지, 안전, 정신적 육체적 건강을 보장해야 하는 의무가 있다.

제36조

(1) 제35조제1항에 따른 인력배 치는 인력배치 서비스를 제공함 으로써 수행된다.

(2) 제1항의 인력배치 서비스는 하나로 통합된 인력배치 서비스 시스템으로 다음 각 호를 포함한 다.

a. 구직자 b. 일자리 c. 노동시장 정보 d. 업무간의 체계 e. 인력배치 기관

(3) 제2항에 해당하는 인력배치 시스템 내용은 인력배치 구현을 위해 개별적으로 시행될 수 있 다.

제37조

(1) 제35조제1항에 따른 인력배 치는 다음 기관이 수행한다.

a. 노동청 b. 민간법인 기관

(2) 제1항제b호에 따른 민간 인 력배치 기관은 인력배치 서비스 를 수행할 때 장관 또는 그에 해 당하는 권한을 위임받은 담당자 의 서면허가를 받아야 한다.

제38조

(1) 제37조제1항제a호에 해당하 는 인력배치를 수행하는 자는 근 로자 또는 사용자에게 직간접적 으로 배치 비용의 일부나 전부를 징수할 수 없다.

(2) 제37조제1항제b호에 해당하 는 민간 인력배치 기관은 인력배 치비용을 사용자 및 근로자 단 체, 일정 직군으로부터만 징수할 수 있다.

(3) 제2항의 직군과 직책은 장 관결정으로 정한다.

제7장

근로기회 확대

제39조

(1) 정부는 근로관계 내외의 근 로기회 확대 책임이 있다.

(2) 정부와 국민은 모두 근로관 계 내외에서 근로기회 확대를 위 해 노력해야 한다.

(3) 중앙정부와 지방정부의 모 든 정책의 업무분야는 근로관계 내외의 근로기회 확대를 실현하 는 방향으로 진행되어야 한다.

(4) 은행, 비은행의 금융기관과 타산업 기관은 근로기회 창출과 확대를 위한 국민의 활동을 지원 하고 편의를 제공해야 한다.

제40조

(1) 근로관계 외의 근로기회 확 대는 생산적이고 지속적인 활동 의 조성을 통하여 천연자원, 인 적자원 기술개발과 함께 이루어 진다.

(2) 제1항의 근로기회 확대의 창출은 자립적인 근로자의 육성, 노동집약적 시스템적용, 적정기 술적용 및 자발적 근로자의 형태 또는 기타 다른 형태로 근로기회 확대 창출을 추진한다.

제41조

(1) 정부는 노동정책과 근로기 회 확대 정책을 수립한다.

(2) 정부와 국민은 함께 제1항 에 해당하는 정책시행을 감시한 다.

(3) 제2항의 업무를 수행할 때 정부와 국민을 대표하는 조정기 구를 설치할 수 있다.

(4) 제39조, 제40조, 제41조 제 3항에 해당하는 근로기회 확대 와 조정기구 설치는 정부령으로 정한다.

제8장

외국인근로자 사용

제42조

(1) 외국인근로자를 고용하는 사용자는 장관의 허가 또는 권한 을 위임받은 자의 서면허가를 받 아야 한다.

(2) 개인사용자는 외국인근로자 를 사용할 수 없다.

(3) 제1항에 따른 허가의무는 외교관 또는 영사로 외국인근로 자를 사용하는 외국대표부에는 적용되지 않는다.

(4) 외국인근로자는 인도네시아 에서 근로관계 내에 정해진 특정 직책과 기간으로 고용된다.

(5) 제4항의 특정 직책과 기간 은 장관결정으로 정한다.

(6) 제4항의 외국인근로자의 근 로기간이 종료되고 근로기간 연 장이 불가능한 경우 다른 외국인 근로자로 대체할 수 있다.

제43조

(1) 외국인근로자를 사용하는 사용자는 외국인근로자 사용계획 서를 장관 또는 장관의 권한을 위임받은 자로부터 승인을 받아 야 한다.

(2) 제1항의 외국인근로자 사용 계획서는 최소한 다음 각호를 포 함하여야 한다.

a. 외국인근로자를 사용하는 이 유 b. 해당 회사내 외국인근로자 의 직책 그리고/또는 지위 c. 외국인근로자 사용기간 d. 고용된 외국인근로자의 동 반근로자로서 인도네시아인 근로자 지정

(3) 제1항의 규정은 정부기관, 국제기구 및 외국대표부에는 적 용되지 않는다.

(4) 외국인근로자 사용계획 승 인 절차에 관한 규정은 장관결정 으로 정한다.

제44조

(1) 외국인근로자 사용자는 직 책과 현행의 표준역량 규정을 준 수해야 하는 의무가 있다.

(2) 제1항의 직책과 표준역량은 장관결정으로 정한다.

제45조

(1) 외국인근로자 사용자는 다 음의 의무가 있다.

a. 외국인근로자로부터 기술이 전과 전문지식 전수를 위하여 인도네시아 국적의 근로자를 외국인근로자의 동반근로자로 지명해야 한다. b. 제a호에서 의미하는 인도네 시아 국적의 근로자에 대해 외국인근로자의 직책, 자격에 상응하는 교육과 직업훈련을 시행해야 한다.

(2) 제1항의 내용은 이사 또는 대표직을 맡은 외국인근로자에게 는 적용되지 않는다.

제46조

(1) 외국인근로자는 인사관리 직무 그리고/또는 특정 직책을 맡을 수 없다.

(2) 제1항의 특정 직책은 장관 결정으로 정한다.

제47조

(1) 사용자는 고용된 외국인근 로자에게 반드시 보상을 지급해 야 한다.

(2) 제1항의 보상지급의무는 정부기관, 외국공관, 국제기구, 사회단체 및 교육단체의 특정 직 책에는 적용하지 아니한다.

(3) 제2항의 교육단체의 특정직 책은 장관결정으로 정한다.

(4) 보상금의 액수와 사용은 정 부령으로 정한다.

제48조

사용자는 고용관계 종료 후에 외 국인근로자를 귀국시켜야 하는 의무가 있다.

제49조

외국인근로자의 사용, 교육 및 동반근로자 실습은 대통령결정으 로 정한다.

제9장

근로관계

제50조

근로관계는 근로자와 사용자의 계약으로 발생한다.

제51조

(1) 근로계약은 서면 또는 구두 로 한다.

(2) 서면으로 이루어진 근로계 약은 현행법에 맞도록 작성되어 야 한다.

제52조

(1) 근로계약은 다음 각호에 근 거한다.

a. 쌍방간의 합의 b. 법이행 능력 c. 계약대상의 업무 d. 공공질서, 규범 및 현행법에 모순되지 아니하는 계약된 업 무

(2) 제1항제a호와 제b호에 적합 하지 아니한 근로계약은 철회될 수 있다.

(3) 제1항제c호와 제d호에 적합 하지 아니한 근로계약은 법적으 로 무효이다.

제53조

근로계약 작성에 필요한 모든 사 항과/또는 비용은 사용자가 부담 한다.

제54조

(1) 서면으로 작성된 근로계약 서에는 최소한 다음 각호의 사항 이 포함되어야 한다.

a. 회사명, 회사주소와 업종 b. 근로자의 성명, 성별, 나이 와 주소 c. 업무의 종류와 직책 d. 근로장소 e. 급여와 지급방법 f. 사용자와 근로자의 권리와 의무에 대한 복무규정 g. 근로계약 유효기간과 시작 일 h. 근로계약 작성 장소와 날짜 i. 쌍방간의 서명

(2) 제1항제e호와 제f호에 따른 근로계약내의 규정은 사규, 단체 협약 및 현행법령과 모순될 수 없다.

(3) 제1항에 따라 작성된 근로 계약서는 최소 동일한 효력을 갖 는 2부를 작성해야 하고, 사용자 와 근로자가 각각 1부를 보관한 다.

제55조

근로계약은 쌍방의 동의 없이 철 회 및/또는 수정을 할 수 없다.

제56조

(1) 근로계약서에 계약기간을 정하거나 정하지 아니할 수 있 다.

(2) 제1항에 따라 근로기간을 정한 근로계약은 다음 각호를 포 함한다.

a. 근로기간 또는 b. 특정업무의 종료시기

제57조

(1) 서면으로 작성된 근로기간 을 정한 근로계약서는 인도네시 아어로 작성시 라틴문자를 사용 한다.

(2) 근로기간을 정한 근로계약 이 제1항과 모순되고 서면으로 작성되지 아니한 경우 근로계약 을 정하지 아니한 근로계약으로 간주된다.

(3) 인도네시아어와 외국어로 작성된 근로계약서는 두 계약서 에 해석상의 차이가 있는 경우, 인도네시아어로 작성된 근로계약 서를 기준으로 한다.

제58조

(1) 근로기간이 정해진 근로계 약은 수습기간을 정할 수 없다.

(2) 제1항에 해당하는 근로계약 이지만 수습기간을 정한 경우, 수습기간은 법적으로 무효이다.

제59조

(1) 근로기간을 정한 근로계약 은 다음 각호의 업무종류와 형태 에 따른 특정 업무 또는 일정 기 간내에 마칠 수 있는 업무에 적 용된다.

a. 한 번에 종료 되거나 임시적 인 성격을 가진 업무 b. 3년 미만의 길지 아니한 기 간내에 마칠 수 있는 업무 c. 계절성을 가진 업무 d. 신상품, 새로운 업무 또는 아직 시험단계나 연구단계의 상품과 관련된 업무

(2) 근로기간이 정해진 근로계 약은 고정적인 업무에 적용될 수 없다.

(3) 근로기간이 정해진 근로계 약은 연장하거나 갱신할 수 있 다.

(4) 근로기간이 정해진 근로계 약은 최장 2년동안 가능하며 1 회에 한하여 최대 1년 연장이 가능하다.

(5) 위와 같이 근로기간이 정해 진 근로계약을 연장하고자 하는 사용자는, 계약종료 전 7일 이내 의 기간내에 이해관계자인 근로 자에게 서면으로 알려야 한다.

(6) 근로기간이 정해진 근로계 약의 갱신은 이전 근로계약 종료 후 최소 30일 이상이 지나야 하 고, 1회에 한하여 최장 2년이 가 능하다.

(7) 근로기간이 정해진 근로계 약이 제1항, 제2항, 제4항, 제5 항과 제6항의 규정을 따르지 아 니한다면 법적으로 근로계약의 기간은 정해지지 아니한 것이 된 다.

(8) 이 조에서 다루지 아니한 자세한 사항은 장관결정으로 정 한다.

제60조

(1) 근로기간을 정하지 아니한 근로계약은 수습기간을 최장 3 개월 정할 수 있다.

(2) 제1항의 수습기간에 사용자 는 최저임금 보다 낮은 급여를 지급할 수 없다.

제61조

(1) 근로계약은 다음 각호의 경 우 종료된다.

a. 근로자가 사망한 경우 b. 근로계약 기간이 만료된 경 우 c. 법원의 판결 및/또는 노동법 원의 판결이 법적 효력을 갖 는 경우 d. 근로계약, 사규 또는 단체협 약의 내용에 따라 근로관계가 종료될 수 있는 상황이 발생 하는 경우

(2) 근로계약은 사용자가 사망 하거나 매매, 상속 및 증여 등의 소유권자 이전으로 인하여 종료 되지 아니한다.

(3) 사용자의 소유권 이전이 발 생하는 경우 근로자의 권리에 대 한 책임은 새로운 사용자에게 있 다. 단, 소유권이전 계약시 근로 자의 권리를 축소하지 않고 별도 로 규정한 경우는 제외한다.

(4) 사용자가 사망하는 경우, 사 용자의 상속인은 근로자와의 합 의 후에 근로계약을 종료할 수 있다.

(5) 근로자가 사망하는 경우 근 로자의 상속인은 법적인 권리 또 는 근로계약, 사규, 단체협약에 서 보장하는 권리를 보장받는다.

제62조

근로자 또는 사용자측 중 일방이 근로계약서에 정해진 근로기간이 종료되기 이전에 근로관계를 종 료하거나 제61조제1항에 따른 이유가 아닌 이유로 근로관계를 종료하는 경우 상대측에게 근로 기간 종료 이전까지의 급여에 해 당하는 금액을 보상금으로 지급 해야 한다.

제63조

(1) 근로기간이 정해지지 아니 하는 근로계약을 구두로 한 경 우, 사용자는 해당 근로자에게 채용통지서를 발급해야할 의무가 있다.

(2) 제1항의 채용통지서에는 다 음 각 호의 내용을 모두 포함한 다.

a. 근로자의 성명 및 주소 b. 근로시작일 c. 업무내용 d. 급여

제64조

사용자는 일부 업무를 서면으로 작성한 도급계약 또는 인력서비 스계약을 통하여 다른 사용자에 게 위임할 수 있다.

제65조

(1) 일부 업무를 다른 사용자에 게 위임하는 것은 서면으로 작성 한 도급계약을 통하여 이루어진 다.

(2) 제1항의 다른 사용자에게 위임이 가능한 업무는 반드시 다 음 각 호의 조건을 모두 충족한 다.

a. 주요 업무와는 분리되어 진 행 b. 사용자로부터 직간접적으로 업무지시를 받음 c. 회사에 대한 전반적인 지원 활동 d. 생산과정을 직접적으로 방 해하지 아니하는 업무

(3) 제1항의 다른 사용자는 법 인형태이다.

(4) 제2항의 다른 사용자가 제 공하는 근로자의 업무환경과 조 건은 최소한 도급제공회사의 조 건과 같거나 현행법을 따른다.

(5) 제2항의 계약조건의 변경과 추가에 대한 사항은 장관령으로 정한다.

(6) 제1항의 업무를 위한 근로 관계는 도급사용자와 근로자간의 근로계약에서 서면으로 정한다.

(7) 제6항의 근로관계는 근로기 간을 정하지 아니한 계약 또는 제59조의 조건을 충족하는 경우, 근로기간을 정한 계약으로 이루 어질 수 있다.

(8) 제2항과 제3항의 사항을 충 족하지 못하는 경우, 법에 따라 근로자와 도급사용자간의 계약지 위는 근로자와 도급제공회사의 계약으로 변경된다.

(9) 제8항에 따라 도급제공회사 와의 계약으로 변경되는 경우, 근로자와 도급제공회사의 근로관 계는 제7항의 근로관계를 따른 다.

제66조

(1) 사용자는 인력서비스회사의 근로자를 보조업무 또는 생산과 정과 직접적인 관계가 없는 업무 를 제외하고, 주요업무 또는 생 산과정과 직접적으로 관계가 있 는 업무에 배치할 수 없다.

(2) 보조업무 또는 생산과정과 직접적인 관계가 없는 업무를 위 한 인력서비스제공은 다음 각 호 의 조건을 충족해야 한다.

a. 인력서비스회사와 근로자 사 이의 근로관계가 있어야 한다 b. 제a호에 따라 유효한 근로 관계의 근로계약은 근로기간 이 정해진 계약으로 제59조 의 내용을 충족하고/또는 근 로기간이 정해지지 아니한 계 약은 서면으로 작성되고 양측 의 서명이 있어야 한다. c. 급여와 복지, 근로조건 또는 분쟁에 대한 보호는 인력서비 스회사의 책임이다. d. 인력서비스 사용회사와 인 력서비스 제공회사의 계약은 서면으로 작성되고 이 법의 조항들을 반드시 포함하여야 한다.

(3) 인력서비스제공자는 노동기 관의 허가를 받은 법인이다

(4) 제1항, 제2항제a호, 제b호와 제d호 또는 제3항을 충족하지 못하는 경우, 법에 따라 근로자 와 인력서비스 회사의 계약지위 는 근로자와 도급제공회사의 계 약으로 변경된다.

제10장

보호, 임금 및 복지

제1부

보호

제1절

장애인

제67조

(1) 장애 인력을 고용하는 사용 자는 장애의 유형과 등급에 따른 보호를 제공할 의무가 있다.

(2) 제1항의 보호의 제공은 현 행 법령에 따라 실시한다.

제2절

아동

제68조

사용자는 아동을 고용할 수 없 다.

제69조

(1) 제68조의 규정은 13세에서 15세까지 아동의 성장과 신체적, 정신적, 사회적 건강을 해치지 않는 범위 내에서 경미한 업무를 실시하는 경우에는 예외로 할 수 있다.

(2) 제1항의 경미한 업무에 아 동을 고용하는 사용자는 다음 각 호의 조건을 반드시 충족하여야 한다.

a. 부모 또는 후견인의 서면 허 가 b. 부모 또는 후견인과 사용자 간의 계약 c. 최장 근로시간 3시간 d. 주간에만 실시하며 학업 시 간을 방해하지 않을 것 e. 작업 안전과 보건 f. 명확한 근로관계의 정립, 그 리고 g. 현행 규정에 따른 임금 수 령

(3) 제2항제a호, 제b호, 제f호 그리고 제g호는 가업에 종사하 는 아동에 대하여는 예외로 한 다.

제70조

(1) 아동은 권한 있는 담당자의 승인을 받은 근로장소에서 교육 이나 훈련 과정의 일부에 포함되 는 업무를 수행할 수 있다.

(2) 제1항의 아동은 적어도 14 세 이상이여야 한다.

(3) 제1항의 업무는 다음 각 호 를 조건으로 실시할 수 있다.

a. 업무 실시 방법에 관한 명확 한 지시와 지도, 그리고 업무 시 감독 제공 b. 작업 안전과 보건 보장

제71조

(1) 아동은 소질과 적성 개발을 위하여 업무를 수행할 수 있다.

(2) 제1항의 아동을 고용하는 사용자는 다음 각 호의 조건을 충족하여야 한다.

a. 부모 또는 후견인의 직접적 인 감독 b. 일일 최장 근무시간 3시간, 그리고 c. 신체, 정신, 사회적 발달과 학업 시간을 방해하지 않는 작업 조건과 환경

(3) 제1항과 제2항의 소질과 적 성의 개발을 위하여 업무를 수행 하는 아동에 관한 규정은 장관결 정으로 정한다.

제72조

아동이 성인 근로자와 함께 고용 되는 경우 아동의 작업장은 성인 근로자의 작업장과 분리되어야 한다.

제73조

별도의 반론이 있는 경우를 제외 하고 작업장 내의 아동은 근로한 것으로 간주한다.

제74조

(1) 누구든 아동을 열악한 업무 에 고용하거나 종사시키는 것이 금지된다.

(2) 제1항의 열악한 업무는 다 음 각 호를 포함한다,

a. 노예 형태의 모든 업무 또는 동종의 업무 b. 매춘, 포르노 제작, 포르노 출연, 또는 도박에 아동을 활 용, 제공 또는 알선하는 모든 업무 c. 술, 마약, 향정신제, 그리고 기타 중독물 등을 생산하고 판매에 아동을 활용, 제공, 또 는 종사시키는 모든 업무, 그 리고/또는 d. 아동의 건강, 안전, 또는 도덕을 위협하는 모든 업무

(3) 제2항제d호의 아동의 건강, 안전, 또는 도덕을 위협하는 업 무의 종류는 장관결정으로 정한 다.

제75조

(1) 정부는 고용관계 외에서 근 로하는 아동 문제 해결을 위하여 노력할 의무를 가진다.

(2) 제1항의 해결 노력은 정부 령으로 정한다.

제3절

여성

제76조

(1) 23:00에서 07:00 사이에는 18세 이하의 여성 근로자를 고 용하는 것이 금지된다.

(2) 사용지는 임신한 여성이 23:00에서 07:00 사이에 근로하 는 것이 태아와 본인의 건강과 안전에 위험하다는 의사 소견이 있는 임신한 여성 근로자를 고용 하는 것이 금지된다.

(3) 23:00에서 07:00 사이에 여 성 근로자를 고용하는 사용자는 다음 각 호의 의무가 있다.

a. 영양가 있는 음식과 음료의 제공 b. 근무장에 있는 동안 도덕과 안전의 유지

(4) 사용자는 23:00에서 05:00 사이에 출퇴근하는 여성 근로자 에게 교통수단을 제공할 의무가 있다.

(5) 제3항과 제4항의 규정은 장 관결정으로 정한다.

제4절

근로시간

제77조

(1) 모든 사용자는 근로시간 규 정을 이행할 의무가 있다.

(2) 제1항의 근로시간에는 다음 각 호를 포함한다.

a. 주 6일 근무 시 1일 7시간, 주 40시간, 또는 b. 주 5일 근무 시 1일 8시간 주 40시간

(3) 제2항의 근로시간은 특정 사업 분야 또는 업무에는 적용되 지 않는다.

(4) 제3항의 특정 사업 분야 또 는 업무는 장관결정으로 정한다.

제78조

(1) 제77조제2항의 근로시간을 초과하여 근로자를 근무하게 하 는 사용자는 다음 각 호의 조건 을 충족하여 한다.

a. 해당 근로자의 동의, 그리고 b. 시간외근무는 최대 1일 3시 간, 주 14시간 할 수 있다.

(2) 제1항의 근로시간을 초과하 여 근로자를 근무하게 하는 사용 자는 시간외근무수당을 지급하여 야 한다.

(3) 제1항b의 시간외근무 시간 규정은 특정 사업 분야 또는 업 무에는 적용되지 않는다.

(4) 제2항과 제3항의 시간외근 무 시간과 시간외근무수당은 장 관결정으로 정한다.

제79조

(1) 사용자는 근로자에게 휴게 시간과 휴일을 제공하여야 한다.

(2) 제1항의 휴게시간과 휴일에 는 다음 각 호를 포함한다.

a. 근로시간 사이의 휴식, 연속 하여 4시간 근무한 경우 최소 30분으로, 해당 휴게시간은 근로시간에 미포함 b. 주 6일 근무시 1일의 주휴 또는 주 5일 근무시 2일의 주휴 c. 연차, 당해 근로자가 12개월 을 연속하여 근무한 경우 최 소 12일, 그리고 d. 최소 2개월의 장기휴가, 동 일한 회사에서 6년 이상 근무 한 근로자의 경우 향후 2년 내에 연차 권리가 없다는 규 정과 매 6년이 지나면 유효하 다는 조건으로 7번째 해와 8 번째 해에 각각 1개월 실시

(3) 제2항제c호의 휴게시간 실 시는 근로계약, 사규, 또는 단체 협약으로 정한다.

(4) 제2항제d호의 장기휴가 권 리는 특정 회사에 근무하는 근로 자에게만 적용된다.

(5) 제4항의 특정 회사는 장관 결정으로 정한다.

제80조

사용자는 근로자에게 종교에 따 른 충분한 예배 기회를 제공할 의무가 있다.

제81조

(1) 생리 중인 여성 근로자가 생리통이 있고 사용자에게 통지 한 경우 생리 첫째 날과 둘째 날 에 근무할 의무가 없다.

(2) 제1항 규정의 실시는 근로 계약, 사규, 또는 단체협약으로 정한다

제82조

(1) 여성 근로자는 산부인과 의 사 또는 조산사의 계산에 따른 출산일 1.5개월 전과 출산 후 1.5개월의 휴가를 받을 수 있는 권리가 있다.

(2) 유산을 한 여성 근로자는 1.5개월의 휴가 또는 산부인과 의사나 조산사의 소견서에 따른 휴가를 취할 수 있다.

제83조

모유수유를 하는 아이가 있는 여 성 근로자가 근로시간 중에 수유 를 해야 하는 경우 적절한 기회 를 제공받아야 한다.

제84조

제79조제2항제b호, 제c호, 그리 고 제d호, 제80조, 제82조의 휴 가권을 사용하는 모든 근로자는 임금 전액을 받을 권리가 있다.

제85조

(1) 근로자는 공휴일 근무가 의 무는 아니다.

(2) 사용자는 해당 직업의 종류 와 특성상 반드시 실시되어야 하 거나 연속하여 이행되어야 하는 경우, 또는 근로자와 사용자 사 이의 동의에 기초로 한 다른 상 황이 있는 경우 공휴일에 근로자 를 근무하게 할 수 있다.

(3) 제2항의 공휴일에 근로자를 근무하게 하는 사용자는 시간외 근무수당을 지급하여야 한다.

(4) 제2항의 업무의 종류와 특 성은 장관결정으로 정한다. 제5절 근로 안전 및 보건

제5절

작업안전 및 보건

제86조

(1) 모든 근로자는 다음 각 호 와 같은 보호를 받을 권리가 있 다.

a. 작업 안전 및 보건 b. 도덕 및 미풍양속 c. 인간의 존엄과 품위, 그리고 종교적 가치에 상응하는 처우

(2) 최적의 근로 생산성 구현을 목적으로 근로자 안전 도모를 위 한 작업 안전 및 보건을 실시한 다.

(3) 제1항과 제2항의 보호는 현 행 법령에 따라 실시한다.

제87조

(1) 모든 회사는 회사 경영 시 스템과 연계된 통합된 작업 안전 과 보건 경영 시스템을 적용할 의무가 있다.

(2) 제1항의 작업 안전과 보건 경영 시스템의 적용에 관한 규정 은 정부령으로 정한다.

제2부

임금

제88조

(1) 모든 근로자는 인간의 적정 생계를 충족시킬 수 있는 소득을 획득할 권리가 있다.

(2) 제1항의 인간의 적정생계 충족을 위한 소득을 달성하기 위 하여 정부는 근로자를 보호하는 임금 정책을 수립한다.

(3) 제2항의 근로자를 보호하기 위한 임금 정책에는 다음 각 호 를 포함한다.

a. 최저임금 b. 초과 근로 수당 c. 장해로 인한 결근 시의 임금 d. 업무 외 그 밖의 활동으로 인한 결근 시의 임금 e. 근로 휴게권 실시에 따른 임금 f. 임금 지급 형태와 방법 g. 벌금 및 임금 공제 h. 임금으로 계산될 수 있는 사항들 i. 균형 잡힌 임금 구조와 규모 j. 퇴직금 지급 시의 임금 k. 소득세 계산 시의 임금

(4) 정부는 적정생계 및 경제 생산성과 성장을 고려하여 제3 항제a호의 최저임금을 정한다.

제89조

(1) 제88조제3항제a호의 최저임 금은 다음 각 호로 구성될 수 있 다.

a. 주 또는 군/시별 최저임금 b. 주 또는 군/시 업종별 최저 임금

(2) 제1항의 최저임금은 적정 생계 달성을 목표로 한다.

(3) 제1항의 최저임금은 주지사 가 주 그리고/또는 군/시임금위 원회의 추천을 고려하여 정한다.

(4) 제2항의 적정생계 달성 단 계의 구성과 이행은 장관결정으

제90조

(1) 사용자는 제89조의 최저임 금 이하의 임금 지급이 금지된 다.

(2) 제89조의 최저임금 지급 능 력이 없는 사용자는 지급을 연기 할 수 있다.

(3) 제2항의 연기는 장관결정으 로 정한다.

제91조

(1) 사용자와 근로자 또는 근로 자단체에서 합의하여 결정한 임 금 규정은 현행 법령에서 정한 임금 규정보다 더 낮을 수 없다.

(2) 제1항의 합의가 현행 법령 보다 더 낮거나 이에 반하는 경 우 해당 합의는 무효이며, 사용 자는 근로자에게 현행 법령에 따 른 임금을 지급할 의무가 있다.

제92조

(1) 사용자는 직군, 직책, 근속 기간, 학력, 그리고 능력을 고려 하여 임금의 구조와 규모를 정해 야 한다.

(2) 사용자는 회사 능력과 생산 성을 고려하여 주기적으로 임금 조정을 실시한다.

(3) 제1항의 임금 구조와 규모 에 관한 규정은 장관결정으로 정 한다.

제93조

(1) 근로자가 근로하지 않은 경 우 임금을 지급하지 아니한다.

(2) 제1항의 규정은 다음의 경 우 적용되지 않으며, 사용자는 임금을 지급할 의무가 있다.

a. 근로자가 질병으로 근로를 할 수 없는 경우 b. 여성 근로자가 생리통으로 인하여 생리 첫째 날과 둘째 날에 근로를 하지 못한 경우 c. 근로자의 결혼, 자녀의 결 혼, 할례, 세례, 아내의 출산 또는 유산, 남편, 아내, 자녀, 며느리/사위, 부모, 시/처가 부모 또는 일가 가족 구성원 이 사망한 경우 d. 근로자가 현재 국가 의무 수행으로 근로에 참여할 수 없는 경우 e. 근로자가 종교에서 명한 예 배에 참석하기 위하여 근로에 참여하지 못한 경우 f. 근로자가 계약한 대로 근로 를 하고자 하였으나 사용자 개인의 과실과 사용자의 회피 가능한 장애로 인하여 근로를 시키지 못한 경우 g. 근로자가 휴게권을 이행한 경우 h. 근로자가 사용자의 동의를 얻어 근로자조합의 업무를 수 행한 경우 i. 근로자가 사내 교육 임무를 수행하는 경우

(3) 제2항제a호의 근로자의 질 병 시에 지급하는 임금은 다음과 같다.

a. 첫 4개월은 임금의 100% b. 두 번째 4개월은 임금의 75% c. 세 번째 4개월은 임금의 50% d. 그 이후에는 사용자가 고용 을 해지하기 전까지 임금의 25%

(4) 제2항제c호의 사유로 근로 자가 출근하지 않은 경우에 지급 하는 임금은 다음과 같다.

a. 근로자의 결혼, 3일 간의 임 금 b. 자녀의 결혼, 2일 간의 임금 c. 자녀의 할례, 2일 간의 임 금 d. 자녀의 세례, 2일 간의 임금 e. 아내의 출산 또는 유산, 2일 간의 임금 f. 남편/아내, 부모, 시/처가 부 모, 자녀, 며느리/사위의 사 망, 2일 간의 임금 g. 일가 구성원의 사망, 1일 간 의 임금

(5) 제2항 규정의 실시는 고용 계약, 사규, 단체협약으로 정한 다.

제94조

임금은 기본급과 고정 수당으로 구성되며, 기본급은 기본급과 수 당의 합계의 최소 75% 이상이 어야 한다.

제95조

(1) 근로자가 고의 또는 태만으 로 금지행위를 한 경우에는 벌금 을 부과할 수 있다.

(2) 사용자의 고의 또는 태만으 로 임금의 지급이 연기된 경우 근로자의 임금에 따른 일정 비율 의 벌금이 부과된다.

(3) 정부는 임금 지급에 있어 사용자 그리고/또는 근로자에게 부과하는 벌금을 정할 수 있다.

(4) 회사가 현행 법령에 따라 파산 또는 청산되는 경우 근로자 의 임금과 기타 권리들은 우선 지급되어야 하는 채무가 된다.

제96조

근로자의 임금 지급 청구와 근로 관계에서 도출되는 모든 채권은 권리가 발생한 지 2년이 경과하 면 소멸한다.

제97조

제88조의 적정소득, 임금정책, 적정생계, 그리고 임금 보호, 제 89조의 최저임금 결정, 제95조 제1항, 제2항과 제3항의 벌금부 과에 관한 규정은 정부령으로 정 한다.

제98조

(1) 정부가 책정하는 임금정책 에 제언하고 이를 검토하며, 국 가 임금 체계를 발전시키기 위하 여 국가, 주, 그리고 군/시임금위 원회를 설립한다.

(2) 제1항의 임금위원회의 구성 원은 정부, 사용자 단체, 근로자 조합, 학자, 그리고 전문가로 구 성한다.

(3) 국가 차원의 임금위원회의 구성원은 대통령이 임면하고, 주, 군/시임금위원회는 주지사/군 장/시장이 임면한다.

(4) 제1항과 제2항의 설립 절 차, 구성원의 구성과 임면 절차, 그리고 임금위원회의 업무 및 업 무 절차는 대통령결정으로 정한 다.

제3부

복지

제99조

(1) 모든 근로자와 그 가족들은 근로자 사회보장 혜택을 받을 수 있다.

(2) 제1장의 근로자사회보장은 현행 법령에 따라 실시한다.

제100조

(1) 근로자와 그 가족들의 복지 증진을 위하여 사용자는 복지 편 의를 제공할 의무가 있다.

(2) 제1항의 복지 편의의 제공 은 근로자의 필요와 회사의 능력 을 고려하여 실시한다.

(3) 제1항의 근로자의 필요와 회사의 능력에 따른 편의의 종류 와 기준은 정부령으로 정한다.

제101조

(1) 근로자의 복지 향상을 위하 여 협동조합과 구내매점을 설립 한다.

(2) 정부, 사용자, 그리고 근로 자 또는 근로자 조합은 제1항의 근로자 협동조합과 구내매점의 발전을 위하여 노력한다.

(3) 제1항의 협동조합의 설립은 현행 법령에 따라 실시한다.

(4) 제2항의 근로자 협동조합의 발전을 위한 노력은 정부령으로 정한다.

제11장

노사관계

제1부

통칙

제102조

(1) 노사관계 운영에 있어 정부 는 정책 수립, 편의 제공, 감독 실시 및 노동 법령 규정 위반에 대한 조치를 취하는 기능을 한 다.

(2) 노사관계 운영에 있어 근로 자 및 노동조합은 의무에 따른 업무 수행, 생산 원활화를 위한 질서 유지, 민주적 절차에 따른 요구 전달, 기술 및 전문성 개 발, 회사 발전과 구성원 및 그 가족을 위한 복지를 위한 노력을 하는 기능을 한다.

(3) 노사관계 운영에 있어 사용 자와 사용자단체는 협력 도모, 사업 발전, 고용 확대 및 개방적 이고 민주적이며 공정한 근로자 복지 제공의 기능을 한다.

제103조

노사관계는 다음 각 호의 기구들 을 통하여 운영된다. a. 노동조합 b. 사용자단체 c. 노사협의회 d. 노사정협의회 e. 내규 f. 단체협약 g. 노동 법령 규정 h. 노사분쟁해결기구

제2부

노동조합

제104조

(1) 모든 근로자는 노동조합을 설립하고 그 조합원이 될 권리가 있다.

(2) 제102조의 기능을 수행함에 있어 노동조합은 재원을 모금하 고 관리할 권리가 있으며, 파업 기금을 포함한 조직의 재정에 대 하여 책임을 진다.

(3) 제2항의 파업 기금의 모금 액수와 절차는 관련 노동조합의 정관 그리고/또는 조합 예산으로 정한다.

제3부

사용자단체

제105조

(1) 모든 사용자는 사용자단체 를 설립하고 구성원이 될 권리가 있다.

(2) 사용자단체에 관한 규정은 현행 법령 규정에 따라 정한다.

제4부

노사협의회

제106조

(1) 50인 이상의 근로자를 고용 하는 모든 회사는 노사협의회를 설치할 의무가 있다.

(2) 제1항의 노사협의회는 회사 의 노동 사안에 관한 소통과 협 의체의 기능을 한다.

(3) 제2항의 노사협의회의 조직 구성은 해당 회사 근로자의 이익 을 대변하기 위하여 민주적으로 선출된 근로자로 구성된다.

(4) 제1항과 제3항의 노사협의 회 설립 절차와 조직구성에 관한 규정은 장관결정으로 정한다.

제5부

노사정협의회

제107조

(1) 노사정협의회는 노동 정책 수립과 문제 해결에 있어 정부와 관련 당사자에게 검토의견, 자 문, 의견을 제공한다.

(2) 제1항의 노사정협의회는 다 음 각 호로 구성된다.

a. 국가, 주, 그리고 군/시 노사 정협의회 b. 국가, 주, 그리고 군/시 업종 별 노사정협의회

(3) 노사정협의회의 구성원은 정부, 사용자단체 및 노동조합으 로 구성된다.

(4) 제1항의 노사정협의회의 조 직의 업무 절차 및 구성은 정부 령으로 정한다.

제6부

취업규칙

제108조

(1) 최소 10인 이상의 근로자를 고용하는 사용자는 취업규칙을 체결할 의무가 있으며, 해당 취 업규칙은 장관 또는 지정된 공무 원이 승인한 후에 발효된다.

(2) 제1항의 취업규칙 체결 의 무는 이미 단체협약을 체결한 회 사에는 적용되지 아니한다.

제109조

취업규칙은 해당 사용자가 작성 하고 사용자가 이에 책임을 진 다.

제110조

(1) 취업규칙은 회사 근로자 대 표의 제안과 의견을 고려하여 작 성한다.

(2) 해당 회사에 노동조합이 있 는 경우 노동조합의 임원이 제1 항의 근로자 대표가 된다.

(3) 해당 회사에 노동조합이 아 직 설립되지 아니한 경우 해당 회사 근로자의 이익을 대변하기 위하여 민주적 절차로 선출된 근 로자가 제1항의 근로자 대표가 된다.

제111조

(1) 취업규칙에는 최소한 다음 각 호의 사항이 포함되어야 한 다.

a. 사용자의 권리와 의무 b. 근로자의 권리와 의무 c. 근로 조건 d. 회사 규범 e. 취업규칙의 유효기간

(2) 취업규칙의 규정은 현행 법 령에 반할 수 없다.

(3) 취업규칙의 유효기간은 최 대 2년이며 유효기간이 종료되 면 의무적으로 갱신하여야 한다.

(4) 취업규칙의 유효기간 동안 회사의 노동조합이 단체협약 체 결 교섭을 희망하는 경우 사용자 는 이에 응할 의무가 있다.

(5) 제4항의 단체협약 체결 교 섭에서 합의에 달하지 못하는 경 우 취업규칙은 유효기간 까지 유 효하다.

제112조

(1) 제108조제1항의 장관 또는 지정된 공무원의 취업규칙 승인 은 취업규칙안을 수령한 날로부 터 근로일 기준 최대 30일 내에 승인하여야 한다.

(2) 취업규칙이 제111조제1항과 제2항의 규정에 부합하였으나 제1항의 근로일 기준 최대30일 이 경과하여도 장관 또는 지정된 공무원이 승인하지 않은 경우 해 당 취업규칙은 승인을 얻은 것으 로 간주한다.

(3) 취업규칙이 제111조제1항과 제2항의 조건을 충족시키지 못 한 경우 장관 또는 지정된 공무 원은 서면으로 취업규칙 수정에 관하여 사용자에게 통지하여야 한다.

(4) 사용자가 제3항의 통지를 받은 날로부터 늦어도 근로일 기 준 14일 이내에 사용자는 수정 한 취업규칙을 장관 또는 지정된 공무원에게 전달할 의무가 있다.

제113조

(1) 유효기간이 종료되기 전 취 업규칙의 변경은 사용자와 근로 자 대표의 합의를 기초로 하여서 만 실시할 수 있다.

(2) 제1항의 변경된 취업규칙은 장관 또는 지정된 공무원에게 승 인을 받아야 한다.

제114조

사용자는 근로자에게 내용을 통 지하고 설명하며 취업규칙안 또 는 변경 사항을 전달할 의무가 있다.

제115조

취업규칙의 체결 방법과 승인에 관한 규정은 장관결정으로 정한 다.

제7부

단체협약

제116조

(1) 단체협약은 노동 분야를 담 당하는 기관에 등록된 노동조합 또는 복수의 노동조합과 사용자 또는 복수의 사용자 간에 체결된 다.

(2) 제1항의 단체협약은 협의를 통해 작성된다.

(3) 제1항의 단체협약은 라틴 문자와 인도네시아어 문서로 체 결되어야 한다.

(4) 인도네시아어로 체결되지 아니한 단체협약은 공인 번역사 가 인도네시아어로 번역하여야 하며 해당 번역은 제3항의 규정 을 충족한 것으로 간주한다.

제117조

제116조제2항의 교섭에서 합의 에 도달하지 못한 경우 노사분쟁 해결 절차를 통해 해결한다.

제118조

회사의 전체 근로자에게 적용되 는 단체협약은 1개의 회사에 1 개만 체결할 수 있다.

제119조

(1) 1개의 회사에 1개의 노동조 합만 있고 해당 노동조합이 해당 회사 전체 근로자의 과반수인 경 우 사용자와 단체협약을 체결하 는 데 있어 근로자를 대표할 권 리를 가진다.

(2) 제1항의 1개의 회사에 1개 의 노동조합만 있지만 전체 근로 자의 과반수를 충족시키지 못한 노동조합은 투표를 통해 회사 전 체 근로자 과반수의 지지를 받은 경우 근로자를 대표하여 회사와 교섭할 수 있다.

(3) 제2항의 지지를 확보하지 못한 경우 해당 노동조합은 투표 가 있은 후 6개월이 경과한 후 제2항에 따라 단체협약의 교섭 을 다시 요청할 수 있다.

제120조

(1) 1개의 회사에 1개 이상의 노동조합이 있는 경우 사용자와 의 교섭권이 있는 노동조합은 해 당 회사 전체 근로자의 과반수가 조합원으로 있는 곳이다.

(2) 제1항의 규정이 충족되지 아니한 경우 노동조합은 사용자 와의 교섭에서 근로자를 대표하 기 위하여 연합하여 해당 회사 전체 근로자의 과반수를 확보할 수 있다.

(3) 제1항 또는 제2항의 규정이 충족되지 아니한 경우 노동조합 은 각각의 조합원을 기준으로 비 례하여 교섭단체를 구성할 수 있 다.

제121조

제119조와 제120조의 노동조합 원은 조합원증으로 증명된다.

제122조

제119조제2항의 투표는 근로자 대표와 노동조합 간부로 구성된 위원회에서 개최할 수 있으며 노 동 분야를 담당하는 공무원과 사 용자가 참관한다.

제123조

(1) 단체협약의 유효기간은 최 대 2년이다.

(2) 제1항의 단체협약은 사용자 와 노동조합 간의 서면합의를 기 초로 최대 1년 연장이 가능하다.

(3) 후속 단체협약 체결 교섭은 단체협약의 유효기간 종료 최소 3개월 전부터 시작할 수 있다.

(4) 제3항의 교섭에서 합의에 도달하지 못한 경우 현재 유효한 단체협약이 최대 1년간 계속하 여 적용된다.

제124조

(1) 단체협약에는 최소 다음 각 호의 사항이 포함되어야 한다.

a. 사용자의 권리와 의무 b. 노동조합과 근로자의 권리 와 의무 c. 단체협약 유효기간과 발효일 d. 단체협약 체결 당사자의 서 명

(2) 단체협약의 규정은 현행 법 령에 반할 수 없다.

(3) 단체협약의 내용이 제2항의 현행 법령에 반하는 경우 해당 위반 규정은 무효이며 현행 법령 규정이 적용된다.

제125조

양 당사자가 단체협약 변경에 합 의하는 경우 해당 변경은 현재 유효한 단체협약과 분리할 수 없 다.

제126조

(1) 사용자, 노동조합 그리고 근 로자는 단체협약의 규정을 이행 하여야 한다.

(2) 사용자와 노동조합은 단체 협약이나 변경 내용을 모든 근로 자에게 통지할 의무가 있다.

(3) 사용자는 회사의 비용으로 각 근로자에게 단체협약안을 인 쇄하여 배포하여야 한다.

제127조

(1) 사용자와 근로자 간에 체결 된 근로계약은 단체협약에 반할 수 없다.

(2) 제1항의 근로계약 규정이 단체협약에 반하는 경우 해당 근 로계약 내의 규정은 무효이며 단 체협약의 규정이 적용된다.

제128조

근로계약에 단체협약의 규정들이 포함되어 있지 아니한 경우에는 단체협약의 규정들이 적용된다.

제129조

(1) 사용자는 노동조합이 있는 회사의 단체협약을 취업규칙으로 교체할 수 없다.

(2) 회사에 더 이상 노동조합이 없고 단체협약이 취업규칙으로 교체되는 경우 취업규칙 내의 규 정은 단체협약 내의 규정보다 하 위여서는 아니된다.

제130조

(1) 유효기간이 이미 종료된 단 체협약의 경우 연장되거나 갱신 될 수 있으며, 해당 회사에 1개 의 노동조합만 있는 경우 단체협 약의 연장 또는 갱신은 제119조 의 규정을 조건으로 하지 아니한 다.

(2) 유효기간이 종료된 단체협 약은 연장이나 갱신될 수 있으 며, 해당 회사에 1개 이상의 노 동조합이 있고 이전에 협상하였 던 노동조합이 제120조제1항의 규정을 다시 충족시키지 못하는 경우 회사 전체 근로자의 과반수 인 노동조합과 함께 이전에 단체 협약을 체결한 노동조합원 수에 비례하여 교섭단체를 먼저 구성 한 후 사용자와 단체협약을 연장 하거나 갱신한다.

(3) 유효기간이 종료된 단체협 약의 경우 연장이나 갱신될 수 있으며, 해당 회사에 1개 이상의 노동조합이 있고 어떠한 노동조 합도 제120조제1항의 규정을 충 족시키지 못하는 경우 단체협약 의 연장과 갱신은 제120조제2항 과 제3항에 따라 실시된다.

제131조

(1) 노동조합이 해산되거나 회 사의 소유가 이전되는 경우의 단 체협약은 유효기간이 종료될 때 까지 계속하여 유효하다.

(2) 회사가 합병되거나 각각의 회사에 단체협약이 있는 경우 근 로자에게 더 이익을 주는 단체협 약이 적용된다.

(3) 단체협약이 있는 회사와 단 체협약이 없는 회사 간에 합병이 이루어지는 경우 해당 단체협약 은 유효기간이 종료될 때 까지 합병된 회사에도 적용된다.

제132조

(1) 단체협약은 해당 단체협약 에 별도의 규정을 정해놓지 아니 하면 서명을 한 날로부터 발효된 다.

(2) 단체협약을 체결한 당사자 가 서명한 단체협약은 노동 분야 를 담당하는 기관에 사용자가 등 록한다.

제133조

단체협약의 체결, 연장, 변경, 그 리고 등록에 관한 조건과 절차에 관한 규정은 장관결정으로 정한 다.

제134조

근로자와 사용자의 권리와 의무 의 이행을 구체화함에 있어 정부 는 노동법령을 감독하고 정립할 의무가 있다.

제135조

노사관계 구현을 위한 노동법령 의 이행은 근로자, 사용자, 그리 고 정부의 책임이다.

제8부

노동쟁의해결기구

제1절

노동쟁의

제136조

(1) 노동쟁의는 사용자와 근로 자 또는 노동조합이 합의를 위한 협상을 통하여 해결할 의무가 있 다.

(2) 제1항의 합의를 위한 협상 을 통하여 해결함에 있어 합의에 도달하지 못한 경우 사용자와 근 로자 또는 노동조합은 법에서 정 하는 노동쟁의 해결 절차를 통하 여 해결한다.

제2절

파업

제137조

근로자와 노동조합의 기본권인 파업은 협상 결렬에 따른 결과로 합법적, 질서적, 평화적으로 진 행된다.

제138조

(1) 파업이 진행되고 있는 도중 에 다른 근로자를 파업에 참여시 키고자 하는 근로자 그리고/또는 노동조합은 합법적으로 권유하여 야 한다.

(2) 제1항의 참여를 권유받은 근로자는 해당 권유에 응하거나 불응할 수 있다.

제139조

공익을 위하여 일하는 근로자 그 리고/또는 생명의 안전에 지장을 초래할 수 있는 회사에서 실시하 는 파업은 규정에 따라 진행하여 공공의 이익과 타인의 안전을 위 협하지 않도록 한다.

제140조

(1) 근로자와 노동조합이 파업 을 실시하고자 하는 경우에는 근 로일 기준 최소 7일 이내에 서 면으로 이를 사용자와 관할 노동 청에 통보할 의무가 있다.

(2) 제1항의 통보에는 최소한 다음 각 호의 사항을 포함하여야 한다.

a. 파업 시작 및 종료 시각(요 일, 날짜, 그리고 시간) b. 파업 장소 c. 파업 실시 사유 및 원인 d. 위원장과 사무장 그리고/또 는 파업의 책임자인 각각의 근로자/노동조합의 위원장과 사무장의 서명

(3) 노동조합원이 아닌 근로자 가 실시하는 파업의 경우 제2항 의 통보는 파업의 조정자 그리고 /또는 파업의 책임자인 근로자 대표가 서명한다.

(4) 제1항과 달리 실시되는 파 업의 경우 회사의 생산시설과 자 산을 보호하기 위하여 사용자는 다음 각 호의 어느 하나의 방법 으로 임시처분을 실시할 수 있 다.

a. 생산 현장에서의 근로자의 파업 금지 b. 필요한 경우 회사 내에서의 근로자의 파업 금지

제141조

(1) 제140조의 파업의 통보를 접수받은 정부 기관과 사측은 접 수증을 발급할 의무가 있다.

(2) 파업 실시 전과 파업이 진 행되는 동안 노동청은 파업의 원 인이 된 문제점을 찾고 분쟁 당 사자들과 협상하여 문제를 해결 할 의무가 있다.

(3) 제2항의 협상에서 합의에 도달하는 경우 당사자와 참관인 인 노동청 공무원이 서명한 공동 합의서를 작성하여야 한다.

(4) 제2항의 협상에서 합의에 도달하지 못한 경우 노동청 공무 원은 즉시 파업의 원인이 되는 문제를 권한 있는 노동쟁의해결 기구에 이관한다.

(5) 제4항의 합의에 도달하지 못한 협상의 경우 사용자와 노동 조합 또는 파업 책임자 간의 협 상을 기초로 파업을 지속하거나 일시 중지 또는 종료시킬 수 있 다.

제142조

(1) 제139조와 제140조의 규정 을 충족하지 아니하고 실시하는 파업은 불법적인 파업이다.

(2) 제1항의 불법적인 파업의 법적 조치는 장관결정으로 정한 다.

제143조

(1) 누구든지 합법적, 질서적, 평화적으로 실시하는 파업권을 사용하는 근로자와 노동조합을 방해할 수 없다.

(2) 누구든지 시행 법령에 따라 합법적, 질서적, 평화적으로 실 시하는 근로자와 노동조합의 간 부를 체포하거나 구금하여서는 아니 된다.

제144조

(1) 제140조의 규정에 따라 실 시하는 파업에 있어 사용자는 다 음 각 호의 사항을 하여서는 아 니 된다.

a. 파업하는 근로자를 회사 외부의 근로자로 대체하는 것, 또는 b. 파업 중 또는 이후 근로자와 노동조합의 간부에게 어떠한 형태의 징계나 보복 조치를 가하는 것

제145조

사용자의 위반이 명백하여 근로 자가 법적인 권리를 요구하기 위 하여 실시하는 파업의 경우 근로 자는 임금을 받을 권리가 있다.

제3절

직장폐쇄

제146조

(1) 직장폐쇄는 협상 결렬의 결 과로 근로자의 전체 또는 일부의 근로를 저지하기 위한 사용자의 기본권이다.

(2) 사용자가 근로자와 노동조 합의 요구와 관련하여 보복 조치 로 직장폐쇄를 하는 것은 허용되 지 아니한다.

(3) 직장폐쇄는 현행 법규에 따 라 실시되어야 한다.

제147조

병원, 상수도 서비스, 정보통신 운영국, 전기공급국, 석유 및 천 연가스 처리, 기차와 관련된 공 익 그리고/또는 업무의 종류가 생명의 안전에 지장을 초래하는 서비스를 제공하는 회사의 직장 폐쇄는 금지된다.

제148조

(1) 사용자가 직장폐쇄를 실시 하고자 하는 경우에는 근로일 기 준 최소 7일 이내에 서면으로 이를 근로자 또는 노동조합과 관 할 노동청에 통보할 의무가 있 다.

(2) 제1항의 통보에는 최소한 다음 각 호의 사항이 포함된다.

a. 직장폐쇄 시작 및 종료 시각 (요일, 날짜 및 시간) b. 직장폐쇄의 사유 및 원인

(3) 제1항의 통보는 사용자 그 리고/또는 해당 회사의 대표가 서명한다.

제149조

(1) 제148조의 직장폐쇄의 통보 를 받은 근로자 또는 노동조합과 노동청은 접수 요일, 날짜 그리 고 시간을 기재한 접수증을 발급 하여야 한다.

(2) 직장폐쇄 이전과 폐쇄 동안 노동청은 당사자 측과 만나 협상 을 통해 직장폐쇄의 원인이 되는 문제를 직접적으로 해결할 권한 이 있다.

(3) 제2항의 협상에서 합의에 도달하는 경우 당사자와 참관인 인 노동청 공무원이 서명한 공동 합의서를 작성하여야 한다.

(4) 제2항의 협상에서 합의에 도달하지 못한 경우 노동청 공무 원은 즉시 직장폐쇄의 문제를 노 동쟁의해결기구에 이관한다.

(5) 제4항의 협상이 결렬된 경 우 사용자와 노동조합 간의 협상 을 기초로 직장폐쇄를 지속하거 나 일시 정지 또는 종료할 수 있 다.

(6) 제148조제1항과 제2항의 통 보는 다음 각 호의 경우에는 요 구되지 아니한다.

a. 근로자 또는 노동조합이 제 140조의 파업 절차를 위반한 경우 b. 근로자 또는 노동조합이 고 용계약서, 사규, 단체협약 또 는 현행 법령 규정상의 규범 을 위반한 경우

제12장

근로관계종료

제150조

이 법의 근로관계종료에 관한 내 용은 법인이나 비법인 사업체로, 소유주가 개인, 조합, 또는 법인 이고 소유형태는 민영뿐만 아니 라 국영기업, 사회적 기업과 그 밖의 사업체로 임금 또는 다른 형태의 대가를 지급받는 자를 고 용한 사업체에 적용된다.

제151조

(1) 사용자, 근로자, 근로자조합/ 노동조합과 정부는 모두 근로관 계가 종료되지 않도록 노력해야 한다.

(2) 모두의 노력에도 불구하고 근로관계종료가 불가피한 경우, 근로관계종료는 반드시 사용자와 근로자조합/노동조합, 또는 근로 자조합/노동조합의 회원이 아닌 경우에는 근로자와 협의해야 한 다.

(3) 제2항의 협의가 합의에 이 르지 못하는 경우에 사용자는 노 동분쟁해결기구의 결정 이후에 근로자와의 근로관계를 종료할 수 있다.

제152조

(1) 근로관계종료결정 요청서는 서면으로 작성하여 노동분쟁해결 기구에 이유와 함께 제출되어야 한다.

(2) 제1항의 결정요청서는 노동 분쟁해결기구가 제151조제2항에 따른 협의과정 이후에 받아들인 다.

(3) 결정요청서에 따른 결정은 노동분쟁해결기구가 협의 이후에 근로관계종료에 대한 협의가 합 의에 이르지 못했을 때에만 내릴 수 있다.

제153조

(1) 사용자는 다음 각 호의 이 유로 근로관계를 종료해서는 안 된다.

a. 근로자가 의사의 진단을 받 은 질병으로 인해 12개월을 넘지 않는 기간동안 지속해서 근무하지 못하는 문제가 발생 한 경우 b. 근로자가 현행법에 따라 국 가에 대한 의무를 수행하기 위하여 업무를 이행하지 못하 는 문제가 발생한 경우 c. 근로자가 종교에 따른 예배 를 수행하는 경우 d. 근로자가 결혼하는 경우 e. 여성근로자가 임신, 출산, 유산 또는 수유를 하는 경우 f. 근로계약서, 사규, 단체협약 에 명시된 경우를 제외하고 사내에서 다른 근로자와 혈연 관계, 혼인관계가 있는 경우 g. 근로자가 근로/노동조합을 결성하고 구성원 또는/그리고 관리자가 되어 근무외 시간과 사용자의 동의 하에 또는 근 로계약, 사규와 단체협약의 규정에 따라 근무시간에 조합 활동을 하는 경우 h. 근로자가 형사상의 범죄를 저지른 사용자를 관련기관에 신고한 경우 i. 이해관계의 차이, 종교, 정치 성향, 민족, 피부색, 계층, 성 별, 신체능력 또는 혼인여부 로 인한 차이가 있는 경우 j. 근로자가 업무상 재해로인한 고정장애, 질병 또는 의사의 진단에 따라 회복기간이 확실 하지 아니한 경우

(2) 제1항에 따른 이유로 근로 관계가 종료된 경우 법적으로 무 효이며 사용자는 반드시 해당 근 로자를 복직시켜야 한다.

제154조

제151조제3항의 결정은 다음 각 호의 경우 필요하지 아니하 다. a. 근로자가 수습기간이고 사전 에 서면으로 정한 경우 b. 근로자가 사용자의 압력이 나 강요 없이 사직서를 제출 한 경우, 근로계약서에 따른 계약기간이 종료된 경우 c. 근로자가 근로계약, 사규와 단체협약 또는 관련 법령에 따라 퇴직연령이 된 경우 d. 근로자가 사망한 경우

제155조

(1) 제151조제3항에 근거하지 아니한 근로관계종료는 법적으로 무효다.

(2) 노동분쟁해결기구의 결정전 까지 사용자뿐만 아니라 근로자 는 모든 의무를 이행하여야 한 다.

(3) 사용자는 정직과 같은 제2 항의 예외를 적용할 수 있고, 근 로관계종료절차에 있는 근로자에 게 임금과 일반적으로 지급해야 하는 그 밖의 권리에 대한 대가 를 지불해야 하는 의무가 있다.

제156조

(1) 근로관계종료시 사용자는 반드시 해고수당과 근속수당 및 손해보상금을 지급하여야 한다.

(2) 제1항의 해고수당에 대한 계산은 다음과 같이한다.

a. 1년 미만 기간 근로, 1개월 급여 b. 1년 이상 2년 미만 기간 근 로, 2개월 급여 c. 2년 이상 3년 미만 기간 근 로, 3개월 급여 d. 3년 이상 4년 미만 기간 근 로, 4개월 급여 e. 4년 이상 5년 미만 기간 근 로, 5개월 급여 f. 5년 이상 6년 미만 기간 근 로, 6개월 급여 g. 6년 이상 7년 미만 기간 근 로, 7개월 급여 h. 7년 이상 8년 미만 기간 근 로, 8개월 급여 i. 8년 이상 9년 미만 기간 근 로, 9개월 급여

(3) 제1항의 근속수당에 대한 계산은 다음과 같다.

a. 3년 이상 6년 미만의 기간 근로, 2개월 급여 b. 6년 이상 9년 미만의 기간 근로, 3개월 급여 c. 9년 이상 12년 미만의 기간 근로, 4개월 급여 d. 12년 이상 15년 미만의 기 간 근로, 5개월 급여 e. 15년 이상 18년 미만의 기 간 근로, 6개월 급여 f. 18년 이상 21년 미만의 기 간 근로, 7개월 급여 g. 21년 이상 24년 미만의 기 간 근로, 8개월 급여 h. 24년 이상의 기간 근로, 10 개월 급여

(4) 제1항의 반드시 지급되어야 하는 손해보상금은 다음 각 호를 모두 포함한다.

a. 연차휴가 미사용에 대한 보 상금 b. 근로자와 가족의 근무지 이 동비용 c. 조건 충족시 퇴직수당 또는 근속수당 15%의 거주지이동 비용 및 의료비 d. 근로계약, 사규와 단체협약 에 명시된 사항

(5) 제2항, 제3항, 제4항의 퇴직 수당, 근속수당과 손해보상금 계 산방법의 변경은 정부령으로 정 한다.

제157조

(1) 해고수당, 근속수당 및 손해 보상금 산정근거의 구성요소는 다음 각 호를 포함한다.

a. 기본급 b. 근로자와 그 가족에게 지급 되는 모든 형태의 지원금, 근 로자에게 무료로 지급되는 물 품의 가격을 말하며, 물품가 격의 일정 부분을 보조금으로 지불하는 형태일 때, 급여로 간주되는 부분은 회사의 물품 구입가격과 근로자가 지불하 는 금액의 차이가 된다.

(2) 근로자의 수입이 일용직 급 여 산정에 근거하는 경우 1개월 의 소득은 1일 소득의 30배이 다.

(3) 근로자의 급여가 도급, 중개 수수료에 근거한 산정방식을 따 르는 경우 1일 급여 산정방법은 최근 12개월 급여의 하루 평균 이며 지방 주, 시, 군의 최저임 금보다 낮지 아니하다.

(4) 날씨의 영향을 많이 받고 도급에 근거한 산정방식을 따르 는 경우, 1개월 급여의 산정방법 은 최근 12개월 급여의 월평균 을 말한다.

제158조

(1) 사용자는 다음 각 호에 해 당하는 중대한 위법행위를 한 근 로자에 대하여 근로관계를 종료 할 수 있다.

a. 사기, 절도, 회사소유의 물 품 그리고/또는 금전 횡령행 위 b. 거짓 또는 허위증명서로 회 사에 손해를 끼치는 행위 c. 업무 장소 내에서의 음주, 마약복용 및 공급, 향정신성 약품복용과 기타 약물중독 d. 업무장소 내에서의 도박 등 위법행위 e. 사용자 또는 동료 근로자를 공격, 협박 및 위협하는 행위 f. 사용자 또는 동료 근로자를 기만하는 불법행위 g. 사용자 소유의 물품을 고의 적으로 훼손 및 위험에 처하 게 하여 손해를 초래하는 행 위 h. 동료 또는 사용자를 근로장 소 내에서 부주의 또는 고의 적으로 위험한 상황에 처하게 하는 행위 i. 회사의 기밀사항을 누설하는 행위, 단 국가의 이익을 위한 경우는 제외 j. 회사 내에서의 위법행위로 5 년 이상의 징역에 처하게 되 는 경우

(2) 다음 각 호의 증거가 존재 하는 경우, 제1항에 따른 중대한 위법행위가 된다.

a. 근로자가 현행범으로 체포되 는 경우 b. 관련 있는 근로자의 자백이 있는 경우 c. 최소 두 명 이상의 관련 있 는 목격자가 있고 회사 내 권 한을 가진 자가 작성한 사건 보고서 형식의 증거가 있는 경우

(3) 제1항에 따라 근로관계가 종료된 근로자는 제156조제4항 의 손해배상금을 받을 수 있다.

(4) 직접적으로 사용자의 중요 한 기능 및 업무를 대표하지 않 는 제1항의 근로자는 제156조제 4항의 손해배상금 외에도 근로 계약, 사규 및 단체협의에서 정 한 자진퇴사급여를 받을 수 있 다.

제159조

근로자가 제158조제1항에 따른 근로관계종료를 수용하지 못하는 경우 관계된 근로자는 노동분쟁 해결기구에 소송을 제기할 수 있 다.

제160조

(1) 근로자가 사용자의 고소가 아닌 사유로 형사절차를 밟고 있 는 경우 사용자는 급여를 지급할 의무가 없지만 근로자의 가족에 게 보조금을 지급하여야 하며 다 음 각 호를 따른다.

a. 부양가족 1인: 급여의 25% b. 부양가족 2인: 급여의 35% c. 부양가족 3인: 급여의 45% d. 부양가족 4인: 급여의 50%

(2) 제1항의 보조금은 근로자가 구속된 첫날부터 최대 6개월간 지급되어야 한다.

(3) 사용자는 제1항의 형사절차 때문에 업무를 수행할 수 없게 된 지 6개월이 지난 근로자에 대하여 근로관계를 종료할 수 있 다.

(4) 제3항의 6개월의 기간이 지 나기 이전에 형사절차가 종료되 고 잘못이 없는 것으로 밝혀진 경우 근로자는 복직되어야 한다.

(5) 6개월이 지나기 이전에 형사 절차가 종료되고 근로자의 잘못 이 밝혀진 경우 사용자는 관련 있는 근로자와 근로관계를 종료 할 수 있다.

(6) 제3항과 제5항의 근로관계 종료는 노동분쟁해결기구의 결정 없이 가능하다.

(7) 제3항과 제5항의 근로관계 종료절차를 따른 사용자는 반드 시 제156조제3항에 따른 근속수 당의 1배와 제156조제4항의 손 해보상금을 지급해야 하는 의무 가 있다.

제161조

(1) 근로자가 근로계약, 사규 및 단체협약을 위반하는 경우 관련 있는 근로자자에게 제1차, 제2 차, 제3차 경고장을 순차적으로 보낸 후에, 사용자는 근로관계를 종료할 수 있다.

(2) 제1항의 모든 경고장은 최 대 6개월 동안 유효하며 근로계 약, 사규 및 단체협약에서 정한 내용은 제외한다.

(3) 제1항의 사유로 근로관계가 종료된 근로자는 제156조제2항 의 퇴직수당의 1배, 제156조제3 항의 근속수당의 1배, 제156조 제4항의 손해보상금을 받을 수 있다.

제162조

(1) 자진퇴사하는 근로자는 제 156조제4항의 손해보상금을 받 을 수 있다.

(2) 직접적으로 사용자의 중요 한 기능 및 업무를 대표하지 아 니하는 근로자는 제156조제4항 의 손해보상금 외에 근로계약, 사규 및 단체협약에서 정하는 액 수의 자진퇴사급여를 받을 수 있 다.

(3) 제1항의 자신의 의사로 퇴 사하는 근로자는 다음 조건 각 호를 모두 포함한다.

a. 퇴사일로부터 최소 30일 전 까지 서면으로 작성한 사직서 를 제출하여야 한다 b. 의무계약기간에 제한되지 아니하여야 한다 c. 퇴사일까지 의무를 수행해야 한다

(4) 자진퇴사로 근로관계가 종 료되는 경우는 노동분쟁해결기구 의 결정 없이 가능하다.

제163조

(1) 사용자는 회사의 형태변경, 합병, 인수합병 및 소유주변경으 로 근로자가 근로관계유지를 원 하지 아니하는 경우 근로관계를 종료할 수 있으며, 근로자는 제 156조제2항의 퇴직수당의 1배, 제156조제3항의 근속수당의 1 배, 제156조제4항의 손해보상금 을 받을 수 있다.

(2) 사용자는 회사의 형태변경, 합병, 인수합병 및 소유주변경과 근로자를 사용자가 수용할 수 없 는 경우 근로자는 제156조제2항 의 퇴직수당의 2배, 제156조제3 항의 근속수당의 1배, 제156조 제4항의 손해보상금을 받을 수 있다.

제164조

(1) 사용자는 회사가 2년 동안 지속하여 손해를 겪고 불가항력 적 사유로 인하여 폐업하는 경우 근로자와 근로관계를 종료할 수 있으며 근로자는 제156조제2항 의 퇴직수당의 1배, 제156조제3 항의 근속수당의 1배, 제156조 제4항의 손해보상금을 받을 수 있다.

(2) 제1항의 회사의 손해는 최 근 2년 동안의 공인회계사의 감 사 보고서로 증명되어야 한다.

(3) 사용자는 회사가 2년 동안 지속하여 손해를 겪지 아니하고 불가항력적 사유가 있지 아니하 는 상황으로 폐업하는 경우 근로 자와 근로관계를 종료할 수 있으 며 근로자는 제156조제2항의 퇴 직수당의 2배, 제156조제3항의 근속수당의 1배, 제156조제4항 의 손해보상금을 받을 수 있다.

제165조

사용자는 회사가 파산하는 경우 근로자와 근로관계를 종료할 수 있으며 근로자는 제156조제2항 의 퇴직수당의 1배, 제156조제3 항의 근속수당의 1배, 제156조 제4항의 손해보상금을 받을 수 있다.

제166조

근로자가 사망하는 경우 근로관 계는 종료되며 근로자의 상속인 이 제156조제2항의 퇴직수당의 2배, 제156조제3항의 근속수당 의 1배, 제156조제4항의 손해보 상금을 받을 수 있다.

제167조

(1) 사용자는 정년이 된 근로자 와 근로관계를 종료할 수 있고 사용자가 근로자를 연금제도에 가입시켜 비용을 부담한 경우, 근로자는 제156조제2항의 해고 수당, 제156조제3항의 근속수당 에 대하여 권리가 없고, 제156 조제4항의 손해배상금에 대한 권리가 있다.

(2) 연금제도가 일시불로 지급 하는 보장과 이익이 제156조제2 항에 따른 해고수당의 2배, 제 156조제3항에 따른 근속수당의 1배, 제156조제4항에 따른 손해 배상액 이하인 경우, 사용자는 차액을 지급한다.

(3) 사용자와 근로자가 공동으 로 비용을 부담하는 연금에 근로 자가 가입된 경우, 해고수당 계 산금액은 사용자가 부담한 연금 비용과 같다.

(4) 제1항, 제2항, 제3항의 규정 은 근로계약, 사규 또는 단체협 약으로 정할 수 있다.

(5) 정년으로 근로관계가 종료 된 근로자에 대하여 사용자가 연 금제도에 가입시키지 않은 경우 사용자는 반드시 근로자에게 제 156조제2항에 따른 해고수당의 2배, 제156조제3항에 따른 근속 수당의 1배, 제156조제4항에 따 른 손해배상액을 지급해야 한다.

(6) 제1항, 제2항, 제3항, 제4항 에 따른 연금이익에 대한 권리는 법률로서 보장되는 근로자의 의 무노후보장에 대한 권리를 상실 시키지 아니한다.

제168조

(1) 사용자의 2회 이상의 요청 에도 불구하고, 근로자가 5일 또 는 그 이상의 기간동안 효력이 있는 증거과 함께 서면으로 증명 하지 아니하고 결근하는 경우, 자진퇴사요건에 해당되어 근로관 계가 종료될 수 있다.

(2) 제1항의 효력이 있는 증거 와 서면 증명은 늦어도 근로자의 출근 첫 날 제출되어야 한다.

(3) 제1항에 따른 근로관계종료 와 해당 근로자는 제156조제4항 의 손해배상액을 받을 권리가 있 고 분담금의 액수와 시행에 대한 내용은 근로계약, 사규 또는 단 체협약에서 정한다.

제169조

(1) 근로자는 다음 각 호의 모 든 사용자의 행위에 대하여 노동 분쟁해결기구에 근로관계종료 요 청을 제기할 수 있다.

a. 괴롭힘, 모욕 또는 근로자를 위협하는 행위 b. 근로자가 위법행위를 하도 록 유도하거나 명령하는 행위 c. 정해진 급여일에서 3개월 또는 그 이상의 기간이 지났 으나 급여를 지급하지 아니하 는 행위 d. 근로자와 계약한 의무사항 을 이행하지 아니하는 행위 e. 계약내용 이외의 업무를 근 로자에게 지시하는 행위 f. 계약에 포함되지 아니하고 근로자의 정신, 안전, 건강, 윤리를 해치는 업무를 부여하 는 행위

(2) 제1항의 사유로 근로계약이 종료된 근로자는제156조제2항에 따른 해고수당의 2배, 제156조 제3항에 따른 근속수당의 1배, 제156조제4항에 따른 손해배상 액을 받을 권리가 있다.

(3) 노동분쟁해결기구에서 사용 자의 행위가 제1항에 해당하지 아니하다고 결정한 경우, 사용자 는 해당 근로자와 근로계약을 종 료할 수 있고 해당 근로자는 제 156조제2항의 해고수당과 제 156조제3항의 근속수당에 대한 권리가 없다.

제170조

제158조제1항, 제160조제3항, 제162조, 제169조에 해당하는 경우를 제외하고 제151조제3항, 제168조의 규정을 충족하지 아 니하는 근로관계종료는 법적으로 무효이며 사용자는 해당 근로자 를 고용하고 전체급여와 권리가 있는 내용을 모두 보장해야 한 다.

제171조

노동분쟁해결기구의 결정 없이 근로관계가 종료된 근로자는 제 158조제1항, 제160조제3항과 제 2항, 제162조에 따른 권리가 있 고, 해당 근로자가 근로관계종료 를 수용할 수 없는 경우 근로관 계가 종료된 날로부터 1년 이내 에 노동분쟁해결기구에 소송을 제기할 수 있다

제172조

근로자가 장기투병, 업무상재해 로 인한 장애로 업무를 12개월 이상 수행 할 수 없는 경우 근로 관계종료를 요청할 수 있고 제 156조제2항 해고수당의 2배, 제 156조제3항 근속수당의 2배, 제 156조제4항 손해배상액의 1배에 해당하는 금액을 수령할 수 있 다

제13장

발전

제173조

(1) 정부는 노동 관련 요소들과 활동을 개선해야한다.

(2) 제1항의 개선에는 기업과 노동조합과 유관 직업단체가 참 여할 수 있다.

(3) 제1항과 제2항의 개선은 통 합 및 조정하여 수행된다.

제174조

노동령, 정부, 기업조직, 근로자 회사와 관련 직능단체는 현행법 에 따라 노동분야의 국제협력을 수행할 수 있다.

제175조

(1) 정부는 노동분야 개선에 공 헌한 개인 또는 단체에 포상할 수 있다.

(2) 제1항의 포상은 표창, 금전 그리고/또는 기타 형태로 수여할 수 있다.

제14장

감독

제176조

자격을 갖추고 노동관련 법령에 서 보장하는 독립성을 가진 근로 감독관이 근로감독을 수행한다.

제177조

제176조의 근로감독관은 장관 또는 권한을 위임받은 자가 정한 다.

제178조

(1) 근로감독은 중앙정부, 주정 부, 군/시정부 기관 근로감독조 의 노동분야 업무범위와 책임 내 에서 수행한다.

(2) 제1항의 근로감독은 대통령 결정으로 정한다.

제179조

(1) 제178조의 주정부, 군/시정 부의 근로감독조는 반드시 장관 에게 근로감독 보고서를 제출해 야 한다.

(2) 제1항의 보고서 제출 방법 은 장관결정으로 정한다.

제180조

제176조의 근로감독관 지정요 건, 권리, 의무 및 권한에 대한 규정은 현행법을 따른다.

제181조

제176조에 따른 근로감독관의 업무수행은 다음 각호를 반드시 지킨다. a. 기밀로 지켜야 하는 모든 것 에 대한 기밀유지 b. 권한남용 금지

제15장

수사

제182조

(1) 인도네시아 공화국 경찰 수 사관 이외에, 현행법에 따라 근 로감독관에게 인도네시아 공무원 의 특별수사관 권한을 부여할 수 있다.

(2) 제1항의 인도네시아 특별수 사관의 권한은 다음 각호와 같 다.

a. 노동분야 형사조치에 관한 보고서의 충실성 및 증거에 대한 조사를 수행 b. 노동분야 형사조치가 예상 되는 자에 대한 조사 수행 c. 노동분야 형사조치와 관련된 자 또는 법인으로부터 증거와 증거품 요청 d. 노동분야 형사소송의 조사 수행 또는 압류품 및 증거품 수집 e. 노동분야 형사조치 관련 서 신 그리고/또는 기타서류에 대한 조사수행 f. 형사조치 수사업무 수행계획 에 대한 전문인력 요청 g. 노동분야 형사조치와 관련 하여 증명할 수 있는 증거가 충분하지 아니한 경우 수사정 지/보류

(3) 제2항의 수사관 권한은 현 행법에 따른다.

제16장

형사규정 및 행정제재

제1부

형사규정

제183조

(1) 제74조를 위반한 자는 2년 이상 5년 이하의 징역 그리고/또 는 최소 200,000,000 루피아(이 억 루피아) 최대 500,000,000 루피아(오억 루피아)의 벌금에 처한다.

(2) 제1항의 형사조치는 형사법 상 범죄행위에 따른 것이다.

제184조

(1) 제167조제5항을 위반한 자 는 1년 이상 5년 이하의 징역 그리고/또는 최소 100,000,000 루피아(일억 루피아) 최대 500,000,0000 루피아(오억 루피 아)의 벌금에 처한다.

(2) 제1항의 형사조치는 형사법 상 범죄행위에 따른 것이다.

제185조

(1) 제42조제1항과 제2항, 제68 조, 제69조제2항, 제80조, 제82 조, 제90조제1항, 제143조와 제 160조제4항과 제7항을 위반한 자는 1년 이상 4년 이하의 징역 그리고/또는 최소 100,000,000 루피아(일억 루피아) 최대 400,000,000 루피아(사억 루피 아)의 벌금에 처한다.

(2) 제1항의 형사조치는 형사법 상 범죄행위에 따른 것이다.

제186조

(1) 제35조제2항과 제3항, 제93 조제2항, 제137조, 제138조제1 항을 위반한 자는 1년 이상 4년 이하의 징역 그리고/또는 최소 100,000,000 루피아(일억 루피 아) 최대 400,000,000 루피아 (사억 루피아)의 벌금형에 처한 다.

(2) 제1항의 형사조치는 형사법 상 범죄행위에 따른 것이다.

제187조

(1) 제37조제2항, 제44조제1항, 제45조제1항, 제67조제1항, 제 71조제2항, 제76조, 제78조제2 항, 제79조제1항과 제2항, 제85 조제3항과 제144조를 위반한 자 는 1개월 이상 12개월 이하의 징역 그리고/또는 최소 10,000,000 루피아 (일천만 루 피아) 최대 100,000,000 루피아 (일억 루피아) 벌금에 처한다.

(2) 제1항에 따른 형사조치는 형사법 위반에 따른 조치이다.

제188조

(1) 제14조제2항, 제38조제2항, 제63조제1항, 제78조제1항, 제 108조제1항, 제111조제3항, 제 114조와 제148조를 위반한 자는 최소 5,000,000 루피아(오백만 루피아) 최대 50,000,000 루피 아 (오천만 루피아)의 과태료를 부과한다.

(2) 제1항에 따른 형사조치는 형사법 위반에 따른 조치이다.

제189조

징역, 구치소 수감 그리고/또는 벌금은 사용자의 근로자에 대한 권리 그리고/또는 손해보상금의 지급에 대한 의무를 상실시키지 아니한다.

제2부

행정제재

제190조

(1) 장관 또는 권한을 위임받은 자는, 이 법의 제5조, 제6조, 제 15조, 제25조, 제38조제2항, 제 45조제1항, 제47조제1항, 제48 조, 제87조, 제106조, 제126조 제3항과 제160조제1항과 제2항 또는 법령수행의 규정위반에 대 하여 행정제재를 가한다.

(2) 제1항의 행정제재는 다음 각 호와 같다.

a. 권고 b. 서면경고 c. 기업활동 제한 d. 기업활동 동결 e. 허가취소 f. 등록취소 g. 생산설비 전부 또는 일부 일시정지

(3) 제1항과 제2항의 행정제재 에 대한 규정은 장관이 상세히 정한다.

제17장

경과규정

제191조

노동관련 모든 규정은 이 법에 반하지 아니하고/또는 이 법이 개정되지 아니하는 한 유효하다.

제18장

종결규정

제192조

(1) 이 법의 효력이 시작됨에 따라 다음 각 호는 더 이상 유효 하지 아니하다.

1. 「인도네시아 국외 근로를 위한 인도네시아인 모집 명 령」(관보 1887년 제8호) 2. 「여성과 아동 야간근로 규 제에 관한 1925년 12월 17 일 명령」(관보 1925년 제 647호) 3. 「아동 및 청년의 선상근로 에 관한 1926년 명령」(관보 1926년 제87호) 4. 「근로자 후보 채용활동에 관한 1936년 5월4일 명령」 (관보 1936년 제208호) 5. 「인도네시아 국외에서 채 용 또는 모집된 근로자 귀환 조치에 관한 명령」(관보 1939년 제545호) 6. 「아동 근로제한에 관한 명 령 1949년 제9호」(관보 1949년 제8호)

(2) 「노동법 1948년 제12호시 행에 관한 법률 1951년 제1호」 (관보 1951년 제2호)

(3) 「사용자와 근로자 간의 계 약변경에 관한 법률 1954년 제 21호」(관보 1954년 제69호, 추 가관보 제598a호)

(4) 「외국인력 배치에 관한 법 률 1958년 제3호」(관보 1958 년 제8호)

(5) 「학사 의무근로에 관한 법 률 1961년 제8호」(관보 1961 년 제207호, 추가관보 1961년 제207호)

(6) 「중요 회사, 부서, 기관의 파업 및 직장폐쇄 금지에 관한 법률 1963년 제7호」(관보 1963년 제67호)

(7) 「노동인력 주요규정에 관 한 법률 1969년 제14호」(관보 1969년 제55호, 추가관보 제 2912호)

(8) 「노동법 1997년 제25호」 (관보 1997년 제13호, 추가관보 제3702호)

(9) 「노동법 1997년 제25호 개정에 관한 법률 1998년 제11 호」(관보 1998년 제184호, 추 가관보 3791호)

(10) 「노동법 1997년제 25호 개정에 관한 법률대체정부령 2000년 제3호에 관한 2000년 제28호 법률」(관보 2000년 제 240호, 추가관보 제4042호)은 더 이상 유효하지 아니하다.

제193조

이 법은 제정된 날부터 효력이 발생한다.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 25 Maret 2003 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 25 Maret 2003 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, BAMBANG KESOWO 2003년 3월 25일 자카르타에서 승인됨 인도네시아 공화국 대통령 메가와띠 수까르노뿌뜨리 2003년 3월 25일 자카르타에서 제정됨 인도네시아 공화국 국가사무처 장관 밤방 끄소워

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 모든 사람이 알 수 있도록 이 법 률의 제정을 인도네시아 공화국 관보에 게재할 것을 명한다.