BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan
asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan
premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
a. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang
polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan
keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga
yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena
terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya
tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya
tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan
dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
2. Asuransi Syariah adalah kumpulan perjanjian, yang terdiri atas
perjanjian antara perusahaan asuransi syariah dan pemegang polis
dan perjanjian di antara para pemegang polis, dalam rangka
pengelolaan kontribusi berdasarkan prinsip syariah guna saling
menolong dan melindungi dengan cara:
a. memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis
karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan
keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga
yang mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena
terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya
peserta atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya peserta
dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau
didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
3. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perasuransian berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
4. Usaha Perasuransian adalah segala usaha menyangkut jasa
pertanggungan atau pengelolaan risiko, pertanggungan ulang risiko,
pemasaran dan distribusi produk asuransi atau produk asuransi
syariah, konsultasi dan keperantaraan asuransi, asuransi syariah,
reasuransi, atau reasuransi syariah, atau penilaian kerugian asuransi
atau asuransi syariah.
5. Usaha Asuransi Umum adalah usaha jasa pertanggungan risiko yang
memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis
karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan
keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang
mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya
suatu peristiwa yang tidak pasti.
6. Usaha Asuransi Jiwa adalah usaha yang menyelenggarakan jasa
penanggulangan risiko yang memberikan pembayaran kepada
pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal
tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain
kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak
pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya
telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
7. Usaha Reasuransi adalah usaha jasa pertanggungan ulang terhadap
risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi, perusahaan
penjaminan, atau perusahaan reasuransi lainnya.
8. Usaha Asuransi Umum Syariah adalah usaha pengelolaan risiko
berdasarkan Prinsip Syariah guna saling menolong dan melindungi
dengan memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis
karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan
keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang
mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena terjadinya
suatu peristiwa yang tidak pasti.
9. Usaha Asuransi Jiwa Syariah adalah usaha pengelolaan risiko
berdasarkan Prinsip Syariah guna saling menolong dan melindungi
dengan memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggal
atau hidupnya peserta, atau pembayaran lain kepada peserta atau
pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam
perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada
hasil pengelolaan dana.
10. Usaha Reasuransi Syariah adalah usaha pengelolaan risiko
berdasarkan Prinsip Syariah atas risiko yang dihadapi oleh
perusahaan asuransi syariah, perusahaan penjaminan syariah, atau
perusahaan reasuransi syariah lainnya.
11. Usaha Pialang Asuransi adalah usaha jasa konsultasi dan/atau
keperantaraan dalam penutupan asuransi atau asuransi syariah serta
penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas
nama pemegang polis, tertanggung, atau peserta.
12. Usaha Pialang Reasuransi adalah usaha jasa konsultasi dan/atau
keperantaraan dalam penempatan reasuransi atau penempatan
reasuransi syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan
bertindak untuk dan atas nama perusahaan asuransi, perusahaan
asuransi syariah, perusahaan penjaminan, perusahaan penjaminan
syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah
yang melakukan penempatan reasuransi atau reasuransi syariah.
13. Usaha Penilai Kerugian Asuransi adalah usaha jasa penilaian klaim
dan/atau jasa konsultasi atas objek asuransi.
14. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan asuransi, perusahaan
asuransi syariah, perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi
syariah, perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi,
dan perusahaan penilai kerugian asuransi.
15. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi umum dan
perusahaan asuransi jiwa.
16. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan asuransi umum
syariah dan perusahaan asuransi jiwa syariah.
17. Pihak adalah orang atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum.
18. Dana Jaminan adalah kekayaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah yang merupakan jaminan terakhir dalam rangka
melindungi kepentingan pemegang polis, tertanggung, atau peserta,
dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah
dilikuidasi.
19. Pengendali adalah Pihak yang secara langsung atau tidak langsung
mempunyai kemampuan untuk menentukan direksi, dewan
komisaris, atau yang setara dengan direksi atau dewan komisaris
pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama
dan/atau mempengaruhi tindakan direksi, dewan komisaris, atau
yang setara dengan direksi atau dewan komisaris pada badan hukum
berbentuk koperasi atau usaha bersama.
20. Dana Asuransi adalah kumpulan dana yang berasal dari premi yang
dibentuk untuk memenuhi kewajiban yang timbul dari polis yang
diterbitkan atau dari klaim asuransi.
21. Dana Tabarru’ adalah kumpulan dana yang berasal dari kontribusi
para peserta, yang mekanisme penggunaannya sesuai dengan
perjanjian Asuransi Syariah atau perjanjian reasuransi syariah.
22. Pemegang Polis adalah Pihak yang mengikatkan diri berdasarkan
perjanjian dengan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah
untuk mendapatkan pelindungan atau pengelolaan atas risiko bagi
dirinya, tertanggung, atau peserta lain.
23. Tertanggung adalah Pihak yang menghadapi risiko sebagaimana
diatur dalam perjanjian Asuransi atau perjanjian reasuransi.
24. Peserta adalah Pihak yang menghadapi risiko sebagaimana diatur
dalam perjanjian Asuransi Syariah atau perjanjian reasuransi syariah.
25. Objek Asuransi adalah jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung
jawab hukum, benda dan jasa, serta semua kepentingan lainnya yang
dapat hilang, rusak, rugi, dan/atau berkurang nilainya.
26. Pialang Asuransi adalah orang yang bekerja pada perusahaan pialang
asuransi dan memenuhi persyaratan untuk memberi rekomendasi
atau mewakili Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta dalam
melakukan penutupan asuransi atau asuransi syariah dan/atau
penyelesaian klaim.
27. Pialang Reasuransi adalah orang yang bekerja pada perusahaan
pialang reasuransi dan memenuhi persyaratan untuk memberi
rekomendasi atau mewakili Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan penjaminan, perusahaan penjaminan
syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah
dalam melakukan penutupan reasuransi atau reasuransi syariah
dan/atau penyelesaian klaim.
28. Agen Asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau bekerja pada
badan usaha, yang bertindak untuk dan atas nama Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dan memenuhi
persyaratan untuk mewakili Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Asuransi Syariah memasarkan produk asuransi atau produk asuransi
syariah.
29. Premi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh Perusahaan
Asuransi atau perusahaan reasuransi dan disetujui oleh Pemegang
Polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian Asuransi atau
perjanjian reasuransi, atau sejumlah uang yang ditetapkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mendasari program asuransi wajib untuk memperoleh manfaat.
30. Kontribusi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh Perusahaan
Asuransi Syariah atau perusahaan reasuransi syariah dan disetujui
oleh Pemegang Polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian
Asuransi Syariah atau perjanjian reasuransi syariah untuk
memperoleh manfaat dari Dana Tabarru’ dan/atau dana investasi
Peserta dan untuk membayar biaya pengelolaan atau sejumlah uang
yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang
undangan yang mendasari program asuransi wajib untuk memperoleh
manfaat.
31. Afiliasi adalah hubungan antara seseorang atau badan hukum dengan
satu orang atau lebih, atau badan hukum lain, sedemikian rupa
sehingga salah satu dari mereka dapat mempengaruhi pengelolaan
atau kebijakan dari orang yang lain atau badan hukum yang lain atau
sebaliknya.
32. Program Asuransi Wajib adalah program yang diwajibkan peraturan
perundang-undangan bagi seluruh atau kelompok tertentu dalam
masyarakat guna mendapatkan pelindungan dari risiko tertentu, tidak
termasuk program yang diwajibkan undang-undang untuk
memberikan pelindungan dasar bagi masyarakat dengan mekanisme
subsidi silang dalam penetapan manfaat dan Premi atau
Kontribusinya.
33. Pengelola Statuter adalah Pihak yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa
Keuangan untuk mengambil alih kepengurusan Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah.
34. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
35. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga pengatur dan pengawas
sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai otoritas jasa keuangan.
36. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan adalah peraturan tertulis yang
ditetapkan oleh Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai otoritas jasa
keuangan.
37. Pemerintah adalah pemerintah Republik Indonesia.
38. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang keuangan.
BAB II
RUANG LINGKUP USAHA PERASURANSIAN
Pasal 2
(1) Perusahaan asuransi umum hanya dapat menyelenggarakan:
a. Usaha Asuransi Umum, termasuk lini usaha asuransi kesehatan
dan lini usaha asuransi kecelakaan diri; dan
b. Usaha Reasuransi untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum lain.
(2) Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan Usaha
Asuransi Jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha asuransi
kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri.
(3) Perusahaan reasuransi hanya dapat menyelenggarakan Usaha
Reasuransi.
Pasal 3
(1) Perusahaan asuransi umum syariah hanya dapat menyelenggarakan:
a. Usaha Asuransi Umum Syariah, termasuk lini usaha asuransi
kesehatan berdasarkan Prinsip Syariah dan lini usaha asuransi
kecelakaan diri berdasarkan Prinsip Syariah; dan
b. Usaha Reasuransi Syariah untuk risiko Perusahaan Asuransi
Umum Syariah lain.
(2) Perusahaan asuransi jiwa syariah hanya dapat menyelenggarakan
Usaha Asuransi Jiwa Syariah termasuk lini usaha anuitas
berdasarkan Prinsip Syariah, lini usaha asuransi kesehatan
berdasarkan Prinsip Syariah, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri
berdasarkan Prinsip Syariah.
(3) Perusahaan reasuransi syariah hanya dapat menyelenggarakan Usaha
Reasuransi Syariah.
Pasal 4
(1) Perusahaan pialang asuransi hanya dapat menyelenggarakan Usaha
Pialang Asuransi.
(2) Perusahaan pialang reasuransi hanya dapat menyelenggarakan Usaha
Pialang Reasuransi.
(3) Perusahaan penilai kerugian asuransi hanya dapat menyelenggarakan
Usaha Penilai Kerugian Asuransi.
Pasal 5
(1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta
Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat
diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
(2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi
Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil
pengelolaan dana.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha
Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum
Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
BAB III
BENTUK BADAN HUKUM DAN KEPEMILIKAN
PERUSAHAAN PERASURANSIAN
Pasal 6
(1) Bentuk badan hukum penyelenggara Usaha Perasuransian adalah:
a. perseroan terbatas;
b. koperasi; atau
c. usaha bersama yang telah ada pada saat Undang-Undang ini
diundangkan.
(2) Usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dinyatakan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 7
(1) Perusahaan Perasuransian hanya dapat dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang
secara langsung atau tidak langsung sepenuhnya dimiliki oleh
warga negara Indonesia; atau
b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, bersama-sama dengan
warga negara asing atau badan hukum asing yang harus
merupakan Perusahaan Perasuransian yang memiliki usaha
sejenis atau perusahaan induk yang salah satu anak
perusahaannya bergerak di bidang Usaha Perasuransian yang
sejenis.
(2) Warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dapat menjadi pemilik Perusahaan Perasuransian hanya melalui
transaksi di bursa efek.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria badan hukum asing dan
kepemilikan badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dan kepemilikan warga negara asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dalam Perusahaan Perasuransian diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PERIZINAN USAHA
Pasal 8
(1) Setiap Pihak yang melakukan Usaha Perasuransian wajib terlebih
dahulu mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dipenuhi persyaratan mengenai:
a. anggaran dasar;
b. susunan organisasi;
c. modal disetor;
d. Dana Jaminan;
e. kepemilikan;
f. kelayakan dan kepatutan pemegang saham dan Pengendali;
g. kemampuan dan kepatutan direksi dan dewan komisaris, atau
yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan
hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dewan pengawas
syariah, aktuaris perusahaan, dan auditor internal;
h. tenaga ahli;
i. kelayakan rencana kerja;
j. kelayakan sistem manajemen risiko;
k. produk yang akan dipasarkan;
l. perikatan dengan pihak terafiliasi apabila ada dan kebijakan
pengalihan sebagian fungsi dalam penyelenggaraan usaha;
m. infrastruktur penyiapan dan penyampaian laporan kepada
Otoritas Jasa Keuangan;
n. konfirmasi dari otoritas pengawas di negara asal pihak asing,
dalam hal terdapat penyertaan langsung pihak asing; dan
o. hal lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha
yang sehat.
(3) Persyaratan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberlakukan sesuai dengan jenis usaha yang akan dijalankan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 9
(1) Otoritas Jasa Keuangan menyetujui atau menolak permohonan izin
usaha Perusahaan Perasuransian paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
(2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan izin usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan harus dilakukan
secara tertulis dengan disertai alasannya.
Pasal 10
(1) Perusahaan Perasuransian wajib melaporkan setiap pembukaan
kantor di luar kantor pusatnya kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Kantor Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah di luar
kantor pusatnya yang memiliki kewenangan untuk membuat
keputusan mengenai penerimaan atau penolakan pertanggungan
dan/atau keputusan mengenai penerimaan atau penolakan klaim
setiap saat wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan Otoritas
Jasa Keuangan.
(3) Perusahaan Perasuransian bertanggung jawab sepenuhnya atas setiap
kantor yang dimiliki atau dikelolanya atau yang pemilik atau
pengelolanya diberi izin menggunakan nama Perusahaan
Perasuransian yang bersangkutan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
BAB V
PENYELENGGARAAN USAHA
Pasal 11
(1) Perusahaan Perasuransian wajib menerapkan tata kelola perusahaan
yang baik.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 12
(1) Anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau yang setara dengan
anggota direksi dan anggota dewan komisaris pada badan hukum
berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, anggota dewan pengawas syariah,
aktuaris perusahaan, auditor internal, dan Pengendali setiap saat
wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penilaian
kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 13
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah wajib menetapkan
paling sedikit 1 (satu) Pengendali.
(2) Dalam hal terdapat Pengendali lain yang belum ditetapkan oleh
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah, Otoritas Jasa
Keuangan berwenang menetapkan Pengendali di luar Pengendali
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria Pengendali sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 14
(1) Setiap Pihak yang ditetapkan sebagai Pengendali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) wajib dilaporkan kepada Otoritas
Jasa Keuangan.
(2) Perubahan Pengendali wajib dilaporkan kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
(3) Pihak yang telah ditetapkan menjadi Pengendali tidak dapat berhenti
menjadi Pengendali tanpa persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh
persetujuan berhenti sebagai Pengendali sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 15
Pengendali wajib ikut bertanggung jawab atas kerugian Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah yang disebabkan oleh Pihak dalam
pengendaliannya.
Pasal 16
(1) Setiap Pihak hanya dapat menjadi pemegang saham pengendali pada
1 (satu) perusahaan asuransi jiwa, 1 (satu) perusahaan asuransi
umum, 1 (satu) perusahaan reasuransi, 1 (satu) perusahaan asuransi
jiwa syariah, 1 (satu) perusahaan asuransi umum syariah, dan 1
(satu) perusahaan reasuransi syariah.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila
pemegang saham pengendali adalah Negara Republik Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemegang saham pengendali
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 17
(1) Perusahaan Perasuransian wajib mempekerjakan tenaga ahli dalam
jumlah yang cukup sesuai dengan jenis dan lini usaha yang
diselenggarakannya, dalam rangka memastikan penerapan
manajemen asuransi yang baik.
(2) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajib mempekerjakan
aktuaris dalam jumlah yang cukup sesuai dengan jenis dan lini usaha
yang diselenggarakannya, untuk secara independen dan sesuai
dengan standar praktik yang berlaku mengelola dampak keuangan
dari risiko yang dihadapi perusahaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, jumlah, dan persyaratan
tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan aktuaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 18
(1) Perusahaan Perasuransian dapat bekerja sama dengan pihak lain
dalam rangka memperoleh bisnis atau melaksanakan sebagian fungsi
dalam penyelenggaraan usahanya.
(2) Perusahaan Perasuransian wajib memastikan bahwa pihak lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki izin untuk
menjalankan usahanya dari instansi yang berwenang.
(3) Perusahaan Perasuransian wajib memiliki dan menerapkan standar
seleksi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan kerja sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 19
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah wajib mematuhi
ketentuan mengenai kesehatan keuangan.
(2) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah wajib melakukan
evaluasi secara berkala terhadap kemampuan Dana Asuransi atau
Dana Tabarru’ untuk memenuhi klaim atau kewajiban lain yang
timbul dari polis.
(3) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah wajib merencanakan
dan menerapkan metode mitigasi risiko untuk menjaga kesehatan
keuangannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesehatan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan metode mitigasi risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 20
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajib membentuk
Dana Jaminan dalam bentuk dan jumlah yang ditetapkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disesuaikan jumlahnya dengan perkembangan usaha, dengan
ketentuan tidak kurang dari yang dipersyaratkan pada awal
pendirian.
(3) Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
diagunkan atau dibebani dengan hak apa pun.
(4) Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dipindahkan atau dicairkan setelah mendapat persetujuan Otoritas
Jasa Keuangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Dana Jaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 21
(1) Kekayaan dan kewajiban yang terkait dengan hak Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta wajib dipisahkan dari kekayaan dan
kewajiban yang lain dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.
(2) Untuk perusahaan asuransi jiwa syariah, kekayaan dan kewajiban
Peserta untuk keperluan saling menolong dalam menghadapi risiko
wajib dipisahkan dari kekayaan dan kewajiban Peserta untuk
keperluan investasi.
(3) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajib menerapkan
prinsip kehati-hatian dan kesesuaian antara kekayaan dan kewajiban
dalam menginvestasikan kekayaan Pemegang Polis, Tertanggung, atau
Peserta.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemisahan kekayaan dan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan investasi
kekayaan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 22
(1) Perusahaan Perasuransian wajib menyampaikan laporan, informasi,
data, dan/atau dokumen kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan melalui sistem data elektronik.
(3) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah wajib mengumumkan
posisi keuangan, kinerja keuangan, dan kondisi kesehatan keuangan
perusahaan dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia yang
beredar secara nasional dan media elektronik.
(4) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah wajib menyediakan
informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan dan risiko
yang dihadapinya kepada pihak yang berkepentingan dengan cara
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajib mengumumkan
laporan keuangan yang telah diaudit paling lama 1 (satu) bulan
setelah batas waktu penyampaian laporan keuangan tersebut kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian laporan kepada
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 23
(1) Laporan tertentu dan hasil analisis atas laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) tidak dapat dibuka oleh Otoritas
Jasa Keuangan kepada pihak lain, kecuali kepada:
a. polisi dan jaksa untuk kepentingan penyidikan;
b. hakim untuk kepentingan peradilan;
c. pejabat pajak untuk kepentingan perpajakan;
d. Bank Indonesia untuk pelaksanaan tugasnya; atau
e. pihak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh
laporan tertentu dan hasil analisis atas laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 24
(1) Penutupan asuransi atas Objek Asuransi harus didasarkan pada asas
kebebasan memilih Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
Syariah.
(2) Penutupan Objek Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilakukan dengan memperhatikan daya tampung Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan
perusahaan reasuransi syariah di dalam negeri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penutupan Objek Asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 25
Objek Asuransi di Indonesia hanya dapat diasuransikan pada Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang mendapatkan izin usaha
dari Otoritas Jasa Keuangan, kecuali dalam hal:
a. tidak ada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah di
Indonesia, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, yang
memiliki kemampuan menahan atau mengelola risiko asuransi atau
risiko asuransi syariah dari Objek Asuransi yang bersangkutan; atau
b. tidak ada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah di
Indonesia yang bersedia melakukan penutupan asuransi atau
asuransi syariah atas Objek Asuransi yang bersangkutan.
Pasal 26
(1) Perusahaan Perasuransian wajib memenuhi standar perilaku usaha
yang mencakup ketentuan mengenai:
a. polis;
b. Premi atau Kontribusi;
c. underwriting dan pengenalan Pemegang Polis, Tertanggung, atau
Peserta;
d. penyelesaian klaim;
e. keahlian di bidang perasuransian;
f. distribusi atau pemasaran produk;
g. penanganan keluhan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta;
dan
h. standar lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan usaha.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar perilaku usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 27
(1) Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi wajib
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi wajib
memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup serta memiliki
reputasi yang baik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
pendaftaran Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 28
(1) Premi atau Kontribusi dapat dibayarkan langsung oleh Pemegang Polis
atau Peserta kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
Syariah, atau dibayarkan melalui Agen Asuransi.
(2) Agen Asuransi hanya dapat menerima pembayaran Premi atau
Kontribusi dari Pemegang Polis atau Peserta setelah mendapatkan
persetujuan dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
Syariah.
(3) Pertanggungan dinyatakan mulai berlaku dan mengikat para Pihak
terhitung sejak Premi atau Kontribusi diterima oleh Agen Asuransi.
(4) Agen Asuransi dilarang menahan atau mengelola Premi atau
Kontribusi.
(5) Agen Asuransi dilarang menggelapkan Premi atau Kontribusi.
(6) Dalam hal Premi atau Kontribusi dibayarkan melalui Agen Asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Agen Asuransi
wajib menyerahkan Premi atau Kontribusi tersebut kepada
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dalam
jangka waktu yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
(7) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib
bertanggung jawab atas pembayaran klaim yang timbul apabila Agen
Asuransi telah menerima Premi atau Kontribusi, tetapi belum
menyerahkannya kepada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Asuransi Syariah tersebut.
(8) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib
membayarkan imbalan jasa keperantaraan kepada Agen Asuransi
segera setelah menerima Premi atau Kontribusi.
Pasal 29
(1) Premi atau Kontribusi dapat dibayarkan langsung oleh Pemegang Polis
atau Peserta kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
Syariah, atau dibayarkan melalui perusahaan pialang asuransi.
(2) Premi atau Kontribusi dapat dibayarkan langsung oleh Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah kepada perusahaan
reasuransi atau perusahaan reasuransi syariah, atau dibayarkan
melalui perusahaan pialang reasuransi.
(3) Perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi
dilarang menahan atau mengelola Premi atau Kontribusi.
(4) Perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi
dilarang menggelapkan Premi atau Kontribusi.
(5) Dalam hal Premi atau Kontribusi dibayarkan melalui perusahaan
pialang asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau melalui
perusahaan pialang reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
perusahaan pialang asuransi atau perusahaan pialang reasuransi
wajib menyerahkan Premi atau Kontribusi tersebut kepada
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dalam jangka waktu
yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
(6) Dalam hal penyerahan Premi atau Kontribusi dilakukan oleh
perusahaan pialang asuransi atau perusahaan pialang reasuransi
setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(5), perusahaan pialang asuransi atau perusahaan pialang reasuransi
wajib bertanggung jawab atas pembayaran klaim yang timbul dari
kerugian yang terjadi setelah berakhirnya jangka waktu tersebut.
(7) Perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi
mendapatkan imbalan jasa keperantaraan dari Pemegang Polis atas
jasa keperantaraannya.
Pasal 30
(1) Perusahaan pialang asuransi dilarang menempatkan penutupan
asuransi atau penutupan asuransi syariah pada Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Asuransi Syariah yang merupakan Afiliasi dari
Pialang Asuransi atau perusahaan pialang asuransi yang
bersangkutan.
(2) Perusahaan pialang reasuransi dilarang menempatkan penutupan
reasuransi atau penutupan reasuransi syariah pada perusahaan
reasuransi atau perusahaan reasuransi syariah yang merupakan
Afiliasi dari Pialang Reasuransi atau perusahaan pialang reasuransi
yang bersangkutan.
(3) Perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi
bertanggung jawab atas tindakan Pialang Asuransi dan Pialang
Reasuransi yang memberikan rekomendasi kepada Pemegang Polis
terkait penutupan asuransi atau penutupan reasuransi.
Pasal 31
(1) Agen Asuransi, Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Perusahaan
Perasuransian wajib menerapkan segenap keahlian, perhatian, dan
kecermatan dalam melayani atau bertransaksi dengan Pemegang
Polis, Tertanggung, atau Peserta.
(2) Agen Asuransi, Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Perusahaan
Perasuransian wajib memberikan informasi yang benar, tidak palsu,
dan/atau tidak menyesatkan kepada Pemegang Polis, Tertanggung,
atau Peserta mengenai risiko, manfaat, kewajiban dan pembebanan
biaya terkait dengan produk asuransi atau produk asuransi syariah
yang ditawarkan.
(3) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, perusahaan reasuransi syariah, perusahaan pialang
asuransi, dan perusahaan pialang reasuransi wajib menangani klaim
dan keluhan melalui proses yang cepat, sederhana, mudah diakses,
dan adil.
(4) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah dilarang melakukan
tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran
klaim, atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan
sehingga mengakibatkan kelambatan penyelesaian atau pembayaran
klaim.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan klaim dan keluhan
melalui proses yang cepat, sederhana, mudah diakses, dan adil
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 32
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan perusahaan
pialang asuransi wajib menerapkan kebijakan anti pencucian uang
dan pencegahan pendanaan terorisme.
(2) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan perusahaan
pialang asuransi wajib mendapatkan informasi yang cukup mengenai
calon Pemegang Polis, Tertanggung, Peserta, atau pihak lain yang
terkait dengan penutupan asuransi atau asuransi syariah untuk
dapat menerapkan kebijakan anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan kebijakan anti pencucian
uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan perusahaan pialang
asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 33
Setiap Orang dilarang melakukan pemalsuan atas dokumen Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah.
Pasal 34
Anggota direksi dan/atau pihak yang berwenang menandatangani polis
dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang dikenai
sanksi pembatasan kegiatan usaha dilarang menandatangani polis baru.
BAB VI
TATA KELOLA USAHA PERASURANSIAN
BERBENTUK KOPERASI DAN USAHA BERSAMA
Pasal 35
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk
koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf c hanya dapat menyelenggarakan jasa asuransi atau
jasa asuransi syariah bagi anggotanya.
(2) Setiap anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi
Syariah berbentuk koperasi atau anggota usaha bersama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c wajib menjadi
Pemegang Polis dari perusahaan yang bersangkutan.
(3) Keanggotaan pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi
Syariah berbentuk koperasi atau keanggotaan pada usaha bersama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c berakhir
apabila:
a. anggota meninggal dunia;
b. anggota tidak lagi memiliki polis asuransi dari Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang bersangkutan
selama 6 (enam) bulan berturut-turut; atau
c. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
keanggotaan harus berakhir.
(4) Anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah
berbentuk koperasi atau anggota dari usaha bersama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c berhak atas seluruh
keuntungan dan wajib menanggung seluruh kerugian dari kegiatan
usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keuangan untuk
menjadi anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
serta pemanfaatan keuntungan oleh anggota dan pembebanan
kerugian di antara anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dari
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk
koperasi atau anggota dari usaha bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
BAB VII
PENINGKATAN KAPASITAS ASURANSI, ASURANSI SYARIAH,
REASURANSI, DAN REASURANSI SYARIAH DALAM NEGERI
Pasal 36
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajib mengoptimalkan
pemanfaatan kapasitas asuransi, asuransi syariah, reasuransi, dan/atau
reasuransi syariah dalam negeri.
Pasal 37
Pemerintah dan/atau Otoritas Jasa Keuangan mendorong peningkatan
kapasitas asuransi, asuransi syariah, reasuransi, dan/atau reasuransi
syariah dalam negeri guna memenuhi kebutuhan pertanggungan asuransi,
asuransi syariah, reasuransi, dan/atau reasuransi syariah dalam negeri.
Pasal 38
Pemerintah dapat memberikan fasilitas fiskal kepada perseorangan, rumah
tangga, dan/atau usaha mikro, kecil, dan menengah untuk mendorong
pemanfaatan jasa asuransi, asuransi syariah, reasuransi, dan/atau
reasuransi syariah dalam pengelolaan risiko sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
PROGRAM ASURANSI WAJIB
Pasal 39
(1) Program Asuransi Wajib harus diselenggarakan secara kompetitif.
(2) Pengaturan Program Asuransi Wajib sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit memuat:
a. cakupan kepesertaan;
b. hak dan kewajiban Tertanggung atau Peserta;
c. Premi atau Kontribusi;
d. manfaat atau santunan;
e. tata cara klaim dan pembayaran manfaat atau santunan;
f. kriteria penyelenggara;
g. hak dan kewajiban penyelenggara; dan
h. keterbukaan informasi.
(3) Pihak yang dapat menyelenggarakan Program Asuransi Wajib
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan
yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Penyelenggara Program Asuransi Wajib sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dapat menawarkan manfaat tambahan dengan tambahan
Premi atau Kontribusi.
(5) Penyelenggara Program Asuransi Wajib sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilarang memaksa Pemegang Polis untuk menerima tawaran
manfaat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
BAB IX
PERUBAHAN KEPEMILIKAN, PENGGABUNGAN, DAN PELEBURAN
Pasal 40
(1) Setiap perubahan kepemilikan Perusahaan Perasuransian wajib
terlebih dahulu memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam hal perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
merupakan perubahan kepemilikan yang mengakibatkan
terdapatnya penyertaan langsung oleh pihak asing di dalam
Perusahaan Perasuransian, pihak asing tersebut harus merupakan
Perusahaan Perasuransian yang memiliki usaha sejenis atau
perusahaan induk yang salah satu anak perusahaannya bergerak di
bidang Usaha Perasuransian yang sejenis.
(3) Ketentuan mengenai Perusahaan Perasuransian yang memiliki usaha
sejenis atau kepemilikan perusahaan induk atas anak perusahaan
yang bergerak di bidang Usaha Perasuransian yang sejenis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib tetap dipenuhi selama
pihak asing tersebut memiliki penyertaan pada Perusahaan
Perasuransian.
(4) Perubahan kepemilikan Perusahaan Perasuransian melalui transaksi
di bursa efek dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sepanjang tidak menyebabkan perubahan pengendalian
pada Perusahaan Perasuransian tersebut.
(5) Untuk memperoleh persetujuan, perubahan kepemilikan Perusahaan
Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
ketentuan:
a. perubahan kepemilikan tersebut tidak mengurangi hak Pemegang
Polis, Tertanggung, atau Peserta, bagi Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Asuransi Syariah; dan
b. perubahan kepemilikan tersebut tidak mengurangi hak
penanggung, penanggung ulang, atau pengelola, bagi perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perubahan
kepemilikan Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 41
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang melakukan
penggabungan atau peleburan wajib terlebih dahulu memperoleh
persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilakukan antar Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah yang bidang usahanya sejenis.
(3) Untuk memperoleh persetujuan, penggabungan atau peleburan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan:
a. penggabungan atau peleburan tersebut tidak mengurangi hak
Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, bagi Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi,
atau perusahaan reasuransi syariah; dan
b. kondisi keuangan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah hasil penggabungan atau peleburan tersebut harus tetap
memenuhi ketentuan tingkat kesehatan keuangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB X
PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN
Pasal 42
(1) Perusahaan Perasuransian yang menghentikan kegiatan usahanya
wajib terlebih dahulu melaporkan rencana penghentian kegiatan
usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
terlebih dahulu menyelesaikan seluruh kewajibannya.
(3) Dalam hal Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) telah menyelesaikan seluruh kewajibannya, Otoritas Jasa
Keuangan mencabut izin usaha Perusahaan Perasuransian yang
bersangkutan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyelesaian kewajiban
Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 43
(1) Perusahaan Perasuransian yang dicabut izin usahanya wajib
menghentikan kegiatan usahanya.
(2) Pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan
pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris pada badan hukum
berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan pegawai Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah dilarang mengalihkan, menjaminkan,
mengagunkan, atau menggunakan kekayaan, atau melakukan
tindakan lain yang dapat mengurangi aset atau menurunkan nilai aset
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sejak dicabut izin
usahanya.
Pasal 44
(1) Paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dicabutnya izin usaha,
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang dicabut izin
usahanya wajib menyelenggarakan rapat umum pemegang saham
atau yang setara dengan rapat umum pemegang saham pada badan
hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c untuk memutuskan
pembubaran badan hukum perusahaan yang bersangkutan dan
membentuk tim likuidasi.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
rapat umum pemegang saham atau yang setara dengan rapat umum
pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha
bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c tidak
dapat diselenggarakan atau rapat umum pemegang saham atau yang
setara dengan rapat umum pemegang saham pada badan hukum
berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dapat diselenggarakan, tetapi tidak
berhasil memutuskan pembubaran badan hukum perusahaan dan
tidak berhasil membentuk tim likuidasi, Otoritas Jasa Keuangan:
a. memutuskan pembubaran badan hukum perusahaan dan
membentuk tim likuidasi;
b. mendaftarkan dan memberitahukan pembubaran badan hukum
perusahaan kepada instansi yang berwenang, serta
mengumumkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia dan
2 (dua) surat kabar harian yang mempunyai peredaran yang luas;
c.
memerintahkan tim likuidasi melaksanakan likuidasi sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang ini; dan
d. memerintahkan tim likuidasi melaporkan hasil pelaksanaan
likuidasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan tim likuidasi dan
pelaporan hasil pelaksanaan likuidasi oleh tim likuidasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 45
(1) Sejak terbentuknya tim likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44 ayat (1) dan ayat (2), tanggung jawab dan kepengurusan
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dalam likuidasi
dilaksanakan oleh tim likuidasi.
(2) Tim likuidasi berwenang mewakili Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah dalam likuidasi dalam segala hal yang berkaitan
dengan penyelesaian hak dan kewajiban Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan likuidasi Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 46
(1) Sejak terbentuknya tim likuidasi, direksi dan dewan komisaris, atau
yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum
berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah dalam likuidasi tidak memiliki kewenangan sebagai
direksi dan dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan
dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha
bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c,
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.
(2) Pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan
pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris pada badan hukum
berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan pegawai Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah dalam likuidasi wajib memberikan
data, informasi, dan dokumen yang diperlukan oleh tim likuidasi.
(3) Pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan
pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris pada badan hukum
berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan pegawai Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah dalam likuidasi dilarang menghambat
proses likuidasi.
Pasal 47
(1) Seluruh biaya pelaksanaan likuidasi yang tercantum dalam daftar
biaya likuidasi menjadi beban aset Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah dalam likuidasi dan dikeluarkan terlebih dahulu
dari setiap hasil pencairannya.
(2) Dalam hal terdapat sisa hasil likuidasi setelah dilakukan pembayaran
atas seluruh kewajiban Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah
dalam likuidasi, sisa hasil likuidasi tersebut merupakan hak
pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada
badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c.
Pasal 48
(1) Dalam hal terdapat sisa hasil likuidasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 ayat (2), tagihan yang timbul dalam jangka waktu 2 (dua)
tahun sejak proses likuidasi selesai diajukan melalui Otoritas Jasa
Keuangan kepada pemegang saham atau yang setara dengan
pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha
bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c.
(2) Tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada sisa
hasil likuidasi yang merupakan hak pemegang saham atau yang
setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk
koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf c.
Pasal 49
(1) Tim likuidasi harus bertindak adil dan objektif dalam melaksanakan
tugasnya.
(2) Dalam hal terjadi benturan kepentingan antara kepentingan
pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada
badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dan kepentingan Pemegang
Polis, Tertanggung, atau Peserta, tim likuidasi harus mengutamakan
kepentingan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta.
Pasal 50
(1) Permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah berdasarkan Undang-Undang ini
hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Tata cara dan persyaratan permohonan pernyataan pailit terhadap
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dapat diajukan dalam rangka mengeksekusi putusan
pengadilan.
Pasal 51
(1) Kreditor menyampaikan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan
untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan
niaga.
(2) Otoritas Jasa Keuangan menyetujui atau menolak permohonan yang
disampaikan oleh kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap.
(3) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan yang
disampaikan oleh kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan
permohonan dari kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 52
(1) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah
dipailitkan atau dilikuidasi, hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau
Peserta atas pembagian harta kekayaannya mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi daripada hak pihak lainnya.
(2) Dalam hal Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi
dipailitkan atau dilikuidasi, Dana Asuransi harus digunakan terlebih
dahulu untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis,
Tertanggung, atau pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi.
(3) Dalam hal terdapat kelebihan Dana Asuransi setelah pemenuhan
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kelebihan Dana
Asuransi tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban
kepada pihak ketiga selain Pemegang Polis, Tertanggung, atau pihak
lain yang berhak atas manfaat asuransi.
(4) Dalam hal Perusahaan Asuransi Syariah atau perusahaan reasuransi
syariah dipailitkan atau dilikuidasi, Dana Tabarru’ dan dana investasi
peserta tidak dapat digunakan untuk membayar kewajiban selain
kepada Peserta.
BAB XI
PELINDUNGAN PEMEGANG POLIS, TERTANGGUNG,
ATAU PESERTA
Pasal 53
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menjadi
peserta program penjaminan polis.
(2) Penyelenggaraan program penjaminan polis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan undang-undang.
(3) Pada saat program penjaminan polis berlaku berdasarkan undang
undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ketentuan mengenai
Dana Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf d
dan Pasal 20 dinyatakan tidak berlaku untuk Perusahaan Asuransi
dan Perusahaan Asuransi Syariah.
(4) Undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk paling
lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 54
(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajib menjadi anggota
lembaga mediasi yang berfungsi melakukan penyelesaian sengketa
antara Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dan
Pemegang Polis, Tertanggung, Peserta, atau pihak lain yang berhak
memperoleh manfaat asuransi.
(2) Lembaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat
independen dan imparsial.
(3) Lembaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendapat persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Kesepakatan mediasi bersifat final dan mengikat bagi para Pihak.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga mediasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB XII
PROFESI PENYEDIA JASA BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN
Pasal 55
(1) Profesi penyedia jasa bagi Perusahaan Perasuransian terdiri atas:
a. konsultan aktuaria;
b. akuntan publik;
c. penilai; dan
d. profesi lain yang ditetapkan dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Untuk dapat menyediakan jasa bagi Perusahaan Perasuransian,
profesi penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
terlebih dahulu terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
pendaftaran profesi penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 56
(1) Pendaftaran profesi penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
55 ayat (2) menjadi batal apabila izin profesi yang bersangkutan
dicabut oleh instansi yang berwenang.
(2) Jasa dari profesi penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang diberikan sebelum dibatalkannya pendaftaran profesi dinyatakan
tetap berlaku, kecuali apabila jasa yang diberikan tersebut merupakan
penyebab dibatalkannya pendaftaran atau dicabutnya izin profesi
yang bersangkutan.
(3) Dalam hal pendaftaran profesi penyedia jasa menjadi batal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat
melakukan pemeriksaan atau penilaian atas jasa lain yang diberikan
profesi penyedia jasa tersebut kepada Perusahaan Perasuransian
untuk menentukan berlaku atau tidak berlakunya jasa tersebut.
(4) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan memutuskan bahwa jasa yang
diberikan oleh profesi penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) tidak berlaku, Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan
Perusahaan Perasuransian yang menggunakan jasa profesi penyedia
jasa tersebut untuk menunjuk profesi penyedia lain untuk melakukan
kembali jasa yang sama.
BAB XIII
PENGATURAN DAN PENGAWASAN
Pasal 57
(1) Pengaturan dan pengawasan kegiatan Usaha Perasuransian dilakukan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Menteri menetapkan kebijakan umum dalam rangka pengembangan
pemanfaatan asuransi dan reasuransi untuk mendukung
perekonomian nasional.
Pasal 58
Otoritas Jasa Keuangan harus mengupayakan terciptanya persaingan
usaha yang sehat di bidang Usaha Perasuransian.
Pasal 59
(1) Otoritas Jasa Keuangan dapat menugaskan pihak tertentu untuk dan
atas nama Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan sebagian dari
fungsi pengaturan dan pengawasan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penugasan dan
pelaksanaan sebagian fungsi pengaturan dan pengawasan oleh pihak
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 60
(1) Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengaturan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan menetapkan
peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.
(2) Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan
berwenang:
a. menyetujui atau menolak memberikan izin Usaha Perasuransian;
b. mencabut izin Usaha Perasuransian;
c. menyetujui atau menolak memberikan pernyataan pendaftaran
bagi konsultan aktuaria, akuntan publik, penilai, atau pihak lain
yang memberikan jasa kepada Perusahaan Perasuransian;
d. membatalkan pernyataan pendaftaran bagi konsultan aktuaria,
akuntan publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa
kepada Perusahaan Perasuransian;
e. mewajibkan Perusahaan Perasuransian menyampaikan laporan
secara berkala;
f. melakukan pemeriksaan terhadap Perusahaan Perasuransian dan
pihak lain yang sedang atau pernah menjadi pihak terafiliasi atau
memberikan jasa kepada Perusahaan Perasuransian;
g. menetapkan Pengendali dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah;
h. menyetujui atau mencabut persetujuan suatu Pihak menjadi
Pengendali Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah;
i. mewajibkan suatu Pihak untuk berhenti menjadi Pengendali dari
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah;
j. melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap
direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan
dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau
usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf c, dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, auditor
internal, dan Pengendali;
k. menonaktifkan direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan
direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk
koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan/atau dewan pengawas syariah, dan
menetapkan Pengelola Statuter;
l. memberi perintah tertulis kepada:
1. pihak tertentu untuk membuat laporan mengenai hal
tertentu, atas biaya Perusahaan Perasuransian dan
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan;
2. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah
untuk mengalihkan sebagian atau seluruh portofolio
pertanggungannya kepada Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah lain;
3. Perusahaan Perasuransian untuk melakukan atau tidak
melakukan hal tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perasuransian;
4. Perusahaan Perasuransian untuk memperbaiki atau
menyempurnakan sistem pengendalian intern untuk
mengidentifikasi dan menghindari pemanfaatan Perusahaan
Perasuransian untuk kejahatan keuangan;
5. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah
untuk menghentikan pemasaran produk asuransi tertentu;
dan
6. Perusahaan Perasuransian untuk menggantikan seseorang
dari jabatan atau posisi tertentu, atau menunjuk seseorang
dengan kualifikasi tertentu untuk menempati jabatan atau
posisi tertentu, dalam hal orang tersebut tidak kompeten,
tidak memenuhi kualifikasi tertentu, tidak berpengalaman,
atau melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perasuransian;
m. mengenakan sanksi kepada Perusahaan Perasuransian,
pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau yang setara
dengan pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris pada
badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dewan
pengawas syariah, aktuaris perusahaan, dan/atau auditor
internal; dan
n. melaksanakan kewenangan lain berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 61
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf f
dilakukan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu.
(2) Otoritas Jasa Keuangan dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas
nama Otoritas Jasa Keuangan melakukan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Untuk tujuan pemeriksaan, anggota direksi, anggota dewan komisaris,
atau yang setara dengan anggota direksi dan anggota dewan komisaris
pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dewan
pengawas syariah, aktuaris perusahaan, auditor internal, pegawai
lain, pemegang saham, Pengendali, pihak terafiliasi, dan pihak yang
menerima pengalihan sebagian fungsi dalam penyelenggaraan usaha
untuk kepentingan Perusahaan Perasuransian wajib memberikan
keterangan dan/atau data, kesempatan untuk melihat semua
pembukuan, catatan, dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan
dengan kegiatan usahanya dan hal lain yang diperlukan oleh
pemeriksa.
(4) Untuk tujuan pemeriksaan, pihak yang pernah menjadi anggota
direksi, anggota dewan komisaris, atau yang setara dengan anggota
direksi dan anggota dewan komisaris pada badan hukum berbentuk
koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf c, dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan,
auditor internal, pegawai lain, pemegang saham, Pengendali, pihak
terafiliasi, dan pihak yang menerima pengalihan sebagian fungsi
dalam penyelenggaraan usaha untuk kepentingan Perusahaan
Perasuransian, wajib memberikan keterangan dan/atau data,
kesempatan untuk melihat semua pembukuan, catatan, dokumen,
dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan Usaha Perasuransian
yang diperlukan oleh pemeriksa.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta kriteria dan tata cara
penugasan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 62
(1) Otoritas Jasa Keuangan dapat menonaktifkan direksi, dewan
komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada
badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan/atau dewan pengawas
syariah, serta menetapkan Pengelola Statuter untuk mengambil alih
kepengurusan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah, dalam
hal:
a. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah tersebut telah
dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha;
b. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah tersebut
memberikan informasi kepada Otoritas Jasa Keuangan bahwa
menurut pertimbangannya perusahaan diperkirakan tidak
mampu memenuhi kewajibannya atau akan menghentikan
pelunasan kewajiban yang jatuh tempo;
c. menurut pertimbangan Otoritas Jasa Keuangan, Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi,
atau perusahaan reasuransi syariah tersebut diperkirakan tidak
mampu memenuhi kewajiban atau akan menghentikan pelunasan
kewajiban yang jatuh tempo;
d. menurut pertimbangan Otoritas Jasa Keuangan, Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi,
atau perusahaan reasuransi syariah tersebut melakukan kegiatan
usaha yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang
undangan di bidang perasuransian atau secara finansial dinilai
tidak sehat; atau
e. menurut pertimbangan Otoritas Jasa Keuangan, Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi,
atau perusahaan reasuransi syariah tersebut dimanfaatkan
untuk memfasilitasi dan/atau melakukan kejahatan keuangan.
(2) Pengelola Statuter yang telah ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan
mempunyai tugas:
a. menyelamatkan kekayaan dan/atau kumpulan dana peserta
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah;
b. mengendalikan dan mengelola kegiatan usaha dari Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi,
atau perusahaan reasuransi syariah sesuai dengan Undang
Undang ini;
c. menyusun langkah-langkah apabila Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah tersebut masih dapat
diselamatkan;
d. mengajukan usulan agar Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin
usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah
apabila perusahaan tersebut dinilai tidak dapat diselamatkan;
dan
e. melaporkan kegiatannya kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Pada saat Pengelola Statuter mulai melakukan pengambilalihan
kepengurusan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah, maka:
a. direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan
dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau
usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf c, dan/atau dewan pengawas syariah tidak dapat
melakukan tindakan selaku direksi, dewan komisaris, atau yang
setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum
berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan/atau dewan pengawas
syariah; dan
b. direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan
dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau
usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf c, dan/atau dewan pengawas syariah nonaktif wajib
membantu Pengelola Statuter dalam menjalankan fungsi
kepengurusan.
(4) Direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan
komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha
bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c,
dan/atau dewan pengawas syariah nonaktif dilarang mengundurkan
diri selama fungsi kepengurusan diambil alih oleh Pengelola Statuter.
(5) Otoritas Jasa Keuangan setiap saat dapat memberhentikan Pengelola
Statuter.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan, tugas, masa tugas, dan
pemberhentian Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (5) serta hak dan kewajiban direksi, dewan
komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada
badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan/atau dewan pengawas
syariah nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 63
(1) Pengelola Statuter dalam melaksanakan tugasnya wajib mematuhi
peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.
(2) Pengelola Statuter wajib mematuhi setiap perintah tertulis dari
Otoritas Jasa Keuangan mengenai pengendalian dan pengelolaan
kegiatan usaha dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.
(3) Pengelola Statuter mengambil alih pengendalian dan pengelolaan
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sejak tanggal
penetapan sebagai Pengelola Statuter.
(4) Pengelola Statuter memiliki seluruh wewenang dan fungsi direksi,
dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan
komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha
bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c,
dan/atau dewan pengawas syariah dari Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah.
(5) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pengelola
Statuter juga memiliki kewenangan:
a. membatalkan atau mengakhiri perjanjian yang dibuat oleh
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dengan pihak
ketiga, yang menurut Pengelola Statuter dapat merugikan
kepentingan perusahaan dan Pemegang Polis, Tertanggung, atau
Peserta; dan
b. melakukan pengalihan sebagian atau seluruh portofolio
pertanggungan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah, yang menurut Pengelola Statuter dapat mencegah
kerugian lebih besar bagi Pemegang Polis, Tertanggung, atau
Peserta.
Pasal 64
Pengelola Statuter bertanggung jawab atas kerugian Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah dan/atau pihak ketiga jika kerugian tersebut
disebabkan oleh kecurangan, ketidakjujuran, atau kesengajaannya untuk
tidak mematuhi ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang
perasuransian.
Pasal 65
(1) Pengendalian dan pengelolaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah oleh Pengelola Statuter berakhir apabila Otoritas
Jasa Keuangan memutuskan:
a. pengendalian dan pengelolaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah oleh Pengelola Statuter tidak diperlukan lagi;
atau
b. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah telah dicabut izin
usahanya.
(2) Pengelola Statuter wajib mempertanggungjawabkan segala keputusan
dan tindakannya dalam mengendalikan dan mengelola Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 66
(1) Perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf
l diberikan dalam hal Otoritas Jasa Keuangan berkesimpulan bahwa
Perusahaan Perasuransian:
a. menjalankan kegiatan usahanya dengan cara tidak hati-hati dan
tidak wajar atau tidak sehat secara finansial;
b. diperkirakan akan mengalami keadaan keuangan yang tidak
sehat atau akan gagal memenuhi kewajibannya;
c. melanggar peraturan perundang-undangan di bidang
perasuransian; dan/atau
d. terlibat kejahatan keuangan.
(2) Perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat
diberikan kepada Pengendali dari Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah.
(3) Perusahaan Perasuransian dan/atau Pengendali dari Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah wajib mematuhi perintah tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak dapat dijadikan alasan oleh pihak yang melakukan perjanjian
dengan Perusahaan Perasuransian untuk membatalkan atau menolak
perjanjian, menghindari kewajiban yang ditentukan di dalam
perjanjian, atau melakukan hal apa pun yang dapat mengakibatkan
kerugian bagi Perusahaan Perasuransian.
(5) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berhak mendapatkan
ganti kerugian dari Perusahaan Perasuransian apabila menderita
kerugian yang disebabkan oleh perintah tertulis yang diberikan
kepada Perusahaan Perasuransian.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku apabila
pihak yang bersangkutan merupakan pihak terafiliasi atau pihak yang
terkait dengan keadaan yang menyebabkan dikeluarkannya perintah
tertulis tersebut oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 67
Pihak lain yang ditunjuk atau ditugasi oleh Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 61 ayat (2)
dilarang menggunakan atau mengungkapkan informasi apa pun yang
bersifat rahasia kepada pihak lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan
fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan keputusan Otoritas Jasa
Keuangan atau diwajibkan oleh undang-undang.
BAB XIV
ASOSIASI USAHA PERASURANSIAN
Pasal 68
(1) Setiap Perusahaan Perasuransian wajib menjadi anggota salah satu
asosiasi Usaha Perasuransian yang sesuai dengan jenis usahanya.
(2) Asosiasi Usaha Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus mendapat persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 69
(1) Otoritas Jasa Keuangan dapat menugaskan atau mendelegasikan
wewenang tertentu kepada asosiasi Usaha Perasuransian dalam
rangka pengaturan dan/atau pengawasan Usaha Perasuransian.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan atau pendelegasian
wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB XV
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 70
Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif
kepada Setiap Orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
Pasal 71
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 3 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 7 ayat (1),
Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1),
Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 15,
Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18 ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 19 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 21 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal
22 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (2), ayat (4), ayat (6), ayat (7), dan
ayat (8), Pasal 29 ayat (3), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 30 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 31 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 32 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 36, Pasal 39 ayat (5),
Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 41 ayat (1), Pasal 42 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 46 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat
(1), Pasal 55 ayat (2), Pasal 68 ayat (1), dan Pasal 86 dikenai sanksi
administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh
kegiatan usaha;
c. larangan untuk memasarkan produk asuransi atau produk
asuransi syariah untuk lini usaha tertentu;
d. pencabutan izin usaha;
e. pembatalan pernyataan pendaftaran bagi Pialang Asuransi,
Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi;
f. pembatalan pernyataan pendaftaran bagi konsultan aktuaria,
akuntan publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa
bagi Perusahaan Perasuransian;
g. pembatalan persetujuan bagi lembaga mediasi atau asosiasi;
h. denda administratif; dan/atau
i. larangan menjadi pemegang saham, Pengendali, direksi, dewan
komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, Pengendali,
direksi, dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk
koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf c, dewan pengawas syariah, atau
menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi, atau yang setara
dengan jabatan eksekutif di bawah direksi pada badan hukum
berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, pada Perusahaan Perasuransian.
(3) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai kondisi Perusahaan
Perasuransian membahayakan kepentingan Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta, Otoritas Jasa Keuangan dapat
mengenakan sanksi pencabutan izin usaha tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif yang lain.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), serta besaran denda sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf h diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 72
(1) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dikenai
sanksi peringatan tertulis atau pembatasan kegiatan usaha, Otoritas
Jasa Keuangan dapat memerintahkan:
a. penambahan modal;
b. penggantian direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan
direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk
koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf c, dewan pengawas syariah, aktuaris
perusahaan, atau auditor internal;
c. direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan
dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau
usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf c, dan/atau dewan pengawas syariah menyerahkan
pengendalian dan pengelolaan kegiatan Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah kepada Pengelola Statuter;
d. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah mengalihkan
sebagian atau seluruh portofolio pertanggungan kepada
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah lain; dan/atau
e. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah melakukan
tindakan yang dinilai dapat mengatasi kesulitan atau tidak
melakukan tindakan yang dinilai dapat memperburuk kondisi
perusahaan.
(2) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
mengatasi kesulitan yang dihadapi Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah, Otoritas Jasa Keuangan dapat mencabut izin
usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.
(3) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta instansi yang berwenang
untuk memblokir sebagian atau seluruh kekayaan Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah yang sedang dikenai sanksi
pembatasan kegiatan usaha karena tidak memenuhi ketentuan
tingkat solvabilitas atau dicabut izin usahanya.
(4) Pencabutan blokir terhadap sebagian atau seluruh kekayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan setelah memperoleh
persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pemblokiran
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan pencabutan blokir
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 73
(1) Setiap Orang yang menjalankan kegiatan usaha asuransi, usaha
asuransi syariah, Usaha Reasuransi, atau Usaha Reasuransi Syariah
tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar
rupiah).
(2) Setiap Orang yang menjalankan kegiatan Usaha Pialang Asuransi atau
Usaha Pialang Reasuransi tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang menjalankan kegiatan Usaha Penilai Kerugian
Asuransi tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 74
(1) Anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau yang setara dengan
anggota direksi dan anggota dewan komisaris pada badan hukum
berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, anggota dewan pengawas syariah,
aktuaris perusahaan, auditor internal, Pengendali, atau pegawai lain
dari Perusahaan Perasuransian yang dengan sengaja memberikan
laporan, informasi, data, dan/atau dokumen kepada Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) yang tidak
benar, palsu, dan/atau menyesatkan dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau yang setara dengan
anggota direksi dan anggota dewan komisaris pada badan hukum
berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, anggota dewan pengawas syariah,
aktuaris perusahaan, auditor internal, Pengendali, atau pegawai lain
dari Perusahaan Perasuransian yang dengan sengaja memberikan
informasi, data, dan/atau dokumen kepada pihak yang
berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) dan
Pasal 46 ayat (2) yang tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah).
Pasal 75
Setiap Orang yang dengan sengaja tidak memberikan informasi atau
memberikan informasi yang tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan
kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
Pasal 76
Setiap Orang yang menggelapkan Premi atau Kontribusi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5) dan Pasal 29 ayat (4) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 77
Setiap Orang yang menggelapkan dengan cara mengalihkan,
menjaminkan, mengagunkan, atau menggunakan kekayaan, atau
melakukan tindakan lain yang dapat mengurangi aset atau menurunkan
nilai aset Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 ayat (2) tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling
lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
Pasal 78
Setiap Orang yang melakukan pemalsuan atas dokumen Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 79
Anggota direksi dan/atau pihak yang menandatangani polis baru dari
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang sedang
dalam pengenaan sanksi pembatasan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima
belas miliar rupiah).
Pasal 80
Setiap Orang, yang ditunjuk atau ditugasi oleh Otoritas Jasa Keuangan,
yang menggunakan atau mengungkapkan informasi apapun yang bersifat
rahasia kepada pihak lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi,
tugas, dan wewenangnya berdasarkan keputusan Otoritas Jasa Keuangan
atau diwajibkan oleh undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
67, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
Pasal 81
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73,
Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78, atau Pasal 80 dilakukan oleh
korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi, Pengendali,
dan/atau pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi.
(2) Pidana dijatuhkan terhadap korporasi apabila tindak pidana:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh Pengendali dan/atau
pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan
korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi
perintah; dan
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.
Pasal 82
Pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda paling
banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah).
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 83
(1) Perusahaan Perasuransian yang telah mendapatkan izin usaha pada
saat diundangkannya Undang-Undang ini, dinyatakan telah mendapat
izin usaha berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Perusahaan agen asuransi yang telah mendapatkan izin usaha pada
saat diundangkannya Undang-Undang ini tetap dapat menjalankan
usahanya.
(3) Izin atau persetujuan yang telah diberikan kepada Perusahaan
Perasuransian berkenaan dengan kelembagaan dan penyelenggaraan
Usaha Perasuransian pada saat diundangkannya Undang-Undang ini,
dinyatakan tetap berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 84
(1) Perusahaan konsultan aktuaria yang telah mendapat izin usaha pada
saat diundangkannya Undang-Undang ini tetap dapat menjalankan
kegiatan usahanya.
(2) Dengan diundangkannya Undang-Undang ini, perizinan usaha,
pembinaan, dan pengawasan perusahaan konsultan aktuaria
dilakukan oleh Menteri.
Pasal 85
(1) Pada saat diundangkannya Undang-Undang ini, setiap Pihak yang
menjadi pemegang saham pengendali pada lebih dari 1 (satu)
perusahaan asuransi jiwa, 1 (satu) perusahaan asuransi umum, 1
(satu) perusahaan reasuransi, 1 (satu) perusahaan asuransi jiwa
syariah, 1 (satu) perusahaan asuransi umum syariah, dan 1 (satu)
perusahaan reasuransi syariah wajib menyesuaikan dengan
ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) paling lama 3 (tiga) tahun sejak
diundangkannya Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyesuaian pemegang
saham pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sanksi
bagi Pihak yang tidak melakukan penyesuaian pemegang saham
pengendali diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 86
Usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c
wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan
peraturan pelaksanaannya paling lama 3 (tiga) tahun sejak
diundangkannya Undang-Undang ini.
Pasal 87
(1) Dalam hal Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi memiliki
unit syariah dengan nilai Dana Tabarru’ dan dana investasi peserta
telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai
Dana Asuransi, Dana Tabarru’, dan dana investasi peserta pada
perusahaan induknya atau 10 (sepuluh) tahun sejak diundangkannya
Undang-Undang ini, Perusahaan Asuransi atau perusahaan
reasuransi tersebut wajib melakukan pemisahan unit syariah tersebut
menjadi Perusahaan Asuransi Syariah atau perusahaan reasuransi
syariah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemisahan unit syariah dan sanksi
bagi Perusahaan Asuransi dan perusahaan reasuransi yang tidak
melakukan pemisahan unit syariah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 88
(1) Perusahaan Perasuransian yang belum memenuhi ketentuan dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf a wajib menyesuaikan dengan ketentuan
tersebut dengan mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada warga
negara Indonesia atau melakukan perubahan kepemilikan melalui
mekanisme penawaran umum (initial public offering) paling lama 5
(lima) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyesuaian kepemilikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sanksi bagi Perusahaan
Perasuransian yang tidak melakukan penyesuaian kepemilikan diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 89
Ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan yang mewajibkan
penutupan asuransi atau asuransi syariah oleh seluruh atau kelompok
tertentu dalam masyarakat wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 90
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467) dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku;
b. ketentuan mengenai permohonan pernyataan pailit oleh Menteri
Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4443) dinyatakan tidak berlaku bagi Perusahaan Asuransi dan
perusahaan reasuransi; dan
c.
semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang
Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3467), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 91
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling
lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Pasal 92
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN