로고

「식품에 관한 인도네시아 공화국 법률 2012년 제18호」

ㆍ 국 가 ‧ 지 역: 인도네시아 ㆍ 법 률 번 호: 2012년 제18호 ㆍ 제 정 일: 2012.11.16.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas; b. bahwa negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi Pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal; c. bahwa sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar dan di sisi lain memiliki sumber daya alam dan sumber Pangan yang beragam, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan Pangannya secara berdaulat dan mandiri; d. bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika perkembangan kondisi eksternal dan internal, demokratisasi, desentralisasi, globalisasi, penegakan hukum, dan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang dihasilkan kemudian sehingga perlu diganti; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pangan; Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, dan Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PANGAN. 전능하신 신의 은총으로 인도네시아 공화국 대통령은, 고려함: a. 식량은 인간에게 있어 가장 중요한 기본적인 필수품이며, 그충족은 1945년 인도네시아 공화국 헌법에 보장된 인권의 일부로 양질의 인적자원을 형성하기 위한 기본 요소이다. b. 국가는 자원, 조직 및 지역 문화를 활용하여 인도네시아 공화국 전역의 개개인에게까지 균등하게 국가 및 지역 수준에서 충분하고 안전하며 품질이 좋고 영양상 균형이 잡힌 식량의 가용성과 접근성 그리고 소비에 대한 충족을 실현할 의무가 있다. c. 인구가 많으며 천연자원과 식량자원이 다양한 국가로서, 인도 네시아는 자주적이고 독립적으로 식량의 수요를 충족할 능력이 있다. d. 1996년 제7호 법률은 내외부 적인 상황의 발전에 더이상 부응하지 못하며, 민주주의, 분권 주의, 세계화, 법집행과 일부 법령규정으로 인하여 변화가 필요 하다. e. a, b, c, 그리고 d의 고려사항을 기초로 하여 식품에 관한 법률을 제정하는 것이 필요하다. 검토함: 1945년 인도네시아 공화국 헌법 제20조, 제21조, 제28A조 및 28C조 인도네시아 공화국 국민대표의회의 동의를 얻어 인도네시아 공화국 대통령은 결정한다. 확정함: 식품에 관한 법률

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. 2. Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. 3. Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. 4. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. 5. Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. 6. Produksi Pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan/atau mengubah bentuk Pangan. 7. Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya Pangan dari hasil produksi dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. 8. Cadangan Pangan Nasional adalah persediaan Pangan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk konsumsi manusia dan untuk menghadapi masalah kekurangan Pangan, gangguan pasokan dan harga, serta keadaan darurat. 9. Cadangan Pangan Pemerintah adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh Pemerintah. 10. Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah provinsi. 11. Cadangan Pangan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota. 12. Cadangan Pangan Pemerintah Desa adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah desa. 13. Cadangan Pangan Masyarakat adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh masyarakat di tingkat pedagang, komunitas, dan rumah tangga. 14. Penyelenggaraan Pangan adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam penyediaan, keterjangkauan, pemenuhan konsumsi Pangan dan Gizi, serta keamanan Pangan dengan melibatkan peran serta masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu. 15. Pangan Pokok adalah Pangan yang diperuntukkan sebagai makanan utama sehari-hari sesuai dengan potensi sumber daya dan kearifan lokal. 16. Penganekaragaman Pangan adalah upaya peningkatan ketersediaan dan konsumsi Pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis pada potensi sumber daya lokal. 17. Pangan Lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal. 18. Pangan Segar adalah Pangan yang belum mengalami pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung dan/atau yang dapat menjadi bahan baku pengolahan Pangan. 19. Pangan Olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan. 20. Petani adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang melakukan usaha tani di bidang Pangan. 21. Nelayan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. 22. Pembudi Daya Ikan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya membesarkan, membiakkan, dan/atau memelihara ikan dan sumber hayati perairan lainnya serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol. 23. Perdagangan Pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penjualan dan/atau pembelian Pangan, termasuk penawaran untuk menjual Pangan dan kegiatan lain yang berkenaan dengan pemindahtanganan Pangan dengan memperoleh imbalan. 24. Ekspor Pangan adalah kegiatan mengeluarkan Pangan dari daerah pabean negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif, dan landas kontinen. 25. Impor Pangan adalah kegiatan memasukkan Pangan ke dalam daerah pabean negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif, dan landas kontinen. 26. Peredaran Pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran Pangan kepada masyarakat, baik diperdagangkan maupun tidak. 27. Bantuan Pangan adalah Bantuan Pangan Pokok dan Pangan lainnya yang diberikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat dalam mengatasi Masalah Pangan dan Krisis Pangan, meningkatkan akses Pangan bagi masyarakat miskin dan/atau rawan Pangan dan Gizi, dan kerja sama internasional. 28. Masalah Pangan adalah keadaan kekurangan, kelebihan, dan/atau ketidakmampuan perseorangan atau rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan Pangan dan Keamanan Pangan. 29. Krisis Pangan adalah kondisi kelangkaan Pangan yang dialami sebagian besar masyarakat di suatu wilayah yang disebabkan oleh, antara lain, kesulitan distribusi Pangan, dampak perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan, dan konflik sosial, termasuk akibat perang. 30. Sanitasi Pangan adalah upaya untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi Pangan yang sehat dan higienis yang bebas dari bahaya cemaran biologis, kimia, dan benda lain. 31. Persyaratan Sanitasi adalah standar kebersihan dan kesehatan yang harus dipenuhi untuk menjamin Sanitasi Pangan. 32. Iradiasi Pangan adalah metode penanganan Pangan, baik dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan, membebaskan Pangan dari jasad renik patogen, serta mencegah pertumbuhan tunas. 33. Rekayasa Genetik Pangan adalah suatu proses yang melibatkan pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu jenis hayati ke jenis hayati lain yang berbeda atau sama untuk mendapatkan jenis baru yang mampu menghasilkan produk Pangan yang lebih unggul. 34. Pangan Produk Rekayasa Genetik adalah Pangan yang diproduksi atau yang menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari proses rekayasa genetik. 35. Kemasan Pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus Pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan Pangan maupun tidak. 36. Mutu Pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan dan kandungan Gizi Pangan. 37. Gizi adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam Pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, serat, air, dan komponen lain yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. 38. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 39. Pelaku Usaha Pangan adalah Setiap Orang yang bergerak pada satu atau lebih subsistem agribisnis Pangan, yaitu penyedia masukan produksi, proses produksi, pengolahan, pemasaran, perdagangan, dan penunjang. 40. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 41. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

BAB II ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP PENGATURAN

Pasal 2

Penyelenggaraan Pangan dilakukan dengan berdasarkan asas: a. kedaulatan; b. kemandirian; c. ketahanan; d. keamanan; e. manfaat; f. pemerataan; g. berkelanjutan; dan h. keadilan.

Pasal 3

Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan.

Pasal 4

Penyelenggaraan Pangan bertujuan untuk: a. meningkatkan kemampuan memproduksi Pangan secara mandiri; b. menyediakan Pangan yang beraneka ragam dan memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan Gizi bagi konsumsi masyarakat; c. mewujudkan tingkat kecukupan Pangan, terutama Pangan Pokok dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat; d. mempermudah atau meningkatkan akses Pangan bagi masyarakat, terutama masyarakat rawan Pangan dan Gizi; e. meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas Pangan di pasar dalam negeri dan luar negeri; f. meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang Pangan yang aman, bermutu, dan bergizi bagi konsumsi masyarakat; g. meningkatkan kesejahteraan bagi Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan; dan h. melindungi dan mengembangkan kekayaan sumber daya Pangan nasional.

Pasal 5

Lingkup pengaturan Penyelenggaraan Pangan meliputi: a. perencanaan Pangan; b. Ketersediaan Pangan; c. keterjangkauan Pangan; d. konsumsi Pangan dan Gizi; e. Keamanan Pangan; f. label dan iklan Pangan; g. pengawasan; h. sistem informasi Pangan; i. penelitian dan pengembangan Pangan; j. kelembagaan Pangan; k. peran serta masyarakat; dan l. penyidikan.

BAB III PERENCANAAN

Pasal 6

Perencanaan Pangan dilakukan untuk merancang Penyelenggaraan Pangan ke arah Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan.

Pasal 7

Perencanaan Pangan harus memperhatikan: a. pertumbuhan dan sebaran penduduk; b. kebutuhan konsumsi Pangan dan Gizi; c. daya dukung sumber daya alam, teknologi, dan kelestarian lingkungan; d. pengembangan sumber daya manusia dalam Penyelenggaraan Pangan; e. kebutuhan sarana dan prasarana Penyelenggaraan Pangan; f. potensi Pangan dan budaya lokal; g. rencana tata ruang wilayah; dan h. rencana pembangunan nasional dan daerah.

Pasal 8

(1) Perencanaan Pangan harus terintegrasi dalam rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan daerah.

(2) Perencanaan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan melibatkan peran masyarakat.

(3) Perencanaan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

(4) Perencanaan Pangan ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana kerja tahunan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 9

(1) Perencanaan Pangan tingkat nasional dilakukan dengan memperhatikan rencana pembangunan nasional serta kebutuhan dan usulan provinsi.

(2) Perencanaan Pangan tingkat provinsi dilakukan dengan memperhatikan rencana pembangunan provinsi dan memperhatikan kebutuhan dan usulan kabupaten/kota serta dilakukan dengan berpedoman pada rencana Pangan nasional.

(3) Perencanaan Pangan tingkat kabupaten/kota dilakukan dengan memperhatikan rencana pembangunan kabupaten/kota dan rencana Pangan tingkat provinsi serta dilakukan dengan berpedoman pada rencana Pangan nasional.

Pasal 10

(1) Perencanaan Pangan diwujudkan dalam bentuk rencana Pangan.

(2) Rencana Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. rencana Pangan nasional; b. rencana Pangan provinsi; dan c. rencana Pangan kabupaten/kota.

(3) Rencana Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Presiden, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 11

Rencana Pangan nasional sekurang-kurangnya memuat: a. kebutuhan konsumsi Pangan dan status Gizi masyarakat; b. Produksi Pangan; c. Cadangan Pangan terutama Pangan Pokok; d. Ekspor Pangan; e. Impor Pangan; f. Penganekaragaman Pangan; g. distribusi, perdagangan, dan pemasaran Pangan, terutama Pangan Pokok; h. stabilisasi pasokan dan harga Pangan Pokok; i. Keamanan Pangan; j. penelitian dan pengembangan Pangan; k. kebutuhan dan diseminasi ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Pangan; l. kelembagaan Pangan; dan m. tingkat pendapatan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan.

BAB IV KETERSEDIAAN PANGAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 12

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas Ketersediaan Pangan.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas Ketersediaan Pangan di daerah dan pengembangan Produksi Pangan Lokal di daerah.

(3) Dalam mewujudkan Ketersediaan Pangan melalui pengembangan Pangan Lokal, Pemerintah Daerah menetapkan jenis Pangan lokalnya.

(4) Penyediaan Pangan diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi Pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan perseorangan secara berkelanjutan.

(5) Untuk mewujudkan Ketersediaan Pangan melalui Produksi Pangan dalam negeri dilakukan dengan:

a. mengembangkan Produksi Pangan yang bertumpu pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal; b. mengembangkan efisiensi sistem usaha Pangan; c. mengembangkan sarana, prasarana, dan teknologi untuk produksi, penanganan pascapanen, pengolahan, dan penyimpanan Pangan; d. membangun, merehabilitasi, dan mengembangkan prasarana Produksi Pangan; e. mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif; dan f. membangun kawasan sentra Produksi Pangan.

(6) Pemerintah menetapkan sentra Produksi Pangan Lokal sesuai dengan usulan Pemerintah Daerah.

Pasal 13

Pemerintah berkewajiban mengelola stabilisasi pasokan dan harga Pangan Pokok, mengelola cadangan Pangan Pokok Pemerintah, dan distribusi Pangan Pokok untuk mewujudkan kecukupan Pangan Pokok yang aman dan bergizi bagi masyarakat.

Pasal 14

(1) Sumber penyediaan Pangan berasal dari Produksi Pangan dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional.

(2) Dalam hal sumber penyediaan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mencukupi, Pangan dapat dipenuhi dengan Impor Pangan sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 15

(1) Pemerintah mengutamakan Produksi Pangan dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi Pangan.

(2) Dalam hal Ketersediaan Pangan untuk kebutuhan konsumsi dan cadangan Pangan sudah tercukupi, kelebihan Produksi Pangan dalam negeri dapat digunakan untuk keperluan lain.

Bagian Kedua Produksi Pangan Dalam Negeri

Paragraf 1 Potensi Produksi Pangan

Pasal 16

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat mengembangkan potensi Produksi Pangan.

(2) Pengembangan potensi Produksi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memanfaatkan:

a. sumber daya manusia; b. sumber daya alam; c. sumber pendanaan; d. ilmu pengetahuan dan teknologi; e. sarana dan prasarana Pangan; dan f. kelembagaan Pangan.

Pasal 17

Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melindungi dan memberdayakan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan sebagai produsen Pangan.

Pasal 18

Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam memenuhi kebutuhan Pangan berkewajiban: a. mengatur, mengembangkan, dan mengalokasikan lahan pertanian dan sumber daya air; b. memberikan penyuluhan dan pendampingan; c. menghilangkan berbagai kebijakan yang berdampak pada penurunan daya saing; dan d. melakukan pengalokasian anggaran.

Pasal 19

Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk peningkatan Produksi Pangan.

Pasal 20

Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi penggunaan dan pengembangan sarana dan prasarana dalam upaya meningkatkan Produksi Pangan.

Pasal 21

Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengembangkan kelembagaan Pangan masyarakat untuk meningkatkan Produksi Pangan.

Paragraf 2 Ancaman Produksi Pangan

Pasal 22

(1) Ancaman Produksi Pangan merupakan kejadian yang dapat menimbulkan kegagalan Produksi Pangan yang disebabkan oleh:

a. perubahan iklim; b. serangan organisme pengganggu tumbuhan serta wabah penyakit hewan dan ikan; c. bencana alam; d. bencana sosial; e. pencemaran lingkungan; f. degradasi sumber daya lahan dan air; g. kompetisi pemanfaatan sumber daya Produksi Pangan; h. alih fungsi penggunaan lahan; dan i. disinsentif ekonomi.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mengantisipasi dan menanggulangi ancaman Produksi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui bantuan teknologi dan regulasi.

Bagian Ketiga Cadangan Pangan Nasional

Paragraf 1 Umum

Pasal 23

(1) Dalam mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan, Pemerintah menetapkan Cadangan Pangan Nasional.

(2) Cadangan Pangan Nasional terdiri atas:

a. Cadangan Pangan Pemerintah; b. Cadangan Pangan Pemerintah Daerah; dan c. Cadangan Pangan Masyarakat.

Pasal 24

Cadangan Pangan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dilakukan untuk mengantisipasi: a. kekurangan Ketersediaan Pangan; b. kelebihan Ketersediaan Pangan; c. gejolak harga Pangan; dan/atau d. keadaan darurat.

Pasal 25

Cadangan Pangan Nasional dapat dimanfaatkan untuk kerja sama internasional dan Bantuan Pangan luar negeri.

Pasal 26

Pemerintah dapat mengembangkan kemitraan dengan Pelaku Usaha Pangan, perguruan tinggi, dan masyarakat dalam pengembangan Cadangan Pangan Nasional.

Paragraf 2 Cadangan Pangan Pemerintah

Pasal 27

(1) Dalam mewujudkan Cadangan Pangan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pemerintah menetapkan Cadangan Pangan Pemerintah dan Cadangan Pangan Pemerintah Daerah.

(2) Cadangan Pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan bersumber dari Produksi Pangan dalam negeri.

(3) Cadangan Pangan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. Cadangan Pangan Pemerintah Desa; b. Cadangan Pangan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan c. Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi.

Pasal 28

(1) Pemerintah menetapkan jenis dan jumlah Pangan Pokok tertentu sebagai Cadangan Pangan Pemerintah.

(2) Cadangan Pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara berkala dengan memperhitungkan tingkat kebutuhan.

(3) Pengadaan Cadangan Pangan Pemerintah diutamakan melalui pembelian Pangan Pokok produksi dalam negeri, terutama pada saat panen raya.

(4) Ketentuan mengenai penetapan Cadangan Pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengadaan Cadangan Pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 29

(1) Pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan/atau pemerintah desa menetapkan jenis dan jumlah cadangan Pangan tertentu sesuai dengan kebutuhan konsumsi masyarakat setempat.

(2) Cadangan Pangan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan pemerintah desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari produksi dalam negeri.

Pasal 30

(1) Pemerintah menyelenggarakan pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran Cadangan Pangan Pemerintah.

(2) Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi dengan memperhatikan Cadangan Pangan Pemerintah Desa, Cadangan Pangan Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi.

Pasal 31

(1) Penyaluran Cadangan Pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dilakukan untuk menanggulangi:

a. kekurangan Pangan; b. gejolak harga Pangan; c. bencana alam; d. bencana sosial; dan/atau e. menghadapi keadaan darurat.

(2) Penyaluran Cadangan Pangan Pemerintah dilakukan dengan:

a. mekanisme yang disesuaikan dengan kondisi wilayah dan rumah tangga; dan b. tidak merugikan konsumen dan produsen.

(3) Dalam hal tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pemerintah berhak mengatur penyaluran Cadangan Pangan Pemerintah Daerah.

Pasal 32

(1) Pemerintah menugasi kelembagaan Pemerintah yang bergerak di bidang Pangan untuk mengelola Cadangan Pangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kelembagaan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung dengan sarana, jaringan, dan infrastruktur secara nasional.

(3) Dalam pengelolaan cadangan Pangan, Pemerintah Daerah dapat menunjuk kelembagaan daerah dan/atau bekerja sama dengan kelembagaan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Paragraf 3 Cadangan Pangan Masyarakat

Pasal 33

(1) Masyarakat mempunyai hak dan kesempatan seluas-luasnya dalam upaya mewujudkan Cadangan Pangan Masyarakat.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan Cadangan Pangan Masyarakat sesuai dengan kearifan lokal.

Bagian Keempat Ekspor Pangan

Pasal 34

(1) Ekspor Pangan dapat dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan konsumsi Pangan di dalam negeri dan kepentingan nasional.

(2) Ekspor Pangan Pokok hanya dapat dilakukan setelah terpenuhinya kebutuhan konsumsi Pangan Pokok dan Cadangan Pangan Nasional.

Pasal 35

(1) Setiap Orang yang mengekspor Pangan bertanggung jawab atas keamanan, mutu, dan Gizi Pangan yang dipersyaratkan negara tujuan.

(2) Ekspor Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kelima Impor Pangan

Pasal 36

(1) Impor Pangan hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri.

(2) Impor Pangan Pokok hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional tidak mencukupi.

(3) Kecukupan Produksi Pangan Pokok dalam negeri dan Cadangan Pangan Pemerintah ditetapkan oleh menteri atau lembaga pemerintah yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan.

Pasal 37

(1) Impor Pangan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri wajib memenuhi persyaratan keamanan, mutu, Gizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat.

(2) Ketentuan mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 38

Impor Pangan wajib memenuhi persyaratan batas kedaluwarsa dan kualitas Pangan.

Pasal 39

Pemerintah menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan yang tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil.

Pasal 40

Impor Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 39 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keenam Penganekaragaman Pangan

Pasal 41

Penganekaragaman Pangan merupakan upaya meningkatkan Ketersediaan Pangan yang beragam dan yang berbasis potensi sumber daya lokal untuk: a. memenuhi pola konsumsi Pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman; b. mengembangkan usaha Pangan; dan/atau c. meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pasal 42

Penganekaragaman Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dilakukan dengan: a. penetapan kaidah Penganekaragaman Pangan; b. pengoptimalan Pangan Lokal; c. pengembangan teknologi dan sistem insentif bagi usaha pengolahan Pangan Lokal; d. pengenalan jenis Pangan baru, termasuk Pangan Lokal yang belum dimanfaatkan; e. pengembangan diversifikasi usaha tani dan perikanan; f. peningkatan ketersediaan dan akses benih dan bibit tanaman, ternak, dan ikan; g. pengoptimalan pemanfaatan lahan, termasuk lahan pekarangan; h. penguatan usaha mikro, kecil, dan menengah di bidang Pangan; dan i. pengembangan industri Pangan yang berbasis Pangan Lokal.

Pasal 43

Ketentuan lebih lanjut mengenai Penganekaragaman Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketujuh Krisis Pangan

Pasal 44

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan tindakan untuk mengatasi Krisis Pangan.

(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk:

a. pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran Cadangan Pangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah; b. mobilisasi Cadangan Pangan Masyarakat di dalam dan antardaerah; c. menggerakkan partisipasi masyarakat; dan/atau d. menerapkan teknologi untuk mengatasi Krisis Pangan dan pencemaran lingkungan.

Pasal 45

(1) Penetapan kriteria dan status Krisis Pangan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan skala krisis.

(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:

a. Presiden untuk skala nasional; b. gubernur untuk skala provinsi; dan c. bupati/walikota untuk skala kabupaten/kota.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kriteria dan status Krisis Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan pada Peraturan Pemerintah.

BAB V KETERJANGKAUAN PANGAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 46

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam mewujudkan keterjangkauan Pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan perseorangan.

(2) Dalam mewujudkan keterjangkauan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan kebijakan Pemerintah di bidang:

a. distribusi; b. pemasaran; c. perdagangan; d. stabilisasi pasokan dan harga Pangan Pokok; dan e. Bantuan Pangan.

Bagian Kedua Distribusi Pangan

Pasal 47

(1) Distribusi Pangan dilakukan untuk memenuhi pemerataan Ketersediaan Pangan ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara berkelanjutan.

(2) Distribusi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan agar perseorangan dapat memperoleh Pangan dalam jumlah yang cukup, aman, bermutu, beragam, bergizi, dan terjangkau.

(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap distribusi Pangan sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 48

(1) Distribusi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dilakukan melalui:

a. pengembangan sistem distribusi Pangan yang menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara efektif dan efisien; b. pengelolaan sistem distribusi Pangan yang dapat mempertahankan keamanan, mutu, gizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat; dan c. perwujudan kelancaran dan keamanan distribusi Pangan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai distribusi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 49

(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mewujudkan kelancaran distribusi Pangan dengan mengutamakan pelayanan transportasi yang efektif dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan prioritas untuk kelancaran bongkar muat produk Pangan.

(3) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana distribusi Pangan, terutama Pangan Pokok.

(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mengembangkan lembaga distribusi Pangan masyarakat.

Bagian Ketiga Pemasaran Pangan

Pasal 50

(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan pembinaan kepada pihak yang melakukan pemasaran Pangan.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar setiap pihak mempunyai kemampuan menerapkan tata cara pemasaran yang baik.

(3) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan promosi untuk meningkatkan penggunaan produk Pangan Lokal.

(4) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan promosi di luar negeri untuk meningkatkan pemasaran produk Pangan.

Bagian Keempat Perdagangan Pangan

Pasal 51

(1) Pemerintah berkewajiban mengatur Perdagangan Pangan.

(2) Pengaturan Perdagangan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:

a. stabilisasi pasokan dan harga Pangan, terutama Pangan Pokok; b. manajemen Cadangan Pangan; dan c. penciptaan iklim usaha Pangan yang sehat.

Pasal 52

(1) Dalam hal Perdagangan Pangan, Pemerintah menetapkan mekanisme, tata cara, dan jumlah maksimal penyimpanan Pangan Pokok oleh Pelaku Usaha Pangan.

(2) Ketentuan mengenai mekanisme, tata cara, dan jumlah maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan pada Peraturan Pemerintah.

Pasal 53

Pelaku Usaha Pangan dilarang menimbun atau menyimpan Pangan Pokok melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.

Pasal 54

(1) Pelaku Usaha Pangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. denda; b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; dan/atau c. pencabutan izin.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan Pokok

Pasal 55

(1) Pemerintah berkewajiban melakukan stabilisasi pasokan dan harga Pangan Pokok di tingkat produsen dan konsumen.

(2) Stabilisasi pasokan dan harga Pangan Pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk melindungi pendapatan dan daya beli Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil, serta menjaga keterjangkauan konsumen terhadap Pangan Pokok.

Pasal 56

Stabilisasi pasokan dan harga Pangan Pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dilakukan melalui: a. penetapan harga pada tingkat produsen sebagai pedoman pembelian Pemerintah; b. penetapan harga pada tingkat konsumen sebagai pedoman bagi penjualan Pemerintah; c. pengelolaan dan pemeliharaan Cadangan Pangan Pemerintah; d. pengaturan dan pengelolaan pasokan Pangan; e. penetapan kebijakan pajak dan/atau tarif yang berpihak pada kepentingan nasional; f. pengaturan kelancaran distribusi antarwilayah; dan/atau g. pengaturan Ekspor Pangan dan Impor Pangan.

Pasal 57

(1) Pemerintah Daerah dapat menentukan harga minimum daerah untuk Pangan Lokal yang tidak ditetapkan oleh Pemerintah.

(2) Penentuan harga Pangan Lokal minimum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, dan/atau Peraturan Bupati/Walikota.

Bagian Keenam Bantuan Pangan

Pasal 58

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam penyediaan dan penyaluran Pangan Pokok dan/atau Pangan lainnya sesuai dengan kebutuhan, baik bagi masyarakat miskin, rawan Pangan dan Gizi, maupun dalam keadaan darurat.

(2) Bantuan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengutamakan produksi dalam negeri dan kearifan lokal.

BAB VI KONSUMSI PANGAN DAN GIZI

Bagian Kesatu Konsumsi Pangan

Pasal 59

Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban meningkatkan pemenuhan kuantitas dan kualitas konsumsi Pangan masyarakat melalui: a. penetapan target pencapaian angka konsumsi Pangan per kapita pertahun sesuai dengan angka kecukupan Gizi; b. penyediaan Pangan yang beragam, bergizi seimbang, aman, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat; dan c. pengembangan pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam pola konsumsi Pangan yang beragam, bergizi seimbang, bermutu, dan aman.

Bagian Kedua Penganekaragaman Konsumsi Pangan

Pasal 60

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mewujudkan penganekaragaman konsumsi Pangan untuk memenuhi kebutuhan Gizi masyarakat dan mendukung hidup sehat, aktif, dan produktif.

(2) Penganekaragaman konsumsi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan membudayakan pola konsumsi Pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman serta sesuai dengan potensi dan kearifan lokal.

Pasal 61

Penganekaragaman konsumsi Pangan dilakukan dengan: a. mempromosikan penganekaragaman konsumsi Pangan; b. meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi aneka ragam Pangan dengan prinsip Gizi seimbang; c. meningkatkan keterampilan dalam pengembangan olahan Pangan Lokal; dan d. mengembangkan dan mendiseminasikan teknologi tepat guna untuk pengolahan Pangan Lokal.

Pasal 62

Tercapainya penganekaragaman konsumsi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 diukur melalui pencapaian nilai komposisi pola Pangan dan Gizi seimbang.

Bagian Ketiga Perbaikan Gizi

Pasal 63

(1) Pemerintah menetapkan kebijakan di bidang Gizi untuk perbaikan status Gizi masyarakat.

(2) Kebijakan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

a. penetapan persyaratan perbaikan atau pengayaan Gizi Pangan tertentu yang diedarkan apabila terjadi kekurangan atau penurunan status Gizi masyarakat; b. penetapan persyaratan khusus mengenai komposisi Pangan untuk meningkatkan kandungan Gizi Pangan Olahan tertentu yang diperdagangkan; c. pemenuhan kebutuhan Gizi ibu hamil, ibu menyusui, bayi, balita, dan kelompok rawan Gizi lainnya; dan d. peningkatan konsumsi Pangan hasil produk ternak, ikan, sayuran, buah-buahan, dan umbi-umbian lokal.

(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyusun rencana aksi Pangan dan Gizi setiap 5 (lima) tahun.

Pasal 64

(1) Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan Olahan tertentu untuk diperdagangkan wajib menerapkan tata cara pengolahan Pangan yang dapat menghambat proses penurunan atau kehilangan kandungan Gizi bahan baku Pangan yang digunakan.

(2) Penerapan tata cara pengolahan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap berdasarkan jenis Pangan serta jenis dan skala usaha Produksi Pangan.

Pasal 65

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. denda; b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen; d. ganti rugi; dan/atau e. pencabutan izin.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 66

Ketentuan mengenai persyaratan khusus tentang komposisi, persyaratan perbaikan, atau pengayaan Gizi dan tata cara pengolahan Pangan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

BAB VII KEAMANAN PANGAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 67

(1) Keamanan Pangan diselenggarakan untuk menjaga Pangan tetap aman, higienis, bermutu, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat.

(2) Keamanan Pangan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.

Pasal 68

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terwujudnya penyelenggaraan Keamanan Pangan di setiap rantai Pangan secara terpadu.

(2) Pemerintah menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan.

(3) Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan wajib menerapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) Penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara bertahap berdasarkan jenis Pangan dan skala usaha Pangan.

(5) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah wajib membina dan mengawasi pelaksanaan penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).

Pasal 69

Penyelenggaraan Keamanan Pangan dilakukan melalui: a. Sanitasi Pangan; b. pengaturan terhadap bahan tambahan Pangan; c. pengaturan terhadap Pangan Produk Rekayasa Genetik; d. pengaturan terhadap Iradiasi Pangan; e. penetapan standar Kemasan Pangan; f. pemberian jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan; dan g. jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan.

Bagian Kedua Sanitasi Pangan

Pasal 70

(1) Sanitasi Pangan dilakukan agar Pangan aman untuk dikonsumsi.

(2) Sanitasi Pangan dilakukan dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran Pangan.

(3) Sanitasi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan standar Keamanan Pangan.

Pasal 71

(1) Setiap Orang yang terlibat dalam rantai Pangan wajib mengendalikan risiko bahaya pada Pangan, baik yang berasal dari bahan, peralatan, sarana produksi, maupun dari perseorangan sehingga Keamanan Pangan terjamin.

(2) Setiap Orang yang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran Pangan wajib:

a. memenuhi Persyaratan Sanitasi; dan b. menjamin Keamanan Pangan dan/atau keselamatan manusia.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 72

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. denda; b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen; d. ganti rugi; dan/atau e. pencabutan izin.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga Pengaturan Bahan Tambahan Pangan

Pasal 73

Bahan tambahan Pangan merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam Pangan untuk mempengaruhi sifat dan/atau bentuk Pangan.

Pasal 74

(1) Pemerintah berkewajiban memeriksa keamanan bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan Pangan yang belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan untuk diedarkan.

(2) Pemeriksaan keamanan bahan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mendapatkan izin peredaran.

Pasal 75

(1) Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan:

a. bahan tambahan Pangan yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan; dan/atau b. bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan Pan gan.

(2) Ketentuan mengenai ambang batas maksimal dan bahan yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 76

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. denda; b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen; d. ganti rugi; dan/atau e. pencabutan izin.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat Pengaturan Pangan Produk Rekayasa Genetik

Pasal 77

(1) Setiap Orang dilarang memproduksi Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan.

(2) Setiap Orang yang melakukan kegiatan atau proses Produksi Pangan dilarang menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan.

(3) Persetujuan Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan oleh Pemerintah.

(4) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh persetujuan Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 78

(1) Pemerintah menetapkan persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan metode Rekayasa Genetik Pangan dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan, serta menetapkan persyaratan bagi pengujian Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan.

(2) Ketentuan mengenai persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan metode Rekayasa Genetik Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 79

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. denda; b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen; d. ganti rugi; dan/atau e. pencabutan izin.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima Pengaturan Iradiasi Pangan

Pasal 80

(1) Iradiasi Pangan dapat dilakukan dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator.

(2) Iradiasi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan untuk membebaskan Pangan dari jasad renik patogen, serta mencegah pertumbuhan tunas.

Pasal 81

(1) Iradiasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) dilakukan berdasarkan izin Pemerintah.

(2) Izin Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi:

a. persyaratan kesehatan; b. prinsip pengolahan; c. dosis; d. teknik dan peralatan; e. penanganan limbah dan penanggulangan bahaya zat radioaktif; f. keselamatan kerja; dan g. kelestarian lingkungan.

(3) Ketentuan mengenai pemenuhan izin Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam Standar Kemasan Pangan

Pasal 82

(1) Kemasan Pangan berfungsi untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan, melindungi produk dari kotoran, dan membebaskan Pangan dari jasad renik patogen.

(2) Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan dalam kemasan wajib menggunakan bahan Kemasan Pangan yang tidak membahayakan kesehatan manusia.

Pasal 83

(1) Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apa pun sebagai Kemasan Pangan yang dapat melepaskan cemaran yang membahayakan kesehatan manusia.

(2) Pengemasan Pangan yang diedarkan dilakukan melalui tata cara yang dapat menghindarkan terjadinya kerusakan dan/atau pencemaran.

(3) Ketentuan mengenai Kemasan Pangan, tata cara pengemasan Pangan, dan bahan yang dilarang digunakan sebagai Kemasan Pangan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 84

(1) Setiap Orang dilarang membuka kemasan akhir Pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan.

(2) Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Pangan yang pengadaannya dalam jumlah besar dan lazim dikemas kembali dalam jumlah kecil untuk diperdagangkan lebih lanjut.

Pasal 85

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2), Pasal 83 ayat (1), dan Pasal 84 ayat (1) dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. denda; b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen; d. ganti rugi; dan/atau e. pencabutan izin.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketujuh Jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan

Pasal 86

(1) Pemerintah menetapkan standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.

(2) Setiap Orang yang memproduksi dan memperdagangkan Pangan wajib memenuhi standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.

(3) Pemenuhan standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui penerapan sistem jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.

(4) Pemerintah dan/atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi oleh Pemerintah dapat memberikan sertifikat Jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.

(5) Pemberian sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan secara bertahap sesuai dengan jenis Pangan dan/atau skala usaha.

(6) Ketentuan mengenai sta ndar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 87

(1) Pemerintah dapat menetapkan persyaratan agar Pangan diuji di laboratorium sebelum diedarkan.

(2) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di laboratorium yang ditunjuk oleh dan/atau yang telah memperoleh akreditasi dari Pemerintah.

(3) Ketentuan mengenai persyaratan pengujian laboratorium diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 88

(1) Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan di bidang Pangan Segar harus memenuhi persyaratan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan Segar.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membina, mengawasi, dan memfasilitasi pengembangan usaha Pangan Segar untuk memenuhi persyaratan teknis minimal Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.

(3) Penerapan persyaratan teknis Keamanan Pangan dan Mutu Pangan Segar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara bertahap sesuai dengan jenis Pangan Segar serta jenis dan/atau skala usaha.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan Segar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 89

Setiap Orang dilarang memperdagangkan Pangan yang tidak sesuai dengan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan yang tercantum dalam label Kemasan Pangan.

Pasal 90

(1) Setiap Orang dilarang mengedarkan Pangan tercemar.

(2) Pangan tercemar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Pangan yang:

a. mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat membahayakan kesehatan atau jiwa manusia; b. mengandung cemaran yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan; c. mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan; d. mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai; e. diproduksi dengan cara yang dilarang; dan/atau f. sudah kedaluwarsa.

Pasal 91

(1) Dalam hal pengawasan keamanan, mutu, dan Gizi, setiap Pangan Olahan yang dibuat di dalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran, Pelaku Usaha Pangan wajib memiliki izin edar.

(2) Kewajiban memiliki izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap Pangan Olahan tertentu yang diproduksi oleh industri rumah tangga.

(3) Ketentuan mengenai kewajiban memiliki izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 92

(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pengawasan dan pencegahan secara berkala terhadap kadar atau kandungan cemaran pada Pangan.

(2) Pengawasan dan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 93

Setiap Orang yang mengimpor Pangan untuk diperdagangkan wajib memenuhi standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.

Pasal 94

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) mengenai pemenuhan standar Mutu Pangan, Pasal 89 mengenai label Kemasan Pangan, Pasal 90 ayat (1) mengenai Pangan tercemar, dan Pasal 93 mengenai impor Pangan dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. denda; b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen; d. ganti rugi; dan/atau e. pencabutan izin.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedelapan Jaminan Produk Halal bagi yang Dipersyaratkan

Pasal 95

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap penerapan sistem jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan terhadap Pangan.

(2) Penerapan sistem jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VIII LABEL DAN IKLAN PANGAN

Bagian Kesatu Label Pangan

Pasal 96

(1) Pemberian label Pangan bertujuan untuk memberikan informasi yang benar dan jelas kepada masyarakat tentang setiap produk Pangan yang dikemas sebelum membeli dan/atau mengonsumsi Pangan.

(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terkait dengan asal, keamanan, mutu, kandungan Gizi, dan keterangan lain yang diperlukan.

Pasal 97

(1) Setiap Orang yang memproduksi Pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan.

(2) Setiap Orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan pada saat memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(3) Pencantuman label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia serta memuat paling sedikit keterangan mengenai:

a. nama produk; b. daftar bahan yang digunakan; c. berat bersih atau isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor; e. halal bagi yang dipersyaratkan; f. tanggal dan kode produksi; g. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa; h. nomor izin edar bagi Pangan Olahan; dan i. asal usul bahan Pangan tertentu.

(4) Keterangan pada label sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditulis, dicetak, atau ditampilkan secara tegas dan jelas sehingga mudah dimengerti oleh masyarakat.

Pasal 98

(1) Ketentuan mengenai label berlaku bagi Pangan yang telah melalui proses pengemasan akhir dan siap untuk diperdagangkan.

(2) Ketentuan label tidak berlaku bagi Perdagangan Pangan yang dibungkus di hadapan pembeli.

(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan pembinaan terhadap usaha mikro dan kecil agar secara bertahap mampu menerapkan ketentuan label sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 99

Setiap Orang dilarang menghapus, mencabut, menutup, mengganti label, melabel kembali, dan/atau menukar tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa Pangan yang diedarkan.

Pasal 100

(1) Setiap label Pangan yang diperdagangkan wajib memuat keterangan mengenai Pangan dengan benar dan tidak menyesatkan.

(2) Setiap Orang yang menyatakan dalam label bahwa Pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan klaim tertentu bertanggung jawab atas kebenaran klaim tersebut.

(3) Label tentang Pangan Olahan tertentu yang diperdagangkan wajib memuat keterangan tentang peruntukan, cara penggunaan, dan/atau keterangan lain yang perlu diketahui mengenai dampak Pangan terhadap kesehatan manusia.

Pasal 102

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1), Pasal 99, dan Pasal 100 ayat (2) dikenai sanksi administratif.

(2) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (2) wajib mengeluarkan dari dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau memusnahkan Pangan yang diimpor.

(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. denda; b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen; d. ganti rugi; dan/atau e. pencabutan izin.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 103

Ketentuan lebih lanjut mengenai label Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 sampai dengan Pasal 101 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua Iklan Pangan

Pasal 104

(1) Setiap iklan Pangan yang diperdagangkan harus memuat keterangan atau pernyataan mengenai Pangan dengan benar dan tidak menyesatkan.

(2) Setiap Orang dilarang memuat keterangan atau pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan dalam iklan Pangan yang diperdagangkan.

(3) Pemerintah mengatur, mengawasi, dan melakukan tindakan yang diperlukan agar iklan Pangan yang diperdagangkan tidak memuat keterangan atau pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan.

Pasal 105

(1) Setiap Orang yang menyatakan dalam iklan bahwa Pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan wajib bertanggung jawab atas kebenarannya.

(2) Setiap Orang yang menyatakan dalam iklan bahwa Pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan klaim tertentu wajib bertanggung jawab atas kebenaran klaim tersebut.

Pasal 106

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2) dan Pasal 105 dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. denda; b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen; d. ganti rugi; dan/atau e. pencabutan izin.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 107

Ketentuan lebih lanjut mengenai iklan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dan Pasal 105 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

BAB IX PENGAWASAN

Pasal 108

(1) Dalam melaksanakan Penyelenggaraan Pangan, Pemerintah berwenang melakukan pengawasan.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pemenuhan:

a. ketersediaan dan/atau kecukupan Pangan Pokok yang aman, bergizi, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat; dan b. persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan Gizi Pangan serta persyaratan label dan iklan Pangan.

(3) Pengawasan terhadap:

a. Ketersediaan dan/atau kecukupan Pangan Pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan oleh lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pangan; b. persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan Gizi Pangan, serta persyaratan label dan iklan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, untuk Pangan Olahan, dilaksanakan oleh lembaga pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan; dan c. persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan Gizi Pangan, serta persyaratan label dan iklan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, untuk Pangan Segar, dilaksanakan oleh lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pangan.

(4) Pemerintah menyelenggarakan program pemantauan, evaluasi, dan pengawasan secara berkala terhadap kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau Peredaran Pangan oleh Pelaku Usaha Pangan.

Pasal 109

Dalam melaksanakan pengawasan, lembaga pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (3) sesuai dengan urusan dan/atau tugas serta kewenangan, masing-masing mengangkat pengawas.

Pasal 110

(1) Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 berwenang:

a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan Perdagangan Pangan untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil contoh Pangan dan segala sesuatu yang diduga digunakan dalam kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau Perdagangan Pangan; b. menghentikan, memeriksa, dan mencegah setiap sarana angkutan yang diduga atau patut diduga yang digunakan dalam pengangkutan Pangan serta mengambil dan memeriksa contoh Pangan; c. membuka dan meneliti Kemasan Pangan; d. memeriksa setiap buku, dokumen, atau catatan lain yang diduga memuat keterangan mengenai kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau Perdagangan Pangan, termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut; dan e. memerintahkan untuk memperlihatkan izin usaha atau dokumen lain yang sejenis.

(2) Pengawas dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi dengan surat perintah pengawasan dan/atau pemeriksaan serta tanda pengenal.

Pasal 111

Dalam hal hasil pemeriksaan oleh pengawas menunjukkan adanya bukti awal bahwa telah terjadi tindak pidana di bidang Pangan, penyidikan segera dilakukan oleh penyidik yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 112

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 sampai dengan Pasal 110 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB X SISTEM INFORMASI PANGAN

Pasal 113

Sistem informasi Pangan mencakup pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, dan penyajian serta penyebaran data dan informasi tentang Pangan.

Pasal 114

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban membangun, menyusun, dan mengembangkan sistem informasi Pangan yang terintegrasi.

(2) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit digunakan untuk:

a. perencanaan; b. pemantauan dan evaluasi; c. stabilitas pasokan dan harga Pangan; dan d. sistem peringatan dini terhadap Masalah Pangan serta kerawanan Pangan dan Gizi.

(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mengumumkan harga komoditas Pangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengumuman harga komoditas Pangan diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.

Pasal 115

(1) Sistem informasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) diselenggarakan oleh pusat data dan informasi Pangan.

(2) Pusat data dan informasi Pangan wajib melakukan pemutakhiran data dan informasi.

(3) Pusat data dan informasi Pangan menyediakan data dan informasi paling sedikit mengenai:

a. jenis produk Pangan; b. neraca Pangan; c. letak, luas wilayah, dan kawasan Produksi Pangan; d. permintaan pasar; e. peluang dan tantangan pasar; f. produksi; g. harga; h. konsumsi; i. status Gizi; j. ekspor dan impor; k. perkiraan pasokan; l. perkiraan musim tanam dan musim panen; m. prakiraan iklim; n. teknologi Pangan; dan o. kebutuhan Pangan setiap daerah.

(4) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh masyarakat, kecuali yang menyangkut kepentingan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 116

Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 sampai dengan Pasal 115 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PANGAN

Pasal 117

Penelitian dan pengembangan Pangan dilakukan untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi Pangan serta menjadi dasar dalam merumuskan kebijakan Pangan yang mampu meningkatkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan.

Pasal 118

(1) Penelitian dan pengembangan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 diarahkan untuk menjamin penyediaan, penyimpanan, pengolahan, dan distribusi Pangan agar mendapatkan bahan Pangan yang bermutu dan aman dikonsumsi bagi masyarakat.

(2) Penelitian dan pengembangan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:

a. menciptakan produk Pangan yang berdaya saing di tingkat lokal, nasional, dan internasional; b. mempercepat pemuliaan dan perakitan untuk menghasilkan varietas unggul sumber Pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan yang toleran terhadap cekaman biotik dan abiotik, tahan terhadap organisme pengganggu tumbuhan atau wabah penyakit hewan dan ikan, dan adaptif terhadap perubahan iklim; c. merekayasa inovasi teknologi dan kelembagaan sistem budi daya tanaman, hewan, dan ikan sebagai sumber Pangan yang dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan daya saing, serta melestarikan keanekaragaman hayati; d. merekayasa inovasi teknologi dan kelembagaan pascapanen, pengolahan, dan pemasaran hasil untuk mengembangkan produk Pangan Olahan berbasis Pangan Lokal, peningkatan nilai tambah, pengembangan bisnis Pangan, dan pengayaan komposisi kandungan Gizi Pangan yang aman dikonsumsi; e. menciptakan produk Pangan Lokal yang dapat menyubstitusi Pangan Pokok dengan memperhatikan kesesuaian kandungan vitamin dan zat lain di dalamnya; f. mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lahan, air, iklim, dan genetik guna mempertahankan dan meningkatkan kapasitas Produksi Pangan nabati dan hewani secara nasional; dan g. menghasilkan rekomendasi kebijakan pembangunan Pangan.

Pasal 119

(1) Pemerintah wajib melaksanakan penelitian dan pengembangan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 dan Pasal 118 secara terus-menerus.

(2) Pemerintah mendorong dan menyinergikan kegiatan penelitian dan pengembangan Pangan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, lembaga pendidikan, lembaga penelitian, Pelaku Usaha Pangan, dan masyarakat.

Pasal 120

Penelitian dan pengembangan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dapat dilakukan secara mandiri dan/atau melalui kerja sama dengan lembaga penelitian internasional, baik yang dikelola Pemerintah maupun swasta.

Pasal 121

Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban memfasilitasi publikasi, penyebaran, pemanfaatan, dan penerapan hasil penelitian Pangan.

Pasal 122

Kerja sama internasional untuk pengembangan Pangan Lokal dapat dilakukan apabila diinisiasi oleh lembaga di dalam negeri setelah mendapat izin menteri yang membidangi penelitian.

Pasal 123

(1) Setiap Orang asing dapat melakukan penelitian Pangan untuk kepentingannya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(2) Dalam melakukan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Setiap Orang asing wajib menaati ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Dalam hal penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan material hayati dari dalam negeri yang bertujuan untuk komersial, Setiap Orang asing wajib memberikan royalti kepada Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 124

Pemerintah memfasilitasi dan memberikan pelindungan hak atas kekayaan intelektual terhadap hasil penelitian dan pengembangan Pangan serta Pangan Lokal unggulan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 125

Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan penghargaan dan/atau insentif bagi peneliti dan/atau penelitian Pangan yang mampu menghasilkan teknologi unggul yang bermanfaat bagi masyarakat dalam pewujudan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan.

BAB XII KELEMBAGAAN PANGAN

Pasal 126

Dalam hal mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan nasional, dibentuk lembaga Pemerintah yang menangani bidang Pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Pasal 127

Lembaga Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan.

Pasal 128

Lembaga Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 dapat mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan penugasan khusus kepada badan usaha milik negara di bidang Pangan untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi Pangan Pokok dan Pangan lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 129

Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja lembaga Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 sampai Pasal 128 diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB XIII PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 130

(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan.

(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:

a. pelaksanaan produksi, distribusi, perdagangan, dan konsumsi Pangan; b. penyelenggaraan Cadangan Pangan Masyarakat; c. pencegahan dan penanggulangan rawan Pangan dan Gizi; d. penyampaian informasi dan pengetahuan Pangan dan Gizi; e. pengawasan kelancaran penyelenggaraan Ketersediaan Pangan, keterjangkauan Pangan, Penganekaragaman Pangan, dan Keamanan Pangan; dan/atau f. peningkatan Kemandirian Pangan rumah tangga.

(3) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mendorong peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 131

(1) Masyarakat dapat menyampaikan permasalahan, masukan, dan/atau cara penyelesaian Masalah Pangan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

(2) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian permasalahan, masukan, dan/atau cara penyelesaian Masalah Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XIV PENYIDIKAN

Pasal 132

(1) Selain pejabat polisi negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Pangan diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan dalam tindak pidana di bidang Pangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Hukum Acara Pidana.

(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pangan; b. melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau sebagai saksi dalam tindak pidana di bidang Pangan; c. melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap barang bukti tindak pidana di bidang Pangan; d. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang Pangan; e. membuat dan menandatangani berita acara; f. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang Pangan; dan g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Pangan.

(3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan kepada pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia.

(4) Apabila pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan tindakan penangkapan dan penahanan, penyidik pegawai negeri sipil melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia.

(6) Pengangkatan pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan tata cara serta proses penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XV KETENTUAN PIDANA

Pasal 133

Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja menimbun atau menyimpan melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang mengakibatkan harga Pangan Pokok menjadi mahal atau melambung tinggi dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Pasal 134

Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan Olahan tertentu untuk diperdagangkan, yang dengan sengaja tidak menerapkan tata cara pengolahan Pangan yang dapat menghambat proses penurunan atau kehilangan kandungan Gizi bahan baku Pangan yang digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 135

Setiap Orang yang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran Pangan yang tidak memenuhi Persyaratan Sanitasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Pasal 136

Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan yang dengan sengaja menggunakan: a. bahan tambahan Pangan melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan; atau b. bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 137

(1) Setiap Orang yang memproduksi Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(2) Setiap Orang yang melakukan kegiatan atau proses Produksi Pangan dengan menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 138

Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan, yang dengan sengaja menggunakan bahan apa pun sebagai Kemasan Pangan yang dapat melepaskan cemaran yang membahayakan kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Pasal 139

Setiap Orang yang dengan sengaja membuka kemasan akhir Pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 140

Setiap Orang yang memproduksi dan memperdagangkan Pangan yang dengan sengaja tidak memenuhi standar Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Pasal 141

Setiap Orang yang dengan sengaja memperdagangkan Pangan yang tidak sesuai dengan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan yang tercantum dalam label Kemasan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Pasal 142

Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja tidak memiliki izin edar terhadap setiap Pangan Olahan yang dibuat di dalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Pasal 143

Setiap Orang yang dengan sengaja menghapus, mencabut, menutup, mengganti label, melabel kembali, dan/atau menukar tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa Pangan yang diedarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Pasal 144

Setiap Orang yang dengan sengaja memberikan keterangan atau pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan pada label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 145

Setiap Orang yang dengan sengaja memuat keterangan atau pernyataan tentang Pangan yang diperdagangkan melalui iklan yang tidak benar atau menyesatkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 146

(1) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137, Pasal 138, Pasal 142, Pasal 143, dan Pasal 145 yang mengakibatkan:

a. luka berat atau membahayakan nyawa orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). b. kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).

(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 yang mengakibatkan:

a. luka berat atau membahayakan nyawa orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp14.000.000.000,00 (empat belas miliar rupiah). b. kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).

Pasal 147

Setiap pejabat atau penyelenggara negara yang melakukan atau membantu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 sampai Pasal 145, dikenai pidana dengan pemberatan ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana masingmasing.

Pasal 148

(1) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 sampai Pasal 145 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda terhadap perseorangan.

(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:

a. pencabutan hak-hak tertentu; atau b. pengumuman putusan

BAB XVI KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 149

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, lembaga Pemerintah yang menangani bidang Pangan yang sudah ada pada saat berlakunya UndangUndang ini tetap menjalankan tugasnya sampai dengan terbentuknya lembaga Pemerintah yang menangani bidang Pangan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.

BAB XVII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 150

Peraturan pelaksanaan UndangUndang ini harus telah ditetapkan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak UndangUndang ini diundangkan.

Pasal 151

Lembaga Pemerintah yang menangani bidang Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 harus telah terbentuk paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 152

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur Pangan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 153

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3656), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 154

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 16 November 2012 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 November 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN 2012년 11월 16일 자카르타에서 승인됨 인도네시아 공화국 대통령, 수실로 밤방 유도요노 2012년 11월 17일 자카르타에서 제정됨 인도네시아 공화국 법인권부장관아미르 샴수딘

「식품에 관한 인도네시아 공화국 법률 2012년 제18호」

ㆍ 국 가 ‧ 지 역: 인도네시아 ㆍ 법 률 번 호: 2012년 제18호 ㆍ 제 정 일: 2012.11.16.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas; b. bahwa negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi Pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal; c. bahwa sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar dan di sisi lain memiliki sumber daya alam dan sumber Pangan yang beragam, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan Pangannya secara berdaulat dan mandiri; d. bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika perkembangan kondisi eksternal dan internal, demokratisasi, desentralisasi, globalisasi, penegakan hukum, dan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang dihasilkan kemudian sehingga perlu diganti; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pangan; Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, dan Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PANGAN. 전능하신 신의 은총으로 인도네시아 공화국 대통령은, 고려함: a. 식량은 인간에게 있어 가장 중요한 기본적인 필수품이며, 그충족은 1945년 인도네시아 공화국 헌법에 보장된 인권의 일부로 양질의 인적자원을 형성하기 위한 기본 요소이다. b. 국가는 자원, 조직 및 지역 문화를 활용하여 인도네시아 공화국 전역의 개개인에게까지 균등하게 국가 및 지역 수준에서 충분하고 안전하며 품질이 좋고 영양상 균형이 잡힌 식량의 가용성과 접근성 그리고 소비에 대한 충족을 실현할 의무가 있다. c. 인구가 많으며 천연자원과 식량자원이 다양한 국가로서, 인도 네시아는 자주적이고 독립적으로 식량의 수요를 충족할 능력이 있다. d. 1996년 제7호 법률은 내외부 적인 상황의 발전에 더이상 부응하지 못하며, 민주주의, 분권 주의, 세계화, 법집행과 일부 법령규정으로 인하여 변화가 필요 하다. e. a, b, c, 그리고 d의 고려사항을 기초로 하여 식품에 관한 법률을 제정하는 것이 필요하다. 검토함: 1945년 인도네시아 공화국 헌법 제20조, 제21조, 제28A조 및 28C조 인도네시아 공화국 국민대표의회의 동의를 얻어 인도네시아 공화국 대통령은 결정한다. 확정함: 식품에 관한 법률

제1장 총칙

제1조

이 법에서 사용하는 용어의 뜻은 다음과 같다. 1. 식량이란 인간이 소비할 수있도록 음식 또는 음료로 가공되거나 가공되지 않은 농업, 원예업, 임업, 어업, 축산 업, 수산업 및 물의 생물자원 에서 도출된 모든 것으로, 여기에는 음식 또는 음료의 준비, 가공, 그리고 생산 과정에서 사용되는 식품첨가물, 식 품원재료, 그리고 기타 원료가 포함된다. 2. 식량주권이란 국민에게 식량권을 보장해주는 정책을 독립적으로 수립하고 지역자원의 잠재력에 따라 식량체계를 수립할 권리를 지역사회에 부여하는 국가와 민족의 권리를 말한다. 3. 식량자립이란 천연자원, 인간, 사회, 경제 및 국지적 지혜의 잠재력을 존엄하게 활용 하여 개인에까지 충분한 식량 수요를 충족할 수 있는 다양한 종류의 식량을 국내에서 생산할 수 있는 국가와 국민의 능력을 말한다. 4. 식량안보란 개인에게까지 도달할 수 있는 국가의 식량 확보 상태로, 확보된 식량이 양과 질적으로 충분하고 안전 하고 다양하며, 영양적으로 균형 있으며 접근성이 보장되 고, 또한 건강하고 역동적이며 지속가능한 생산적인 삶을 영위하는데 있어 종교와 신념및 사회문화에 반하지 않음을 반영한다. 5. 식품안전이란 인간의 건강을 방해하고 해를 끼치며 위험을 초래할 수 있는 생물학 적, 화학적, 기타 물질의 오염 가능성으로부터 식품을 예방 하며, 종교, 신념 및 사회문화에 반하지 않아 소비함에 있어 안전한 상태와 노력을 말한다. 6. 식량생산이란 식량의 생산, 준비, 가공, 제조, 보존, 포장, 재포장 그리고/또는 형태의 변형 행위나 과정을 말한다. 7. 식량가용성이란 국내에서 생산된 식량과 국가식량비축 분, 그리고 위 두 가지 주요 공급원이 수요를 충족할 수없는 경우 수입식량의 확보 상태를 말한다. 8. 국가식량비축분이란 인간의 소비, 식량 부족, 공급 및 가격 혼란, 그리고 비상사태에 대응하기 위한 인도네시아 공화국 전역의 식량 비축분을 말한다. 9. 정부식량비축이란 정부가 통제하고 관리하는 식량 비축 분을 말한다. 10. 주정부식량비축이란 주정 부가 통제하고 관리하는 식량 비축분을 말한다. 11. 시/군정부식량비축이란 시/ 군정부가 통제하고 관리하는 식량 비축분을 말한다. 12. 마을정부식량비축이란 마을단위의 정부가 통제하고 운영하는 식량 비축분을 말한 다. 13. 지역사회식량비축이란 상인, 주민 및 가정 차원에서 지역사회가 통제하고 운영하는 식량 비축분을 말한다. 14. 식량관리란 조정되고 통합된 지역사회의 참여를 통하여 식량의 공급, 접근, 소비의 충족 및 영양, 그리고 식품안전을 기획하고 실행하며 감독하는 활동을 말한다. 15. 주식이란 자원의 잠재력과 국지적 지혜에 따라 일일 주요 식량으로 지정된 음식물을 말한다. 16. 식량의 다양화란 다양하고 영양적으로 균형 잡히고 지역 자원의 잠재력을 기반으로 하는 식량의 가용성과 소비를 증진하는 노력을 말한다. 17. 지역식품이란 지역의 잠재 력과 국지적 지혜에 따라 지역사회에서 소비하는 음식을 말한다. 18. 신선식품이란 바로 섭취하기 위하여 가공을 거치지 않은 그리고/또는 식품 가공의 원재료가 되는 식품을 말한 다. 19. 가공식품이란 첨가물을 포함하거나 포함하지 않고 특정 수단 또는 방법의 공정으로 만든 음식이나 음료를 말한 다. 20. 농업인이란 식량 분야의 농업을 경영하는 인도네시아 국민 개인이나 그 가족을 말한다. 21. 어업인이란 어획을 생계수 단으로 하는 인도네시아 국민 개인이나 그 가족을 말한다. 22. 양식업 종사란 어류 및 기타 수산 자원을 사육, 번식 그리고/또는 유지하고 통제된 환경에서 수확하는 것을 생계 수단으로 하는 인도네시아 국민 개인이나 그 가족을 말한 다. 23. 식량거래란 식량의 판매 그리고/또는 구매와 관련된 모든 활동 또는 일련의 활동을 말하며, 여기에는 식량을 판매하기 위한 판촉과 수입을 획득하고 식량을 양도하는 것과 관련된 기타 활동이 포함 된다. 24. 식량수출이란 육지, 영해, 영공, 특정 배타적 경제수역, 대륙붕을 포함한 인도네시아 공화국 관세구역에서 식량을 반출하는 활동을 말한다. 25. 식량수입이란 육지, 영해, 영공, 특정 배타적 경제수역, 대륙붕을 포함한 인도네시아 공화국 관세구역으로 식량을 반입하는 활동을 말한다. 26. 식량유통이란 거래 여부에 관계없이 지역사회에 식량을 분배하는 모든 활동 또는 일련의 활동을 말한다. 27. 식량지원이란 정부, 지방정 부, 그리고/또는 지역사회가 식량문제와 식량위기를 극복 하고 빈곤 그리고/또는 식품과 영양 취약계층의 식량접근 성을 높이고 국제협력을 위하여 주식 및 기타 식량을 지원 하는 것을 말한다. 28. 식량문제란 개인 또는 가정이 식량수요와 식품안전을 충족하는 데 있어 결핍, 초과 그리고/또는 무능력한 상태를 말한다. 29. 식량위기란 식량 수급의 어려움, 기후변화의 영향, 자연환경재해, 전쟁을 포함한 사회적 갈등으로 인하여 한지역의 다수가 겪는 식량부족 상태를 말한다. 30. 식품위생이란 식품이 생물 학적, 화학적, 그리고 기타 물질의 오염 위험이 없는 위생 적이고 청결한 식품상태를 만들고 유지하는 노력을 말한 다. 31. 위생요건이란 식품위생을 보장하기 위하여 반드시 충족 하여야 하는 청결과 보건 기준을 말한다. 32. 식품조사(照射)란 방사성 물질과 촉진제를 사용하여 부패 및 손상을 방지하고 미생 물로부터 안전하고 발아를 방 지하기 위한 식품취급의 방법을 말한다. 33. 식품유전공학이란 우수한 식품을 생산할 수 있는 새로운 종을 얻기 위하여 하나의 생물종에서 다른 또는 동일한 생물종으로 유전자(유전인자) 를 전달하는 일종의 과정을 말한다. 34. 유전자변형식품이란 유전자 응용 과정을 통하여 생산된 원료, 식품첨가물, 그리고/ 또는 기타 재료로 생산하거나 사용한 식품을 말한다. 35. 식품포장이란 식품에 직간 접적으로 접착되어 식품을 담거나 포장하는데 사용되는 재료를 말한다. 36. 식품품질이란 식품의 안전과 영양 함량 기준을 기초로 정해진 가치를 말한다. 37. 영양이란 탄수화물, 단백 질, 지방, 비타민, 무기질, 섬유질, 물, 그리고 인간의 성장 과 건강에 유익한 기타 성분 으로 구성되어 식품에 포함되는 물질 또는 합성물을 말한 다. 38. 모든 사람이란 자연인 또는 법인을 말하며 법인의 형태는 불문한다. 39. 식품사업자란 하나 또는그 이상의 농업 관련 하위 시스템에 종사하는 모든 사람으 로, 생산 투입, 생산 공정, 가공, 마케팅, 거래와 관련한 공급업자 및 지원자를 말한다. 40. 이하 정부라 약칭하는 중앙정부란 1945 년 인도네시아 공화국 헌법에서 언급한 인도 네시아 정부의 권한을 가진 인도네시아 공화국 대통령을 말한다. 41. 지방정부란 지방행정 운영의 요소로서 주지사, 군수, 또는 시장과 지방조직을 말한다.

제2장 원칙, 목적 및 적용 범위

제2조

식량 관리는 다음 각 호의 원칙을 기초로 하여 실시된다. a. 주권성 b. 자립성 c. 안보성 d. 안전성 e. 유용성 f. 형평성 g. 지속가능성 h. 공정성

제3조

식량관리는 식량주권, 식량자립및 식량안보를 기반으로 공정하고 보편적이며 지속가능한 혜택을 부여하는 인간의 기본 욕구를 충족하기 위하여 실시된다.

제4조

식량관리는 다음 각 호를 목적 으로 한다. a. 독립적인 식량 생산 능력 증진 b. 다양한 식량을 공급하고 지역사회에서 소비함에 있어 안 전, 품질, 영양 요건 충족 c. 특히 주식에 있어서 지역사 회의 필요에 따라 합리적이고 저렴한 가격을 갖춘 식량의 재고 구축 d. 특히 식량과 영양이 취약한 지역사회의 식량접근성의 용의 또는 제고 e. 국내외 시장에서 식료품의 부가가치와 경쟁력 제고 f. 지역사회가 소비함에 있어 안전하고 품질이 좋으며 영양가 있는 식량에 대한 지역사 회의 지식과 인식 제고 g. 농업인, 어업인, 양식업 종사자 및 식품사업자의 복지 향상 h. 국가식량자원의 부의 보호와 발전

제5조

식량관리의 적용 범위에는 다음각 호가 포함된다. a. 식량계획 b. 식량가용성 c. 식량접근성 d. 식량 및 영양의 소비 e. 식품안전 f. 식품라벨 및 광고 g. 감독 h. 식품정보체계 i. 식품연구 및 개발 j. 식품기구 k. 국민참여 l. 조사

제3장 전략입안

제6조

식량전략입안은 식량주권, 식량 자립, 식량안보를 위한 식량관리를 수립하기 위하여 실시된다.

제7조

식량전략입안에 있어서 다음 각호의 사항을 고려하여야 한다. a. 인구 성장 및 분포 b. 식품 및 영양소 소비의 필요 c. 천연자원, 기술, 그리고 자연보존 수용력 d. 식량관리에 있어서 인적자 원의 개발 e. 식량관리의 인프라 및 설비의 필요성 f. 식량의 잠재력 및 지역문화 g. 지역 공간 계획 h. 국가 및 지역 개발 계획

제8조

(1) 식량전략입안에는 국가개발 계획과 지역개발계획이 통합되 어야 한다.

(2) 제1항의 식량전략입안은 국민의 참여를 도출하여 정부 그리고/또는 지역정부가 실시한다.

(3) 제2항의 식량전략입안은 국가, 주, 그리고 시/군 단계로 구성된다.

(4) 식량전략입안은 법령규정에 따라 국가, 주, 및 시/군 장기개 발계획, 중기개발계획 및 연간개 발계획으로 정한다.

제9조

(1) 국가 차원의 식량전략입안은 국가개발계획과 주의 필요및 제안을 고려하여 실시된다.

(2) 주 차원의 식량전략입안은 주개발계획과 시/군의 필요와 제안을 고려하여 국가개발계획의 지침에 따라 실시된다.

(3) 시/군 차원의 식량전략입안은 시/군개발계획과 주 차원의 식량계획을 고려하여 국가식량 계획의 지침에 따라 실시된다.

제10조

(1) 식량전략입안은 식량계획의 형태로 구체화한다.

(2) 제1항의 식량계획은 다음각 호로 구성된다.

a. 국가식량계획 b. 주식량계획 c. 시/군식량계획

(3) 제2항의 식량계획은 법령에 따라 대통령, 주지사, 또는 시장/ 군수가 정한다.

제11조

국가식량계획에는 최소한 다음각 호를 모두 포함한다. a. 식량소비수요 및 국민영양상태 b. 식량생산 c. 식량, 특히 주식의 비축 d. 식량수출 e. 식량수입 f. 식량의 다양화 g. 식량, 특히 주식의 분배, 거래 및 마케팅 h. 주식의 재고 및 가격 안정성 i. 식품안전 j. 식품연구 및 개발 k. 식량 분야의 지식과 기술의 수요와 보급 l. 식량기구 m. 농어인, 어업인, 양식업 종사자 및 식품사업자의 소득 수준

제4장 식량가용성

제1부 통칙

제12조

(1) 정부와 지방정부는 식량가 용성에 대한 책임이 있다.

(2) 정부와 지방정부는 지방에 대한 식량가용성과 지방의 지역 식량생산 개발에 책임이 있다.

(3) 지역식량개발을 통한 식량 가용성을 구축하기 위하여 지방 정부는 지역식품의 종류를 정한다.

(4) 식량공급은 지속가능한 방식으로 지역사회, 가정, 개인의 식량 수요와 소비를 충족하기 위하여 실현된다.

(5) 국내 식량생산을 통한 식량 가용성의 실현을 위하여 다음각 호를 실시한다.

a. 자원, 조직, 그리고 지역문 화를 기반으로 하는 식량생산 개발 b. 식량 사업체계의 효율성 개발 c. 식량 생산, 수확 처리, 가공및 저장을 위한 인프라와 설비, 그리고 기술 개발 d. 식량생산 설비 건설, 재건및 개발 e. 생산적인 토지의 유지 및개발 f. 식량생산센터 지역 건설

(6) 정부는 지방정부의 제안에 따라 지역식량생산센터를 정한다.

제13조

정부는 주식의 재고 및 가격 안정을 관리하고, 정부의 주식 비축분과 지역사회를 위하여 안전 하고 영양가 있는 주식의 재고를 확보하기 위한 배급을 관리한다

제14조

(1) 식량공급원은 국내 식량생산과 국가식량보유분에서 비롯된다.

(2) 제1항의 식량공급원이 충분 하지 않은 경우 필요에 따라 수입식량으로 충족할 수 있다.

제15조

(1) 정부는 식량소비의 수요를 충족하기 위하여 국내 식량생산을 우선적으로 한다.

(2) 식량가용성을 위한 소비수 요와 식량비축분이 이미 충분한 경우 국내 식량생산 과잉분은 기타 목적으로 사용할 수 있다.

제2부 국내식량생산

제1절 식량생산 잠재력

제16조

(1) 정부, 지방정부 그리고 지역 사회는 식량생산의 잠재력을 개발시킨다.

(2) 제1항의 식량생산 잠재력의 개발은 다음 각 호를 활용하여 실시한다.

a. 인적자원 b. 천연자원 c. 재원 d. 학문 및 과학기술 e. 식량 인프라 및 설비 f. 식량기구

제17조

정부와 지방정부는 농업인, 어업 인, 양식업 종사자, 식품사업자를 식품생산자로 보호하고 권한을 부여할 의무가 있다.

제18조

식량수요의 충족에 있어 정부와 지방정부는 다음 각 호의 의무가 있다. a. 농업용지와 수자원의 통제, 개발 및 배분 b. 상담 및 멘토링 제공 c. 경쟁력 감소에 영향을 미치는 다양한 정책 폐지 d. 예산의 재배분

제19조

정부와 지방정부는 식량생산을 늘리기 위하여 학문과 과학기술을 개발하고 보급할 의무가 있다.

제20조

정부와 지방정부는 식량생산 증진 노력에 있어 인프라와 설비의 이용과 개발을 지원한다.

제21조

정부와 지방정부는 식량생산을 늘리기 위하여 지역사회식량기구를 개발한다.

제2절 식량생산위협

제22조

(1) 식량생산위협은 다음 각 호를 원인으로 식량생산 실패를 야기할 수 있는 것을 말한다.

a. 기후변화 b. 식물 해충의 공격 및 가축과 어류의 전염병 c. 자연재해 d. 사회적 재난 e. 환경오염 f. 토지 및 수자원의 저하 g. 식량생산자원의 활용 경쟁 h. 토지 이용 기능의 변경 i. 경제적 불이익

(2) 정부와 지방정부는 기술 및규제의 지원을 통하여 제1항의 식량생산위협을 예측하고 대처할 의무가 있다.

제3부 국가식량비축분

제1절 통칙

제23조

(1)식량주권, 식량자립, 식량안 보를 달성하기 위하여 정부는 국가식량비축분을 정한다.

(2) 국가식량비축분은 다음 각호로 구성된다.

a. 정부식량비축분 b. 지방정부식량비축분 c. 지역사회식량비축분

제24조

제23조의 국가식량비축분은 다음 각 호를 예측하기 위함이다. a. 식량 공급 부족 b. 식량 공급 과잉 c. 식량 가격 파동 d. 긴급사태

제25조

국가식량비축분은 국제협력과 해외식량지원에 사용될 수 있다.

제26조

정부는 국가식량비축분을 개발 하는 데 있어 식품사업자, 대학및 지역사회와 협력할 수 있다.

제2절 정부식량비축분

제27조

(1) 제23조제1항의 국가식량비 축분을 구축하기 위하여 정부는 정부식량비축분과 지방정부식량 비축분을 정한다.

(2) 제1항의 정부식량비축분은 국내식량생산에서 우선적으로 조달하여야 한다.

(3) 제1항의 지방정부식량비축 분은 다음 각 호로 구성된다.

a. 마을정부식량비축분 b. 시/군정부식량비축분 c. 주정부식량비축분

제28조

(1) 정부는 특정 주식의 종류와 양을 정부식량비축분으로 정한다.

(2) 제1항의 정부식량비축분은 수요의 정도를 고려하여 주기적으로 정한다.

(3) 정부식량비축분은 특히 수확기에 국내 생산 주식의 수매를 통하여 우선적으로 조달된다.

(4) 제1항의 정부식량비축의 결정 및 제3항의 정부식량비축의 조달에 관한 규정은 정부령으로 또는 정부령에 따라 정한다.

제29조

(1) 주정부, 시/군정부, 그리고/ 또는 마을정부는 해당 지역사회의 소비 수요에 따라 특정식량 비축분의 종류와 양을 정한다.

(2) 제1항의 주정부, 시/군정부및 마을정부식량비축분은 국내 에서 생산된 것으로 한다.

제30조

(1) 정부는 정부식량비축의 조달, 운영 및 분배를 관리한다.

(2) 제1항의 정부식량비축분의 관리는 마을정부식량비축분, 시/ 군정부식량비축분, 그리고 주정 부식량비축분을 고려하여 통합적으로 실시한다.

제31조

(1) 제30조의 정부식량비축분의 분배는 다음 각 호를 해결하기 위하여 실시된다.

a. 식량부족 b. 식량파동 c. 자연재해 d. 사회적 재난 e. 긴급사태 직면

(2) 정부식량비축분의 분배는 다음 각 호와 같이 실시된다.

a. 지역 및 가정 조건에 적합한 체계 b. 소비자와 생산자에게 손해를 끼치지 않을 것

(3) 제24조의 특정 상황의 경우 정부는 지방정부식량비축분의 분배를 통제할 권리가 있다.

제32조

(1) 정부는 정부식량비축분의 운영을 위하여 법령규정에 따라 식량 부문에서 활동하는 정부기구를 관리한다.

(2) 제1항의 정부기구는 국가 적으로 설비, 네트워크 및 기반 시설을 지원받는다.

(3) 식량비축분의 운영에 있어 지방정부는 지방기구를 지정하거나 그리고/또는 제1항의 정부 기구와 협력할 수 있다.

제3절 지역사회식량비축

제33조

(1) 지역사회는 지역사회식량비 축분을 구축하기 위한 노력에 있어 광범위한 권리와 기회를 얻는다.

(2) 정부와 지방정부는 국지적 지혜에 따라 지역사회식량비축 분의 개발을 지원한다.

제4부 식량수출

제34조

(1) 식량수출은 국내 식량소비 수요와 국익을 고려하여 실시할수 있다.

(2) 주식의 수출은 주식 소비와 국가식량비축분의 수요를 충족한 후에만 실시할 수 있다.

제35조

식량을 수출하는 모든 사람은 목적지 국가에서 요구하는 식량의 안전, 품질 및 영양에 대한 책임이 있다.

(2) 제1항의 식량수출은 법령규정에 따라 실시된다.

제5부 식량수입

제36조

(1) 식량수입은 국내 식량생산이 부족하거나 국내에서 생산할수 없는 경우에만 할 수 있다.

(2) 주식의 수입은 국내 식량생 산과 국내식량비축분이 부족한 경우에만 할 수 있다.

(3) 국내 주식 생산의 재고와 정부식량비축분은 식량 분야의 행정 업무를 수행하는 임무를 가진 장관 또는 정부기관이 정한다.

제37조

(1) 국내 소비 수요를 충족하기 위하여 실시되는 식량수입은 안전, 품질, 영양 요건을 충족하여야 하며 종교, 신념, 그리고 사회문화에 반하지 않아야 한다.

(2) 제1항의 요건에 관한 규정은 정부령으로 또는 정부령에 따라 정한다.

제38조

식량수입은 유통기한 및 식량품질 요건을 반드시 충족하여야 한다.

제39조

정부는 농업의 지속가능성, 생산량 증대, 농업인, 어업인, 양식업 종사자 및 소형 및 초소형 식품 사업자의 복지에 부정적인 영향을 미치지 않는 식량수입 정책 및 규정을 수립한다.

제40조

제36조부터 제39조의 식량수입은 법령규정에 따라 실시한다.

제6부 식량의 다양화

제41조

식량의 다양화는 다음 각 호를 위하여 다양하고 지역 자원의 잠재력을 기반으로 하는 식량가 용성을 높이기 위한 노력으로 이루어진다. a. 다양한 식량소비, 균형 있는 영양 및 안전 측면의 충족 b. 식량 사업의 개발 c. 지역사회의 복지 향상

제42조

제41조의 식량의 다양화는 다음각 호를 통하여 실시된다. a. 식량다양화 규칙 제정 b. 지역식량의 최적화 c. 지역식량가공업을 위한 기술및 인센티브 체계 개발 d. 활용되지 않은 지역식량을 포함한 새로운 식량 유형의 소개 e. 농업 및 어업의 다양화 개발 f. 식물, 가축, 어류의 종자 및종자의 가용성과 접근성 증진 g. 대지를 포함한 토지 이용의 최적화 h. 식량 부분의 초소형, 중소기 업의 강화 i. 지역식량을 기반으로 하는 식량산업의 개발

제43조

제41조와 제42조의 식량다양화에 관한 세부규정은 정부령으로 또는 정부령에 따라 정한다.

제7부 식량위기

제44조

(1) 정부와 지방정부는 식량위 기를 극복하기 위한 조치를 취할 의무가 있다.

(2) 제1항의 조치는 다음 각 호의 형태로 실시된다.

a. 정부 및 지방정부의 식량비 축의 조달, 운영 및 분배 b. 지역 내 및 지역 간 지역사 회식량비축의 동원 c. 지역사회의 참여 유발 d. 식량위기 및 환경오염을 극복하기 위한 기술 적용

제45조

(1) 식량위기의 기준과 상태의 결정은 위기의 규모에 따라 정부 그리고/또는 지방정부가 한다.

(2) 제1항의 결정은 다음 각 호에 의하여 실시된다.

a. 국가적 규모는 대통령 b. 주 규모는 주지사 c. 시/군 규모는 군수/시장

(3) 제1항의 식량위기 기준과 상태의 결정에 관한 세부규정은 정부령으로 또는 정부령에 따라 정한다.

제5장 식량접근성

제1부 통칙

제46조

(1) 정부와 지방정부는 지역사 회, 가정 및 개인을 위한 식량접근성을 구축할 책임이 있다.

(2) 제1항의 식량에 대한 접근 성을 구축하는 데 있어 정부와 지방정부는 다음 각 호에 대한 분야에서 정부 정책을 실시한다.

a. 분배 b. 시장 c. 거래 d. 주식의 재고 및 가격 안정화 e. 식량지원

제2부 식량분배

제47조

(1) 식량분배는 인도네시아 공화국 전역에 대한 식량가용성을 공평하게 충족시킬 수 있도록 지속가능한 방법으로 실시한다.

(2) 제1항의 식량분배는 개인이 양적으로 충분하고 안전하며 품질이 좋고 다양하며 영양가 있는 저렴한 식량을 구할 수 있도록 실시한다.

(3) 정부와 지방정부는 권한에 따라 식량분배를 담당한다.

제48조

(1) 제47조의 식량분배는 다음각 호를 통하여 실시한다.

a. 효과적이고 효율적으로 인도 네시아 공화국 전역에 도달할수 있는 식량분배 체계의 개발 b. 종교, 신념 및 지역사회의 문화에 반하지 아니하고 안전, 품질, 영양을 유지할 수있는 체계의 관리 c. 원활하고 안전한 식량분배 구축

(2) 제1항의 식량분배에 관한 세부규정은 정부령으로 정한다.

제49조

(1) 정부 그리고/또는 지방정부는 법령규정에 따라 효과적이고 효율적인 운송 서비스에 중점을 두어 식량분배가 원활하게 이루어질 수 있도록 한다.

(2) 정부 그리고/또는 지방정부는 적재 및 하역의 원활화를 우선순위로 한다

(3) 정부 그리고/또는 지방정부는 식량, 특히 주식의 분배에 있어 인프라와 설비를 제공할 의무가 있다.

(4) 정부와 지방정부는 지역사회식량분배기구를 개발할 의무가 있다.

제3부 식량시장

제50조

(1) 정부 그리고/또는 지방정부는 식량거래 당사자를 육성할 의무가 있다.

(2) 제1항의 육성은 각 당사자가 선의의 상행위 절차를 적용할 수 있는 능력을 갖추는 것을 목표로 한다.

(3) 정부 그리고/또는 지방정부는 지역식량 사용 증진을 촉진한다.

(4) 정부 그리고/또는 지방정부는 식량시장의 발전을 위하여 해외에서 판촉을 실시한다.

제4부 식량거래

제51조

(1) 정부는 식량거래를 통제할 의무가 있다.

(2) 제1항의 식량거래의 통제는 다음 각 호를 목적으로 한다.

a. 식량, 특히 주식의 재고와 가격 안정화 b. 식량비축분 관리 c. 건전한 식량사업환경의 형성

제52조

(1) 식량거래에 있어 식량사업 자는 주식 체제, 절차, 최대보관량을 정한다.

(2) 제1항의 체제, 절차 및 최대량에 관한 규정은 정부령으로 정하거나 정부령을 근거로 하여 정한다.

제53조

식량사업자는 제52조의 최대량을 초과하는 주식을 축재하여서는 아니된다.

제54조

(1) 제53조의 규정을 위반한 식량사업자에 대하여 행정제재를 부과한다.

(2) 제1항의 행정제재는 다음각 호와 같다.

a. 벌금 b. 활동, 생산 그리고/또는 배포의 일시 중지 c. 허가 취소

(3) 제1항과 제2항의 행정제재의 유형, 벌금의 액수, 절차 및 부과 체제는 정부령으로 정한다.

제5부 주식의 재고 및 가격 안정화

제55조

(1) 정부는 생산자와 소비자의 수준에서 주식의 재고와 가격을 안정화할 의무가 있다.

(2) 제1항의 주식의 재고와 가격의 안정화는 농업인, 어업인, 양식업자와 초소형 및 소형 식량사업자의 소득과 구매력을 보호하고 주식에 대한 소비자의 접근성을 보호하기 위하여 실시한다.

제56조

제55조의 주식의 재고와 가격 안정화는 다음 각 호를 통하여 실시한다. a. 정부 수매의 지침이 되는 생산자 수준의 가격 결정 b. 정부 판매의 지침이 되는 소비자 수준의 가격 책정 c. 정부식량비축분의 관리 및유지 d. 식량의 재고 통제 및 관리 e. 국익에 유리한 세금 그리고/ 또는 요금의 결정 f. 지역 간 원활한 분배 조절 g. 식량수출 및 수입 규제

제57조

(1) 지방정부는 정부가 정하지 아니한 지역식량의 지역 최저 가격을 정할 수 있다.

(2) 제1항의 지역식량의 지역 최저 가격의 결정은 지방정부령, 주지사령, 그리고/또는 시/군령으로 정한다.

제6부 식량지원

제58조

(1) 정부와 지방정부는 빈곤계 층, 식량 및 영양 취약계층과 비상사태의 필요에 따라 주식 그리고/또는 기타 식량을 제공하고 배분할 책임이 있다.

(2) 제1항의 식량지원은 국내생산과 국지적 지혜를 우선으로 고려하여 실시한다.

제6장 식량소비 및 영양

제1부 식량소비

제59조

정부와 지방정부는 다음 각 호를 통하여 지역사회 식량소비의 양적, 질적 충족을 향상할 의무가 있다. a. 영양적정량 수치에 따른 1 인당 연간 식품 소비량 달성을 위한 목표 설정 b. 다양하고 영양상 균형 잡히고 안전하며 종교, 신념 및지역사회의 문화에 반하지 아니하는 식량의 공급 c. 다양하고 영양상 균형잡힌 양질의 안전한 식량 소비 형태에 대한 지역사회의 지식과 능력 개발

제2부 식량소비의 다양화

제60조

(1) 정부와 지방정부는 지역사회 영양에 대한 필요를 충족시키고 건강하고 역동적이며 생산적인 삶을 지원하기 위하여 식량소비의 다양화를 실현할 의무가 있다.

(2) 제1항의 식량소비의 다양화는 대중의 인식을 높이고 국지적 지혜와 잠재력에 따라 다양 하고 영양상 균형잡히고 안전한 식량소비 형태를 육성하기 위한 것이다.

제61조

식량소비의 다양화는 다음 각호를 통하여 실시한다. a. 식량소비의 다양화 촉진 b. 영양균형원칙에 따른 다양한 식량의 소비를 위한 대중의 지식 및 인식 개선 c. 지역식량 가공 개발을 위한 기술 향상 d. 지역식량의 가공을 위한 적정기술의 개발과 보급

제62조

제60조의 식량소비의 다양화 달성은 식량과 영양 균형 구성 평가의 달성을 통하여 측정한다.

제3부 영양개선

제63조

(1) 정부는 지역사회의 영양상태 개선을 위하여 영양 분야에 대한 정책을 수립한다.

(2) 제1항의 정부 정책은 다음각 호를 통하여 실시한다.

a. 지역사회의 영양상태가 부족 하거나 감소하는 경우 유통되는 특정 식량의 영양 개선 또는 강화 요건 수립 b. 거래되는 특정 가공식품의 영양 함량을 높이기 위하여 식량 구성에 관한 특별 요건 수립 c. 임신부, 모유수유모, 영아, 5 세 이하 유아 및 기타 영양 취약계층의 필수 영양 충족 d. 지역 가축, 생선, 채소, 과일및 구근류 식품의 소비 증진

(3) 정부와 지방정부는 5년마다 식량 및 영양에 대한 실행 계획을 수립한다.

제64조

(1) 거래를 위하여 특정 가공식 품을 생산하는 자는 사용되는 식품 원료의 영양성분을 하락시 키거나 손실시킬 수 있는 과정을 방지할 수 있는 식품가공법을 적용할 의무가 있다.

(2) 제1항의 식품가공법의 적용은 식품의 종류와 식품생산업의 종류 및 규모에 따라 단계적으로 실시한다.

제65조

(1) 제64조제1항의 규정을 위반한 자에 대하여 행정제재를 부과한다.

(2) 행정제재는 다음 각 호와 같다.

a. 벌금 b. 활동, 생산 그리고/또는 유통의 일시 중지 c. 유통된 식품의 생산자 회수 d. 손해배상 e. 허가 취소

(3) 제1항과 제2항의 행정제재의 유형, 벌금의 액수, 절차 및 부과 체제에 관한 세부규정은 정부령에서 정한다.

제66조

영양 구성, 개선요건, 또는 강화및 식품가공법에 대한 특별 요건에 관한 규정은 정부령으로 또는 정부령을 근거로 정한다.

제7장 식품안전

제1부 통칙

제67조

(1) 식품안전은 식품의 안전, 위생, 품질을 유지하기 위하여 관리되며 종교, 신념 및 지역문 화에 반하지 아니한다.

(2) 식품안전은 인간의 건강을 저해하고 손해를 끼치며 위험을 초래할 수 있는 생물학적, 화학 적, 기타 물체로부터 오염되는 것을 방지하기 위한 것이다.

제68조

(1) 정부와 지방정부는 각 식품 사슬 별 통합적인 식품안전의 실현을 보장한다.

(2) 정부는 식품안전 규범, 표준, 절차 및 기준을 정한다.

(3) 농업인, 어업인, 양식업자및 식품사업자는 제2항의 식품 안전 규범, 표준, 절차 및 기준을 적용할 의무가 있다.

(4) 제3항의 식품안전 규범, 표준, 절차 및 기준의 적용은 식품의 유형과 식품사업의 규모를 기초로 단계적으로 실시한다.

(5) 정부와 지방정부는 제3항과 제4항의 식품안전 규범, 표준, 절차 및 기준 적용의 이행을 정비하고 감독할 의무가 있다.

제69조

식품안전은 다음 각 호를 통하여 관리한다. a. 식품위생 b. 식품첨가물에 대한 규제 c. 유전자조작식품에 대한 규제 d. 식품조사에 대한 규제 e. 식품포장 기준 수립 f. 식품안전과 식품품질 보증 제공 g. 할랄제품 인증

제2부 식품위생

제70조

(1) 식품위생은 식품이 안전하게 소비될 수 있도록 실시한다.

(2) 식품위생은 식품의 생산, 저장, 운송 그리고/또는 유통 활동 또는 과정에서 실시한다.

(3) 제2항의 식품위생은 식품안전 기준 요건을 충족하여야 한다.

제71조

(1) 식품사슬과 관련된 자는 식품안전이 보장될 수 있도록 재료, 장비, 생산시설 또는 개인에 게서 발생하는 식품에 대한 위험을 통제할 의무가 있다.

(2) 식품의 생산, 저장, 운송 그리고/또는 유통 활동이나 과정을 수행하는 자는 다음 각 호의 의무가 있다.

a. 위생 요건 충족 b. 식품안전 그리고/또는 인간에 대한 복지 보장

(3) 제2항의 위생과 식품안전 그리고/또는 인간에 대한 복지 요건에 관한 규정은 정부령에서 정한다.

제72조

(1) 제71조제1항과 제2항을 위반한 자에 대하여 행정제재를 부과한다

(2) 제1항의 행정제재는 다음각 호와 같다.

a. 벌금 b. 활동, 생산, 그리고/또는 유통의 일시 중지 c. 유통된 식품의 생산자 회수 d. 손해배상 e. 허가 취소

(3) 제1항과 제2항의 행정제재 유형, 벌금의 액수, 절차 및 부과 체제에 관한 세부규정은 정부령에서 정한다.

제3부 식품첨가물 규제

제73조

식품첨가물은 식품의 성질 그리고/또는 형태에 영향을 주기 위하여 식품에 첨가되는 재료이다.

제74조

(1) 정부는 유통하기 위한 식품의 생산 활동 또는 공정이 인체 건강에 미치는 영향이 알려지지 아니한 식품첨가물이 사용되는 재료의 안전성을 검사할 의무가 있다.

(2) 제1항의 첨가물의 안전 검사는 유통허가 취득을 위하여 실시한다

제75조

(1) 유통을 위하여 식품을 생산 하는 자는 다음 각 호의 물질을 사용하여서는 아니 된다.

a. 지정된 최대 허용치를 초과 하는 식품첨가물 b. 식품첨가물로 사용이 금지 되는 물질

(2) 제1항의 최대한도 및 금지 물질에 관한 규정은 정부령으로 정하거나 정부령을 근거로 하여 정한다.

제76조

(1) 제75조제1항의 규정을 위반한 자에 대하여 행정제재를 부과한다.

(2) 제1항의 행정제재는 다음각 호와 같다.

a. 벌금 b. 활동, 생산 그리고/또는 유통의 일시 중지 c. 유통된 식품의 생산자 회수 d. 손해배상 e. 허가 취소

(3) 제1항과 제2항의 행정제재의 유형, 벌금의 액수, 절차 및부과 체제에 관한 세부규정은 정부령에서 정한다.

제4부 유전자변형식품 규제

제77조

(1) 유통 전에 식품안전에 대한 승인을 받지 못한 식품유전공학으로 얻은 식품을 생산하여서는 아니 된다.

(2) 식품 생산 활동 또는 공정을 수행하는 자는 유통 전에 식품안전 승인을 받지 아니한 식품원재료, 첨가물 그리고/또는 기타 재료를 사용하여서는 아니된다.

(3) 제1항과 제2항의 식품안전 승인은 정부가 발급한다.

(4) 제3항의 식품안전 승인 취득 절차에 관한 규정은 정부령에서 정한다.

제78조

(1) 정부는 식품생산 활동 또는 공정에서 식품유전공학 방법의 연구, 개발 및 활용의 요건과 원칙을 정하고 식품유전공학으로 생산된 식품의 검사 요건을 정한다.

(2) 제1항의 식품유전공학 방법의 연구, 개발 및 활용 요건과 원칙은 정부령에 정한다.

제79조

(1) 제77조제1항과 제2항의 규정을 위반한 자에 대하여 행정 제재를 부과한다.

(2) 제1항의 행정제재는 다음과 같다.

a. 벌금 b. 활동, 생산 그리고/또는 유통의 일시 중지 c. 유통된 식품의 생산자 회수 d. 손해배상 e. 허가 취소

(3) 제1항과 제2항의 행정제재의 부과 유형, 벌금의 액수 및절차에 관한 세부규정은 정부령 에서 정한다.

제5부 식품조사(照射)

제80조

(1) 식품조사는 방사성 물질과 촉진제를 사용하여 할 수 있다.

(2) 제1항의 식품조사는 부패및 손상을 방지하고 병원성 미생물을 억제하고 발아를 방지하기 위하여 실시한다.

제81조

(1) 제80조제1항의 식품조사는 정부의 허가에 따라 실시한다.

(2) 제1항의 정부허가는 다음각 호의 사항을 모두 충족한 경 우에 발급한다.

a. 보건 요건 b. 처리 원칙 c. 정량 d. 기술 및 장비 e. 폐기물 처리 및 방사성 물질의 위험 관리 f. 작업 안전 g. 환경보존

(3) 제2항의 정부허가 기준 충족에 관한 규정은 정부령에 정한다.

제6부 식품포장 기준

제82조

(1) 식품포장은 부패와 손상을 방지하고 제품을 오염원에서부터 보호하며 병원성 미생물을 억제하는 기능을 한다.

(2) 포장된 식품을 생산하는 자는 인체에 무해한 식품포장 재료를 사용할 의무가 있다.

제83조

(1) 유통을 위하여 식품을 생산 하는 자는 인체에 해를 끼칠 수있는 오염원을 방출할 수 있는 재료를 식품포장재로 사용하여 서는 아니된다.

(2) 유통되는 식품의 포장은 훼손 그리고/또는 오염을 방지하는 방법으로 한다.

(3) 식품포장, 식품포장 절차 및식품포장으로 사용이 금지되는 재료에 관한 규정은 정부령에서 정한다.

제84조

(1) 모든 사람은 재포장 및 거래를 위하여 식품의 최종 포장을 개봉하여서는 아니 된다

(2) 제1항의 금지 규정은 대량으로 조달되고 추가 거래를 위하여 소량으로 통상 재포장되는 식품에는 적용하지 아니한다.

제85조

(1) 제82조제2항, 제83조제1항및 제84조제1항의 규정을 위반한 자에 대하여 행정제재를 부과한다.

(2) 제1항의 행정제재는 다음각 호와 같다.

a. 벌금 b. 활동, 생산 그리고/또는 유통의 일시 중지 c. 유통된 식품의 생산자 회수 d. 손해배상 e. 허가 취소

(3) 제1항과 제2항의 행정제재의 유형, 벌금의 액수, 절차 및부과 체제에 관한 세부규정은 정부령에서 정한다.

제7부 식품안전 및 식품품질 보장

제86조

(1) 정부는 식품안전과 식품품질 기준을 정한다.

(2) 식품을 생산하고 유통하는 자는 식품안전과 식품품질 기준을 충족할 의무가 있다.

(3) 제2항의 식품안전과 식품품질 기준의 충족은 식품안전과 식품품질 보장 체계의 적용을 통하여 실시한다.

(4) 정부 그리고/또는 정부가 인정하는 인증기관은 식품안전 및 식품품질보증서를 발급할 수 있다.

(5) 제4항의 인증서 발급은 식품의 유형 그리고/또는 사업 규모에 따라 단계적으로 실시한다.

(6) 식품포장 및 식품안전 기준에 관한 규정은 정부령에서 정한다.

제87조

(1) 정부는 유통 전 실험실에서 검사를 받는 식품에 대한 요건을 정할 수 있다.

(2) 제1항의 검사는 정부가 지정하거나 정부 인증을 받은 실험실에서 실시한다.

(3) 실험실 검사 요건에 관한 규정은 정부령에서 정한다.

제88조

(1) 농업인, 어업인, 양식업자및 신선식품 부문의 식품사업자는 식품안전 및 신선식품 품질 요건을 충족하여야 한다.

(2) 정부와 지방정부는 식품안전 및 식품품질의 최소 기술 요건을 충족하기 위하여 신선식품 사업 육성, 감독 및 개발지원을 할 의무가 있다.

(3) 제2항의 식품안전 및 신선 식품품질 기술 요건의 적용은 신선식품의 유형과 사업의 유형 그리고/또는 규모에 따라 단계적으로 실시한다.

(4) 제1항의 식품안전 및 신선 식품품질 요건에 관한 세부규정은 정부령으로 정하거나 정부령을 근거로 하여 정한다.

제89조

모든 사람은 식품포장 라벨에 붙은 식품안전과 식품품질을 준수하지 아니한 식품을 판매하여 서는 아니 된다.

제90조

(1) 모든 사람은 손상된 식품을 유통하여서는 아니 된다.

(2) 제1항의 손상된 식품은 다음 각 호의 식품과 같다.

a. 독성, 위험물질을 포함하거나 건강이나 정신에 위협을 가할 수 있는 물질의 포함 b. 지정된 최대한도를 초과하는 오염물질의 포함 c. 식품생산 활동 또는 공정에 사용이 금지된 물질의 포함 d. 더럽고 부식되고 악취가 나며 부패한 재료를 포함하거나 질병에 걸리거나 시체에서 유래된 식물성 또는 동물성 물질의 포함 e. 금지된 방식으로 생산 f. 유통기한의 만료

제91조

(1) 소매 포장으로 거래하기 위하여 국내에서 생산되거나 수입된 모든 가공식품의 안전, 품질및 영양을 감독하기 위하여 식품사업자는 유통허가를 소지할 의무가 있다.

(2) 제1항의 유통허가 소지 의무는 가내수공업으로 생산된 특정 가공식품은 예외로 한다.

(3) 제1항과 제2항의 유통허가 소지 의무에 관한 규정은 법령 규정에 따라 실시한다.

제92조

(1) 정부와 지방정부는 식품 오염물의 농도와 포함에 대하여 정기적으로 감독하고 예방한다.

(2)제1항의 감독과 예방은 법령 규정에 따라 실시한다.

제93조

거래를 위하여 식품을 수입하는 자는 식품안전과 식품품질 기준을 충족할 의무가 있다.

제94조

(1) 식품품질 기준 충족에 관한 제86조제2항, 식품포장라벨에 관한 제89조, 오염식품에 관한 제90조 및 식품수입에 관한 제 93조의 규정을 위반한 자에 대하여 행정제재를 부과한다.

(2) 제1항의 행정제재는 다음각 호와 같다

a. 벌금 b. 활동, 생산 그리고/또는 유통의 일시 중지 c. 유통된 식품의 생산자 회수 d. 손해배상 e. 허가 취소

(3) 제1항과 제2항의 행정제재의 유형, 벌금의 액수, 절차 및 부과 체제에 관한 세부규정은 정부령에서 정한다.

제8부 할랄제품인증

제95조

(1) 정부와 지방정부는 식품에 대하여 할랄제품인증 체계의 적용을 감독한다.

(2) 제1항의 할랄제품인증 체계 적용은 법령규정에 따라 실시한다.

제8장 식품라벨 및 포장

제1부 식품라벨

제96조

(1) 식품라벨의 제공은 식품 구매 그리고/또는 소비 전에 각 포장된 식품에 대하여 대중에게 정확하고 명확한 정보를 제공함을 목적으로 한다.

(2) 제1항의 정보는 원산지, 안전성, 품질, 영양성분 및 기타 필요한 설명과 관련이 있다.

제97조

(1) 국내에서 식품을 생산하여 거래하고자 하는 자는 식품포장지 내부 또는 외부에 라벨을 부착하여야 한다.

(2) 식품을 수입하여 거래하고자 하는 자는 인도네시아 공화국 영역에 반입할 때에 식품포장지 내부 또는 표면에 라벨을 부착하여야 한다.

(3) 제1항과 제2항의 식품포장지 내부 또는 표면에 부착하는 라벨은 다음 각 호를 모두 포함 하여 인도네시아어를 사용하여 기술하거나 인쇄하여야 한다

a. 제품명 b. 사용된 재료 목록 c. 중량 또는 내용물 d. 제조자 또는 수입업자의 상호 및 소재지 e. 요청하는 자를 위한 할랄 f. 생산일 및 생산코드 g. 유통기한 연월일 h. 가공식품 유통허가번호 i. 특정식품의 재료 원산지

(4) 제4항의 식품라벨의 설명은 대중이 쉽게 이해할 수 있도록 확실하고 명확하게 기술, 인쇄 또는 표시되어야 한다

제98조

(1) 라벨에 관한 규정은 최종 포장 과정을 마치고 거래가 준비된 식품에 적용한다.

(2) 라벨 규정은 구매자 앞에서 포장되는 식품의 거래에는 적용 되지 아니한다.

(3) 정부와 지방정부는 초소형및 소형기업이 제1항의 라벨 규정을 단계적으로 적용할 수 있도록 지도한다.

제99조

유통된 식품의 라벨을 삭제, 제거, 가림, 변경, 재교환 그리고/ 또는 유통기한의 연월일을 변경 하여서는 아니 된다.

제100조

(1) 거래되는 식품의 모든 라벨에는 식품에 대하여 정확하고 혼돈을 유발하지 않는 설명을 포함할 의무가 있다.

(2) 거래하는 식품이 요구사항을 반영하였다는 것을 라벨에 표시한 모든 사람은 해당 요구의 진위에 대한 실증 책임이 있다.

(3) 거래하는 특정 가공식품의 라벨에는 용도, 사용법 그리고/ 또는 인체에 미치는 식품의 영향에 대하여 알아야 할 기타 필요한 설명을 포함할 의무가 있다.

제102조

(1) 제97조제1항, 제99조 및 제 100조제2항의 규정을 위반한 자에 대하여 행정제재를 부과한다.

(2) 제97조제2항의 규정을 위반한 자는 수입된 식품을 인도네 시아 공화국 영역에서 반출시키 거나 폐기할 의무가 있다.

(3) 제1항의 행정제재는 다음 각 호와 같다.

a. 벌금 b. 활동, 생산 그리고/또는 유통의 일시 중지 c. 유통된 식품의 생산자 회수 d. 손해배상 e. 허가 취소

(4) 제1항과 제3항의 행정제재의 유형, 벌금의 액수, 절차 및 부과 체제에 관한 세부규정은 정부령에서 정한다.

제103조

제96조부터 제101조까지의 식품 라벨에 관한 세부규정은 정부령 으로 정하거나 정부령을 근거로 하여 정한다.

제2부 식품광고

제104조

(1) 거래되는 식품의 모든 광고는 식품에 대하여 정확하고 오해의 소지가 없는 설명이나 내용을 포함하여야 한다.

(2) 거래되는 식품광고에 정확 하지 아니하거나 오해의 소지가 있는 설명이나 내용을 포함하여 서는 아니 된다.

(3) 정부는 거래되는 식품의 광고에 정확하지 아니하거나 오해의 소지가 있는 설명이나 내용이 포함되지 아니하도록 필요한 규제, 감독 및 조치를 취한다.

제105조

(1) 거래되는 식품이 요건을 갖춘 할랄이라고 광고에 표시하는 자는 그 진위에 대한 실증 책임이 있다.

(2) 거래되는 식품이 특정 요구 사항을 반영한 식품이라고 광고에 표시하는 자는 해당 요구사 항의 반영 진위에 대한 실증 책임이 있다.

제106조

(1) 제104조제2항과 제105조의 규정을 위반한 자에 대하여 행정제재를 부과한다.

(2) 행정제재는 다음 각 호와 같다.

a. 벌금 b. 활동, 생산 그리고/또는 유통의 일시 중지 c. 유통된 식품의 생산자 회수 d. 손해배상 e. 허가 취소

(3) 제1항과 제2항의 행정제재의 유형, 벌금의 액수, 절차 및 부과 체제에 관한 세부규정은 정부령에서 정한다.

제107조

제104조와 제106조의 식품광고에 관한 세부규정은 정부령으로 정하거나 정부령을 근거로 하여 정한다.

제9장 감독

제108조

(1) 정부는 식품 관리에 대한 감독 권한이 있다.

(2) 제1항의 감독은 다음 각 호의 이행 여부에 대하여 실시한다.

a. 안전하고 영양가 있으며 대중의 구매력이 미칠 수 있는 주식의 가용성 그리고/또는 재고 마련 b. 식품안전, 식품품질 및 식품 영양 요건 그리고 식품라벨및 광고 요건 충족

(3) 감독은 다음 각 호가 실시 한다.

a. 제 2 항제 a 호의 주식의 가용성 그리고/또는 재고는 식품분야의 정부 업무를 관장하는 정부기관이 실시 b. 가공식품에 대한 제 2 항제 b 호의 식품안전, 식품품질 및식품영양 요건과 식품라벨 및광고 요건은 식품의약감독 분야의 정부 업무를 관장하는 정부기관이 실시 c. 신선식품에 대한 제 2 항 b 호의 식품안전, 식품품질 및식품영양 요건과 식품라벨 및광고 요건은 식품 분야의 정부 업무를 관장하는 정부기관이 실시

(4) 정부는 식품사업자의 생산 활동 또는 공정, 저장, 운송 그리고/또는 식품유통에 대하여 정기적으로 조정, 평가 및 감독 프로그램을 관장한다.

제109조

감독을 실시함에 있어 제108조 제3항의 정부기관은 업무 그리고/또는 직무와 권한에 따라 각각의 감독자를 지정한다.

제110조

(1) 제109조의 감독자는 다음각 호의 권한이 있다.

a. 생산, 활동 또는 공정, 저장, 운송 및 식품 거래에 사용되는 것으로 의심되는 각각의 장소에 들어가 검사, 조사 및식품 및 그 외의 의심되는 모든 것의 수거 b. 식품운송에 사용되는 것으로 의심되거나 합리적인 의심이 있는 모든 운송 수단의 정지, 검사, 방지 및 식품의 샘플 조사 c. 식품포장 개봉 및 검사 d. 생산 활동, 저장, 운송 그리 고/또는 식품유통에 대한 내용이 포함되거나 이를 복제 또는 인용한 것으로 의심되는 모든 서적, 서류 또는 기타 기록의 조사 e. 사업허가증 또는 기타 동등 한종류의 서류 제시 명령

(2) 제1항의 업무를 수행하는데 있어 감독자는 감독 그리고/또는 검사 명령서와 신분증을 소지하 여야 한다.

제111조

감독관의 검사 결과 식품 분야 에서 범죄 행위가 있었다는 초기 증거가 제시된 경우 법령규 정에 따라 권한 있는 수사관이 즉시 수사를 실시하여야 한다

제112조

제108조부터 제112조의 감독에 관한 세부규정은 정부령에서 정한다.

제10장 식품정보시스템

제113조

식품정보시스템은 식품에 관한 데이터와 정보의 수집, 가공, 분석, 보관, 게시 및 배포를 포함 한다.

제114조

(1) 정부와 지방정부는 통합된 식품정보시스템을 개발하고 조직하여 발전시킬 의무가 있다.

(2) 제1항의 정보시스템은 다음각 호의 목적에 사용된다.

a. 전략입안 b. 조정 및 평가 c. 식품 재고 및 가격 안정화 d. 식량문제와 취약점에 대한 조기 경보 시스템

(3) 정부와 지방정부는 권한에 따라 식료품의 가격을 공시할 의무가 있다.

(4) 식료품 가격 공시에 관한 세부규정은 상업 분야의 업무를 관장하는 장관령에서 정한다.

제115조

(1) 제114조제1항의 식품정보시스템은 식품데이터정보기구가 관리한다.

(2) 식품데이터정보기구는 데이터와 정보를 갱신할 의무가 있다.

(3) 식품데이터정보기구는 다음각 호의 정보를 모두 제공하여야 한다.

a. 식품 유형 b. 식품수급표 c. 식품 생산 위치, 면적 및 지역 d. 시장 수요 e. 시장의 기회와 도전 f. 생산 g. 가격 h. 소비 i. 영양 상태 j. 수출 및 수입 k. 재고 예상 l. 재배기 및 수확기 예측 m. 기후 예측 n. 식품 기술 o. 각 지역의 식량 수요

(4) 법령규정에 따라 국가의 이익과 관련된 것을 제외한 제3항의 데이터와 정보에 대중이 쉽고 빠르게 접근할 수 있어야 한다.

제116조

제113조부터 제115조까지의 식품정보시스템에 관한 세부규정은 정부령에서 정한다.

제11장 식품 연구 및 개발

제117조

식품 연구 및 개발은 식품 과학 기술의 발전을 위하여 실시되며, 식량주권, 식량자립 그리고 식량 안보를 강화할 수 있는 식품정책을 수립하는 데에 기반이 된다.

제118조

(1) 제117조의 식품 연구 및 개발은 양질의 식품 재료를 확보 하고 국민이 안전하게 소비할수 있도록 식품의 공급, 저장, 가공 및 분배를 보장함을 목적으로 한다.

(2) 제1항의 식품 연구 및 개발은 다음 각 호로 실시된다.

a. 지역, 국가 및 국제적으로 경쟁력을 갖춘 식품의 생산 b. 생물적, 비생물적 스트레스에 대한 내성, 식물 해충 또는 가축 및 어류의 질병 발생에 대한 내성 그리고 기후변 화에 적응할 수 있는 식물, 가축 및 어류에서 파생된 우수하고 다양한 식품공급원을 생산하기 위한 번식 및 개량의 가속화 c. 생산성, 효율성 및 경쟁력을 제고하고 생물다양성을 보존할 수 있는 식량원인 식물의 재배, 가축의 사육 및 어류의 양식 체계에 대한 기술 혁신및 제도의 적용 d. 지역식량을 기반으로 하는 가공식품의 개발, 부가가치의 증대, 식품사업 개발과 소비에 안전한 식품영양함량구성 강화를 위한 수확, 가공 및생산품 마케팅에 대한 기술 혁신 및 제도의 적용 e. 비타민 및 기타 물질의 적절한 함량을 고려한 주식대용 품이 될 수 있는 지역식품의 생산 f. 식물성 및 동물성 식품의 생산능력을 유지하고 향상시키기 위한 토지, 물, 기후 및 유전자원 활용의 최적화 g. 식량개발정책의 권고

제119조

(1) 정부는 제117조와 제118조의 연구 및 개발을 지속적으로 실시할 의무가 있다

(2) 정부는 지방정부, 교육기관, 연구기관, 식품사업자 및 공동체가 실시하는 연구 및 개발 활동을 지원하고 활성화한다.

제120조

제110조의 연구 및 개발은 독립적으로 그리고/또는 정부 또는 민간이 운영하는 국제연구기관과 협동하여 실시할 수 있다.

제121조

정부 그리고/또는 지방정부는 식품 연구의 결과물을 출판, 보급, 활용 그리고 적용하는 데에 지원할 의무가 있다.

제122조

지역식량 개발을 위한 국제협력은 연구 분야를 관장하는 장관의 허가를 받아 국내 기관이 착수하는 경우에 할 수 있다.

제123조

(1) 모든 외국인은 자신의 이익을 위하여 인도네시아 공화국 영토 내에서 식품연구를 실시할수 있다.

(2) 제1항의 연구에 있어 모든 외국인은 법령규정을 준수할 의무가 있다.

(3) 제2항의 연구가 국내에서 얻은 생물학적 물질을 상업용도로 이용하는 것인 경우 모든 외국인은 법령규정에 따라 적절한 로열티를 정부에 제공할 의무가 있다.

제124조

정부는 법령규정에 따라 식품연구 및 개발 결과와 우수한 지역 식량에 대한 지식재산권을 보호하는 데에 편의와 보호를 제공 한다.

제125조

정부 그리고/또는 지방정부는 식량주권, 식량자립 및 식량안보를 실현하기 위하여 사회에 유용한 우수 기술을 개발할 수 있는 연구자 그리고/또는 식품 연구에 대한 보상 그리고/또는 인센티브를 제공한다.

제12장 식품기관

제126조

국가 식량주권, 식량자립 및 식량안보를 실현하기 위하여 대통령 산하에서 식량 부문을 담당하는 정부기관을 구성한다.

제127조

제126조의 정부기관은 식품 분야의 행정 업무를 수행한다

제128조

제127조의 정부기관은 대통령에게 정부가 정한 주식과 기타 식품의 생산, 조달, 저장 그리고/또는 유통을 수행하기 위하여 식품 분야의 국영기업에게 특별 임무를 부여할 것을 제안할 수 있다.

제129조

제126조에서 제128조까지의 정부기관의 조직 및 업무 절차에 관한 세부규정은 대통령령으로 정한다.

제13장 국민참여

제130조

(1) 국민은 식량주권, 식량자립및 식량안보 실현에 참여할 수있다.

(2) 국민참여는 다음 각 호에서 실시한다.

a. 식품 생산, 분배, 거래 및소비 b. 지역사회 식량비축 c. 식품 및 영양 취약 예방 및 통제 d. 식품 및 영양 정보 및 지식 전달 e. 식량가용성, 식량접근성, 식량다양화 및 식량안전의 원활한 실시에 대한 감독 f. 가정의 식량독립성 증진

(3) 정부 그리고/또는 지방정부는 제1항의 국민참여를 장려한다.

제131조

(1) 지역사회는 정부 그리고/또는 지방정부에 식량문제에 대한 문제점, 의견 그리고/또는 해결안을 제출할 수 있다.

(2) 제1항의 식량문제에 대한 문제점 및 의견의 전달 절차 그리고/또는 해결에 관한 세부규정은 정부령에서 정한다.

제14장 수사

제132조

(1) 인도네시아 공화국 경찰과는 별도로 식품 분야의 업무 및책임이 있는 특정 국가공무원은 형사소송법 분야의 법령규정에 따라 식품 분야에서 형사 수사를 실시할 수 있는 수사관으로서의 특별 권한을 부여받는다.

(2) 제1항의 국가공무원 수사관은 다음 각 호의 권한을 갖는다.

a. 식품 분야의 범죄행위와 관련된 보고서 또는 정보의 진위 여부 조사 b. 식품 분야의 범죄행위에 대하여 피의자 또는 증인을 신문하고 조사하기 위한 소환 c. 식품 분야의 범죄행위에 대한 증거물 압수 및 수색 d. 식품 분야의 범죄행위와 관련하여 개인 또는 법인에 정보 및 증거 요청 e. 진술서 작성 및 서명 f. 식품 분야의 범죄행위에 대한 증거가 불충분한 경우 수사 중지 g. 식품 분야의 범죄행위에 대한 수사에 있어 전문가의 지원 요청

(3) 제1항의 국가공무원 수사관은 인도네시아 공화국 경찰 수사관에게 수사의 시작을 통지한다.

(4) 제2항의 권한을 이행하는데 있어 체포 및 구금의 조치가 필요한 경우 법령규정에 따라 국가공무원 수사관은 인도네시아 공화국 경찰 수사관과 협동 한다.

(5) 제1항의 국가공무원 수사관은 수사 결과를 인도네시아 공화국 경찰 수사관을 통하여 검사에게 제출한다.

(6) 국가공무원 수사관의 임명과 수사 방법 및 절차는 법령규정에 따라 실시한다.

제15장 형사규정

제133조

주식의 가격을 비싸게 하거나 상승시켜 이익을 얻기 위하여 고의로 제53조의 최대 총량을 초과하여 적재하거나 보관하는 식품사업자는 7년 이하의 징역 또는 Rp100,000,000,000(일천억 루피아) 이하의 벌금에 처한다.

제134조

거래하기 위하여 특정 가공식품을 생산하는 자가 고의로 제64 조제1항의 식품원재료 영양함량의 감소 또는 손실을 억제할 수있는 식품 가공 절차를 적용하지 아니하는 경우 1년 이하의 징역 또는 Rp2,000,000,000(이 십억 루피아) 이하의 벌금에 처한다.

제135조

제71조제2항의 식품위생 요건을 준수하지 아니하고 식품의 생산 활동 또는 공정, 저장, 운송 그리고/또는 유통을 수행한 자는 2 년 이하의 징역 또는 Rp4,000,000,000(사십억 루피아) 이하의 벌금에 처한다.

제136조

유통을 목적으로 다음 각 호의 식품첨가물을 고의로 사용한 자 는 5년 이하의 징역 또는 Rp10,000,000,000(일백억 루피 아) 이하의 벌금에 처한다. a. 규정으로 정한 최대 허용량을 초과한 식품 첨가물 b. 제 75 조제 1 항의 식품첨가 물로 사용이 금지되는 재료

제137조

(1) 유통 전에 제77조제1항의 식품안전 허가를 받지 아니하고 식품유전공학으로 얻은 식품을 생산한 자는 5년 이하의 징역 또는 10,000,000,000 루피아(일 백억 루피아) 이하의 벌금에 처한다.

(2) 유통 전에 제77조제2항의 식품안전 허가를 받지 아니하고 식품유전공학으로 얻은 원재료, 식품첨가물 그리고/또는 기타 재료를 사용하여 식품 생산 활동 이나 공정을 실시하는 자는 5년 이하의 징역 또는 Rp10,000,000,000(일백억 루피아) 이하의 벌금에 처한다.

제138조

유통을 목적으로 식품을 생산하는 자가 고의로 제83조제1항의 인체에 위협을 가하는 오염물질을 방출할 수 있는 물질을 식품 포장재로 사용하는 경우 2년 이하의 징역 또는 Rp4,000,000,000(사십억 루피아) 이하의 벌금에 처한다.

제139조

제84조제1항의 재포장 및 거래의 목적으로 식품의 최종 포장을 고의로 개봉한 자는 5년 이하의 징역 또는 Rp10,000,000,000(일백억 루피 아)의 벌금에 처한다.

제140조

고의로 제86조제2항의 식품안전 요건을 준수하지 아니한 식품을 생산하고 거래하는 자는 2년 이하의 징역 또는 Rp4,000,000,000(사십억 루피아) 이하의 벌금에 처한다.

제141조

제89조의 식품포장 라벨에 명시된 식품안전 및 품질에 부합하지 아니한 식품을 고의로 거래 하는 자는 2년 이하의 징역 또는 Rp4,000,000,000(사십억 루피아) 이하의 벌금에 처한다.

제142조

제91조제1항의 소매포장으로 거래하기 위하여 국내에서 제조하 거나 수입한 가공식품에 대하여 고의로 유통허가를 받지 아니한 식품사업자는 2년 이하의 징역 또는 Rp4,000,000,000(사십억 루피아) 이하의 벌금에 처한다.

제143조

제99조의 유통 식품의 라벨을 고의로 삭제, 제거, 은폐, 변경, 재부착 그리고/또는 유통기한의 연, 월, 일을 변경하는 자는 2년 이하의 징역 또는 Rp4,000,000,000(사십억 루피 아) 이하의 벌금에 처한다.

제144조

제100조제2항의 라벨에 고의로 허위 또는 혼란을 야기할 수 있는 정보 또는 내용을 제공하는 자는 3년 이하의 징역 또는 Rp6,000,000,000(육십억 루피 아) 이하의 벌금에 처한다.

제145조

제104조의 광고를 통하여 고의로 거래하는 식품에 대한 허위 또는 오해를 야기할 수 있는 정보 또는 내용을 포함하는 자는 3년 이하의 징역 또는 Rp6,000,000,000(육십억 루피아) 이하의 벌금에 처한다.

제146조

(1) 제137조, 제138조, 제142조및 제145조의 행위가 다음 각호의 결과를 발생하게 한 경우,

a. 중상 또는 생명에 대한 위험을 발생하게 한 자는 5 년 이하의 징역 또는 Rp10,000,000,000(일백억 루피아) 이하의 벌금에 처한다. b. 사망에 이르게 한 자는 10 년 이하의 징역 또는 Rp20,000,000,000(이백억 루피아) 이하의 벌금에 처한다.

(2) 제140조의 행위가 다음 각호의 결과를 발생하게 한 경우,

a. 중상 또는 생명에 대하여 위험을 발생하게 한 자는 7 년이하의 징역 또는 Rp14,000,000,000(일백사십 억 루피아) 이하의 벌금에 처한다. b. 사망에 이르게 한 자는 10 년 이하의 징역 또는 Rp20,000,000,000(이백억 루피아) 이하의 벌금에 처한다.

제147조

제133조에서 제145조의 범죄행 위를 하거나 조력하는 공무원 또는 국가 업무 담당자는 형의 1/3(삼분의 일)까지 가중한다.

제148조

(1) 법인이 제133조에서 제145 조의 행위를 하는 경우에는 경영자에 대한 징역 및 벌금에 더하여 개인에 대한 벌금의 3배에 해당하는 벌금형을 부과할 수있다.

(2) 법인은 제1항의 벌금에 다음 각 호와 같은 추가 형을 부과받을 수 있다.

a. 특정 권리의 박탈 b. 판사의 판결 고지

제16장 경과규정

제149조

이 법이 시행될 때, 이 법의 시행 당시 이미 존재하는 식품 분야를 담당하는 정부기관은 이법의 규정에 따라 식품 분야를 취급하는 정부기관이 구성될 때까지 계속하여 그 임무를 수행한다.

제17장 종결규정

제150조

이 법의 시행령은 이 법이 제정된 후 늦어도 3년 이내에 제정되어야 한다.

제151조

제129조의 식품 분야를 담당하는 정부기관은 이 법이 제정된후 늦어도 3년 이내에 구성되어야 한다.

제152조

이 법이 시행될 때, 식품에 관한 사항을 규정하는 모든 법령규정은 이 법에 따라 개정되거나 반하지 아니하는 한 계속하여 유효하다.

제153조

이 법이 시행될 때, 「식품에 관한 법률 1996년 제7호」(인도네 시아 공화국 관보 1996년 제99 호, 인도네시아 공화국 추가 관보 제3656호)는 폐지되어 더 이상 효력을 갖지 아니한다.

제154조

이 법은 제정된 날로부터 시행 한다. 모든 사람이 알 수 있도록 이법의 제정을 인도네시아 공화국 관보에 게재할 것을 명한다.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 16 November 2012 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 November 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN 2012년 11월 16일 자카르타에서 승인됨 인도네시아 공화국 대통령, 수실로 밤방 유도요노 2012년 11월 17일 자카르타에서 제정됨 인도네시아 공화국 법인권부장관아미르 샴수딘